Teladan dari Para Ilmuwan Muslim Klasik

- dikumpulkan dari status fb Prof Mulyadhi Kartanegara

RAHASIA KEBERHASILAN IBN SINA

Salah satu rahasia keberhasilan Ibn Sina, seperti diungkapkan dalam otobiografinya, adalah tekad beliau untuk menggunakan sebanyak mungkin waktu dalam belajar dan kehebatan konsentrasinya yang luar biasa. 1.5 tahun (dari umur 16-17.5) ketika beliau sekali lagi mempelajari ilmu-ilmu yang pernah dipelajari di masa-masa sebelumnya, beliau menulis: "Selama masa-masa itu aku hampir tidak pernah tidur di waktu malam, dan tidak pernah memalingkan konsentrasiku pada yang lainnya di waktu siang." Yang saya khawatir kita justru melakukan hal sebaliknya: hampir tidak pernah belajar di waktu malam, dan tak pernah bisa konsentrasi di waktu siang.

SEBUAH TELADAN DARI IBN SINA

Suatu hari datang ke kediaman Ibn Sina seorang utusan al-Biruni yang menyampaikan surat al-Biruni yang memoertanyakan (hampir seperti kritik) terhadap pandangan fisika Ibn Sina. Ibn Sina tidak mau al-Biruni menunggu terlalu lama jawaban darinya, karena itu Ibn Sina meminta utusan al-Biruni untuk menginap di rumahnya, sedangkan Ibn Sina sendiri tidak tidur malam itu untuk menulis tanggapan atau jawaban terhadap kritik al-Biruni. Maka malam itu, dikatakan 150 halaman berhasil diselesaikan olehnya dan keesokan harinya sang utusan pulang dengan membawa balasan Ibn Sina untuk tuannya. Luar biasa.. Kemudian dikatakan al-Buruni menulis kembali keberatannya, dan Ibn Sina menjawabnya lagi, dan ketika Ibn Sina meninggal, percakapan dilanjutkan okeh murid Ibn Sina. Teladan yang bisa diambil dari cerita di atas: (1) jangan sensi jalau dikritik, tapi balas dengan besar hati dan penjelasan ilmiah. (2) jangan nunda-nunda pekerjaan, kalau perlu begadang untuk melakukannya.

Yang ingin tahu apa isi percakapan mereka bisa dibaca dalam sebuah buku Al-Biruni va Ibn Sina.

AL-SYIFA' (THE HEALING): KARYA FILOSOFIS UTAMA IBN SINA

Ibn Sina menulis kira-kira 220 buku, salah satunya yang termashur adalah al-Syifa. Al-Syifa sebenarnya kumpulan dari 23 buku ilmiah yang disatukan, terdiri dari 9 buku logika, 8 buku fisika, 4 buku matematika dan 2 buku metafisika. Ini adalah gambar dari buku I & II fisikanya (semuanya 8). Jumlah halaman al-Syifa adalah 6300 dan tim penerjemah saya telah menerjemahkan sebanyak 5300 halaman, tapi masih draft belum diedit. Buku lainnya yang terkenal dari Ibn Sina tentu saja adalah al-Qanun fi al-Thibb, 5 jilid, yang telah diterjemahkan ke dalam bahsa Latin pada abad ke-13, dan dipakai sebagai textbook di beberapa universitas besar selama berabad-abad dan telah memicu tumbuhnya kedokteran modern.

KEAJAIBAN IBN SINA

Dalam usia 16 Ibn Sina sudah menyelesaikan pendidikan kedokterannya, belajar sendiri (otodidak), tentang ini beliau berkata: "Kedokteran itu mudah bagiku, tak perlu terlalu lama aku menguasainya, sampai taraf di mana dokter-dokter senior banyak yang berkonsultasi padaku, padahal usiaku saat itu baru 16 tahun. Dan ucapannya itu bukan omong kosong belaka, karena pada usia 18 tahun beliau diangkat sebagai dokter istana Nuh bin Manshur, setelah mampu menyembukan penyakit sang Amir, yang tidak bisa dilakukan oleh dokter manapun yang ada di negerinya. Bukan itu saja, bukunya al-Qanun fi al-Thibb (the Canon of Medicine), digunakan sebagai textbook di banyak universitas besar di Eropa (Oxford, Paris, Budapes, dll) selama berabad-abad.

