Sumber dari sini.
Dangding Haji Hasan Mustapa sebagai Wadah
Mistisisme Islam
Hawé
Setiawan
Satungtung catur
micatur,
basa
meletik ti biwir,
bagian kamanusaan,
panglandi tina rohani,
geusan
medalkeun ku basa,
diunikeun ku jasmani.
—Haji Hasan Mustapa
Mukadimah
MEMBACA dangding-dangding Haji Hasan Mustapa
(HHM) rasanya seperti mendekati arus kali. Betapapun dalam diri terasa ada
dorongan untuk menyentuh arus deras itu, tapi pada saat yang sama timbul
perasaan takut hanyut. Karena itu, gugusan gagasan dalam esai ini berkisar di
sekitar ―jasmani‖ dangding HHM, yakni raga puitika yang dijalari ―rohani‖
mistik.
Tentu
saja, dangding merupakan puisi yang terikat aturan baku yang dipelihara secara
turun-temurun, tetapi kenyataan itu tidak menghilangkan signifikansi wadah
konvensional tersebut. Justru dengan adanya ikatan seperti itu, timbul daya
tarik untuk mengamati kreativitas penyair menyiasati konvensi. Memang,
berlebihan jika orang mempersoalkan setinggi apa kutilang dalam sangkar dapat
mengepakkan sayapnya, tapi setidak-tidaknya orang dapat memperhatikan sebebas
apa subjek yang terikat itu memperdengarkan nyanyiannya. Jika puitika dangding
diibaratkan dengan tata bahasa, dangding HHM jelas merupakan ungkapan
tersendiri dalam kerangka tata bahasa itu.
Bagi
penyair mistik seperti HHM, ragam puisi itu sendiri barangkali bukan hal
terpenting. Boleh jadi, ia menggubah puisi bukan demi puisi itu sendiri,
melainkan demi percikan permenungan yang hendak ia sampaikan. Bahkan tidak
mustahil puisi-puisi itu ―lahir dengan sendirinya‖ seperti mengepulnya uap dari
cerat manakala air yang dijerang di atas tungku telah menghangat. Kalaupun
demikian, hal itu justru menunjukkan bahwa sang penyair telah menguasai betul
teknik persajakan. Penyair yang dalam tempo dua atau tiga tahun saja mampu
menghasilkan dangding lebih dari 10.000 bait (Rosidi 1989:88), kiranya
tergolong penyair yang sudah jauh melampaui rintangan teknis persajakan.
Betapapun, para pembaca dangding HHM tak dapat mengabaikan daya tarik
tersendiri pada pencapaiannya mengolah teknik dangding.
Pengalaman
mistik itu sendiri pastilah hanya dapat dipahami atau dihayati sepenuhnya oleh
sang mistikus. Sementara kata-kata dan perkakas linguistik lain yang ia
andalkan dalam proses menulis puisi pada dasarnya selalu merupakan perkakas
yang kemampuannya terbatas. Kata-kata yang terdapat dalam kamus, yang hanya
mengandung pengertian umum, selalu menjadi problematis manakala hendak
diandalkan untuk menyampaikan pengalaman, penglihatan atau perasaan yang amat
spesifik. Pada titik inilah penyair, terlebih-lebih penyair mistik, tergerak
untuk mencari idiom dan menciptakan metafora—dengan kata lain, mengatasi
keterbatasan bahasa sehari-hari dan dengan demikian sedikit banyak
memperbaharui bahasa itu dengan caranya sendiri. Karena itu, tanpa maksud
mengabaikan pentingnya mistisisme, esai ini menekankan perhatian pada olah
bahasa.
Jika
dibandingkan dengan bentuk puisi bebas yang diandalkan oleh sebagian besar
penyair Sunda dewasa ini, dangding kiranya dapat disebut puisi klasik. Dalam
hal ini, kita dapat memperhatikan salah satu amatan mengenai karakteristik ―puisi
klasik‖ —yang dibedakan dengan ―puisi modern‖— dalam studi sastra. Meskipun
amatan dimaksud cenderung terpaut pada konteks perkembangan sastra di kawasan
Eropa, tetapi di dalamnya
1
terdapat sejumlah hal yang kiranya dapat
membantu kita memperdalam amatan atas dangding:
The classical flow is a succession of elements whose density is even; it
is exposed to the same emotional pressure, and relieves those elements of any
tendency towards an individual meaning appearing at all invented. The poetic
vocabulary itself is one of usage, not of invention: images in it are
recognizable in a body; they do not exist in isolation; they are due to long
custom, not to individual creation. The function of the classical poet is not
therefore to find new words, with more body or more brilliance, but to follow
the order of an ancient ritual, to perfect the symmetry or the conciseness of a
relation, to bring a thought exactly within the compass of a metre. Classical
conceits involve relations, not words: they belong to an art of expression, not
of invention. The words, here, do not, as they later do, thanks to a kind of
violent and unexpected abruptness, reproduce the depth and singularity of an
individual experience; they are spread out to form a surface, according to the
exigencies of an elegant or decorative purpose. They delight us because of the
formulation which brings them together, not because of their own power or
beauty.
