Liputan TEMPO
DALAM sebuah diskusi terbatas di bekas kediaman Bung Karno, Jalan Pegangsaan Timur 56--kini jadi Gedung Pola, di sebelah Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat--Wahid Hasyim ditanyai seorang peserta. "Apa basis agama itu?" Dengan tenang dan kalimat terukur, Menteri Agama tiga periode ini menjawab, "Logika."
Diskusi bulanan pada malam purnama itu, 4 Desember 1952, dihadiri hanya beberapa orang. Moderatornya Mr Wongsonegoro, bekas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Itu karena tema yang dibahas bikin dahi bekernyit: agama dan mistik. Wongsonegoro dikenal sebagai penganut kejawen. Notulennya Abdul Halim, yang catatannya dijadikan lampiran oleh Aboebakar ketika menyusun Sedjarah Hidup K.H.A. Wahid Hasyim (1957).
Wahid diminta menjelaskan kedudukan agama dan hubungannya dengan soal-soal gaib serta kebatinan. Ia menjelaskan agak panjang-lebar tentang dasar-dasar agama. Dengan jelas Wahid memaparkan dasar Islam adalah logika dan hukum alam. "Agama itu logika, dan orang yang tak sempurna akalnya berarti tak punya agama," ia mengutip hadis Nabi Muhammad.
Maka hal-hal aneh yang tak masuk di akal berarti di luar agama. Ia mencontohkan, jika ada orang bisa membuka gembok pintu tanpa menyentuhnya, patut diduga itu memakai mistik. Namun ia mengingatkan kita sebaiknya tak gampang menyebut sesuatu mistik tanpa memikirkannya. Hal-hal yang aneh pada zaman sekarang bisa mendapat jawaban pada era berikutnya. "Dulu benda terbang dianggap aneh, tapi sekarang ada pesawat," katanya.
Dengan kata lain, Wahid ingin mengatakan akal manusia berkembang. Ilmu pengetahuan pun kian canggih. Agama, sementara itu, menyediakan sesuatu yang belum terpikirkan manusia pada masanya. "Maka berpikir adalah perintah pertama dalam Islam," kata Wahid saat berpidato mengumumkan agenda kerja Kementerian Agama 1951-1952.
Baik selama menjadi menteri maupun sebelum dan sesudahnya, Wahid banyak menyampaikan ceramah, menulis opini, atau memberi kuliah umum. Logika dan mengutamakan akal serta berbuat nyata untuk kehidupan sosial selalu ia tekankan jika berbicara menyangkut agama. Diskusi pada malam purnama itu contohnya.
Soal kebatinan dan mistik, menurut dia, juga dikenal dalam Islam. Karena itu, ada ajaran tasawuf. "Tapi tasawuf ini kecil sekali porsinya karena ini ajaran untuk diri sendiri," katanya. Sebab, fondasi ajaran Islam adalah beriman kepada yang gaib. Namun agama mementingkan berbuat nyata untuk lingkungan. Takwa seseorang, kata dia, ditentukan oleh tindakan-tindakan lahiriahnya, bukan oleh niat.
"Niat itu hanya diketahui oleh dia dan Tuhan saja," katanya. Wahid berupaya membumikan ajaran agama langit.
Ia menulis beragam tema. Ketika Stalin, diktator Rusia, meninggal pada 1953, ia menulis sebuah telaah yang menghubungkan kematian itu dengan masa depan umat Islam di dunia. Ia membahasnya dalam konteks hubungan Barat dan Timur.
Pendidikan, organisasi, dan politik adalah tema yang dibahas Wahid Hasyim. Topangan khazanahnya luas karena Wahid bisa berbicara dan menulis dalam bahasa Arab, Inggris, Belanda, serta Jerman. Bahasa-bahasa asing itu ia pelajari sendiri dari majalah-majalah yang dipesan ayahnya, KH Hasyim Asy'ari, untuk Pondok Pesantren Tebuireng.
Kegemaran membaca itu mendorongnya rajin menulis. "Ia pencatat yang tekun," kata Salahuddin al-Ayyubi, anak ketiga Wahid. Catatan-catatan itu kemudian dirangkum dan dirangkai menjadi satu tulisan utuh untuk dimuat di koran atau majalah. Namun, dalam hidupnya yang singkat, Wahid meninggal dalam sebuah kecelakaan pada usia 39 tahun, ia tak sempat merumuskan pikirannya dalam sebuah buku. Satu-satunya buku yang menghimpun pelbagai tulisan kiai yang memakai nama samaran Ma'mum Bingung itu adalah "Mengapa Memilih NU?", yang terbit pada 1985.
