Abdul Hadi W. M.
Syariah dan tasawuf dipandang oleh ahli-ahli sejarah kebudayaan sebagai sendi utama terbentuknya kebudayaan Islam. Ini benar terutama semenjak abad ke-13 M, khususnya di bagian timur Dunia Islam, sebelum dan terlebih-lebih sesudah jatuhnya kekhalifatan Baghdad ke tangan bangsa Mongol pada 1258 M. Ketakhadiran falsafah rasional ala al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd, tidak menyebabkan peradaban Islam kehilangan dimensi rasional dan intelektual oleh karena falsafah sebenarnya telah merembes masuk ke dalam tasawuf. Khususnya melalui pemikiran Imam al-Ghazali, Suhrawardi al-Maqtul dan Ibn 'Arabi yang sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan tradisi intelektual Islam.
Tetapi sebagaimana falsafah, tasawuf juga mengandung benih-benih pemikiran yang dapat bertabrakan dengan syariah. Kemungkinan munculnya berbagai paham heterodoks dalam tubuh tasawuf yang tidak diinginkan oleh para pendukung syariah, sama besarnya dengan kemungkinan munculnya pemikiran liberal yang dianggap nyleneh dan menyimpang seperti terjadi pada perkembangan Mu'tazila. Jika ketegangan itu muncul, maka kekuatiran akan terjadinya disintegrasi dalam masyarakat Muslim sangat beralasan. Ini rupa-rupanya disadari oleh ulama-ulama di Nusantara sejak akhir abad ke-17 M, sebagaimana tercermin dalam tulisan-tulisan Nuruddinal-Raniri.
Nuruddinal-Raniri sebenarnya seorang ahli tasawuf dan malahan mengaku sebagai penganut paham wujudiyah Ibn 'Arabi. Tetapi karena pengalaman buruk yang disaksikan di India, di mana penafsiran yang berlebihan terhadap ajaran Ibn 'Arabi melahirkan paham sinkretik dan heterodoks pada abad ke-16 M, maka sejak kehadirannya di Aceh pada tahun 1637 M Nuruddinal-Raniri gencar sekali mengecam pengikut dan pemimpin wujudiyah. Kecaman itu tertuju pada ahli-ahli tasawuf yang cenderung berpikiran pantheistik dan memandang remeh syariah. Sebagai seorang sufi, Nuruddin sebenarnya tidak memandang tasawuf itu tidak penting. Namun dengan lebih menekankan pada syariah, pemikirannya lantas kehilangan banyak dimensi filosofis yang dimiliki tasawuf pada umumnya ketika itu.
Dengan munculnya Nuruddin al-Raniri, proses ke arah ortodoksi pun mulai. Penekanan pada syariah dan fiqih, yang merupakan rincian syariah, lantas menjadi gejala dominan pada tahapan keempat perkembangan Islam. Tradisi penafsiran ajaran agama yang bercorak hermeneutik lantas diganti dengan penafsiran rasional formal. Tasawuf lantas lebih dipahami sebagai media untuk meningkatkan intensitas ibadah dan penyempurnaan akhlaq. Konsep zuhud (semacam asketisme) diterjemahkan menjadi kesalehan sosial dan pengendalian diri dari kecenderungan materialisme dan hedonisme yang merusak kepribadian seorang Muslim, sebagaimana diajarkan oleh al-Ghazali. Penekanan terhadap syariah ini juga melahirkan pandangan hidup yang lebih berorientasi kepada aktivitas sosial dan keduniaan (Azyumardi Azra 1999).
Tetapi tokoh yang paling berkompeten dalam menjelaskan kecenderungan ini ialah Abdul Rauf al-Singkili. Ulama yang masih mempunyai pertalian darah dengan Hamzah Fansuri ini merupakan sufi pertama di Nusantara yang menyusun kitab kodifikasi hukum Islam yang komprehensif dalam bahasa Melayu. Karyanya yang terkenal ialah Mir'at al-Tullab fi Tashil Ma'rifat Ahkam al-Syar'iyyah atau Cermin bagi mereka yang menuntut ilmu fiqih pada memudahkan mengenal segala hukum Syara' Allah. Kitab ini menjadi semacam kitab induk bagi mereka yang ingin mempelajari syariah dalam bahasa Melayu. Mir'at al-Tullab menjadi rujukan utama penyusunan undang-undang Islam di Nusantara dan menjadi bacaan yang popular di kalangan ulama dan raja-raja Melayu hingga abad ke-19 M.
Syariat dan Aktivisme Islam
Karena berbagai alasan yang dapat dimengerti, yaitu demi tegaknya syiar Islam dan kokohnya perkembangan masyarakat Islam, penekanan terhadap syariah ini mendapat sambutan luas dari ulama dan raja-raja pesisir, serta sejumlah tariqat sufi dan pesantren-pesantren di berbagai pelosok Nusantara. Penguasa pesisir menyambut baik karena memerlukan kepastian hukum dalam memelihara keamanan dan ketertiban negara, serta dalam mengatur kegiatan perdagangan di dalam dan dengan luar negeri. Peranan ulama dan martabatnya lantas lebih naik lagi di mata masyarakat. Mereka juga semakin terlibat jauh dalam birokrasi pemerintahan dan ikut menentukan kebijakan politik. Tidaklah mengejutkan apabila pusat-pusat kekuasaan Islam yang telah tersebar luas di Nusantara pada abad ke-18 M berlomba-lomba melahirkan ulama-ulama terkemuka di bidang fiqih dan syariah. Contoh terbaik ialah Abdul Samad al-Falimbangi, Arsyad al-Banjari, Daudal-Fatani, Nawawi al-Bantani, Ahmad Rifa'i Tegal, Abdul Kholil Bangkalan, dan lain-lain. Mereka adalah ahli tasawuf, tetapi cenderung menekankan signifikansi syariah dan fiqih.