Arus klasik
merupakan kelangsungan elemen-elemen yang tetap padat; arus ini terpaut pada
tekanan emosional yang sama, dan meringankan elemen-elemen itu di hadapan
setiap kecenderungan timbulnya makna perseorangan yang tampaknya seketika
ditemukan. Perbendaharaan puitika itu sendiri terpaut pada pemakaian, bukan
pada penemuan: citraan-citraan di dalamnya dapat dikenali dalam suatu kerangka;
citraan-citraan itu tidak terwujud dalam isolasi; citraan-citraan itu terhubung
dengan kebiasaan lama, bukan dengan kreasi orang perorang. Fungsi penyair
klasik, dengan demikian, bukanlah menemukan kata-kata baru, berikut kerangka
atau kecemerlangan baru, melainkan mengikuti tatanan ritual kuna,
menyempurnakan simetri atau kepadatan relasi, membawa permenungan secara tepat
menurut panduan metrum. Pencapaian klasik mencakup hubungan-hubungan, bukan
kata-kata: tersebar membentuk permukaan, sejalan dengan urgensi maksud yang
elegan atau dekoratif. Pencapaian itu menyenangkan kita karena formulasinya
yang padu, bukan karena kekuatan atau keindahannya sendiri. (Barthes 1968:45)
Dangding-dangding
HHM, sebagaimana yang akan kita lihat, juga turut menunjukkan tercapainya
kesesuaian kreativitas menggubah puisi dengan ―tatanan ritual kuna‖ dalam
puitika Sunda, ―simetri atau kepadatan relasi‖ antarelemen persajakan serta ―metrum‖
dangding yang disenyawakan dengan permenungan mistik. Meski disadari bahwa
telaah seperti ini tidak akan banyak artinya bagi pembaca yang hendak berenang
mengarungi arus deras dangding-dangding HHM menuju muara tasawuf nun di sana,
tapi setidaknya penelusuran bantaran kali ini barangkali dapat turut
meresonansikan bunyi arus deras itu.
Dangding
Dalam
kajian puisi dangding dapat
dimasukkan ke dalam kategori ―sajak bermatra‖ (metrical verse). Bentuk puisi tradisional ini memiliki aturan baku
yang, sebagaimana akan dipaparkan di bawah, membatasi tiap-tiap lariknya.
Larik-larik dangding, sebagaimana lazimnya larik-larik sajak bermatra, antara
lain diatur dengan apa yang disebut sebagai ―kisi-kisi kematraan‖ (metrical grid). Dalam hal ini, telaah
ini berpijak pada empat anggapan sebagaimana yang dipaparkan dalam studi Fabb
dan Halle atas sajak bermatra:
The central claim of this study is that every well-formed line of
metrical verse consists not only of the phonemes and syllables that determine
its pronunciation, but also of what we have called a metrical grid, i.e., a
pattern, which though not pronounced, determines the perception of a sequence
of syllables as a line of metrical verse, rather than as an ordinary bit of prose.
Our further claim is that each grid is the output of a computation whose input
is the string of syllables that make up the verse line: the grid is not
preconstructed and then attached to the line, but is generated separately from
each
2
individual line. Our third claim is that the
computation consists in the ordered application of a licensed set of rules
selected from a finite set of rules ... (A set of rules is ‘licensed’ when it
is observed by a poetic school or tradition.) Our fourth and final claim is
that a verse line is well formed metrically if and only if its grid is well
formed (i.e., the grid is the output of a licensed set of ordered rules) and if
the syllables composing the line satisfy certain further conditions.
Anggapan utama dalam studi ini adalah bahwa
setiap larik sajak bermatra yang tersusun dengan baik tidak hanya terdiri atas
fonem dan suku kata yang menentukan pelafalannya, melainkan juga terdiri atas
apa yang kita sebut kisi-kisi kematraan, yakni pola yang, meskipun tidak diucapkan,
menentukan pencerapan atas satuan suku kata sebagai larik sajak bermatra,
ketimbang sebagai sekelumit prosa biasa. Anggapan kita selanjutnya adalah bawa
setiap kisi merupakan hasil penghitungan yang masukannya berupa bentangan suku
kata yang membentuk larik sajak: kisi-kisi itu tidak dirancanng terlebih dahulu
lalu dilekatkan pada larik, melainkan dibentuk secara terpisah dari setiap
larik. Anggapan kita yang ketiga adalah bahwa penghitungan itu terdiri atas
penerapan yang tertata dari seperangkat aturan baku yang dipilih dari
seperangkat aturan yang dibatasi… (Seperangkat aturan disebut ‗baku‘ jika
aturan itu diikuti oleh suatu aliran atau tradisi puisi.) Anggapan kita yang
keempat dan terakhir adalah bahwa larik sajak tersusun dengan baik dalam hal metrumnya
jika dan hanya jika kisi-kisinya tersusun dengan baik pula (dalam arti,
kisi-kisi itu merupakan hasil dari seperangkat aturan baku) dan jika suku-suku
kata yang membentuk larik memenuhi syarat-syarat tertentu. (Fabb dan Halle,
2008: 11)
Perlu segera
dikemukakan bahwa dangding pada
dasarnya digubah untuk pembaca yang bersenandung. Bentuk puisi yang juga
disebut guguritan ini terikat oleh
sesusun aturan baku mengenai melodi, khususnya menyangkut jumlah suku kata pada
tiap larik, jumlah larik pada tiap bait serta variasi rima akhir.
