Siapa Menyelamatkan Anak Kecil Aceh, Menyelamatkan Seluruh
Aceh (4)
Ini sebagian dari puisi kepahlawanan Aceh yang diterjemahkan ke dalam
Bahasa Belanda: (21)
Daarom, teungkoes, weest niet nalatig.
Volbrengt de godsdienstplichten, o
broeders.
O, vrienden, er is geen enkele goede
daad,
Die het oorlogvoeren overtreft.
De Heilige Oorlog is u als plicht
opgelegd,
Begrijpt dat goed, o broeders!
Eerst komt de geloofsbelijdenis, dan de
sembahjang
(dagelijks 5x bidden-Red),
Ten derde het oorlogvoeren tegen de
Hollanders.
Oleh sebab itu, tengku, jangan tidak peduli
Kerjakanlah kewajiban beragama, o saudaraku
Oh, kawan, tidak ada satu pun kebaikan,
Yang melebihi perjuangan dalam peperangan
Perang jihad adalah kewajibanmu
Pahamilah hal itu, o saudaraku!
Pertama membaca syahadat, kemudian shalat,
Ketiga berperang melawan Belanda.
Sementara Teuku Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda, sang istri, Cut
Nya Dien, menyanyikan lagu pengantar tidur untuk bayi mereka: (22)
Hé, mijn kleine jongen, mijn beminde
zoon, je bent een man,
Je vader, je grootvader zijn ook
mannen, toon je manlijkheid,
De Christenhonden willen ons land
bezetten,
Zij willen onze
godsdienst inruilen coor hun godsdienst,
De godsdienst van de christenhonden.
Verdedig de
rechten van ons Atjenees volk,
Verdedig onze
godsdienst, de Islamitische
godsdienst.
O, mijn zoon, volg
de voetsporen van je vader,
Teuku Ibarhim
Lamnga, nu hij niet thuis is.
Denk maar niet dat
je vader met z’n vrienden op stap is
Om de komst van de
Christenhonden te vieren,
Hij is op weg om
hen te verjagen uit het land Atjeh.
Hai, anak lelakiku, anak lelaki kesayanganku, kau
seorang lelaki,
Ayahmu, kakekmu juga laki-laki, tunjukkan
keperkasaanmu,
Anjing-anjing Kristen ingin menguasai negara kita,
Mereka ingin menukar agama kita dengan agama
mereka,
Agama para anjing Kristen.
Belalah hak rakyat Aceh,
Belalah agama kita, agama Islam.
O, anak lelakiku, ikutilah jejak ayahmu,
Teuku Ibrahim Lamnga, yang sekarang tidak di
rumah,
Jangan kira ayahmu sedang bersenang-senang dengan
temannya,
Untuk merayakan kedatangan para anjing Kristen,
Beliau pergi untuk mengusir mereka dari tanah
Aceh.
Sampai sekarang hikayat masih tetap aktif dihidupkan. Pada tahun 2007 terbit
versi kartun kisah hikayat untuk anak-anak sekolah di Aceh. Sampai sekarang
para ibu juga masih menyanyikan lagu pengantar tidur untuk bayi-bayi
mereka. Lagu-lagu dodaidi mengajarkan pada
anak-anak Aceh agar kelak harus membantu para pejuang Aceh. Ini salah satu lagu
dodaidi: (23)
Tiada Tuhan selain Allah
Rasul telah berpulang
Kembali ke pangkuan Allah
Beliau meninggalkan Al Qur’an untuk kita
Do idi ku doda idang
Tali layang-layang di udara telah putus
Jadilah anak yang kuat, oh Banta Seudang
Ikutlah bertempur dalam peperangan, selamatkan
Aceh.
Apakah Perang Aceh yang di Aceh disebut sebagai Perang Penjajahan Belanda
masih diingat? Mehmet Ozay membantu saya pada Januari 2010 mewawancarai lebih
dari 25 murid sekolah, mahasiswa dan dosen di Banda Aceh (24).
Bagaimana mereka mengenang Perang Aceh?