Tentu saja pengaruh awal dari kitab Abdul Rauf itu dirasakan di Aceh sendiri. Kesultanan Aceh dengan tegas menerapkan Syariat Islam. Dalam undang-undang kerajaan itu dikatakan misalnya bahwa "Diwajibkan bagi rakyat Aceh untuk belajar dan mengajar agama Islam dan syariat Nabi Muhammad s.a.w. atas mazhab ahlul Sunnah wal Jama'ah". Orientasi pada aktivitas keduniaan juga ditekankan. Misalnya seperti disebutkan dalam undang-undang Aceh: "Diwajibkan bagi rakyat Aceh belajar dan mengajar jual beli di dalam dan luar negeri; belajar dan mengajar mengukir; memelihara ternak yang halal dan bermanfaat; mengerjakan kenduri Maulid." (Ibrahim Alfian 2005).
Pesantren-pesantren yang biasanya berada di pedesaan dan pedalaman menyambut baik disebabkan munculnya banyak penyimpangan terhadap ajaran agama, disebabkan penafsiran yang keliru terhadap pokok-pokok ajaran tasawuf. Khususnya yang berkaitan dengan masalah ketuhanan. Munculnya banyak gerakan heterodoks dan pembangkangan terhadap agama di berbagai daerah sangat menghambat sosialisasi ajaran Islam dan mengganggu perkembangan pesantren. Ketika itu pesantren, atau dayah di Aceh dan surau di Minangkabau, telah tumbuh sebagai lembaga pendidikan supra-desa. Murid-murid dan para pengajarnya tidak hanya berasal dari tempat di mana pesantren itu berada, tetapi juga dari berbagai pelosok Nusantara. Mau tak mau bahasa Melayu dijadikan bahasa pengantar, selain bahasa Arab. Dengan memanfaatkan jaringan intelektual yang dibina oleh pesantren-pesantren ini, gagasan keagamaan ulama ortodoks tersebar luas di seluruh pelosok Nusantara.
Tariqat-tariqat sufi tertentu, khususnya Tariqat Sattariyah yang di kepulauan Melayu dinisbahkan kepada Abdul Rauf Singkel sebagai pendirinya, terjadi pula pembaruan. Disusul kemudian oleh tariqat-tariqat lain seperti Naqsabandiyah, Qadiriyah dan Tijaniyah. Dimulai di Aceh sendiri melebar ke Minangkabau dan ke tempat-tempat lain yang lebih jauh lagi seperti kepulauan Melayu, Semenanjung Malaya, pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusatenggara Barat dan Maluku. Ketegangan dengan kaum heterodoks dan kaum adatpun tidak bisa dihindari di berbagai tempat. Benturan paling sengit terjadi misalnya di Minangkabau dan Jawa Tengah. Di Jawa sebenarnya telah terjadi semenjak abad ke-17 M, tidak lama setelah gerakan ortodoksi mulai ditiupkan oleh Nuruddin al-Raniri.
Tetapi aktivisme Islam, dan kekuatannya sebagai faktor penjalin integrasi etnik-etnik Nusantara yang berbeda-beda itu, menampakkan wajahnya yang jelas setelah terjadinya konfrontasi dengan kolonialisme Belanda. Ini dimulai sejak pertengahan abad ke-17 M dengan pecahnya Perang Ternate (1635-1646 M), PerangMakassar (1660-1669 M), Perang Trunojoyo (1675-1679 M) di Jawa, Perang Banten (1680 – 1682 M), dan terutama dalam perang anti-kolonial sejak akhir abad ke-18 M ketika VOC bangkrut dan menyerahkan seluruh wilayah yang dikuasainya kepada pemerintah Hindia Belanda. Yang paling sengit dan menimbulkan kerugian besar bagi pihak Belanda di antaranya berturut-turut ialah Perang Cirebon (1802-1806 M), Perang Palembang (1812-1816 M), Perang Paderi (1821-1838 M) di Sumatera Barat, Perang Diponegoro (1825-1830 M) di Jawa, Perang Banjarmasin (1859-1862 M) dan Perang Aceh (1872-1908 M). Semua aksi bersenjata melawan kolonialisme ini digerakkan oleh raja-raja atau pangeran pesisir, ulama dan pemimpin tariqat beserta santri-santri mereka (Ricklefs 1992).
Perang Ternate dimulai dari Hitu dan Ternate sebagai protes terhadap monopoli perdagangan rempah-rempah oleh VOC. Pemimpin perang itu ialah Kapitan Hitu bernama Himese Muslim Kaluali, murid Sunan Giri. Perang dimenangkan VOC, pemimpinnya ditangkap dan dihukum mati. Tetapi agama Islam justru semakin tersebar di kepulauan Maluku setelah peristiwa itu. Perang Trunojoyo pada mulanya adalah pemberontakan terhadap penguasa Mataram yang menindas kaum ulama, Amangkurat I. Campur tangan VOC membuat perang semakin berkobar dan meluas di sepanjang pesisir Jawa Timur dan Jawa Tengah. Trunojoyo, pangeran dari Madura yang memimpin pemberontakan itu adalah murid Pangeran Giri dari siapa ia mendapat dukungan. Dukungan juga diperoleh dari Kraeng Galesong dan pelaut-pelaut Bugis, serta para ulama di Jawa dan murid-murid mereka. Dimensi perang anti-kolonial ini lantas tidak hanya bersifat lokal, karena melibatkan tiga etnis besar--Madura, Jawa dan Bugis.