Aturan-aturan
persajakan yang mengikatnya, dalam banyak hal, dapat pula dipahami sebagai
aturan komposisi musikal. Aturan tersebut dapat dibagi dua: guru wilangan yang menekankan jumlah
suku kata pada tiap larik serta jumlah larik pada tiap bait dan guru lagu yang menekankan bunyi vokal di
penghujung larik. Tidak mengherankan jika kelanggengan tradisi dangding antara
lain ditopang oleh seni karawitan tembang.
Istilah dangding itu sendiri
barangkali pada mulanya merupakan kata yang menirukan bunyi. Sementara istilah guguritan ‗gubahan‘ (dari kata dasar gurit ‗menggubah‘) menekankan tindak
menulis atau menggubah karangan, istilah dangding
kedengarannya menekankan bunyi yang ditimbulkan dari kegiatan tersebut.
Setidak-tidaknya, istilah dangding
terdengar musikal. Berdasarkan aturan persajakannya, nyanyian puitis ini
terbagi ke dalam 17 pupuh:
asmarandana, balakbak, dangdanggula, durma, gambuh, gurisa, jurudemung,
kinanti, ladrang, lambang, magatru, maskumambang, mijil, pangkur, pucung, sinom
dan wirangrong. Mengenai rincian aturan persajakan tiap-tiap pupuh, kita dapat mengacu pada Coolsma
(1985:328-334). Nyanyian-nyanyian itulah yang dilantunkan oleh pembaca, yang
biasanya didengarkan oleh pembaca lain dalam pertemuan, khususnya pembaca wawacan, yakni untaian pupuh yang lazimnya berisi tentang kisah
atau uraian tertentu.
Hal ini
memperlihatkan ekspektasi tersendiri atas bentuk puisi ini. Manakala berhadapan
dengan dangding, pembaca kiranya tidak sekadar menempatkan dirinya dalam
situasi membaca dalam hati (silent
reading). Pertama-tama, pembaca dangding harus mengenal langgam tiap-tiap
pupuh beserta kekhususan aturan persajakannya. Pada titik ini terlihat
persinggungan antara bentuk sastra ini dengan tradisi lisan: sebagai sebentuk
tulisan yang berpola dan melodius pula, dangding
mudah dihafal oleh pembaca.
Dangding atau guguritan dikenal dalam
tradisi sastra Sunda sebagai salah satu pengaruh
dari geguritan yang dikenal dalam
tradisi sastra Jawa. Dahulu, terutama ketika politik dan kebudayaan Sunda
berpaling ke Tanah Jawa, pengetahuan dan keterampilan di bidang bahasa dan
sastra Jawa kiranya dianggap bagian dari ciri-ciri keterpelajaran orang Sunda.
Dalam Bujangga Manik, naskah Sunda
Kuna warisan abad ke-16, misalnya, disebutkan bahwa salah satu kelebihan tokoh
Bujangga Manik alias Ameng Layaran alias Pangeran Jaya Pakuan adalah ―bisa
carék Jawa‖ (pandai berbahasa Jawa). Tidak
3
mengherankan jika geguritan sebagai salah satu hasil olah bahasa dari Tanah Jawa
kemudian masuk ke Tatar Sunda dan pada gilirannya menjadi guguritan atau dangding
sebagai salah satu bagian dari kekayaan sastra Sunda.
Cukup
panjang masa terbentang, bahkan hingga sekarang, manakala dangding dipelajari
di sekolah. Dengan sendirinya, kemampuan mengekspresikan diri dalam gita Sunda
ini tampaknya menjadi bagian dari eksistensi kaum terpelajar pada masanya.
Wahyu Wibisana, salah seorang penyair Sunda terkemuka, mulai menulis dangding
ketika ia baru duduk di bangku kelas 4 sekolah dasar (percakapan pribadi, 10 Desember
2008). R.A.A. Kusumahningrat alias Dalem Pancaniti, Bupati Cianjur (1834-1862)
menulis surat kepada istrinya dalam bentuk dangding (Lubis, 1998:240-1).
Demikian pula HHM saling berkirim surat dengan rekannya Kiai Koerdi mengenai
masalah-masalah agama dalam bentuk dangding —itulah korespondensi berbentuk
puisi. R.A.A. Wiranatakusumah (1888-1965), bupati Bandung zaman kolonial,
menyusun buku Riwajat Kangdjeng Nabi
Moehammad s.a.w (1941) yang di dalamnya terkandung terjemahan atas beberapa
ayat Al-Qur‘an dalam bentuk dangding—kreativitas literer yang dewasa ini
diteruskan oleh Hidayat Suryalaga dengan adaptasinya atas seluruh isi kitab
suci itu dalam bentuk dangding.
Hal ini
menunjukkan bahwa dangding adalah bagian dari kelembagaan sastra tersendiri. Karena
telah melembaga, dangding melekat pada cara berekspresi orang Sunda pada
masanya.