”Jakarta” tidak pernah mempunyai perhatian terhadap sejarah daerah, tetapi
memusatkan perhatian hanya pada sejarah Jawa dan hanya mengakui
pahlawan-pahlawan nasional yang di dalamnya termasuk Teuku Umar dan Cut Nya
Dien. Bagi ”Jakarta”, Aceh merupakan hal yang peka. Generasi muda Aceh tidak
diperkenankan untuk menjadi patriot Aceh.
Oleh sebab itu seberapa jauh pelajaran tentang Perang Penjajahan Belanda
diberikan di sekolah di Aceh sangat bergantung pada pengajarnya. Sejak
penandatanganan Kesepakatan Helsinki antara Aceh dan ’Jakarta’ tahun 2005 maka
ketertarikan secara terbuka di Aceh terhadap Perang Penjajahan Belanda semakin
meningkat. Para kakek tanpa
rasa takut dapat menceritakan kembali kisah perjuangan mereka kepada cucu-cucu.
Para pengajar sekolah dasar dan sekolah menengah menceritakan dalam pelajaran
sejarah bagaimana rakyat Aceh dengan gagah berani melawan penjajah Belanda
hanya dengan bersenjatakan bambu, rencong dan klewang.
Di sekolah menengah atas, tugas mata pelajaran Imperialisme dan
Kolonialisme di Indonesia merujuk pada perang tersebut. Di tingkat universitas di jurusan sejarah
diperbandingkan visi para sejarawan Aceh dengan visi para sejarawan Belanda.
Bagaimana Jendral Belanda Köhler pada Perang Aceh Pertama tahun 1873
dibunuh oleh rakyat Aceh di bawah pohon geulumpang dekat Mesjid Raya di
Kutaraja sangat populer untuk dibahas.
Dan bagaimana Teuku Umar mengelabui Belanda juga dengan sendirinya berada
dalam urutan teratas pembahasan. Mereka selalu memandang ahli Islam asal
Belanda bernama Snouck Hurgronje dengan pengetahuannya tentang Aceh sebagai
pengkhianat. Sebagaimana Belanda mengenal Van Heutsz, para murid dan mahasiswa
Aceh juga mengenal para pahlawan mereka.
Mereka telah melihat pameran foto tentang Perang Belanda di Museum Aceh dan
mereka juga mengenal Hikayat Perang Sabil. Dan dengan wisata sekolah ke Makam
Belanda Kerkhof di Banda Aceh, makam militer Belanda terbesar di Aceh tempat
bersemayam sekitar 2.200 militer KNIL, mereka melihat dengan mata kepala
sendiri bahwa Perang Belanda di Aceh bagi Belanda sendiri bukan hal yang
ringan.
Di makam ini mereka juga melihat nama-nama asal
Ambon, Menado dan Jawa yang menjadi bukti betapa kreatifnya Belanda untuk
saling mengadu domba orang Indonesia antara satu dengan lainnya. Sementara Jawa
sudah beberapa ratus tahun menjadi jajahan Belanda, maka Aceh setelah 70 tahun
berperang sebenarnya belum benar-benar berhasil dikuasai oleh Belanda.
Hal ini sampai sekarang masih diceritakan oleh orang Aceh dengan penuh
kebanggaan. Pastilah bukan tanpa sebab bahwa orang Aceh masih mengingat Perang
Penjajahan Belanda yang terjadi antara 70 hingga 140 tahun yang lalu di samping
tragedi tsunami tahun 2004. Kursus tambahan bagi para pengajar tentang perang
tersebut akan dilakukan di masa depan dan sebuah pameran foto besar-besaran
pada tahun 2011 tentang perang tersebut juga sedang dalam tahap persiapan.