Perang Banten melawan VOC pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa juga demkikian. Perang ini didukung penuh oleh Syekh Yusuf Makassar, murid Syekh Abdul Rauf Singkel dari Aceh. Sebelum belajar di Aceh, Syekh Yusuf belajar agama di Banten dan sepulangnya dari Mekkah dia mengajar di Banten. KemenanganVOC dalam perang itu menyebabkan Syekh Yusuf Makassar dibuang ke Afrika Selatan bersama para pengikutnya. Di sana ia mengembangkan dan menyebarkan agama Islam. Masih di wilayah Banten, serangkaian pemberontakan petani sepanjang abad ke-18 dan 19 M sebagaimana di daerah lain di pulau Jawa dan Madura, selalu berada di bawah panji-panji Islam. Misalnya pemberontakan petani di Cilegon pada 1888 M. Kerangka organisasi gerakan ini disusun oleh anggota-anggota Tariqat Qadiriyah.
Perang Diponegoro atau yang dikenal juga sebagai Perang Jawa, juga melibatkan kaum santri. Sebagian besar pasukan tentara Diponegoro adalah ulama, ustadz, dan santri-santri dari berbagai pesantren. Pemimpin spiritual dari perang ini ialah Kiyai Maja, mursyid Tariqat Naqsabandiyah di mana Pangeran Diponegoro menjadi anggotanya. Ini yang menyebabkan mereka dihormati oleh rakyat dan mendapat dukungan luas dari segenap ulama di pulau Jawa. Diponegoro sendiri mengambil nama salah seorang Sultan Turki Usmani, yaitu Abdul Hamid, sebagai gelar bagi dirinya. Diponegoro ditangkap dengan tipu muslihat dan dibuang mula-mula ke Menado, kemudian Makassar. Perang ini menyebabkan agama Islam lebih pesat lagi berkembang di pedalaman Jawa.
Perang Paderi di Sumatra Barat berakar dalam konflik kaum adat dan pembaru Tariqat Sattariyah. Pada akhir abad ke-18 M Tuanku Nan Tua dari Agam melakukan pembaruan dalam tubuh Tariqat Sattariyah. Gerakan yang dilancarkannya itu menimbulkan benturan panjang dengan kaum adat. Beberapa murid Tuanku Nan Tua seperti Tuanku nan Renceh dan Tuanku Imam Bonjol menerima ide pemurnian agama dari Wahabisme. Lahirlah gerakan Paderi. Ketegangan kian meningkat dan pada tahun 1821 pecahlah perang antara kaum Paderi dan kaum Adat. Dalam perkermbangannya, perang ini akhirnya mengundang campur tangan Belanda, karena kepentingannya atas tanah perkebunan yang dikelolanya di Sumatera Barat. Meskipun gerakan Paderi dapat ditundukkan oleh Belanda, namun pengaruhnya tidak berakhir dengan berhentinya peperangan. Ide-ide gerakan ini malahan tersebar luas merasuki seluruh jalinan sosial masyarakat Minangkabau. Dampak jangka panjangnya terasa di kepulauan Melayu. Gerakan Paderi membuka jalan bagi lahirnya gerakan pembaruan pada akhir abad ke-19 M (Azyumardi Azra 1999)
Perang Aceh adalah perang paling lama. Perang ini diorganisir oleh para ulama, setelah datangnya seruan atau fatwa jihad dari Syekh Abdul Samad al-Falimbangi yang mempunyai banyak pengikut di Aceh, termasuk ulama-ulama terkemuka. Dengan demikian perang ini memiliki dimensi supra-lokal di samping dimensi keagamaan. Fakta-fakta sejarah seperti inilah yang membuat banyak sarjana seperti Rolf, Benda dan Jansen berpendapat bahwa hadirnya penjajahan Belanda bersama misi Kristennya selama tiga abad di Nusantara membuat kebangkitan Islam semakin liat dan kental. Malahan dapat dikatakan bahwa justru pada masa kolonial inilah Islam lebih berkembang pesat lagi. Daya tarik Islam karena tidak kekuatan lain yang mampu menjadi penentang kolonialisme Belanda yang sangat disukai oleh rakyat Indonesia. Agama Kristen datang dibawa oleh misionaris dengan dukungan kolonial. Masuk Kristen sama dengan membela penjajah. Identifikasi Islam dengan gerakan anti-kolonial menjadi wahana efektif bagi kian intensifnya perkembangan agama ini, sekaligus menjadi memberikan dasar-dasar integrasi yang kuat bagi bangsa Indonesia di kemudian hari.
Oleh karena itu menarik juga pernyataan Jansen (1993). "Dapatkah gerakan Asia-Afrika muncul tanpa Islam? Gerakan-gerakan nasional yang mengakhiri riwayat imperialisme sejak tahun 1945 di Asia dan Afrika mungkin tampak sekular, tetapi nasionalisme sekular datang terlambat karena 150 tahun sebelumnya dasar-dasar suprastruktur nasional telah diletakkan oleh kekuatan-kekuatan Islam dan pemimpin-pemimpin Muslim. "Demikianlah Islam sesungguhnya telah melahirkan sebuah proto-nasionalisme yang unik yang memberi corak khusus kepada nasionalisme yang berkembang di luar negara Barat. Nasionalisme di Eropa sejak digagaskan oleh Rosseau pada awal abad ke-19 merupakan perluasan dari chauvinisme yang telah tumbuh di Eropa, dan kemudian tampil di pentas sejarah sebagai penopang kapitalisme dan imperialisme. Kolonialisme adalah bentuk penguasaan dan penindasan atas bangsa lain oleh suatu bangsa yang merasa menjunjung tinggi kebangsaan dan hak suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri.
