Kajian Alam dan Lingkungan dalam Lingkup Filsafat dan Sosiologis

Kajian Alam dan Lingkungan dalam Lingkup Filsafat dan Sosiologis (1)


Dinanda Nuswantara Buwana


Hari Bumi, 22 April telah berlalu begitu saja, tenggelam dalam rutinitas kehidupan kita. Khususnya di negeri ini, Hari bumi  terlewatkan begitu saja di tengah isu isu yang lebih menarik dan Hot, Isu-isu politik, mumetnya ekonomi, ketatnya persaingan dalam dunia Olahraga, berita kriminalitas dan Sensasi selebritis. Dan sepertinya tidak banyak yang bisa kita perbuat yang berkaitan dengan upaya pelestarian Alam, dibandingkan dengan laju kerusakan yang terjadi dan kita rasakan secara langsung.  Karena hingga detik ini manusia masih merasa superior terhadap alam, karena manusia adalah sang penakluk Alam. Berjalan gagah dengan pedang kerakusan. Ada perlunya kita menengok ke belakang, meniti kembali pandangan filosofis dan sosiologis  hubungan Manusia dengan alam.


Pandangan terhadap Alam, dari Antroposentrisme  ke Eksistensialisme
Sebagai seorang filsuf atau orang yang mencintai kebijaksaaan, nama Socrates tentu sudah dikenal sangat baik, apalagi bagi mereka yang mendalami kajian filasafat. ” Kenalilah dirimu sendiri” itulah yang dikatakannya. Sebelum akhirnya kaum sophis mengadilinya dan menjatuhkan hukuman mati padanya dengan meneguk racun sebagai hukuman atas pemikiran-pemikirannya yang dianggap meracuni pemikiran kaum muda pada masa itu. Hampir setiap hari ia berkeliling Kota Athena menyusuri gang –gang dan jalan-jalan, di alun-alun kota, di pasar, berdiskusi dan bertanya dengan siapa saja yang ia temui, tentang etika, moral, kebajikan dan kebijaksanaan.
Ketika padanya ditanyakan, mengapa ia tak pernah berjalan-jalan ke luar kota Athena menikmati  pemandangan indah di sana, maka ia menjawab, ” Maaf, sahabat, pohon-pohon dan pemandangan indah itu tak mengajarkan apa-apa kepadaku” . Socrates berpandangan bahwa pengetahuan tentang diri manusialah yang lebih penting dan berharga untuk direnungkan dan dipelajari, jadi alam dan lingkungan boleh diabaikan. Demikian pula dengan muridnya Plato yang berpandangan bahwa manusia dan alam adalah sesuatu yang terpisah. Faham ini dikenal sebagai faham platonis, faham yang menyatakan bahwa sesuatu yang tampak oleh mata bukanlah kenyataan yang sebenarnya. Cukuplah dengan berpikir maka eksistensi sebagai manusia sudah cukup diakui. Selanjutnya Aristoteles seorang Murid Plato, yang berguru selama 20 tahun mengatakan bahwa tumbuhan disiapkan untuk kepentingan binatang, dan binatang disediakan untuk kepentingan manusia. Dalam Biologi hal ini dikenal sebagai hubungan simbiosis, antara produsen, konsumen, dan juga predasi.
Dari ketiga pandangan filsuf Yunani itu dapat digambarkan bahwa mereka menepatkan manusia sebagai sentris atau pusat dari kehidupan ini dan faktor-faktor lain dapat diabaikan, atau dengan kata lain tidak berpengaruh dan tidak ada kepentingannya terhadap eksistensi manusia. Manusia adalah segala-galanya Manusia hanya perlu berfikir dan berfikir tanpa perlu mengamati alam sekitar.