(Bersambung)
(Penulis Nico Vink, diterjemahkan oleh
Hasti Tarekat)
Penulis adalah dosen HEAO (Den Haag),
dosen Fakultas Obyek Indutrial/Teknik Universitas Delft, dosen tamu
di Kopenhagen, Trondheim dan Oslo, Lódz/Polen, Tokaj/Japan, AGSIM (Phoenix USA)
dan penulis buku Verbannen uit
Indie (1936-1945) Walburg Pers Zutphen, 2007
***
Siapa Menyelamatkan Anak Kecil Aceh,
Menyelamatkan Seluruh Aceh (5-selesai)
Perang Dunia Kedua dan pembunuhan Yahudi oleh Nazi
memang sudah selayaknya mendapat tempat dalam pendidikan sekolah kita di
Belanda. Kedua subyek sejarah tersebut beruntung mendapat tempat yang dominan
dalam otak generasi muda kita. Tetapi hal itu juga sayangnya menimbulkan
beberapa dampak negatif. Kapasitas otak relatif kecil dan kita khawatir tidak
ada tempat lagi untuk subyek sejarah yang penting seperti Perang Aceh yang
berlangsung selama 30, 40 atau bahkan 70 tahun. Juga terlalu sedikit, sangat
sedikit perhatian yang diberikan para dosen untuk episode yang sangat berarti
ini dalam sejarah kita.
Akibatnya adalah ingatan yang semakin terpinggirkan tentang perang ini. Hal
ini diperburuk oleh banyaknya monumen kenangan dan peringatan di negara kita
tentang Perang Dunia Kedua namun sangat sedikit sekali tentang Perang Aceh.
Monumen dan tempat-tempat bersejarah di Aceh buat kita jauh letaknya dan dengan
demikian juga tidak mudah untuk dikunjungi secara massal dari negara kita.
Begitu banyak monumen bertema Perang Dunia Kedua namun monumen
Perang Aceh sampai sekarang nyaris tidak mendapat perhatian. Tampaknya ada
kecenderungan kuat bahwa kecintaan kita pada kemerdekaan hanya berlaku untuk
diri kita sendiri. Orang lain selalu salah dan harus merasa malu jika mereka
mengancam dan merebut kemerdekaan kita, tetapi jika kita merampas kemerdekaan
orang lain (misalnya rakyat Aceh), maka kita dengan sendirinya segera menerapkan
standar keadilan yang berbeda atau kita mengalihkan perhatian ke arah lain.
Untungnya hal itu akan segera berakhir karena sejak tahun ini perubahan
akan terjadi. Sekarang Komite 4 & 5 Mei (Komite di Belanda untuk
memperingati Hari Kemerdekaan Belanda dari Pendudukan Jerman) bukan hanya
memikirkan tentang kemerdekaan kita tetapi juga kemerdekaan semua orang di
seluruh dunia. Juga rakyat Aceh sekarang (dan juga pada masa lalu jika
boleh saya tambahkan).
Bicara tentang monumen, kita pernah memiliki monumen Van Heutsz di
Amsterdam. Tetapi karena Van Heutsz merupakan simbol perdebatan (Peter van
Zonneveld telah merumuskannya dengan baik) (25), maka nama monumen
tersebut diganti menjadi Monumen Indïe-Nederland
(Indonesia-Belanda) dan berubah maknanya menjadi kenang-kenangan tentang
hubungan antara Belanda dan Indonesia pada masa kolonial.
Tetapi monumen itu tidak terfokus pada Perang Aceh. Juga ketika monumen itu
masih bernama Monumen Van Heutsz, nyaris tidak seorang pun yang tahu
bahwa itu adalah monumen Aceh milik kita. Van Heutsz adalah komandan militer di
Aceh dan Gubernur Aceh antara tahun 1890-1904. Perang Aceh dimulai tahun 1873
dan berlangsung hingga 1942 (ada berbagai pendapat tentang hal ini).
Jadi ada Perang Aceh sebelum dan sesudah Van Heutsz. Sekitar empat atau
lima Perang Aceh seluruhnya, setiap kali dengan komandan militer yang berbeda.
Sudah saatnya dibangun sebuah monumen yang khusus untuk memperingati Perang
Aceh, yang dimulai sejak invasi di Aceh tahun 1873 dan berakhir dengan
perlawanan seluruh rakyat Aceh hingga keluarnya Belanda dari Aceh tahun 1942.
Sebuah monumen tentang agresi dan pendudukan Belanda serta pembebasan Aceh.
Sebuah monumen yang menggambarkan sisi kemanusiaan dan kebiadaban Belanda
dan Aceh yang terjadi selama masa itu. Kisah-kisah dalam buku sejarah juga
harus lebih kaya, lebih menarik, lebih menghanyutkan, lebih komunikatif.