Nasionalisme Indonesia seperti yang digagaskan oleh tokoh awal gerakan kebangsaan seperti Sukarno dan Hatta berbeda dan bahkan bertentangan dengan nasionalisme sekular yang diagungkan Barat. Ciri nasionalisme yang tumbuh dari penjajahan ini ialah: Pertama, di bidang politik melenyapkan dominasi politik bangsa asing dan menggantikan dengan sistem pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat; Kedua, di bidang sosio-ekonomi mengakhiri eksploitasi ekonomi oleh bangsa asing dan membangun masyarakat yang adil dan makmur; Ketiga, di bidang budaya membangkitkan identitas bangsa dan menyesuaikannya dengan tuntutan zaman (lihat Muhammad Hatta 1979, Ruslan Abdulgani 1995). Nasionalisme seperti ini mendapat coraknya dari perjuangan Islam melawan kolonialisme Belanda selama hampir dua abad.
Kenapa Islam begitu gigih menentang kolonialisme? Jika kita rumuskan pendapat beberapa sejarawan maka jawabnya ialah: Pertama, watak ajaran Islam itu sendiri yang tidak membedakan kegiatan agama dan politik. Ini jelas memberi dasar keyakinan yang kuat dan efektif dalam menentang kolonialisme yang tidak berperikemanusiaan; Kedua,sebelum munculnya gerakan anti-kolonial yang diorganisir oleh orang Islam tidak ada bentuk nasionalisme yang mampu menjadi penggerak besar gerakan-gerakan kebangsaan. Islam berpotensi karena memiliki struktur-struktur tradisional yang diperlukan seperti pesantren, madrasah, masjid, haji, majlis taklim dan pengajian-pengajian, gerakan pemuda (futuwwa), organisasi dagang, tariqat sufi – yang semuanya itu melengkapi struktur perjuangannya secara terorganisir; Ketiga, Islam melalui ulama dan pemimpin tariqatnya menyediakan kader-kader pemimpin yang terdidik dan memahami benar-benar ajaran agama (Jansen 1983).
Struktur-struktur yang diperlukan untuk melawan kolonialisme itu tidak dipunyai oleh penguasa di kraton, elite terpelajar abangan dan tuan tanah sekular yang biasanya berada di pihak penguasa asing. Tetapi para ulama dekat dengan rakyat. Ferdinand de Lessep, pembangun Terusan Suez, seperti dikutip Jansen mungkin benar ketika berkata "Bukan fanatisme yang mendorong semangat kaum Muslimin menentang penjajahan, tetapi agama dan jiwa kebudayaan Islam itu sendiri yang menggerakkan mereka untuk berjuang dan yang mampu mempersatukan perjuangan mereka. Jiwa kebudayaan Islam yang mampu menggerakkan itu ialah penolakan atas ketidakadilan dan penindasan atas nama apa pun, jadi bukan disebabkan fanatisme atau fundamentalismenya.
Kilas Balik dan Tantangan Kini
Sambil menyimpulkan pokok-pokok pikiran yang telah dikemukakan, kini mari kita lihat Islam pada abad ke-20 M. Islam mula-mula berkembang di Pasai, meluas ke Aceh dan Semenanjung Malaya, lantas ke seluruh kepulauan Melayu, Jawa, Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan NusaTenggara. Sebagai dampak dari kedatangannya, dan konfrontasinya dengan bangsa Eropa yang datang pada abad ke-17 M sebagai penjajah, terjadilah proses perubahan sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan besar-besaran. Melalui jaringan perdagangan, politik, intelektual, organisasi tariqat, pendidikan, sastra atau literasi, komunikasi antarpenduk kepulauan Nusantara yang multi-etnik lantas menjadi sangat terbuka. Begitu pula interaksi antar etnik yang berbeda-beda itu menjadi kian dinamis. Dengan demikian mobilitas sosial terjadi secara horisontal dan vertikal, suatu hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Para pedagang, muballigh, guru-guru agama, ulama, sufi pengembara (faqir), wali, raja-raja pribumi, pemimpin tariqat, seniman, sastrawan, cendekiawan, tabib, dan lain-lain memainkan peranan dalam transformasi sosial dan budaya masyarakat Nusantara. Pranata-pranata sosial keagamaan dan budaya yang diciptakan oleh komunitas Islam di Nusantara seperti masjid, pesantren atau dayah, organisasi keagamaan, persaudaraan sufi atau tariqat, majlis ta'lim dan pengajian, haji, tradisi penulisan kitab keagamaan dalam bahasa Melayu, dan lain sebagainya ternyata sangat efektif sebagai faktor pendorong bagi terjadinya integrasi bangsa Indonesia. Hanya dalam masa tiga atau empat abad penyebarannya itu, Islam mampu menjadi agama rakyat yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia. Suatu hal yang mencengangkan, seperti dikatakan Schrieke (1955), "Sejak abad ke-16 M praktis kepulauan Nusantara telah diintegrasikan oleh Islam, agama yang relatif baru dan jauh dari wilayah yang selama ini disebut sebagai pusat dunia Islam." (bersambung)
Sumber: Facebook Notes
Syariah dan tasawuf dipandang oleh ahli-ahli sejarah kebudayaan sebagai sendi utama terbentuknya kebudayaan Islam. Ini benar terutama semenjak abad ke-13 M, khususnya di bagian timur Dunia Islam, sebelum dan terlebih-lebih sesudah jatuhnya kekhalifatan Baghdad ke tangan bangsa Mongol pada 1258 M. Ketakhadiran falsafah rasional ala al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd, tidak menyebabkan peradaban Islam kehilangan dimensi rasional dan intelektual oleh karena falsafah sebenarnya telah merembes masuk ke dalam tasawuf. Khususnya melalui pemikiran Imam al-Ghazali, Suhrawardi al-Maqtul dan Ibn 'Arabi yang sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan tradisi intelektual Islam.
