Abdul Hadi WM - Facebook Note
A.H. Johns pernah membicarakan pengaruh kebudayaan Jawa terhadap Amir Hamzah dalam sebuah esai panjangnya "Amir Hamzah; Malay Prince, Indonesian Poet" (Malay and Indonesia Studies, Oxford University Press, 1964). Menurut Johns, salah satu sajak Amir Hamzah yang paling jelas memperlihatkan pengaruh kebudayaan Jawa ialah "Sebab Dikau" (Nyanyi Sunyi, him. 14). Di situ Amir Hamzah menggunakan citraan simbolik "wayang", yang dengan mudah memang dapat dikaitkan dengan kebudayaan Jawa, mengingat pentingnya pertunjukan wayang kulit di Jawa. Sedangkan di Semenanjung, seni pertunjukan wayang hanya dikenal di daerah Kelantan.
Memang tidak mudah untuk menyangsikan pengaruh kebudayaan Jawa pada Amir Hamzah, sebab selain terlihat pada beberapa sajaknya sendiri, Amir Hamzah pun cukup lama berada di pulau Jawa. Dan seandainya dia tidak pernah berada di Jawa, tambahan lagi di Solo yang dikenal sebagai pusat kebudayaan Jawa, kecil sekali kemungkinannya dia akan menulis sajak dengan menggunakan citraan simbolik wayang.
Namun, tidak dapat disangkal juga adanya kemungkinan lain. Misalnya, penulisan "Sebab Dikau" diilhami oleh sajak penyair lain. Sebab, tidak jarang seorang penyair diilhami oleh sajak penyair lain. Erich Heller, misalnya pernah membuktikan bahwa banyak sajak Rilke yang dapat dirujuk kepada Zarathustra karangan Nietszche, sekalipun sajak Rilke itu bersifat keagamaan dan karya Nietszche tidak. Sajak-sajak Octavio Paz yang awal, khususnya periode 1950-an, jika diteliti dengan cermat, menunjukkan pertautan dengan The Wasteland karangan T.S. Eliot.
Pada tahun 1920-an, ketika Amir Hamzah belajar di Solo dan mulai menulis puisi, ada seorang penyair Jawa muncul pada waktu itu. Dia ialah Notosuroto, penyair yang dipengaruhi oleh Tagore dan menulis sajak dalam bahasa Belanda (sehingga dia tidak pernah diakui sebagai penyair Indonesia). Sajak-sajak Notosuroto banyak menggunakan citraan simbolik wayang, dan tema sajaknya sarat dengan ajaran filsafat. Apa tidak mungkin Amir Hamzah membaca karya-karya Notosuroto? Kalau tidak, maka kita harus berpaling kepada dua penyair Muslim yang terkenal, yaitu Hamzah Fansuri dan Omar Khayam.
Hamzah Fansuri, penyair besar Melayu yang pernah lama tinggal di Jawa, pernah menulis sajak dengan citraan simbolik wayang:
Wahdat itulah bemama bayang-bayang
Di sana nyata wayang dan dalang
Muhit-Nya lengkap pada sekalian padang
Musyahadat di sana jangan kepalang
Mustahil Amir Hamzah, sebagai pencinta budaya dan sastra Melayu, tidak pernah membaca karya Hamzah Fansuri yang memiliki pertautan jiwa dengannya. Ketika Amir Hamzah menulis sajaknyam, Dorenboos telah menyiarkan sajak-sajak Hamzah Fansuri dalam disertasi doktornya De Geschriften van Hamzah Pantsoeri (1933).