KECERDASAN IBN SINA

Pada usia 12 tahun, seorang guru, Abdullah Natali, datang ke rumah Ibn Sina sebagai guru private. Beliau diajari buku Almagest karangan Ptolemius (di bidang fisika dan astronomi) dan buku The Element karangan Euclid, di bidang geometri. Tetapi, dikatakan, baru saja 3-5 teorem yang diajarkan, Ibn Sina mengajukan pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh gurunya tersebut. Akhirnya dia sendiri yang mencari jawabannya, dan ketemu. Lalu gurunya mengatakan, mulai saat ini engkau belajar sendiri saja, nanti kalau ada persoalan baru tanyalah kepada saya. Tetapi nampaknya Ibn Sina abg terus asyik belajar sendiri, sehingga akhirnya sang guru pergi, karena malu dan merasa ga berguna.

UZLAH ILMIAH: SEBUAH TELADAN DARI PARA ILMUWAN MUSLIM

Ada pendapat dari kawan-kawan kalau para ilmuwan besar besar Islam bisa berprestasi karena godaan hidup tidak begitu besar seperti sekarang. Tapi pandangan itu tidak sepenuhnya benar. Ada beberapa tokoh besar yang nemang dengan sengaja mengucilkan diri dari hiruk pikuk dunia untuk bisa berkarya maksinal. Misalnya Imam Ghazali menerlukan waktu 11 tahun beruzlah di menara Mesjid Umayyah (Damaskus) dan menghasilkan 480 karya, sedangkan Mulla Shadra menerlukan waktu 15-16 tahun beruzlah di dusun kecil Kahhak, Iran untuk menuliskan karya-karya monumentalnya, termasuk al-Syawahid al-Rububiyyah, Hikmat al-'Arsy, Syarh al-Syifa' dan tentu saja al-Asfar al-Arba'ah. Padahal mereka itu adalah para genius yang hebat, tapi toh mereka masih merasa perlu ber-uzlah (mengucikan diri) karena mereka nemang betul-betul punya niat kuat untuk mengabdikan diri dan hidupnya pada ilmu. Sementara kira yang tidak genius-genius amat, tak pernah merasa betul-betul perlu beruzlah, mungkin karena memang tidak pernah betul-betul punya niat yang sungguh-sungguh untuk menimba ilmu. Lalu kenapa heran kalau kita tak punya karya monumental dan produktivitas tinggi seperti mereka.

APA BENAR IBN SINA BISA MAJU KARENA TIDAK BANYAK TANTANGAN?

Ada kesan yang kuat bahwa kemajuan ilmiah yang diraih para ilmuwan Muslim dulu, semacam Ibn Sina, adalah karena tidak banyaknya godaan (seperti internet di zaman sekarang) pada saat itu. Lalu kita membayangkan seolah bahwa Ibn Sina itu duduk manis di kamar sepi dan hanya melakukan penelitian saja. Tentu saja tidak. Ibn Sina adalah manusia super aktif dan serius. Dalam usia remaja ia sudah disibukkan dengan mengobati pasien karena sedini usianya ia sudah menjadi dokter yang sangat piawai dan dikagumi. Banyak pasien datang ke rumahnya dan ia tidak membeda-bedakan peerlakuannya kepada pasiennya. Sekalipun dia tahu yang datang itu pembesar negara, tetapi ia dahulukan yang terlebih dahulu datang. Dalam usia 18 tahun ia diangkat sebagai dokter istana, dengan kesibukannya mengurus kesehatan raja, keluarga dan pembesar lainnya. Tapi sebagai imbalannya ia tidak meminta harta, tetapi meminta diizinkan masuk perpustakaan sang penguasa, di mana ia menemukan ratusan ribu buku di dalamnya, yang kalau dia baca semua katanya umurnya tidak akan cukup untuk itu. Jadi informasi yang ada sangat luas, mungkin kurang lebih sama dengan yang bisa kita akses di internet. Tetapi dia itu piawai, dikatakan olehnya, ia hanya membaca buku yang paling updated. Kalau ia membaca buku, tapi dia sudah paham isinya, ia tidak teruskan. Jadi dia punya strategi membaca yang jitu yang hanya fokus pada garis terdepan (frontier) ilmu pengetahuan. Bisa begitu, karena ia telah banyak sekali membaca buku sebelumnya (sementara bagi kita mungkin hampir semuanya baru). Sebagai orang yang sudah terkenal sejak kecil, banyak penguasa yang menginginkan dia mengabdi di istananya, tetapi ketika ia melihat bahwa patron-nya tidak bakal menguntungkan secara akademis, ia tolak. Tapi akibatnya ia kemudian diburu oleh penguasa yang meresa ditolak, sehingga ia harus mengungsi ke banyak tempat, untuk mencari patron baru yang lebih sesuai, kadang ia harus berjalan sembunyi-sembunyi untuk menghindarkan pelacakan beratus-ratus km dalam kondisi yang sangat berbahaya, sehingga temannya bahkan menemui ajalnya dalam pengungsian. Kehidupan beliau tidak seenak yang kita bayangkan, dengan berbagai masalah kehidupan yang ia hadapi. Begitu juga ketika dia diaangkat sebagai wazir oleh penguasa, tentu ia sangat sibuk dengan urusan menasehati sang penguasa, perang dan diplomasi. Meskipun begitu ia masih mampu menyediakan waktu untuk berkarya hingga ratusan buku baboon dan dengan mutu yang sangat tinggi. Jadi masalahnya bukan pada soal godaan, tetapi pada bagaimana memanaj waktu dan fokus pada pekerjaan ilmiahnya.