Tetapi sebagaimana falsafah, tasawuf juga mengandung benih-benih pemikiran yang dapat bertabrakan dengan syariah. Kemungkinan munculnya berbagai paham heterodoks dalam tubuh tasawuf yang tidak diinginkan oleh para pendukung syariah, sama besarnya dengan kemungkinan munculnya pemikiran liberal yang dianggap nyleneh dan menyimpang seperti terjadi pada perkembangan Mu'tazila. Jika ketegangan itu muncul, maka kekuatiran akan terjadinya disintegrasi dalam masyarakat Muslim sangat beralasan. Ini rupa-rupanya disadari oleh ulama-ulama di Nusantara sejak akhir abad ke-17 M, sebagaimana tercermin dalam tulisan-tulisan Nuruddinal-Raniri.
Nuruddinal-Raniri sebenarnya seorang ahli tasawuf dan malahan mengaku sebagai penganut paham wujudiyah Ibn 'Arabi. Tetapi karena pengalaman buruk yang disaksikan di India, di mana penafsiran yang berlebihan terhadap ajaran Ibn 'Arabi melahirkan paham sinkretik dan heterodoks pada abad ke-16 M, maka sejak kehadirannya di Aceh pada tahun 1637 M Nuruddinal-Raniri gencar sekali mengecam pengikut dan pemimpin wujudiyah. Kecaman itu tertuju pada ahli-ahli tasawuf yang cenderung berpikiran pantheistik dan memandang remeh syariah. Sebagai seorang sufi, Nuruddin sebenarnya tidak memandang tasawuf itu tidak penting. Namun dengan lebih menekankan pada syariah, pemikirannya lantas kehilangan banyak dimensi filosofis yang dimiliki tasawuf pada umumnya ketika itu.
Dengan munculnya Nuruddin al-Raniri, proses ke arah ortodoksi pun mulai. Penekanan pada syariah dan fiqih, yang merupakan rincian syariah, lantas menjadi gejala dominan pada tahapan keempat perkembangan Islam. Tradisi penafsiran ajaran agama yang bercorak hermeneutik lantas diganti dengan penafsiran rasional formal. Tasawuf lantas lebih dipahami sebagai media untuk meningkatkan intensitas ibadah dan penyempurnaan akhlaq. Konsep zuhud (semacam asketisme) diterjemahkan menjadi kesalehan sosial dan pengendalian diri dari kecenderungan materialisme dan hedonisme yang merusak kepribadian seorang Muslim, sebagaimana diajarkan oleh al-Ghazali. Penekanan terhadap syariah ini juga melahirkan pandangan hidup yang lebih berorientasi kepada aktivitas sosial dan keduniaan (Azyumardi Azra 1999).
Tetapi tokoh yang paling berkompeten dalam menjelaskan kecenderungan ini ialah Abdul Rauf al-Singkili. Ulama yang masih mempunyai pertalian darah dengan Hamzah Fansuri ini merupakan sufi pertama di Nusantara yang menyusun kitab kodifikasi hukum Islam yang komprehensif dalam bahasa Melayu. Karyanya yang terkenal ialah Mir'at al-Tullab fi Tashil Ma'rifat Ahkam al-Syar'iyyah atau Cermin bagi mereka yang menuntut ilmu fiqih pada memudahkan mengenal segala hukum Syara' Allah. Kitab ini menjadi semacam kitab induk bagi mereka yang ingin mempelajari syariah dalam bahasa Melayu. Mir'at al-Tullab menjadi rujukan utama penyusunan undang-undang Islam di Nusantara dan menjadi bacaan yang popular di kalangan ulama dan raja-raja Melayu hingga abad ke-19 M.
Syariat dan Aktivisme Islam
Karena berbagai alasan yang dapat dimengerti, yaitu demi tegaknya syiar Islam dan kokohnya perkembangan masyarakat Islam, penekanan terhadap syariah ini mendapat sambutan luas dari ulama dan raja-raja pesisir, serta sejumlah tariqat sufi dan pesantren-pesantren di berbagai pelosok Nusantara. Penguasa pesisir menyambut baik karena memerlukan kepastian hukum dalam memelihara keamanan dan ketertiban negara, serta dalam mengatur kegiatan perdagangan di dalam dan dengan luar negeri. Peranan ulama dan martabatnya lantas lebih naik lagi di mata masyarakat. Mereka juga semakin terlibat jauh dalam birokrasi pemerintahan dan ikut menentukan kebijakan politik. Tidaklah mengejutkan apabila pusat-pusat kekuasaan Islam yang telah tersebar luas di Nusantara pada abad ke-18 M berlomba-lomba melahirkan ulama-ulama terkemuka di bidang fiqih dan syariah. Contoh terbaik ialah Abdul Samad al-Falimbangi, Arsyad al-Banjari, Daudal-Fatani, Nawawi al-Bantani, Ahmad Rifa'i Tegal, Abdul Kholil Bangkalan, dan lain-lain. Mereka adalah ahli tasawuf, tetapi cenderung menekankan signifikansi syariah dan fiqih.