Omar Khayam, penyair Persia abad ke-12, yang disebut-sebut sebagai berpengaruh pada Amir Hamzah, juga pernah menulis puisi dengan citraan simbolik wayang. Rasa kagum Amir Hamzah pada Omar Khayam tampak pada esai-esainya, dan malahan Amir menerjemahkan beberapa ruba'i Omar Khayam dan memasukkannya ke dalam antologi Setanggi Timur. Di antara sajak Omar Khayam yang menggunakan citraan simbolik wayang ialah yang saya terjemahkan dalam buku Rubaiyat Omar Khayam (1986):
Kita adalah wayang dan langit dalangnya
Ini bukan kiasan tapi kenyataan
Sesaat kita diberi peran.di layar ini
Lalu kembali ke kotak satu persatu dan dilupakan
Bandingkan sajak Omar Khayam di atas dengan "Sebab Dikau" Amir Hamzah. Dan, perhatikan betapa Amir Hamzah begitu berhasil me-ngembangkannya menjadi sajak bam dan segar dalam mengungkapkan kegagalan cinta masa mudanya, yang sangat berpengaruh terhadap per-jalanan kepenyairannya:
Hidup seperti mimpi
Lalu lakon di layar terkelar
Aku pemimpi lagi penari
Sedar siuman bertukar-tukar
Maka merupa di datar layar
Aku boneka engkau boneka
Penghibur dalang mengatur tembang
Di layar kembang bertukar pandang
Hanya selagu sepanjang dendang
Golek gemilang ditukarnya pula
Aku engkau di kotak terletak
Aku boneka engkau boneka
A.H. Johns pernah membicarakan pengaruh kebudayaan Jawa terhadap Amir Hamzah dalam sebuah esai panjangnya "Amir Hamzah; Malay Prince, Indonesian Poet" (Malay and Indonesia Studies, Oxford University Press, 1964). Menurut Johns, salah satu sajak Amir Hamzah yang paling jelas memperlihatkan pengaruh kebudayaan Jawa ialah "Sebab Dikau" (Nyanyi Sunyi, him. 14). Di situ Amir Hamzah menggunakan citraan simbolik "wayang", yang dengan mudah memang dapat dikaitkan dengan kebudayaan Jawa, mengingat pentingnya pertunjukan wayang kulit di Jawa. Sedangkan di Semenanjung, seni pertunjukan wayang hanya dikenal di daerah Kelantan.
Memang tidak mudah untuk menyangsikan pengaruh kebudayaan Jawa pada Amir Hamzah, sebab selain terlihat pada beberapa sajaknya sendiri, Amir Hamzah pun cukup lama berada di pulau Jawa. Dan seandainya dia tidak pernah berada di Jawa, tambahan lagi di Solo yang dikenal sebagai pusat kebudayaan Jawa, kecil sekali kemungkinannya dia akan menulis sajak dengan menggunakan citraan simbolik wayang.
Namun, tidak dapat disangkal juga adanya kemungkinan lain. Misalnya, penulisan "Sebab Dikau" diilhami oleh sajak penyair lain. Sebab, tidak jarang seorang penyair diilhami oleh sajak penyair lain. Erich Heller, misalnya pernah membuktikan bahwa banyak sajak Rilke yang dapat dirujuk kepada Zarathustra karangan Nietszche, sekalipun sajak Rilke itu bersifat keagamaan dan karya Nietszche tidak. Sajak-sajak Octavio Paz yang awal, khususnya periode 1950-an, jika diteliti dengan cermat, menunjukkan pertautan dengan The Wasteland karangan T.S. Eliot.
Pada tahun 1920-an, ketika Amir Hamzah belajar di Solo dan mulai menulis puisi, ada seorang penyair Jawa muncul pada waktu itu. Dia ialah Notosuroto, penyair yang dipengaruhi oleh Tagore dan menulis sajak dalam bahasa Belanda (sehingga dia tidak pernah diakui sebagai penyair Indonesia). Sajak-sajak Notosuroto banyak menggunakan citraan simbolik wayang, dan tema sajaknya sarat dengan ajaran filsafat. Apa tidak mungkin Amir Hamzah membaca karya-karya Notosuroto? Kalau tidak, maka kita harus berpaling kepada dua penyair Muslim yang terkenal, yaitu Hamzah Fansuri dan Omar Khayam.