Tentang Aceh dan Perang Aceh harus disediakan bukan lagi dana melainkan
kreativitas yang informatif. Harus ada film atau serial televisi yang menarik
tentang Perang Aceh yang sungguh-sungguh menggambarkan daerah dan
rakyatnya, yang menggambarkan Aceh seratus tahun yang lalu sebagaimana aslinya.
Otentik. Menampilkan bukan hanya orang Belanda tetapi juga para serdadu
KNIL asal Ambon, Menado dan Jawa, para pejuang Aceh serta wanita dan anak-anak.
Jadi bukan semacam tokoh karikatur pemberani yang diromantisasi ala Filipina
sebagaimana film NCRV tahun 1996. Aceh dan Perang Aceh harus dihidupkan
kembali. Untungnya pada tahun 2009 het Indisch Herinneringscentrum
(Lembaga untuk memperingati sejarah tentang Indonesia) atau disebut juga IHCB
di Bronbeek dibuka. Pertengahan Agustus 2010 akan diselenggarakan pameran
berjudul Het verhaal van Indië (Kisah tentang Indonesia) di
Bronbeek.
Artinya setelah esai ini selesai ditulis. Apakah IHCB menampilkan
kisah Perang Aceh dengan baik dan pameran tersebut berhasil, saya tidak dapat
menjawabnya saat ini, tetapi saya harap akan demikian. Maka cukup banyak hal
besar yang masih bisa dilakukan. Salah satunya tentu saja masih harus kita
tunggu bagaimana seorang ilmuwan NIOD (Lembaga Dokumentasi Perang Belanda)
bernama Elly Touwen-Nouwsma (26) yang mencintai
’kebaikan KNIL’ (dan para pahlawannya) (27) menyebut monumen KNIL,
sebuah patung dada Van Heutsz dari perunggu, sebuah bangku dengan plakat
bertuliskan Jendral van der Heijden (atau Kareltje Eénoog) dan patung
tentang Perang Aceh di Taman Bronbeek untuk menggambarkan ’bagaimana seorang
Aceh diancam akan dibunuh oleh seorang prajurit KNIL (yang heroik-Red)’.
Jika Elly-Touwen-Bouwsma merasa gelisah, maka saya ingin menenangkan
beliau. Patung yang sebaliknya juga ada. Patung penembak kanon Belanda yang
gagah berani namun tidak terkenal yang pada peperangan di Mesjid Raya di
Kutaraja digorok lehernya (oleh seorang pejuang Aceh) hingga jatuh dari tangga
dan tewas di tangan teman-temannya (28). Tidak ada yang
menentang sanjungan setinggi langit terhadap para jendral Belanda dan para
serdadu mereka yang heroik dan berusaha menciptakan ketentraman dan kedamaian,
juga tidak ada yang menentang Monumen Van Heutsz yang bombastis di Amsterdam,
yang diresmikan dengan penuh keartistikan.
Jika saja di seberang bekas Monumen Van Heutsz ke arah Amsterdams
Lyceum (Sekolah Menengah Amsterdam) di Valeriusplein sebuah tempat
disediakan untuk sebuah monumen yang mencerminkan harapan, misalnya patung
seorang anak lelaki Aceh yang duduk di bawah kerindangan bambu sebagai
satu-satunya orang yang selamat ketika pembantaian terjadi di kampungnya di
Kuto Rèh tahun 1904. Disebelahnya patung seorang serdadu KNIL yang besar dan
tinggi sebagai latar belakang, mendongak, yaitu komandan KNIL Van Daalen yang
memandang rendah pribumi. Terinspirasi oleh foto saat itu yang terkenal (29).
Amsterdam, masyarakat Amsterdam, Belanda, niatkanlah bahwa patung tentang
harapan itu akan dibangun. Siapa yang menyelamatkan seorang anak lelaki Aceh,
maka menyelamatkan juga seluruh Aceh (30).
Kita juga seharusnya bersikap jelas dan tidak terlambat menyadari bahwa
kita masih bisa belajar banyak dari Perang Aceh. Belajar untuk tidak
tergesa-gesa dan melakukan persiapan yang baik sebelum memulai perang. Belajar
untuk memeriksa kebenaran dari berita yang kita terima (Irak hingga Aceh!)
