Dari Pintu ke Pintu, Dari Hati ke Hati

 Sumber : priegs.com

Inilah tantangan bagi aneka institusi agama yang ada, betapa mereka harus membuat dakwah yang lebih indah dan menggugah, agar umat tidak lari  ke dalam keyakinan-keyakinan baru, yang cuma akan ditolak oleh masyarakat dan  negara. Penolakan itu bahkan ada kalanya, harus berujung kekerasan pula. Jika kemunculan demi kemunculan aliran baru terus bermunculan, jika penolakan demi penolakan terus dilakukan, berarti akan pula diikuti oleh risiko kekerasan demi kekerasan. Jika cuma sekali waktu, hampir setiap negara, mengalaminya. Tetapi jika ia bisa  muncul  setiap waktu, pasti ada kesakitan sosial di negara itu. 

Marilah kita kutip pendapat Dr Azumardi Azra, tentang kenapa aliran-aliran baru ini selalu saja berhasil memikat hati pengikutnya. Jawabnya, menurut Azumardi adalah karena cara dakwahnya. Mereka melakukannya dari pintu ke pintu, dan lebih dari itu dari hati ke hati. Mengetuk langsung ke hati itulah yang hendak ditekankan dalam persoalan ini. Dan begitulah memang watak hati, jika ia tersentuh kelembutan, apa saja bisa dimasukkan, termasuk kekeliruan. 

Bahkan kekeliruan pun, jika disebarkan dengan cara yang menyentuh  dan indah, ia menghuni hati dengan kuat sekali.  Itulah kenapa apapun dan siapapun yang telah menghuni hati dengan cara yang indah, ia terpatri kuat sekali. Jika penghuni hati itu bernama ketersetatan, hati itu akan tersesat hingga jauh sekali. Jika penghuni itu bernama kebenaran, maka keteguhannya tak akan terguncangkan. Mengingat watak itulah jutsru muncul persoalan ini: tak semua kesalahan disampaikan dengan cara yang salah, tak semua kebenaran disampaikan dnegan cara yang indah. 

Adakah  sekarang ini  kebenaran tidak cuma disampaikan dengan cara yang tidak indah tapi juga dengan cara yang salah? Penting  sekali mempertanyakan soal ini, dan penting  sekali institusi agama menyadari persoalan artistik ini. Jika para agamawan awam dalam persoalan artistic dalam  berbagai segi, maka artistik itu bisa  jatuh ke tangan yang keliru. Maka kekeliruan pun akan menjadi tampak aryistik, indah, dan mengguggah. Kekeliruan yang indah itu lalu akan menjadi seolah-olah lebih benar dari kebenaran, lebih indah dari keindahan itu sendiri. 

Di Indonesia, sungguh tak terkira jumlah hati yang sedang dahaga, yang butuh disantuni oleh kelembutan, oleh keindahan. Tapi  yang lembut dan indah itu, harus pula adalah sekaligus si benar. Karena jika kelembutan dan  keindahan dipinjam oleh si keliru, ia akan menjadi berbahaya sekali. Kita semua akan merasa indah tanpa tahu bahwa sedang tertipu!