Zaman
keemasan dangding memang telah surut. Namun, hingga kini sejumlah penyair Sunda
masih menggubah dangding, selain menggubah sajak bebas. Di antara mereka dapat
disebutkan, misalnya, Wahyu Wibisana (Riring-riring
Ciawaking), Yus Rusyana (Guguritan
Munggah Haji), Dédy Windyagiri (Jamparing
Hariring), Apung S. Wiratmadja, Dyah Padmini (Jaladri Tingtrim), Dian Héndrayana dan Tatang Sumarsono. Hingga
batas tertentu, dapat dikatakan bahwa puisi bebas —yang di lingkungan sastra
Sunda tumbuh sejak dasawarsa 1950an— dan dangding berjalan seiring, terlepas
dari telah surutnya masa keemasan wawacan —genre
sastra yang isinya berupa rangkaian dangding dan banyak di antaranya yang
berisi kisah— terutama sejak para pengarang Sunda kian mengandalkan cerita
pendek dan novel.
Dalam
sejumlah dangding karya Wahyu Wibisana terasa ada kesadaran untuk terus
memperbaharui tema yang diwadahi dengan dangding. Berbeda dengan para penyair
Sunda sezaman yang masih menggubah dangding, Wahyu tampak berupa beringsut dari
tema-tema yang berkaitan dengan cinta. Dalam salah satu dangdingnya, seakan
seraya bergurau, Wahyu bahkan mengatakan bahwa borok pun dapat disinomkan.
Dangding Haji Hasan
Mustapa
Sebagian
besar dangding HHM masih tersimpan dalam bentuk manuskrip di perpustakaan,
khususnya Universiteit Bibliotheek (UB), Leiden, Belanda, dan di sejumlah
orang. Tampaknya banyak pula dangding HHM yang tersebar dalam bentuk stensilan.
Dalam Naskah Karya Haji Hasan Mustapa (1987),
Iskandarwassid dkk. membuat catatan sebagai
berikut:
―... untuk
sementara, jumlah dangding karya Haji
Hasan Mustapa yang telah diketahui ada 10.815 pada. Dari jumlah itu yang masih ada hanya 9.472 pada, yang tersebar di mana-mana: pada
koleksi Wangsaatmadja, di Perpustakaan Universitas Leiden, di Bagian Naskah
Museum Nasional, dan koleksi perseorangan. Kemungkinan masih ada yang belum
ditemukan. Sekalipun masih jauh mencapai jumlah 20.000 pada, namun jelas sudah lebih dari 10.000 pada. Sebagai perbandingan bisa disebutkan bahwa wawacan Purnama Alam (1922) karya R.
Soeriadiredja yang merupakan wawacan
paling panjang dalam bahasa Sunda yang ditulis oleh seorang, seluruhnya terdiri
dari 6.197 pada.‖ (Iskandarwassid
dkk., 1987:23)
Danding-dangding HHM ditulis dalam bahasa Sunda
dengan menggunakan aksara Arab. (Menurut Ruhaliah, ada pula dangding —geguritan— HHM yang berbahasa Jawa).
4
Baru sebagian kecil di antaranya yang telah
ditanskripsikan ke dalam aksara Latin. Ada sembilan dangding, yang
ditranskripsikan dari naskah koleksi UB, dalam Naskah Karya Haji Hasan
Mustapa (1987) suntingan Iskandarwassid dkk. Kesembilan guguritan tersebut
ialah: ―Nu Pengkuh di Alam Tuhu‖, ―Alam
Cai Alam Sangu‖, ―Jung Indit deui ti
Bandung‖, ―Gaduh Panglipuran Galuh‖, ―Asmarandana nu Kami‖, ―Hariring
nu Hudang Gering‖, ―Koléang Kalakay Kondang‖, ―Kidung
Pucuk Mégamendung‖, dan ―Ngélmu Suluk Isuk-isuk‖. Ada pula buku Haji Hasan Mustapa jeung Karya-karyana (1989) suntingan Ajip Rosidi
yang kiranya merupakan sumber bacaan yang sejauh ini kiranya paling
komprehensif mengenai sosok, pemikiran dan karya-karya HHM, termasuk yang
berupa dangding yang ditranskripsikan dari naskah koleksi UB. Buku ini antara
lain memuat lima dangding —satu di antaranya sama dengan yang terdapat dalam Nakah Karya Haji Hasan Mustapa: ―Puyuh Ngungkung dina Kurung‖, ―Hariring nu Hudang Gering‖, ―Dumuk
Suluk Tilas Tepus‖, ―Sinom Pamaké Nonoman‖ dan
―Amis Tiis Pentil Majapait‖.
Sementara itu ada sejumlah dangding HHM lainnya,
juga dari koleksi UB, yang sedang ditransliterasikan oleh Ruhaliah.
Dangding-dangding itu adalah Sinom
Barangtaning Rasa, Sinom Lekasan jeung Wawarian, Kinanti Kukulu di Layu-layu, Kinanti Catur teu
Kacatur Batur dan Dangdanggula Sirna
Rasa Rasaning Pati.