Ancaman yang muncul tidak harus selalu diselesaikan melalui perang (Aceh yang
di seberang lautan hingga bajak laut Somalia).
Bahwa orang lain juga mempunyai hak kemerdekaan yang sama dengan kita.
Bahwa kita, orang Belanda, menggunakan standar keadilan ganda dalam usaha untuk
menguasai dan menjajah bangsa lain sebagaimana halnya musuh dan lawan-lawan
kita (Belanda melawan Aceh tahun 1873 hingga Nazi-Jerman melawan Belanda tahun
1940)-(31). Dan sejak serangan Belanda ke Aceh tahun
1873, terutama sejak tahun 1890-an ketika Snouck Hurgronje dan muridnya yang
militer yaitu Van Heutsz terlibat maka semakin jelas bagi pihak Belanda bahwa
bertempur dan meraih kemenangan di Aceh adalah sesuatu yang khusus, lebih
daripada menyerang musuh di lapangan terbuka.
Usaha lebih diarahkan untuk bagaimana caranya mendapat dukungan dari
masyarakat lokal, pegawai pemerintah dan para pemimpin spiritual. Untuk
mempersempit ruang gerak para pejuang Aceh. Untuk diakui bahwa mereka telah
melindungi masyarakat setempat. Untuk membantu tugas-tugas kepemerintahan.
Untuk membangun jembatan dan jalan-jalan, untuk memperbaiki kampung-kampung,
untuk membantu para petani, membangun mesjid dan ruang-ruang pertemuan
masyarakat.
Setelah Irak dan Afghanistan kini Departemen Pertahanan Belanda
mengeluarkan buku panduan doktrin baru yang diterbitkan dengan penuh
kebanggaan, padahal pelajaran berharga yang sama sudah lama ada. Pengalaman 70
tahun Perang Aceh tidak berarti apa-apa bagi Departemen Pertahanan.
Sekarang akhir ’Periode Pemerintahan Beatrix’ semakin mendekat, maka saya
ingin menyerukan hal ini pada Sang Ratu: Ratu, akan sangat indah sekali jika
kita bisa berbaik kembali dengan rakyat Aceh, yang sudah berperang dengan kita
begitu lama di masa lalu. Pada tahun 1873 kita mengumandangkan perang pada
Aceh. Tetapi perdamaian dengan Aceh tidak pernah tercapai. Tidak pernah. Kini
tiba waktunya untuk menyatakan penyesalan kepada Aceh. Permintaan maaf
sejujur-jujurnya dari hati yang terdalam. Ingatan akan Perang Aceh
sama sekali belum mati.
(Ditulis oleh Nico Vink, diterjemahkan
oleh Hasti Tarekat)
Daftar Rujukan
Basry, Muhamad Hasan, Perang
Kolonial Belanda di Aceh, Banda Aceh, 1990
Bossenbroek, Martin, Geweld
als therapie, dalam: Liesbeth Dolk (red.), Atjeh,
De verbeelding van een koloniale oorlog, Penerbit Bert Bakker,
Amsterdam 2001
Blokker, Jan, Veel
geleerd, niets onthouden, dalam: NRC Handelsblad, 4 September 2009
Blokker, Jan, Nog
altijd de oorlog van Lou de Jong, dalam: NRC Handelsblad, 14 Mei
2010
Bruinsma J.F.D., De
verovering van Atjeh’s Grote Mesigit, 1889
De Groot, Menke, Onze
vestiging in Atjeh, Drogredenen zijn geen waarheid, van G.F.W.