Tentu saja pengaruh awal dari kitab Abdul Rauf itu dirasakan di Aceh sendiri. Kesultanan Aceh dengan tegas menerapkan Syariat Islam. Dalam undang-undang kerajaan itu dikatakan misalnya bahwa "Diwajibkan bagi rakyat Aceh untuk belajar dan mengajar agama Islam dan syariat Nabi Muhammad s.a.w. atas mazhab ahlul Sunnah wal Jama'ah". Orientasi pada aktivitas keduniaan juga ditekankan. Misalnya seperti disebutkan dalam undang-undang Aceh: "Diwajibkan bagi rakyat Aceh belajar dan mengajar jual beli di dalam dan luar negeri; belajar dan mengajar mengukir; memelihara ternak yang halal dan bermanfaat; mengerjakan kenduri Maulid." (Ibrahim Alfian 2005).
Pesantren-pesantren yang biasanya berada di pedesaan dan pedalaman menyambut baik disebabkan munculnya banyak penyimpangan terhadap ajaran agama, disebabkan penafsiran yang keliru terhadap pokok-pokok ajaran tasawuf. Khususnya yang berkaitan dengan masalah ketuhanan. Munculnya banyak gerakan heterodoks dan pembangkangan terhadap agama di berbagai daerah sangat menghambat sosialisasi ajaran Islam dan mengganggu perkembangan pesantren. Ketika itu pesantren, atau dayah di Aceh dan surau di Minangkabau, telah tumbuh sebagai lembaga pendidikan supra-desa. Murid-murid dan para pengajarnya tidak hanya berasal dari tempat di mana pesantren itu berada, tetapi juga dari berbagai pelosok Nusantara. Mau tak mau bahasa Melayu dijadikan bahasa pengantar, selain bahasa Arab. Dengan memanfaatkan jaringan intelektual yang dibina oleh pesantren-pesantren ini, gagasan keagamaan ulama ortodoks tersebar luas di seluruh pelosok Nusantara.
Tariqat-tariqat sufi tertentu, khususnya Tariqat Sattariyah yang di kepulauan Melayu dinisbahkan kepada Abdul Rauf Singkel sebagai pendirinya, terjadi pula pembaruan. Disusul kemudian oleh tariqat-tariqat lain seperti Naqsabandiyah, Qadiriyah dan Tijaniyah. Dimulai di Aceh sendiri melebar ke Minangkabau dan ke tempat-tempat lain yang lebih jauh lagi seperti kepulauan Melayu, Semenanjung Malaya, pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusatenggara Barat dan Maluku. Ketegangan dengan kaum heterodoks dan kaum adatpun tidak bisa dihindari di berbagai tempat. Benturan paling sengit terjadi misalnya di Minangkabau dan Jawa Tengah. Di Jawa sebenarnya telah terjadi semenjak abad ke-17 M, tidak lama setelah gerakan ortodoksi mulai ditiupkan oleh Nuruddin al-Raniri.
Tetapi aktivisme Islam, dan kekuatannya sebagai faktor penjalin integrasi etnik-etnik Nusantara yang berbeda-beda itu, menampakkan wajahnya yang jelas setelah terjadinya konfrontasi dengan kolonialisme Belanda. Ini dimulai sejak pertengahan abad ke-17 M dengan pecahnya Perang Ternate (1635-1646 M), PerangMakassar (1660-1669 M), Perang Trunojoyo (1675-1679 M) di Jawa, Perang Banten (1680 – 1682 M), dan terutama dalam perang anti-kolonial sejak akhir abad ke-18 M ketika VOC bangkrut dan menyerahkan seluruh wilayah yang dikuasainya kepada pemerintah Hindia Belanda. Yang paling sengit dan menimbulkan kerugian besar bagi pihak Belanda di antaranya berturut-turut ialah Perang Cirebon (1802-1806 M), Perang Palembang (1812-1816 M), Perang Paderi (1821-1838 M) di Sumatera Barat, Perang Diponegoro (1825-1830 M) di Jawa, Perang Banjarmasin (1859-1862 M) dan Perang Aceh (1872-1908 M). Semua aksi bersenjata melawan kolonialisme ini digerakkan oleh raja-raja atau pangeran pesisir, ulama dan pemimpin tariqat beserta santri-santri mereka (Ricklefs 1992).
Perang Ternate dimulai dari Hitu dan Ternate sebagai protes terhadap monopoli perdagangan rempah-rempah oleh VOC. Pemimpin perang itu ialah Kapitan Hitu bernama Himese Muslim Kaluali, murid Sunan Giri. Perang dimenangkan VOC, pemimpinnya ditangkap dan dihukum mati. Tetapi agama Islam justru semakin tersebar di kepulauan Maluku setelah peristiwa itu. Perang Trunojoyo pada mulanya adalah pemberontakan terhadap penguasa Mataram yang menindas kaum ulama, Amangkurat I. Campur tangan VOC membuat perang semakin berkobar dan meluas di sepanjang pesisir Jawa Timur dan Jawa Tengah. Trunojoyo, pangeran dari Madura yang memimpin pemberontakan itu adalah murid Pangeran Giri dari siapa ia mendapat dukungan. Dukungan juga diperoleh dari Kraeng Galesong dan pelaut-pelaut Bugis, serta para ulama di Jawa dan murid-murid mereka. Dimensi perang anti-kolonial ini lantas tidak hanya bersifat lokal, karena melibatkan tiga etnis besar--Madura, Jawa dan Bugis.