Hamzah Fansuri, penyair besar Melayu yang pernah lama tinggal di Jawa, pernah menulis sajak dengan citraan simbolik wayang:
Wahdat itulah bemama bayang-bayang
Di sana nyata wayang dan dalang
Muhit-Nya lengkap pada sekalian padang
Musyahadat di sana jangan kepalang
Mustahil Amir Hamzah, sebagai pencinta budaya dan sastra Melayu, tidak pernah membaca karya Hamzah Fansuri yang memiliki pertautan jiwa dengannya. Ketika Amir Hamzah menulis sajaknyam, Dorenboos telah menyiarkan sajak-sajak Hamzah Fansuri dalam disertasi doktornya De Geschriften van Hamzah Pantsoeri (1933).
Omar Khayam, penyair Persia abad ke-12, yang disebut-sebut sebagai berpengaruh pada Amir Hamzah, juga pernah menulis puisi dengan citraan simbolik wayang. Rasa kagum Amir Hamzah pada Omar Khayam tampak pada esai-esainya, dan malahan Amir menerjemahkan beberapa ruba'i Omar Khayam dan memasukkannya ke dalam antologi Setanggi Timur. Di antara sajak Omar Khayam yang menggunakan citraan simbolik wayang ialah yang saya terjemahkan dalam buku Rubaiyat Omar Khayam (1986):
Kita adalah wayang dan langit dalangnya
Ini bukan kiasan tapi kenyataan
Sesaat kita diberi peran.di layar ini
Lalu kembali ke kotak satu persatu dan dilupakan
Bandingkan sajak Omar Khayam di atas dengan "Sebab Dikau" Amir Hamzah. Dan, perhatikan betapa Amir Hamzah begitu berhasil me-ngembangkannya menjadi sajak bam dan segar dalam mengungkapkan kegagalan cinta masa mudanya, yang sangat berpengaruh terhadap per-jalanan kepenyairannya:
Hidup seperti mimpi
Lalu lakon di layar terkelar
Aku pemimpi lagi penari
Sedar siuman bertukar-tukar
Maka merupa di datar layar
Wayang warna menayang rasa
Kalbu rindu turut mengikut
Dua sukma esa — mesra —
Kalbu rindu turut mengikut
Dua sukma esa — mesra —
Aku boneka engkau boneka
Penghibur dalang mengatur tembang
Di layar kembang bertukar pandang
Hanya selagu sepanjang dendang
Golek gemilang ditukarnya pula
Aku engkau di kotak terletak
Aku boneka engkau boneka
Penyenang dalang mengarang sajak.
Meskipun sajak ini ditulis dalam hubungan cinta penyair dengan kekasih dunianya, namun cukup terasa nafas sufistiknya. Achdiat K. Mihardja, penulis novel Atheis dan kawan Amir Hamzah ketika bersekolah, pernah mengatakan kepada saya bahwa Amir Hamzah memang menyukai tasawuf, dan membaca banyak karya penulis Persia. Jadi, tidaklah mengherankan apabila sastra tasawuf atau sastra Persia mem-berikan pengaruh besar pada gagasan-gagasan puitiknya. Dalam pustaka kaum Sufi memang tak jarang hidup ini dikiaskan sebagai bayang-bayang yang dibentangkan di layar mimpi, dan kiasan ini dapat dihubungkan dengan gagasan filosofis yang dikembangkan oleh pengikut neo-Pla-tonisme. Melalui Ibn 'Arabi, antara lain, gagasan ini dibawa kepada pemikiran mistik Islam. Di sini dapat kita lihat bahwa ada dua pengaruh yang sama kuatnya pada sajak "Sebab Dikau" Amir Hamzah, yaitu tasawuf dan kebudayaan Jawa.
Wayang sebagai seni pertunjukan memang telah lama berkembang di Jawa, begitu juga dengan pemikiran filsafatnya. Citraan simbolik wayang juga digunakan oieh pengarang Jawa seperti tampak pada kitab Arjuna Wiwaha (Perkawinan Arjuna) yang ditulis pada zaman Airlangga, abad ke-11. Dalam bagian pertama kitab itu dikatakan, misamya, bahwa Raja Airlangga mencapai kesempuraaan hidup, walaupun masih terpisah oleh layar (kelir) Sang Pengarang Dunia. Kelir dalam sastra Jawa digunakan untuk menyebut kejadian di dunia ini, dan kelir inilah yang memisahkan manusia dari Sang Pencipta.