Borel, Penerbit
Eburon Delft, 2009
Hadi, Amirul, Exploring the Acehnese Conception of ,
A Study of Hikayat Prang Sabi, makalah yang dipresentasikan pada
First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies, Banda Aceh,
24-27 Pebruari 2007
Hogervorst, Lucie, Van
etnocentrisme naar cultuurrelativisme, skripsi doktoral, Rotterdam,
2004
Hogervorst, Lucie, De
(niet te) vergeten oorlog in Atjeh, dalam: Penerbitan Khusus 65
jaar na de Tweede
Wereldoorlog, 2010
Langeveld, Herman, Dit
leven van krachtig handelen. Hendrikus Colijn 1869-1944, Deel 1:
1869-1933,
Atjeh, Penerbit Balans, 1998
Marzuki, Marlina, Dodaidi, More than songs of lullaby, Lhokseumawe
State Polytechnic, 2009
Paasman, Bert, Wij
gaan naar Atchin toe, dalam: Liesbeth Dolk (red.), Atjeh,
De verbeelding van een koloniale oorlog, Penerbit Bert
Bakker, Amsterdam 2001
Rep, Jelte, Atjeh,
Atjeh!, Penerbit de Prom, Baarn 1996
Székely-Lulofs, Madelon,
Tjoet Nja Din, Amsterdam 1948, ’s-Gravenhage
1985
Touwen-Bouwsma, Elly, Het
Bronbeekpark, dalam: Madelon de Keizer en
Marije Plomp (red.), Een open
zenuw. Hoe wij ons
de Tweede Wereldoorlog herinneren,Penerbit Bert Bakker,
Amsterdam, 2010
Van ’t Veer, Paul, De
Atjeh-oorlog, Penerbit de Arbeiderspers, 1969
Vink, Nico, Verbannen
uit Indië (1936-1945), Penerbit Walburg Pers, 2007
Vink, Nico en Mehmet
Ozay, Wat weten Atjehers van de Hollandse Koloniale
Oorlog in
Atjeh?, Januari 2010, penelitian yang belum diterbitkan.
Wekker, Hoe
beschaafd Nederland in de twintigste eeuw vrede en orde schept op Atjeh, 17
artikel
dalam De Avondpost, Oktober 1907
Zentgraaff, H.C., Atjeh,
Batavia, 1938
Zonneveld, van, Peter, De
Van Heutsz-mythe, dalam: Liesbeth Dolk (red.), Atjeh, De
verbeelding van een koloniale oorlog, Penerbit Bert Bakker, Amsterdam,
2001
Catatan
(1) Wekker
1907
(12) Bossenbroek 2001
(23) Marzuki 2009
(2)
Székely-Lulofs
1948/1985
(13) Langeveld 1998
(24) Vink en Ozay 2010
(3) Blokker
2009
(14) Székely-Lulofs 1948/1985
(25) Van Zonneveld 2001 hal. 139-154
(4) de Groot
2009
(15) Faber 1988
(26) Touwen-Bouwens 2010 hal. 105
(5) Paasman
2001 hal.
159/160
(16) Van ’t Veer
1969
(27) Blokker 2010
(6) Paasman
2001 hal.
51
(17) Dolk
2001
(28) de Groot 2009 hal. 24
(7) Paasman
2001 hal.
56
(18) Hogervorst 2004
Basry 1990 hal. 99
(8) Paasman
2001 hal.
63
(19) Hogervorst
2010
Bruinsma 1889 hal. 59
(9) Van ’t
Veer 1969 hal. 39
(20) Hadi 2007
(29) Bossenbroek 2001 hal. 21
(10) Zentgraaff 1938 hal.
190
(21) Zentgraaff 1938 hal.
245
Basry 1990 hal.
190
(11)Van ’t Veer 1969
hal.256 (22)Rep 1996 hal. 5 (30) geïnspireerd op de Talmud
(31) Vink 2007 hal. 163
Nico Vink
(Surabaya 1928),
pengemudi kapal Java-China-Japan Lijn, drs. ekonomi (Amsterdam 1954), ekonomi
lalu lintas (Bergen/Noorwegen), KLM (Asia), biro iklan Nijgh/Rotterdam dan
KVH/Amsterdam, dosen HEAO (Den Haag), disertasi Macht en
Kultuur in Marketing (Tilburg, 1986), dosen Fakultas Obyek
Indutrial/Teknik Universitas Delft, dosen tamu di Kopenhagen, Trondheim
dan Oslo, Lódz/Polen, Tokaj/Japan, AGSIM (Phoenix USA), penulis buku Verbannen
uit Indie (1936-1945) Walburg Pers Zutphen, 2007.