Tinjauan Persajakan
Tinjauan atas Diksi
Diksi
adalah salah satu elemen persajakan yang kiranya penting diperhatikan dalam
upaya membaca dangding-dangding HHM. Lagi pula, bahasa dangding —untuk meminjam
kata-kata HHM sendiri— termasuk basa
beunang ngahampelas ‗bahasa yang diperhalus‘. Dalam hal ini, sedikitnya, ada dua gejala yang dapat diamati
sehubungan dengan diksi HHM dalam dangdingnya. Pertama, terdapat sejumlah kata Sunda yang kurang familiar,
setidaknya untuk penutur bahasa Sunda dewasa ini, tapi menunjukkan kreativitas
penyair menciptakan semacam idiom baru. Kedua,
terdapat sejumlah kata yang diserap dari bahasa Arab, dan pada kasus-kasus
tertentu kata-kata serapan itu dibentuk melalui pola pembentukan kata bahasa
Sunda. Sehubungan dengan kedua hal tersebut, kita dapat mengacu pada beberapa
kamus, antara lain Kamus Satjadibrata (2005), Kamus Hardjadibrata (2003) dan
Kamus Danadibrata (2006).
Pertama-tama,
kita dapat memperhatikan masalah imbuhan –um-.
Bentuk kata dengan –um- dikatakan
terpengaruh bahasa Jawa, dan arti serta bentuknya sangat tidak beraturan
(Coolsma, 1985:111). Pada dasarnya –um-
merupakan sisipan, seperti pada gumilang (dari
kata dasar gilang) tapi jika kata
dasarnya diawali dengan huruf hidup imbuhan
ini menyerupai awalan seperti pada umangkeuh
(dari angkeuh). Makna atau konotasi
yang terkandung dalam bentuk kata dengan sisipan –um- adalah: 1. Konotasi gerak seperti pada lumaku; 2. Konotasi gerak yang berulang atau sambung menyambung
seperti pada jumegur (menggelegar
lebih dari sekali), yang dapat dibandingkan dengan ngajegur (menggelegar sekali); 3. Konotasi yang menunjukkan keadaan
tidak sesungguhnya atau tidak sepatutnya, seperti pada gumeulis (dari kata geulis)
(Kats dan Soeriadiradja, 1982:156-8).
Dalam
dangding HHM terdapat cukup banyak bentuk kata dengan imbuhan –um-, misalnya tumurun, umaing, bumatur, uméta, sumaha, gumantung, gumelar, gumilang, tumulus,
gumuling (PNgdK); humaleuang (HNHG); gumelaring, sumangga, tumurun, humandeuar (dari handeuar ‗mengeluh‘, H 2003), kumawula, rumasana (DSRRP); kumalayang, gumelar, gumilang, tuméga,
rumingkang, mumukti?, sumembah (SBR); dan di sejumlah tempat lainnya.
Kata-kata
seperti umaing (dari kata ganti orang
pertama tunggal aing), uméta (dari kata dasar penunjuk éta) dan sumaha (dari kata tanya saha)
kini tidak lazim dalam percakapan sehari-hari. Contoh-contoh bentuk kata
demikian juga tidak terdapat dalam Kats dan Soeriadiradja (1982). Betapapun,
bentuk-bentuk kata itu bersifat fungsional dalam dangding HHM. Makna yang
tersirat dari bentuk-bentuk kata tersebut tampaknya lebih mendekati makna atau
konotasi ketiga di atas.
5
Frekuensi
yang cukup tinggi juga terlihat pada pemakaian bentuk kata berakhiran – ing. Tampaknya bentuk kata dengan
imbuhan seperti ini pun terpengaruh bahasa Jawa. Dalam dangding-dangding HHM sering kita temukan idiom-idiom seperti sirnaning, jatnikaning, alaming, wateking, dinaning, bangsaning (HNHG); ahérating, alaming, napsiahing, asaling,
tuhuing, satuhuning (?), tumpuring, kulaning, dorakaning (DSRRP); barangtaning, birahining, menggahing,
katunggalaning, sukmaning, tunggaling, jatining, tarajuning, sasamaning,
alaming, kalanggenganing, kasampurnaning, karaméaning, sihaning, lawaning,
utusaning (SBR); dan di sejumlah tempat lainnya.
Kasus
menarik terlihat pada pemakaian kata meletus
dalam larik ―meletus bijil ti laku/meletik bijil ti biwir‖ (PNgdK). Orang mungkin cenderung
membandingkan idiom ini dengan kata
yang sama dalam bahasa Melayu. Namun, dalam dangding HHM, bentuk kata ini
kiranya berasal dari kata dasar Sunda betus
‗meledak‘. Bentuk kata ini unik, sebab dalam tata bahasa Sunda tidak ada awalan
me-. Yang pasti, kata meletus dan meletik tampak sebangun, dan pada masing-masing larik itu HHM
tampak mengupayakan tercapainya asonansi, sampai-sampai ketimbang memakai kata meleték ia memakai kata meletik. Ungkapan turun-manurun (DSRRP, HNHG) juga menarik: ketimbang memakai tumurun (bentuk kata dengan -um) HHM memakai manurun. Mungkinkah dalam hal ini HHM terpengaruh oleh bentuk kata
dalam Mel., ataukah hal ini terpaut pada masalah transliterasi?