Akan tetapi, baru pada masa kedatangan Islam banyak karya sastra Jawa yang menggunakan citraan simbolik wayang, dan lebih sarat lagi kandungan filsafatnya. Kita dapat mengambil contoh Suluk Regol karya Sunan Bonang, seperti yang dibicarakan oleh G.W.J. Drewes dalam esainya "Javanese Poems Dealing with or Attributed to the Saint of Bonang" (Bijdragen tot de Taal, Land, en Volkenkunde, Deel 124, 1968). Suluk ini membicarakan masalah immanensi dan transendensi (tasybih dan tanzih) dari sudut pandang tasawuf sebagaimana yang diajarkan oleh Ibn 'Arabi, Karim al-Jili, Jalaluddin Rumi, dan Fariduddin 'Attar. Di situ kejadian dunia diumpamakan sebagai pertunjukan wayang, yang dapat dilihat dari berbagai sudut dan kegunaan, yang oleh karenanya menim-bulkan penafsiran yang berbeda-beda. Ada yang melihat permainan wayang itu berasal dari dalang, ada yang memandang bahwa dalam permainan wayang itu dalang juga ikut serta. Ada lagi yang melihatnya dari sudut persatuan wayang, dalang, dan penontonnya.
Para penyair sufi Persia dan Arab tidak sedikit yang menggunakan citraan simbolik wayang. Hal ini antara lain disebabkan oleh popularnya wayang Cina di Persia dan Baghdad pada abad ke-10, dan para penyair tidak menyia-nyiakan aspek filsafat dari pertunjukan wayang. Dalam karyanya Usturnameh, Fariduddin 'Attar membandingkan kejadian di dunia dengan wayang yang dipertunjukkan di hadapan layar oleh dalang. Kejadian di dunia merupakan cerminan tindakan ketuhanan, sebagaimana wayang bergerak mengikuti kehendak dalang.
'Attar dalam karyanya itu juga membandingkan bin tang -bintang yang bertaburan di langit dengan wayang-wayang yang diperlihatkan di layar. Langit ialah kelir atau layarnya. Dalang memperlihatkan kemahirannya melalui layar, dan di akhir permainannya dia menghancurkan wayang-wayang itu sebelum akhirnya memasukkannya ke dalam peti. Oleh 'Attar penghancuran wayang itu dikaitkan dengan ajaran/ana' (persatuan mistik). Wayang-wayang dihancurkan untuk dibebaskan dari belenggu wujud lahiriahnya, dan kemudian dibawa menuju persatuan dengan asal-usul ketuhanannya.
Penyair sufi Arab yang sering menggunakan citraan simbolik Wayang ialah Ibn Faridh, khususnya dalam karyanya Ta'iya. Dalam sebuah sajaknya dia menulis:
Lihat, dari balik layar, rahasia
Wujud benda-benda diperlihatkan
dengan aneka ragam pakaian dan penampilan
Dalam sajaknya yang lain dia menulis:
Segala yang kaulihat
Ialah tindakan Yang Satu
Dia sendiri, terlindung layar,
Biar layar diangkat, saksikan:
Segala yang zahir lenyap, cuma Dia yang ada.
Dan kau, penerima cahaya, tahu karena cahaya-Nya
Kaujumpai tindakan-Nya dalam pengiihatan batin yang terang.
Dalam sajak ini kita lihat hidup dipandang sebagai gambaran dari -permainan wayang. Dalangnya tersembunyi di baiik layar. Hal serupa dapat kita rasakan dalam sajak Amir Hamzah. Dalam Futuhat al-Mak-kiyah, Ibn 'Arabi mengatakan: "Sekarang orang-orang pandai dan ahli tradisi mengetahui: Segala wayang (boneka) keberadaan yang mungkin ini tidak lebih dari wadah-wadah dari manifestasi Pencipta Aktif yang berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya, dan seluruh keindahan wujud dari ciptaan-ciptaan duniawi tidak lain hanyalah terbukanya tabir (layar)".
