DARIMANA ISLAM DATANG DAN SIAPA PENYEBAR UTAMANYA?
Abdul Hadi W. M.
Agama Islam telah hadir di Nusantara selambat-lambatnya pada abad ke-8 atau 9 M bersamaan dengan waktu ramainya kegiatan perdagangan internasional yang dilakukan bangsa Aran, Turki, Persia dan Indo-Muslim di Asia Tenggara. Tetapi sampai abad ke-12 M agama ini berkembang lambat dan penganutya terbatas di kota-kota pesisir yang biasa disinggahi kapal-kapal dagang Muslim itu. Karena itu pengaruhnya tidak cukup berarti bagi masyarakat Melayu, penduduk Nusantara pertama yang memeluk agama ini secara massal dan mengembangkan peradaban baru berdasarkan agama ini.
Pengaruh kehadiran agama ini mulai tampak pada abad ke-13 – 15 M setelah berdirinya dua kerajaan besar Islam Samudra Pasai (1270-1524) dan Malaka (1400-1511), serta hadirnya para sufi pengembara dan guru-guru agama yang tampil sebagai pendakwah ulung. Kehadiran agama ini pada-abad tersebut, terlebih pada abad-abad berikutnya, ternyata memberi dampak besar dan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan besar dan mendasar dalam kehidupan bangsa Melayu. Perubahan tersebut tidak hanya berlaku dalam sistem kepercayaan dan peribadatan, tetapi juga dalam tatanan sosial, sistem pemerintahan dan kehidupan intelektual. Tumbuh pesatnya jumlah penganut agama ini di kepulauan Melayu dan berrdirinya kerajaan-kerajaan Islam yang awal itu memungkinkan lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebar luas. Dengan begitu tradisi baca tulis dan keterpelajaran berkembang luuas diikuti oleh maraknya kegiatan penulisan kitab-kitab keagamaan, keilmuan dan sastra.
Karena watak ajarannya yang egaliter dan populis, serta mudah dipahami, membuat semua lapisan masyarakat tertarik untuk memeluk agama ini. Apalagi setelah disampaikan oleh para pendakwah yang piawai melalui bahasa yang sederhana. Diperkuat lagi dengan corak penyebarannya yang mengikuti aktivitas pelayaran dan perdagangan antar pulau, serta pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa penyebarannya (Braginsky 1998). Sebagai agama kitab, Islam menganjurkan kepada para penganutnya agar belajar membaca dan menulis. Dengan demikian mereka dapat membaca dan memahami isi kitab suci al-Qur’an dan ilmu-ilmu Islam lain yang diturunkan darinya. Dibukanya lembaga-lembaga pendidikan memungkinkan penggunaan huruf Arab berkembang. Sejak masa inilah penulis-penulis Melayu menggunakan aksara Jawi atau Arab Melayu dalam menulis kitab atau risalah di dalam bahasa mereka (M. Naquib al-Atttas 1972; Mohd. Taib Osman 1974; Ismail Hamid 1984).
Pusat-pusat penyebaran agama Islam di Nusantara berada di tiga titik sentral yaitu istana, pesantren dan pasar. Di tiga titik sentral penyebaran Islam ini pulalah sastra Melayu baru yang ditulis menggunakan huruf Jawi dilahirkan. Sebagai bagian dari kehidupan intelektual dan keagamaan, karya-karya penulis Melayu itu dengan sendirinya mencerminkan kecenderungan pemikiran dan wawasan budaya yang berkembang pada zaman karya-karya itu ditulis. Karena masing-masing pusat kegiatan penulisan ini memiliki kepentingan, kecenderungan dan wawasan budaya yang berbeda sesuai dengan peran masing-masing dalam penyebaran Islam, maka lahir pulalah dari masing-masing pusat kegiatan penulisan tersebut jenis, bentuk dan ragam sastra yang berbeda-beda. Dengan lahirnya jenis dan ragam sastra yang berbeda-beda itu maka hadirnya Islam menyebabkan sastra tulis Melayu mengalami pengayaan melampaui zaman sebelumnya ketika pusat kegiatan penulisan terbatas di istana dan vihara, sedangkan masyarakat luas di sekitarnya hidup dengan sastra lisan.
Islam dan Kegiatan Perdagangan
Ada beberapa teori yang berbeda tentang dari negeri mana Islam yang berkembang di kepulauan Nusantara datang dan faktor-faktor apa saja yang mendorong pesatnya agama ini berkembang pada abad ke-13 – 17 M. Teori yang awal sekali muncul berasal dari Moquette (1912). Menurutnya Islam yang berkembang di kepulauan Nusantara bercorak India karena Islam memang datang dari Gujarat dibawa oleh pedagang-pedagang India. Teori yang diikuti oleh banyak sarjana Barat dan Indonesia di kemudian hari ini didasarkan pada penemuan batu nisan makam Islam abad ke-13 di Pasai yang bentuknya mirip dengan batu nisan sezaman yang dijumpai di Cambay, Gujarat. Tetapi teori ini dibantah oleh M. Naquib al-Attas (1972:33-4) yang berpendapat bahwa dasar-dasar teori yang dikemukakan Moquette dan para pendukung teorinya itu sangat lemah.