Mengenai
banyaknya kata dari bahasa Arab yang diolah dalam dangding-dangding HHM,
pembaca dapat mengacu pada Daftar Istilah di bawah. Hal yang kiranya perlu
ditekankan di sini ialah bahwa penyerapan kata dari bahasa Arab dalam
dangding-dangding HHM tetap mengindahkan kaidah gramatikal bahasa Sunda.
Terdapat sejumlah contoh pemakaian istilah Arab yang dibentuk dengan pola
pembentukan kata bahasa Sunda: ―nu
qiyamuhuna bi nafsih‖ (DSRRP), ―lahutan kapangéranan‖ (PNgdK) atau ―nu pirobbun susuk muntu‖ (PNgdK). Dalam contoh tersebut akhiran –na pada istilah qiyamuhuna, akhiran –an pada kata lahutan, serta awalan pi- pada kata pirobbun
jelas merupakan bagian dari gramatika Sunda. Di sejumlah tempat tampak
kreativitas HHM menjadikan penyerapan istilah Arab ke dalam tata gramatikal
Sunda tidak terasa janggal, seperti dalam PNgdK berikut ini:
La ilaha ilallahu,
pokpokan nu beurat
lain,
ilallah nu beurat enya,
Allahu méh
taya lain,
hu bitu ngan kari enya,
hakéki ngan kari budi
Perhatikan
ungkapan ―hu bitu‖ yang luar biasa.
Kata ganti orang ketiga tunggal Ar. hu(wa), yang jika dilekatkan pada subjek
menjadi kata ganti posesif, diserap menjadi kata yang berdiri sendiri serta membangun purwakanti dengan kata bitu.
Tinjauan atas Konstruksi
Sajak
Jika
dangding-dangding HHM kita tinjau selayang pandang, di dalamnya terlihat adanya
sejumlah bait, khususnya pada bagian permulaan, yang kiranya agak ―mustahil
dibaca‖. Posisi bait-bait seperti itu dalam keseluruhan bangunan dangding
sepertinya dapat dilihat seperti posisi sampiran dalam puisi lama Melayu, atau
mungkin lebih tepat dikatakan seperti posisi rajah dalam tradisi carita pantun Sunda. Untuk melihat
contohnya, berikut ini adalah petikan bait dari HNHG yang mengolah majas visual
sekaligus auditory:
Japati hiber ka bumi,
macokan kembang
dalima,
hayam
jago ngéplék jawér,
rubak dada lebar
jangjang,
kalayang ka tanah
wétan,
diburu ku hayam
tukung,
6
Waliwis hiber ti
peuting,
eunteupna kana
bangbayang,
diboro
ku hayam katé,
koléang kana suhunan,
barina kokoréakan,
kurulung si beurit
jantung,
eusina kumaha dinya.
Larik
terakhir dalam kutipan di atas (eusina
kumaha dinya ‗isinya terserah kamu‘) sepertinya menunjukkan sense of humour HHM. Ia sepertinya
membuat semacam sampiran dengan tidak menegaskan atau menekankan isi. Pembaca,
yang barangkali berharap mendapatkan wejangan dari HHM, seakan diminta menerka
atau memikirkan sendiri makna yang (mungkin) terkandung dalam larik-larik
sebelumnya.
Bahkan
pada bagian-bagian awal dangding PNgdK, ―permainan sampiran‖ seperti itu terasa
lebih menonjol. Ia seakan hendak mengatakan bahwa isi lariknya wallahu’alam ‗hanya Allah yang Tahu‘ dan
moal sacangkang saeusi ‗cangkang dan
isi tak akan bersambung‘. Kita petik:
Sindir sapada ti
indung,
hiji ti bapa pribadi,
nu
sapada sisindiran,
pangasuh aing keur
leutik,
eusina wallahu’alam,
moal
sacangkang saeusi.
Dengan
kata lain, dalam dangding-dangding HHM tampaknya selalu tersedia semacam
ruang-ruang kosong tempat pembaca dapat menentukan posisinya. Jika ruang-ruang
kosong itu ditempatkan di awal dangding, fungsinya jadi seperti rajah pamuka dalam carita pantun yang
dengannya pembaca dapat mengalami sejenis pengkondisian psikologis sebelum masuk ke relung-relung permenungan
mistik. Jika ruang-ruang kosong itu ditempatkan di tengah rangkaian larik
dangding, fungsinya jadi seperti interlude.
Selain
menyediakan ruang-ruang kosong, HHM juga sering asyik bermain musik, dalam arti
mengolah bunyi kata secara leluasa. Pada larik-larik seperti itu, kata-kata
seakan dilepaskan dari ikatan maknanya, kemudian dikembalikan kepada bentuknya
yang paling purba. Dari PNgdK, misalnya, kita dapatkan bait sebagai berikut,
yang variannya cukup banyak baik dalam dangding tersebut maupun dalam dangding
lain:
Ngalantung batur
sakurung,
kurang
pakurang pakuring,
kuring pakurang
pakurang,
kurang pakurang
pakuring,
kuring
pakuring pakurang,
kurang pakurang
pakuring.