PENGUASA BANGGA MENGHADIRKAN ILMUWAN DI ISTANA

Salah satu penunjang kemajuan ilmu pengetahuan pada masa klasik adalah patronasi (pengayoman dan dukungan) Penguasa Muslim pada para ilmuwan-filosof. Mereka bangga kalau orang hebat seperti Ibn Sina berada dan mengabdi di istananya. Karena itu Mahmud al-Ghazna ingin sekali Ibnu Sina berada di istananya, setelah al-Buruni. Tapi Ibn Sina menolak, dan mendapat patronasi dari Ala' al-Dawlah, di Hamadan.. Ibn Rusyd juga diundang ke istana Muwahhidun di Andalusia, ia diminta untuk menulis komentar terhadap karya-karya Aristoteles dan tinggal di istana. Demikian juga al-Kindi diminta menulis dan meneliti di berbagai bidang ilmiah di istana al-Makmun di Bagdad dan hasilnya al-Kindi menulis 270 buku. Sementara al-Farabi diminta oleh Saufuddawlah untuk menjadi penasehat sang Amir Aleppo Syria.

Saya kadang heran, bagaimana sarjana-sarjana klasik dulu, seperti al-Thabari, mampu menyisihkan waktu mereka untuk menulis rata-rata 40 halaman/hari selama 40 tahun, atau Ibnu Sina dapat menulis 28.000 halaman dalam waktu 6 bulan, yang berarti per harinya menulis dan menyelesaikan lebih dari 150 halaman/persoalan sulit filsafat dalam kitabnya al-Insaf. Sedangkan kita sehari satu lembar saja belum tentu bisa dan konsisten? Betapa jauhnya mereka meninggalkan kita.. Ini benar-benar menantang untuk diteliti...

DARI KALANGAN NANAKAH PARA ILMUWAN MUSLIM?

Memang kebanyakan ilmuwan Muslim berasal dari kalangan terhormat, seperti al-Kindi, putra gubernuh Kufah, dan Ibn Sina, putra Bupati Bukhara, tetapi filosof dan ilmuwan yang lain kadang kurang beruntung secara ekonomis, tetapi punya komitmen keilmuan yg tinggi, seperti Mulla Hadi Sabzawardi (tidur hanya beralaskan tikar digelar di tanah) dan Allamah Tabataba'i (kadang telat nembayar kontrakan). Lalu dari mana mereka mendapatkan bahan bacaan? Tentang buku, penguasa menyediakan buku yang melimpah di perpustakaan perpustakaan kerajaan baik di lingkungan istana, madrasah ataupun mesjid-mesjid dengan jumlah buku yang fantastik. Ratusan ribu buku.. atau kadang toko buku menyediakan tempat penginapan untuk memberikan ruang dan waktu bagi sarjana yang mau membaca. Membacanya gratis tapi nginapnya tentu saja bayar. Dan itu dipraktekkan oleh al-Jahiz yang berfikir itu ide yang baik kareba akan lebih murah biayanya daripada beli segitu banyak buku.

SEBERAPA JAUH PENGARUH PATRONASE TERHADAP MUTU KARYA ILMIAH PARA SARJANA

Kebanyakan karya para ilmuwan Muslim objektif, sangat ilmiah dan logik. Tetapi biasanya karya tersebut memuji patronnya dan dipersembahkan kepada sang patron. Ini bisa dilihat dari buku al-Qanun al-Mas'udiyyah karya astronom Al-Biruni yang didedikasikan kepada sultan Mas'ud putra Mahmud ak-Ghazna, atau buku Ibn Sina Danrsh nameh Ala'i untuk Ala' al-Dawlah. Tapi konten bukunya sangat ilmiah dan objektif dan mendapatkan pengakuan dari para sarjana dunia. Jadi mereka tetap menjaga komitmen ilmiah dan komitmennya pada kebenaran. Moga menjadi teladan bagi kita semua.