Ibn Faridh dalam menulis sajak-sajak sufistiknya itu diilhami oleh Ibn 'Arabi. Akan tetapi, jika kita kembali kepada sajak Amir Hamzah, maka yang dikemukakan Syekh Junaid mengenai tauhid mungkin dapat me- nerangkan kedalaman isi sajak "Sebab Dikau". Junaid, sufi abad ke-10 dari Baghdad berkata: "Tauhid artinya seseorang menjadi boneka di tangan Tuhan, boneka yang menuruti perintah-perintah Tuhan sesuai dengan ketentuan-Nya." Bukankah Amir Hamzah menulis:
Aku boneka engkau boneka
Penghibur dalang mengatur tembang
Di layar kembang bertukar pandang
Hanya selagu sepanjang dendang
Demikianlah dalam melihat hubungan Amir Hamzah dengan wayang, kita juga dapat melihat dari sudut pandang lain yang selama ini belum pernah dicoba yaitu ta'wil atau hermeneutika kerohanian Islam.
Meskipun sajak ini ditulis dalam hubungan cinta penyair dengan kekasih dunianya, namun cukup terasa nafas sufistiknya. Achdiat K. Mihardja, penulis novel Atheis dan kawan Amir Hamzah ketika bersekolah, pernah mengatakan kepada saya bahwa Amir Hamzah memang menyukai tasawuf, dan membaca banyak karya penulis Persia. Jadi, tidaklah mengherankan apabila sastra tasawuf atau sastra Persia mem-berikan pengaruh besar pada gagasan-gagasan puitiknya. Dalam pustaka kaum Sufi memang tak jarang hidup ini dikiaskan sebagai bayang-bayang yang dibentangkan di layar mimpi, dan kiasan ini dapat dihubungkan dengan gagasan filosofis yang dikembangkan oleh pengikut neo-Pla-tonisme. Melalui Ibn 'Arabi, antara lain, gagasan ini dibawa kepada pemikiran mistik Islam. Di sini dapat kita lihat bahwa ada dua pengaruh yang sama kuatnya pada sajak "Sebab Dikau" Amir Hamzah, yaitu tasawuf dan kebudayaan Jawa.
Wayang sebagai seni pertunjukan memang telah lama berkembang di Jawa, begitu juga dengan pemikiran filsafatnya. Citraan simbolik wayang juga digunakan oieh pengarang Jawa seperti tampak pada kitab Arjuna Wiwaha (Perkawinan Arjuna) yang ditulis pada zaman Airlangga, abad ke-11. Dalam bagian pertama kitab itu dikatakan, misamya, bahwa Raja Airlangga mencapai kesempuraaan hidup, walaupun masih terpisah oleh layar (kelir) Sang Pengarang Dunia. Kelir dalam sastra Jawa digunakan untuk menyebut kejadian di dunia ini, dan kelir inilah yang memisahkan manusia dari Sang Pencipta.
Akan tetapi, baru pada masa kedatangan Islam banyak karya sastra Jawa yang menggunakan citraan simbolik wayang, dan lebih sarat lagi kandungan filsafatnya. Kita dapat mengambil contoh Suluk Regol karya Sunan Bonang, seperti yang dibicarakan oleh G.W.J. Drewes dalam esainya "Javanese Poems Dealing with or Attributed to the Saint of Bonang" (Bijdragen tot de Taal, Land, en Volkenkunde, Deel 124, 1968). Suluk ini membicarakan masalah immanensi dan transendensi (tasybih dan tanzih) dari sudut pandang tasawuf sebagaimana yang diajarkan oleh Ibn 'Arabi, Karim al-Jili, Jalaluddin Rumi, dan Fariduddin 'Attar. Di situ kejadian dunia diumpamakan sebagai pertunjukan wayang, yang dapat dilihat dari berbagai sudut dan kegunaan, yang oleh karenanya menim-bulkan penafsiran yang berbeda-beda. Ada yang melihat permainan wayang itu berasal dari dalang, ada yang memandang bahwa dalam permainan wayang itu dalang juga ikut serta. Ada lagi yang melihatnya dari sudut persatuan wayang, dalang, dan penontonnya.