Dengan
pijakan yang amat kuat pada tradisi sastra Sunda (seperti yang terlihat antara
lain dari idiom, majas dan posisinya dalam keseluruhan bangunan puisi) serta
sensibilitas atas (bunyi) kata, HHM tampaknya meniupkan semacam ruh baru pada
perkakas puitika tradisional. Dangding yang lazimnya dimanfaatkan untuk
mewadahi kisah atau uraian mengenai suatu perkara, seperti yang sering kita
dapatkan dalam wawacan, dijadikan
sebentuk nampan puitika yang mewadahi pengalaman, penghayatan serta pemahaman
HHM sehubungan dengan mistisisme Islam.
Namun,
karena muatan mistisisme berada di luar jangkauan esai ini, di sini saya hanya
akan mengomentari salah satu pola persajakan yang berkaitan dengan hal itu yang
terasa menonjol. Pola tersebut kiranya dapat dikenali pada larik-larik yang
mengolah
7
paradoks. Jika kita kembali pada PNgdK, kita
dapat memetik sebait contoh yang variannya juga cukup banyak:
Sapanjang néangan
kidul,
kalér deui kalér deui,
sapanjang néangan
wétan,
kulon deui kulon deui,
sapanjang
néangan aya,
euweuh deui euweuh
deui
Bandingkan pula paradoks seperti itu dengan
paradoks lainnya dalam dangding yang sama sebagai berikut:
Ngalantung méméh
ngalantung,
ngalinjing méméh
ngalinjing,
néangan
méméh néangan,
nepi ka méméhna indit,
datang saméméhna iang,
indit
saméméh mimiti.
Ungkapan
seperti nepi ka méméhna indit ‗tiba
ke tempat berangkat‘? terasa luar biasa. Jika kita berupaya membaca larik
seperti itu secara visual, akan kita dapatkan sebentuk lingkaran (hermeneutik?)
yang titik awal dalam tarikan garisnya sekaligus menjadi titik tujunya.
Sehubungan dengan nuansa Islami yang sedemikian kuatnya dalam dangding
HHM
—tapi lagi-lagi berada di luar jangkauan esai
ini— kita dapat mencatat bahwa dalam dangding-dangdingnya HHM turut mengolah
idiom-idiom yang tampaknya berasal dari zaman pra-Islam tapi tentu saja akrab
dengan publik sastra Sunda pada masanya, sebagai berikut:
Pundungan sili
puntangan,
ati gering ku kaéling,
dangiang
perang ku melang,
béak lebak béak
lamping,
putra-putri dipaling,
kasambat
Batara Guru,
keur suka pada suka,
peutingna midadaréni,
bakasambang
jampana taya eusina.
....
Sampurna alaming rasa,
lali kana pancakaki,
kakina
panceranana,
panarik alaming pasti,
pastina kapilali,
ka
luhur ka Sang Rumuhun,
ka handap ka Sang
Batara,
Batara Wisnu sajati,
jati
waras kasampurnaning sorangan.
Timbul
pertanyaan yang jawabannya akan memerlukan konsultasi dengan ahli tasawuf:
apakah pemilihan pupuh dalam
dangding-dangding HHM ditentukan atau dipengaruhi oleh kekhususan pengalaman
atau pemahaman mistik yang hendak
8
diungkapkannya? Pertanyaan seperti ini kiranya
lumrah manakala kita ingat bahwa tiap-tiap pupuh sesungguhnya mewakili suasana
hati yang berbeda satu sama lain. Jenis pupuh
yang diolah HHM dalam dangding-dangdingnya yang telah diketahui atau
ditransliterasikan ke dalam aksara Latin sejauh ini adalah kinanti, sinom, asmarandana, dangdanggula, pucung, magatru, pangkur dan mijil.
Akhirulkalam
Uraian di
atas kiranya dapat dijadikan pijakan untuk mengatakan bahwa hingga batas
tertentu, dangding-dangding karya HHM barangkali sebaiknya dilihat sebagai
puisi dengan segala rinciannya. Mistisisme (Islam) memang sudah jelas merupakan
subject matter seluruh dangdingnya,
tetapi kenyataan itu kiranya tidak perlu membuat orang mengabaikan segi-segi
estetis atau puitis sehubungan dengan bentuk ekspresinya. Bahkan, hingga batas
tertentu, resepsi pembaca atas pesan-pesan mistik yang terkandung dalam
dangding-dangding HHM kiranya dapat pula dipandang sebagai efek puitik
tersendiri.
Penting
pula dicatat bahwa, untuk sebagian, baris-baris dangding HHM tampaknya tidak
selalu merupakan cetusan pesan mistik, melainkan lebih cenderung merupakan
bentuk ekspresi yang murni puitik. Pada larik-larik puisi demikian, tampak
adanya pertautan erat antara dangding-dangding HHM dan tradisi literer serta
tradisi lisan yang sudah lama berkembang di lingkungan budaya yang melingkupi
diri HHM sendiri.