Perang Banten melawan VOC pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa juga demkikian. Perang ini didukung penuh oleh Syekh Yusuf Makassar, murid Syekh Abdul Rauf Singkel dari Aceh. Sebelum belajar di Aceh, Syekh Yusuf belajar agama di Banten dan sepulangnya dari Mekkah dia mengajar di Banten. KemenanganVOC dalam perang itu menyebabkan Syekh Yusuf Makassar dibuang ke Afrika Selatan bersama para pengikutnya. Di sana ia mengembangkan dan menyebarkan agama Islam. Masih di wilayah Banten, serangkaian pemberontakan petani sepanjang abad ke-18 dan 19 M sebagaimana di daerah lain di pulau Jawa dan Madura, selalu berada di bawah panji-panji Islam. Misalnya pemberontakan petani di Cilegon pada 1888 M. Kerangka organisasi gerakan ini disusun oleh anggota-anggota Tariqat Qadiriyah.
Perang Diponegoro atau yang dikenal juga sebagai Perang Jawa, juga melibatkan kaum santri. Sebagian besar pasukan tentara Diponegoro adalah ulama, ustadz, dan santri-santri dari berbagai pesantren. Pemimpin spiritual dari perang ini ialah Kiyai Maja, mursyid Tariqat Naqsabandiyah di mana Pangeran Diponegoro menjadi anggotanya. Ini yang menyebabkan mereka dihormati oleh rakyat dan mendapat dukungan luas dari segenap ulama di pulau Jawa. Diponegoro sendiri mengambil nama salah seorang Sultan Turki Usmani, yaitu Abdul Hamid, sebagai gelar bagi dirinya. Diponegoro ditangkap dengan tipu muslihat dan dibuang mula-mula ke Menado, kemudian Makassar. Perang ini menyebabkan agama Islam lebih pesat lagi berkembang di pedalaman Jawa.
Perang Paderi di Sumatra Barat berakar dalam konflik kaum adat dan pembaru Tariqat Sattariyah. Pada akhir abad ke-18 M Tuanku Nan Tua dari Agam melakukan pembaruan dalam tubuh Tariqat Sattariyah. Gerakan yang dilancarkannya itu menimbulkan benturan panjang dengan kaum adat. Beberapa murid Tuanku Nan Tua seperti Tuanku nan Renceh dan Tuanku Imam Bonjol menerima ide pemurnian agama dari Wahabisme. Lahirlah gerakan Paderi. Ketegangan kian meningkat dan pada tahun 1821 pecahlah perang antara kaum Paderi dan kaum Adat. Dalam perkermbangannya, perang ini akhirnya mengundang campur tangan Belanda, karena kepentingannya atas tanah perkebunan yang dikelolanya di Sumatera Barat. Meskipun gerakan Paderi dapat ditundukkan oleh Belanda, namun pengaruhnya tidak berakhir dengan berhentinya peperangan. Ide-ide gerakan ini malahan tersebar luas merasuki seluruh jalinan sosial masyarakat Minangkabau. Dampak jangka panjangnya terasa di kepulauan Melayu. Gerakan Paderi membuka jalan bagi lahirnya gerakan pembaruan pada akhir abad ke-19 M (Azyumardi Azra 1999)
Perang Aceh adalah perang paling lama. Perang ini diorganisir oleh para ulama, setelah datangnya seruan atau fatwa jihad dari Syekh Abdul Samad al-Falimbangi yang mempunyai banyak pengikut di Aceh, termasuk ulama-ulama terkemuka. Dengan demikian perang ini memiliki dimensi supra-lokal di samping dimensi keagamaan. Fakta-fakta sejarah seperti inilah yang membuat banyak sarjana seperti Rolf, Benda dan Jansen berpendapat bahwa hadirnya penjajahan Belanda bersama misi Kristennya selama tiga abad di Nusantara membuat kebangkitan Islam semakin liat dan kental. Malahan dapat dikatakan bahwa justru pada masa kolonial inilah Islam lebih berkembang pesat lagi. Daya tarik Islam karena tidak kekuatan lain yang mampu menjadi penentang kolonialisme Belanda yang sangat disukai oleh rakyat Indonesia. Agama Kristen datang dibawa oleh misionaris dengan dukungan kolonial. Masuk Kristen sama dengan membela penjajah. Identifikasi Islam dengan gerakan anti-kolonial menjadi wahana efektif bagi kian intensifnya perkembangan agama ini, sekaligus menjadi memberikan dasar-dasar integrasi yang kuat bagi bangsa Indonesia di kemudian hari.
Oleh karena itu menarik juga pernyataan Jansen (1993). "Dapatkah gerakan Asia-Afrika muncul tanpa Islam? Gerakan-gerakan nasional yang mengakhiri riwayat imperialisme sejak tahun 1945 di Asia dan Afrika mungkin tampak sekular, tetapi nasionalisme sekular datang terlambat karena 150 tahun sebelumnya dasar-dasar suprastruktur nasional telah diletakkan oleh kekuatan-kekuatan Islam dan pemimpin-pemimpin Muslim. "Demikianlah Islam sesungguhnya telah melahirkan sebuah proto-nasionalisme yang unik yang memberi corak khusus kepada nasionalisme yang berkembang di luar negara Barat. Nasionalisme di Eropa sejak digagaskan oleh Rosseau pada awal abad ke-19 merupakan perluasan dari chauvinisme yang telah tumbuh di Eropa, dan kemudian tampil di pentas sejarah sebagai penopang kapitalisme dan imperialisme. Kolonialisme adalah bentuk penguasaan dan penindasan atas bangsa lain oleh suatu bangsa yang merasa menjunjung tinggi kebangsaan dan hak suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri.