Namun dari ketiga filsuf di atas tampaknya Aristoteles mempunyai sedikit perbedaan, jika Socrates dan Plato sama sekali tidak menyentuh alam, tidak hanya melulu eksis dalam ranah Filsafat Teoritis, Aristoteles juga mau mengamati alam, dia mengumpulkan berbagai jenis tumbuhan dan hewan menyusunnya  dalam suatu taksonomi (penggolongan) tumbuhan secara sederhana, oleh karenanya dapat disebutkan bahwa Ilmu biologi dirintis oleh Aristoteles. Aristoteles menyebutnya sebagai Filosofi alam atau cabang filosofi yang meneliti fenomena alam, dan mencakupi bidang yang kini disebut sebagai fisika, biologi, dan ilmu pengetahuan alam lainnya.
Menurut Aristoteles untuk mencapai pengetahuan yang sempurna, maka diperlukan pengamatan melalui inderawi. Seperti yang tertulis di Wikipedia, Aristoteles melakukan berbagai pengamatan alam di pulau Lesbos. Hasil pengamatannya, termasuk Sejarah Hewan, Generasi Hewan, dan Bagian Hewan, berisi beberapa observasi dan interpretasi, dan juga terdapat mitos dan kesalahan. Bagian yang penting adalah mengenai kehidupan laut. Pada masa itu Ia telah memisahkan mamalia laut dari ikan, dan mengetahui bahwa hiu dan pari adalah bagian dari grup yang ia sebut Selachē (selachians).
Persentuhan Aristoteles dengan alam kemungkinan karena ayahnya yang seorang dokter, walaupun persentuhan dengan alam ini tetap saja dalam kerangka acuan bahwa manusia adalah mendominasi hewan dan tumbuhan. Perlu dicermati bagaimana Alexander Agung yang merupakan murid langsung dari Aristoteles yang melakukan ekspansi ke beberapa wilayah dari Afrika Utara , Eropa hingga Asia (India), semangat yang dibawanya adalah penaklukan alam, hingga Aristoteles suatu saat bertanya apada Alexansder Agung; Sebuah pertannyaan retoris ”Setelah dunia ini anda kuasai, apakah yang ingin ada kuasai lagi? Kuasailah dirimu sendiri”.
Berabad-abad kemudian, munculah Rene Descartes seorang filsuf Francis dengan diktumnya yang terkenal ”cogito ergo sum”, atau I think, therefore I am, dia berpandangan bahwa manusia adalah penguasa bumi ini. Menurutnya manusia memiliki jiwa  yang memungkinkan untuk berpikir dan berkomunikasi menggunakan bahasa (mempunyai Rasio dan bahasa), sebaliknya binatang hanya memiliki tubuh yang dianggap Descartes sebagai mesin atau robot yang bergerak secara otomatis belaka. Binatang tidak memiliki jiwa yang bersumber pada pengetahuan dan keyakinan. Coba perhatikan pernyataanya kemudian ;” Maitres et posseseurs de la nature” Kita sekalian adalah tuan-tuan dan pemilik alam semesta. Selanjutnya Faham seperti lazim kita kenal sebagai faham Antroposentrisme.
Maka Manusia Modern yang mengaku beradab, menjelma sebagai penakluk alam dan penguasa alam, menjadi tuan terhadap budak Alam. Manusia bebas berkehendak memperlakukan alam sebagai Obyek, yang bahkan suara keluhan, geraman dan protesnya tak perlu dengar.