Para penyair sufi Persia dan Arab tidak sedikit yang menggunakan citraan simbolik wayang. Hal ini antara lain disebabkan oleh popularnya wayang Cina di Persia dan Baghdad pada abad ke-10, dan para penyair tidak menyia-nyiakan aspek filsafat dari pertunjukan wayang. Dalam karyanya Usturnameh, Fariduddin 'Attar membandingkan kejadian di dunia dengan wayang yang dipertunjukkan di hadapan layar oleh dalang. Kejadian di dunia merupakan cerminan tindakan ketuhanan, sebagaimana wayang bergerak mengikuti kehendak dalang.
'Attar dalam karyanya itu juga membandingkan bin tang -bintang yang bertaburan di langit dengan wayang-wayang yang diperlihatkan di layar. Langit ialah kelir atau layarnya. Dalang memperlihatkan kemahirannya melalui layar, dan di akhir permainannya dia menghancurkan wayang-wayang itu sebelum akhirnya memasukkannya ke dalam peti. Oleh 'Attar penghancuran wayang itu dikaitkan dengan ajaran/ana' (persatuan mistik). Wayang-wayang dihancurkan untuk dibebaskan dari belenggu wujud lahiriahnya, dan kemudian dibawa menuju persatuan dengan asal-usul ketuhanannya.
Penyair sufi Arab yang sering menggunakan citraan simbolik Wayang ialah Ibn Faridh, khususnya dalam karyanya Ta'iya. Dalam sebuah sajaknya dia menulis:
Lihat, dari balik layar, rahasia
Wujud benda-benda diperlihatkan
dengan aneka ragam pakaian dan penampilan
Dalam sajaknya yang lain dia menulis:
Segala yang kaulihat
Ialah tindakan Yang Satu
Dia sendiri, terlindung layar,
Biar layar diangkat, saksikan:
Segala yang zahir lenyap, cuma Dia yang ada.
Dan kau, penerima cahaya, tahu karena cahaya-Nya
Kaujumpai tindakan-Nya dalam pengiihatan batin yang terang.
Dalam sajak ini kita lihat hidup dipandang sebagai gambaran dari -permainan wayang. Dalangnya tersembunyi di baiik layar. Hal serupa dapat kita rasakan dalam sajak Amir Hamzah. Dalam Futuhat al-Mak-kiyah, Ibn 'Arabi mengatakan: "Sekarang orang-orang pandai dan ahli tradisi mengetahui: Segala wayang (boneka) keberadaan yang mungkin ini tidak lebih dari wadah-wadah dari manifestasi Pencipta Aktif yang berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya, dan seluruh keindahan wujud dari ciptaan-ciptaan duniawi tidak lain hanyalah terbukanya tabir (layar)".
Ibn Faridh dalam menulis sajak-sajak sufistiknya itu diilhami oleh Ibn 'Arabi. Akan tetapi, jika kita kembali kepada sajak Amir Hamzah, maka yang dikemukakan Syekh Junaid mengenai tauhid mungkin dapat me- nerangkan kedalaman isi sajak "Sebab Dikau". Junaid, sufi abad ke-10 dari Baghdad berkata: "Tauhid artinya seseorang menjadi boneka di tangan Tuhan, boneka yang menuruti perintah-perintah Tuhan sesuai dengan ketentuan-Nya." Bukankah Amir Hamzah menulis:
Aku boneka engkau boneka
Penghibur dalang mengatur tembang
Di layar kembang bertukar pandang
Hanya selagu sepanjang dendang
Demikianlah dalam melihat hubungan Amir Hamzah dengan wayang, kita juga dapat melihat dari sudut pandang lain yang selama ini belum pernah dicoba yaitu ta'wil atau hermeneutika kerohanian Islam.