DALAM sebuah diskusi terbatas di bekas kediaman Bung Karno, Jalan Pegangsaan Timur 56--kini jadi Gedung Pola, di sebelah Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat--Wahid Hasyim ditanyai seorang peserta. "Apa basis agama itu?" Dengan tenang dan kalimat terukur, Menteri Agama tiga periode ini menjawab, "Logika."
Diskusi bulanan pada malam purnama itu, 4 Desember 1952, dihadiri hanya beberapa orang. Moderatornya Mr Wongsonegoro, bekas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Itu karena tema yang dibahas bikin dahi bekernyit: agama dan mistik. Wongsonegoro dikenal sebagai penganut kejawen. Notulennya Abdul Halim, yang catatannya dijadikan lampiran oleh Aboebakar ketika menyusun Sedjarah Hidup K.H.A. Wahid Hasyim (1957).
Wahid diminta menjelaskan kedudukan agama dan hubungannya dengan soal-soal gaib serta kebatinan. Ia menjelaskan agak panjang-lebar tentang dasar-dasar agama. Dengan jelas Wahid memaparkan dasar Islam adalah logika dan hukum alam. "Agama itu logika, dan orang yang tak sempurna akalnya berarti tak punya agama," ia mengutip hadis Nabi Muhammad.
Maka hal-hal aneh yang tak masuk di akal berarti di luar agama. Ia mencontohkan, jika ada orang bisa membuka gembok pintu tanpa menyentuhnya, patut diduga itu memakai mistik. Namun ia mengingatkan kita sebaiknya tak gampang menyebut sesuatu mistik tanpa memikirkannya. Hal-hal yang aneh pada zaman sekarang bisa mendapat jawaban pada era berikutnya. "Dulu benda terbang dianggap aneh, tapi sekarang ada pesawat," katanya.
Dengan kata lain, Wahid ingin mengatakan akal manusia berkembang. Ilmu pengetahuan pun kian canggih. Agama, sementara itu, menyediakan sesuatu yang belum terpikirkan manusia pada masanya. "Maka berpikir adalah perintah pertama dalam Islam," kata Wahid saat berpidato mengumumkan agenda kerja Kementerian Agama 1951-1952.
Baik selama menjadi menteri maupun sebelum dan sesudahnya, Wahid banyak menyampaikan ceramah, menulis opini, atau memberi kuliah umum. Logika dan mengutamakan akal serta berbuat nyata untuk kehidupan sosial selalu ia tekankan jika berbicara menyangkut agama. Diskusi pada malam purnama itu contohnya.
Soal kebatinan dan mistik, menurut dia, juga dikenal dalam Islam. Karena itu, ada ajaran tasawuf. "Tapi tasawuf ini kecil sekali porsinya karena ini ajaran untuk diri sendiri," katanya. Sebab, fondasi ajaran Islam adalah beriman kepada yang gaib. Namun agama mementingkan berbuat nyata untuk lingkungan. Takwa seseorang, kata dia, ditentukan oleh tindakan-tindakan lahiriahnya, bukan oleh niat.
"Niat itu hanya diketahui oleh dia dan Tuhan saja," katanya. Wahid berupaya membumikan ajaran agama langit.
Ia menulis beragam tema. Ketika Stalin, diktator Rusia, meninggal pada 1953, ia menulis sebuah telaah yang menghubungkan kematian itu dengan masa depan umat Islam di dunia. Ia membahasnya dalam konteks hubungan Barat dan Timur.
Pendidikan, organisasi, dan politik adalah tema yang dibahas Wahid Hasyim. Topangan khazanahnya luas karena Wahid bisa berbicara dan menulis dalam bahasa Arab, Inggris, Belanda, serta Jerman. Bahasa-bahasa asing itu ia pelajari sendiri dari majalah-majalah yang dipesan ayahnya, KH Hasyim Asy'ari, untuk Pondok Pesantren Tebuireng.
Kegemaran membaca itu mendorongnya rajin menulis. "Ia pencatat yang tekun," kata Salahuddin al-Ayyubi, anak ketiga Wahid. Catatan-catatan itu kemudian dirangkum dan dirangkai menjadi satu tulisan utuh untuk dimuat di koran atau majalah. Namun, dalam hidupnya yang singkat, Wahid meninggal dalam sebuah kecelakaan pada usia 39 tahun, ia tak sempat merumuskan pikirannya dalam sebuah buku. Satu-satunya buku yang menghimpun pelbagai tulisan kiai yang memakai nama samaran Ma'mum Bingung itu adalah "Mengapa Memilih NU?", yang terbit pada 1985.