Ilmuwan Inggris William Gilbert dan  Ilmuwan Denmark Johannes Kepler meyakini alam semesta sarat dengan keajaiban, dan menduga manusia mungkin tidak akan pernah benar-benar mampu memahaminya. Keyakinan mereka ditentang oleh Descartes. Dalam bukunya yang termasyur Discourse on Method (1637), Descartes mengajukan filsafat ilmu yang sungguh radikal. Ia menganggap seluruh alam semesta tidak lain hanya sederet mekanisme belaka, ibarat jam yang terbuat dari benda mati. Oleh karena itu, tidak perlu lagi takjub karena tidak ada yang ajaib di alam.
Faham Antroposentrisme, sebenarnya dapat dilacak jauh sebelum masa Socrates,  seorang filsuf,  Protagoras menyatakan bahwa segala pengetahuan adalah relatif, dan segala sesuatu itu yang berkaitan dengan kebenaran manusialah ukurannya. Pengetahuan obyektif  tak mungkin ada, subyektivitaslah yang paling teratas.  Dalam faham ini pola hubungan manusia dan alam dilihat hanya berupa relasi instrumentalnya saja. Tidak ada hubungan timbal balik, hanya searah dari manusia ke alam atau lingkungan saja.
Kemudian seiring dengan berjalannya waktu maka Faham Antroposentisme mulai berwujud nyata sebagai pengukuhan manusia atas alam dalam faham Eksistensialisme. Eksistensialisme dicetuskan pertama kali oleh Soeren Kierkegaard, Eksistensialisme memandang manusia sebagai individu yang memiliki kebebasan penuh dalam menentukan jalan hidupnya, semua aspek yang dilakukan manusia, itulah yang menjadi inti dari eksistensi itu sendiri. Menurut faham ini manusia dan alam memang terpisah satu sama lain, faham ini pemikirannya difokuskan pada pengertian kehidupan manusia dalam masyarakat dengan sedikit referensi pada hubungan manusia dan lingkungan. Memang, demikian adanya, eksistensialisme cenderung memberikan kebebasan sepenuhnya pada manusia untuk mengeksplorasi dunianya tanpa adanya pengaruh stimulasi-stimulasi, dan respon  dari lingkungan sekitarnya.
Masyarakat Eropa permulaan tidak banyak membuat perbedaan antara manusia dengan lingkungan alamiah. Filsafat Yunani klasik dipandang sebagai momentum perubahan tentang ide-ide tentang tersebut. Konsep Naturalistik mengkaitkan alam dan kehidupan sebagai hal yang menyatu, sedangkan konsep Humanistik memisahkan manusia dari dunia sekitar mereka dan menempatkan humanitas di tempat yang lebih tinggi  dibanding binatang dan tumbuhan.
Pada kenyataannyalah bahwa faham antroposentrisme yang bermula dari kajian filsafat telah merambat pada wilayah-wilayah praktis, menurut Rahmad K. Dwi susilo, Antroposentrime merupakan simbol kerakusan manusia sistemik yang tidak hanya bersifat individual, tetapi terlekat pada teknologi, Ilmu pengetahuan, sistem ekonomi, dan struktur kekuasaan para pemegang kekuasaan dan pemegang otoritas. Faham Antroposentris terselip  dan bertransformasi dalam ekonomi, Industrialisme, Kolonialisme, modernisasi dan determinasi teknologi terhadap alam dan lingkungan.

