Islam Komprehensif

Mulyadhi Kartanegara

Islam yang kita perlukan di negeri kita adalah Islam yang komprehensif, canggih (sophisticated) dan holistik. Bukan yang dogmatik, simplistik, dan bukan juga yang liberal yang kehilangan identitas dan emosi keagamaan.

Saya sangat prihatin atas perkembangan Islam di negeri kita akhir-akhir ini yang semakin mengarah pada pemahaman Islam yang simplistik, dogmatik dan semakin keras. Kita harus kebih banyak belajar dari timur tengah, akibat yang mengerikan dari sikap tersebut, yang semakin jauh dari citra Islam sebagai agama yang berperadaban tinggi dan penuh rahmat bagi umat manusia.

Kita harus hati-hati terhadap sikap yang kita ambil. Salah mengambil sikap dan penafsiran terhadap Islam bisa menimbulkan banyak masalah. Itulah sebabnya kita harus mengambil sikap dan penafsiran yang komprehensif agar pemahamna kita luas, tidak simplistik tapi juga tidak terlalu liberal sehingga melesat kauh dari koridor yang diharapkan.

Pendidikan Keislaman yang sempit, kilat dan tidak mendalam, menyebabkan masyarakat kita sangat mudah untuk dibujuk, diyakinkan pada paham yang salah. Karena itu pendidikan Islam yang lebih komprehensif, yang menyentuh bukan hanya fikih, tapi juga ilmu kalam, tasawuf, sains dan filsafat sangat diperlukan untuk bisa menimbang, meneliti sebelum kita menerima sebuah penafsiran Islam, sehingga kita tidak terjebak pada dogmatisme yang mematikan akal pikiran kita.

Inilah tantangan kaum intelektual untuk menciptakan pendidikan Islam yang bukan hanya mengajarkan Islam secara tradisional, tetapi juga mengajarkan Islam yang memperhatikan aspek pemikiran, peradaban, spiritualitas, sebagaimana yang telah diajarkan, dikembangkan oleh para pemikir Muslim, apakah mereka itu filosof, saintis, sufi, fukaha, mufassir, dan syu'ara dan sebagainya. Pokoknya semua aspek peradaban Islam harus diperkenalkan kepada masyarakat luas.

> Moef Hasbullah: Saya menyebutnya 'Islam kontekstual,' yg sesuai konteks, jadi komprehensif, semua ada dalam konteksnya masing-masing, itu yang diajarkan Nabi, bukan radikal, bukan fundamentalis, bukan moderat dan bukan liberal. Kalau Islam hanya radikal wajahnya akan menakutkan, kalau hanya fundamentalis akan sempit, kalau hanya moderat akan jadi lemah, kalau hanya liberal akan jadi kabur, tak punya identitas dan kehilangan emosi agama. Kata Ibnul Qayyim Al-Jauziyah: "Sesungguhnya dasar agama adalah ghirah (emosi), orang yang tak memiliki ghirah sama dengan tidak memiliki agama." 

> Tedi Sumardi: Pengalaman saya berinteraksi dg teman-teman yg rata-rata mereka adalah S1/S2, yg mestinya mereka terbiasa berfikir kritis rasional, ternyata ketika ngomong soal agama mereka tidak suka dengan hal-hal yg bersifat berfikir lebih dalam. Mereka lebih suka model belajar agama yg jawabannya hitam putih, ya atau tidak, haram atau halal. Ambil contoh ttg jilbab, kalo kita dengar pendapat Pak Quraish, beliau memberikan banyak pendapat shg spt disuguhi dengan berbagai menu, ternyata mereka bilang bingung dan nggak jelas. Dugaan saya ada yg salah dlm sistim pendidikan kita, yg tidak merangsang orang untuk aktif berfikir.

Model-model aliran Islam keras sangat cocok bagi mereka-mereka yg malas berfikir, shg bisa dengan mudah masuk ke dalam masyarakat kita. Sementara semangat beragamanya cukup tinggi tapi dasar keilmuannya minim, jadi gampang tergelincir kpd ekstrimitas.

> M. Dakhlan: Apakah ini menegaskan 'Ramalan' Rasulullah (hadis): 'akan datang suatu masa saat orang-orang muda yang memahami agama sedemikan rupa, bahkan kata-katanya halus lagi indah, namun dalam berprilaku tidak menunjukkan kehalusannya, bahkan tidak jarang kejam terhadap sesama. Mereka sebenarnya meninggalkan Islam, seperti melesatnya anak panah dari busurnya.' 

Jawaban : Terjadinya kemalasan berfikir kritis adalah buah dari sistem pendidikan yang dogmatis, dimana si murid tidak boleh mempertanyakan lebih dalam sebuah persoalan yang tidak mereka ketahui. Anak tidak dibiasakan mengeluarkan pemikirannya secara bebas. Dipelajarinya mantiq di pesantren adalah modal yang besar. Tapi berbeda dengan sistem pendidikan pada zaman al-Ghazali dimana setiap murid diajarkan cara berdebat dan selalu diminta tanggapan terhadap apa yang disampaikan sang guru, dalam sistem pendidikan tradisional kita, mantik tidak benar-benar diterapkan sebagai metoda berfikir, karena sering kiyainya tak mau dikritik dan dipersalahkan.

Tapi justru inilah yang menjadi salah satu sebab kemunduran Islam di timur tengah sekarang ini. Tradisi ilmiah Islam yang gemilang yang membawa cahaya terang benderang telah dilupakan, Islam di Timur tengah sedang kembali ke masa kegelapan...