Dewasa ini
orang cenderung lupa bahwa dangding, tak terkecuali dangding karya HHM,
sesungguhnya bukan hanya merupakan konstruksi verbal, melainkan juga merupakan
konstruksi musikal. Efek puitik dangding akan terasa sepenuhnya manakala puisi
itu tidak sekadar dibaca, melainkan juga dilantunkan sesuai dengan jenis pupuh-nya.
Catatan-catatan
seperti itu pada gilirannya barangkali dapat mendorong kita untuk sedikit
menggeser titik api perhatian, yakni dari mistisisme ke rincian persajakan.
Dengan demikian, kian terbuka peluang untuk menjadikan dangding-dangding
peninggalan HHM sebagai referensi kolektif yang amat kaya bagi komunitas sastra
Sunda untuk mengembangkan puisi Sunda itu sendiri, terutama dalam kaitannya
dengan pengolahan kembali dasar-dasar puitikanya.
Untuk mengakhiri uraian ini, perkenankan saya memetik dua bait puisi
dari HnHG:
Dinyarana kuring
santri,
sapédah bisa ngajina,
dinyarana
alim kahot,
pédah getol
ngawurukna,
dinyarana
bijaksana,
sapédah mulus rahayu,
puguh sagala turunan.
...
Barodona alam nyantri,
tacan kitab tacan Qur’an,
tacan daraék
masantrén,
tacan
agama drigama,
kaula éra paradah,
sirung ngamomoré
dapur,
dapuran
kamanusaan.
Daftar Istilah
Ahada
PNgdK ahadan ahadin, ahadin
ahadan, PNgdK wahdaniyatullah,
PNgdK wahdahu
Ilaha
PNgdK Allahu,
PNgdK ilallah, PNgdK billahi, PNgdK ilallahu, PNgdK amantu billahi, PNgdK La ilaha ilallahu, PNgdK
ilahi, PNdK *hu, PNgdK ilahi maksudi
Syahada
PNgdK syahadahna, musyahadah,
PNgdK hakkan,
hakkin, hakkun, hakkan hakkun, hakkan hakkin, hakkan hakkan, PNgdK insan kamil,
PNgdK mutmainah,
PNgdK lahut, lahutan
PNgdK uluhiyah
PNgdK rubbubiyah
PNgdK kamulkian
PNgdK roh idofi,
PNgdK ubudi
PNgdK rahmani
PNgdK robbun marbubun
PNgdK ibadi
PNgdK malikan mamlukan
PNgdK Lahul mulku wa ‘lmalakut
PNgdK sirrun
hakeki, sir hakeki, sirrun ilahi, sirrun rahmani, sirrun ubudi, sirrun rubbubi, sirrun nabawi, sirru mulki,
PNgdK mulki, mulkun, kamulkian,
pimulki
PNgdK lam
yalid wa lam yulad
PNgdK nasutan,
PNgdK Robbulalamin, robbun, pirobbun
PNgdK ghaniyun
anil alamin
Bibliografi
Barthes, Roland
1968 Writing
Degree Zero, terj. Annette Layers
dan Colin Smith. New York: Hill and
Wang.
Coolsma, S.
1985 Tata Bahasa Sunda, terj. Husein Widjajakusumah dan Yus Rusyana. Jakarta:
Djambatan.
Culler, Jonathan
1975
|
Structuralist
Poetics: Structuralism, Linguistics, and the Study of Literature.
|
New York: Cornell University Press.
|
|
2000
|
Literary Theory: A Very Short Introduction. Oxford: Oxford University Press.
|
Dresher,
B. Elan & Friedberg, Nila
|
|
2006
|
Formal Approaches to Poetry: Recent Development in
Metrics. Berlin-New
|
York: Mouton de Gruyver.
Fabb, Nigel & Halle, Morris
2008 Meter in Poetry: A New Theory. Cambridge: Cambridge University Press.
Iskandarwassid; Rosidi, Ajip & Josep C.D.
1987 Naskah
Karya Haji Hasan Mustapa,
Bandung: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi).
Kartini, Tini; Djulaéha, Ningrum; K.M., Saini
& Wibisana, Wahyu.
1985 Biografi
dan Karya Haji Hasan Mustapa, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa.
Kats, J. & Soeriadiradja, M.
1982 Tata Bahasa dan Ungkapan Bahasa Sunda, terj. Ayatrohaédi. Jakarta:
Djambatan
Lubis, Nina H.
|
|
1998
|
Kehidupan Ménak
Priangan: 1800-1942.
Bandung: Pusat Informasi
|
Kebudayaan Sunda.
|
|
Rosidi, Ajip
|
|
1966
|
―Tjatetan-tjatetan
Ngeunaan H. Hasan
Mustapa‖ dalam Dur Pandjak.
|
Bandung: Pusaka Sunda, hal. 25-31.
|
|
1989
|
Haji
Hasan Mustapa jeung Karya-karyana.
Bandung: Pustaka.
|
1995
|
Puisi Sunda I. Bandung: Geger Sunten.
|
Rusyana, Yus
|
|
1995
|
Guguritan
Munggah Haji. Bandung: Geger Sunten.
|
Wiranatakoesoema,
R.A.A.
|
|
1941
|
Riwajat
Kangdjeng Nabi Moehammad s.a.w. Bandoeng: Islam Studieclub.
|