Read more: http://baltyra.com/2012/04/30/kajian-alam-dan-lingkungan-dalam-lingkup-filsafat-dan-sosiologis-1/#ixzz2LhJfsQ84
Kajian Alam dan Lingkungan dalam Lingkup Filsafat dan Sosiologis (2)


Pandangan terhadap Alam, kajian Sosiologis
Mari kita perhatikan pandangan Freud, yang menyatakan  bahwa hubungan antara sosial dan tatanan alam tidak dapat hanya dipisahkan secara radikal antara alam dan sosial, tetapi hubungan itu hendaknya memperhatikan bahwa dasar hati manusia perlu ditata, karena manusia mempunyai Libido id yang dengan segala hawa nafsunya yang agresif dan berpotensi menimbulkan kerusakan.
Libido di sini beorientasi pada sifat menguasai, menggagahi, dan segala kerakusan.  Eksistensialisme memunculkan apa yang namanya sebagai ideologi ekspansi   untuk menguasai, yang selanjutnya melahirkan imperialisme. Das es atau id disebutkan oleh Sigmund Freud sebagai sumber hawa nafsu, yaitu kumpulan destruksi nilai yang hanya mengejar kesenangan belaka. Dari posisi inilah segala khayalan dan keinginan tentang kenikmatan organisme terbentuk. Dari posisi ini pulalah tragedi buah Khuldi terjadi, tragedi habil dan Qabil terjadi. Dan sesungguhnya segala dosa dunia bersumber dari das Es. Ultra materialisme dan atheisme atau berhalaisme yang menjadikan duniawi sebagai tujuan akhir bersumber dari das es. Kutipan menarik ini saya peroleh dari  sahabat saya Dani dan Tedi Ruchiyat,  pada Buku Budaya, Bahasa, Semiotika, sebuah catatan Kecil.
Dalam pandangan Plato, hasrat atau libido menghalangi manusia dari philosophia.  Das Es juga dapat diistilahkan sebagai hasrat atau libido, yang berakar dari alam bawah sadar manusia, dalam wacana aspek konstruktif,  Di sisi lain Hasrat atau libido adalah suatu tungku api yang memanaskan, sebagai motivator dalam mencapai tujuan dan cita-cita, menjadi energi yang luar biasa, dan gairah untuk  melakukan sesuatu yang bermanfaat, berkreasi dan  melakukan inovasi, untuk mencapai kesejahteraan hidup.
Bagaimana pandangan Marxis? Seperti yang diuraikan oleh Soyomukti, Sistem pemikiran Marxisme dapat dikatakan sebagai penolakan terhadap kapitalisme, Filsafat Marxis merupakan suatu filsafat yang sepenuhnya ekologis: manusia diletakan dalam rahim alam secara utuh, adalah bagian dari alam, sarana yang diciptakan oleh alam demi perkembangan lebih lanjut alam sendiri, demi pemanusiaan terakhir alam, bagi Marxis tak ada satupun dalam diri manusia menyeruak mengatasi alam). Dalam pemikiran Marxisme  hubungan dengan obyek lingkungan adalah keterlekatan masyarakat dengan alam, dan ketergantungan produksi manusia pada kekuatan produksi dan regeneratif alam.
Ronaldo Munck dalam artikelnya yang berjudul “Red and Green : Marxism and Nature”. Memberikan pandangan yang cukup menarik, ada suatu yang kontradiktif pada diri Marx, Bagi Marx, alam adalah sebuah objek yang harus dikuasai, namun bagaimanapun harus ada batas-batas tertentu dalam prosesnya, yang mana batas tersebut bukan berarti batas alami, yang sudah ada dan merupakan bagian dari alam, namun batas tersebut ada atas hasil dari interaksi manusia dengan lingkungan alamnya. Akan tetapi Marx menyalahkan determinasi teknologi, kapitalisme dan Tekanan-tekanan ekonomi menyebabkan terganggunya hubungan interaksi antara manusia dan bumi. Demikianlah manusia secara angkuh merasa drinya dapat memerintah dan membentuk alam berdasarkan kemauannya.
Sejak tahun 80-an memang kesadaran ekologis (Ecological Awareness) manusia secara kolektif semakin massif. Ini merupakan suatu respon atas segala kegelisahan yang terjadi, terhadap segala bencana demi bencana alam yang dialami alami umat manusia. Muncul suatu kesadaran bahwa alam tidak hanya diam lewat kebisuan tetapi ternyata alam berdialog dengan kita umat manusia dengan caranya sendiri.
Kini jelas kita lihat, dan telah nampak sejelas jelasnya bahwa karena maksimalisasi keuntungan yang merupakan salah satu prinsip kapitalisme, memberikan tekanan yang luar biasa hebat terhadap Alam, eksploitasi atas nama kesejahteraan, yang justru distribusinya tidak dirasakan secara merata, sementara Alam dan lingkungan menjadi budak yang penuh dendam. Akhirnya ketika berbagai bencana ekologis terjadi, yang menjadi korban adalah manusia secara spesies, bukan manusia-manusia secara personal sebagai perusak alam.

Read more: http://baltyra.com/2012/05/11/kajian-alam-dan-lingkungan-dalam-lingkup-filsafat-dan-sosiologis-2/#ixzz2LhKTlXwB