Nasionalisme Indonesia seperti yang digagaskan oleh tokoh awal gerakan kebangsaan seperti Sukarno dan Hatta berbeda dan bahkan bertentangan dengan nasionalisme sekular yang diagungkan Barat. Ciri nasionalisme yang tumbuh dari penjajahan ini ialah: Pertama, di bidang politik melenyapkan dominasi politik bangsa asing dan menggantikan dengan sistem pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat; Kedua, di bidang sosio-ekonomi mengakhiri eksploitasi ekonomi oleh bangsa asing dan membangun masyarakat yang adil dan makmur; Ketiga, di bidang budaya membangkitkan identitas bangsa dan menyesuaikannya dengan tuntutan zaman (lihat Muhammad Hatta 1979, Ruslan Abdulgani 1995). Nasionalisme seperti ini mendapat coraknya dari perjuangan Islam melawan kolonialisme Belanda selama hampir dua abad.
Kenapa Islam begitu gigih menentang kolonialisme? Jika kita rumuskan pendapat beberapa sejarawan maka jawabnya ialah: Pertama, watak ajaran Islam itu sendiri yang tidak membedakan kegiatan agama dan politik. Ini jelas memberi dasar keyakinan yang kuat dan efektif dalam menentang kolonialisme yang tidak berperikemanusiaan; Kedua,sebelum munculnya gerakan anti-kolonial yang diorganisir oleh orang Islam tidak ada bentuk nasionalisme yang mampu menjadi penggerak besar gerakan-gerakan kebangsaan. Islam berpotensi karena memiliki struktur-struktur tradisional yang diperlukan seperti pesantren, madrasah, masjid, haji, majlis taklim dan pengajian-pengajian, gerakan pemuda (futuwwa), organisasi dagang, tariqat sufi – yang semuanya itu melengkapi struktur perjuangannya secara terorganisir; Ketiga, Islam melalui ulama dan pemimpin tariqatnya menyediakan kader-kader pemimpin yang terdidik dan memahami benar-benar ajaran agama (Jansen 1983).
Struktur-struktur yang diperlukan untuk melawan kolonialisme itu tidak dipunyai oleh penguasa di kraton, elite terpelajar abangan dan tuan tanah sekular yang biasanya berada di pihak penguasa asing. Tetapi para ulama dekat dengan rakyat. Ferdinand de Lessep, pembangun Terusan Suez, seperti dikutip Jansen mungkin benar ketika berkata "Bukan fanatisme yang mendorong semangat kaum Muslimin menentang penjajahan, tetapi agama dan jiwa kebudayaan Islam itu sendiri yang menggerakkan mereka untuk berjuang dan yang mampu mempersatukan perjuangan mereka. Jiwa kebudayaan Islam yang mampu menggerakkan itu ialah penolakan atas ketidakadilan dan penindasan atas nama apa pun, jadi bukan disebabkan fanatisme atau fundamentalismenya.
Kilas Balik dan Tantangan Kini
Sambil menyimpulkan pokok-pokok pikiran yang telah dikemukakan, kini mari kita lihat Islam pada abad ke-20 M. Islam mula-mula berkembang di Pasai, meluas ke Aceh dan Semenanjung Malaya, lantas ke seluruh kepulauan Melayu, Jawa, Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan NusaTenggara. Sebagai dampak dari kedatangannya, dan konfrontasinya dengan bangsa Eropa yang datang pada abad ke-17 M sebagai penjajah, terjadilah proses perubahan sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan besar-besaran. Melalui jaringan perdagangan, politik, intelektual, organisasi tariqat, pendidikan, sastra atau literasi, komunikasi antarpenduk kepulauan Nusantara yang multi-etnik lantas menjadi sangat terbuka. Begitu pula interaksi antar etnik yang berbeda-beda itu menjadi kian dinamis. Dengan demikian mobilitas sosial terjadi secara horisontal dan vertikal, suatu hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Para pedagang, muballigh, guru-guru agama, ulama, sufi pengembara (faqir), wali, raja-raja pribumi, pemimpin tariqat, seniman, sastrawan, cendekiawan, tabib, dan lain-lain memainkan peranan dalam transformasi sosial dan budaya masyarakat Nusantara. Pranata-pranata sosial keagamaan dan budaya yang diciptakan oleh komunitas Islam di Nusantara seperti masjid, pesantren atau dayah, organisasi keagamaan, persaudaraan sufi atau tariqat, majlis ta'lim dan pengajian, haji, tradisi penulisan kitab keagamaan dalam bahasa Melayu, dan lain sebagainya ternyata sangat efektif sebagai faktor pendorong bagi terjadinya integrasi bangsa Indonesia. Hanya dalam masa tiga atau empat abad penyebarannya itu, Islam mampu menjadi agama rakyat yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia. Suatu hal yang mencengangkan, seperti dikatakan Schrieke (1955), "Sejak abad ke-16 M praktis kepulauan Nusantara telah diintegrasikan oleh Islam, agama yang relatif baru dan jauh dari wilayah yang selama ini disebut sebagai pusat dunia Islam." (bersambung)
Sumber: Facebook Notes