Menurut al-Attas batu-batu nisan itu didatangkan dari Cambay semata-mata karena letak negeri itu lebih dekat ke Sumatra dibanding dibawa dari negeri Arab dan Persia. Batu nisan itu bisa saja dibuat oleh pengrajin Arab atau Persia mengikut model yang telah berkembang di Asia Tengah dan Asia Barat. Yang penting untuk dijadikan dasar pembuktian bukan bentuk nisan itu semata-mata, tetapi corak dari kandungan teks keagamaan yang dinukilkan pada batu nisan itu yang sepenuhnya berciri Islam. Berdasarkan hujahnya ini al-Attas mengemukakan bahwa agama Islam yang hadir di kepulauan Nusantara berasal dari Arab atau Persia, dibawa oleh para pendakwah Islam bersama-sama para saudagar. Gujarat, Koromandel dan Malabar di India, atau Koromandel dan hanya tempat persinggahan sementara sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Nusantara.
Sarjana Melayu itu lebih lanjut mengatakan bahwa bukti paling kuat berkenaan dari mana Islam datang, dan siapa yang memainkan peranan penting, ialah dengan melihat watak, corak dan ciri umum Islam yang berkembang di Nusantara, bukan bentuk-bentuk artefak. Untuk mengetahuinya seseorang harus meneliti sastra Melayu dan pemikiran keagamaan yang dominan. Bahwa Islam yang dianut sebagian besar penduduk Nusantara adalah madzab Syafii dengan kecenderungan sufistik yang kuat, menunjukkan bahwa Islam yang tiba di Nusantara dari Yaman. Ada pun tradisi sastra yang dikembangkan terutama bersumber dari khazanah sastra Persia.
Ibn Batutah yang berkunjung ke Samudra Pasai pada tahun 1345-6 dalam kitabnyaRihlah melaporkan bahwa sultan yang memerintah negeri adalah seorang yang saleh dan gemar berdiskusi denan para ulama madzab Syafii, ahli-ahli tasawuf dan para cendikiawan dari Persia. Setiap hari Jum’at sultan berjalan kaki ke masjid seperti orang biasan dan disana bertemu serta berbincang dengan orang banyak” (Gibb 1957:273-6). Minat dan kecenderungan pada tasawuf juga tampak pada inskripsi pada batu nisan makam Islam di Pasai dan Malaka abad ke-13 – 15 M, serta tempat-tempat lain di Sumatra dan Semenanjung Malaya. Selain menampilkan nukilan-nukilan ayat-ayat sufistik al-Qur’an, nukilan yang banyak ditemui dalam inskripsi Pasai dan Malaka ialah petikan sajak Sayidina Ali. Inskripsi paling tua yang memuat petikan sajak sufistik Sayidina Ali ialah tulisan pada makam Sultan Malik al-Saleh pendiri kerajaan Samudra Pasai yang wafat pada tahun 1297 M. Inskripsi yang unik terdapat pada batu nisan makam seorang putri saudagar Pasai yaitu Naina Husamuddin yang wafat pada tahun 1420. Di situ tertulis petikan dua sajak Sa`di al-Syirazi, penyair sufi Persia abad ke-13, dalam bahasa Persia (Othman Mohd. Yatim 1990:16; Ibrahim Alfian 1991).
Pandangan yang sejalan dengan teori Moquette ialah teori yang mengemukakan bahwa pesatnya perkembangan agama Islam terutama sekali disebabkan faktor-faktor perdagangan. Teori ini dikemukakan antara lain oleh Windstedy (1935), Kern (1937), Bonsquet (1938), Gonda (1952), dan terutama sekali oleh van Leur (1955:100-6) dan Schrieke (1955). Dasarnya ialah kenyataan bahwa pesatnya perkembangan Islam di kepulauan Nusantara bersamaan dengan ramainya kegiatan pelayaran dan perdagangan yang dilakukan orang-orang Arab, Turki, Persia dan Indo-Persia.
Peranan Sufi
Tetapi teori ini disanggah oleh Johns (1961), M. Naquib al-Attas (1972) dan Mohd. Taib Osman (1974). Para pedagang memang ikut memainkan peran dalam menambah jumlah penganut Islam di kota-kota pelabuhan, misalnya melalui saluran perkawinan dan hubungan dagang dengan penduduk pribumi. Tetapi peranan mereka tidaklah menonjol sebagaimana diperkirakan oleh van Leur, Kern, Gonda dan Schrieke. Jika faktor perdagangan yang dominan memperluas daerah penyebaran Islam dan memicu pesatnya perkembangannya, sudah tentu agama ini telah berkembang pesat jauh sebelum abad ke-13, karena komunitas-komunitas Islam sudah dijumpai di banyak kota pelabuhan dalam jumlah yang besar. Dalam menyanggah teori ini Johns mengemukakan teori tasawuf.
Menurut Johns tersebar luasnya agama ini terutama disebabkan hadirnya para darwish atau faqir, yaitu sekelompok sufi yang gemar mengembara dari negeri satu ke negeri lain untuk menyebarkan agama Islam seraya mengajarkan ilmu tasawuf dan mengembangkan organisasi mereka, yaitu tariqat. Tariqat adalah organisasi sosial keagamaan yang telah muncul pada abad ke-11 di dunia Islam. Pada abad ke-13, terutama sejak penaklukan Baghdad oleh bangsa Mongol pada tahun 1258, peranan tariqat semakin menonjol dan keangggotannya semakin tersebar luas di seluruh dunia Islam. Dengan demikian masing-masing tariqat sufi memiliki jaringan internasional yang luas yang memudahkan pemimpin atau guru spiritual mereka melakukan perjalanan jauh dari negeri satu ke negeri lain. Pada abad itu pula tidak sedikit dari tariqat-tariqat sufi ini yang mengikat hubungan dengan gilde-gilde atau organisasi-organisasi dagang (ta`ifa) yang dihimpun para pedagang dan pengrajin di berbagai negeri Islam, serta menguasai kegiatan pelayaran dan perdagangan di Afrika Timur, Asia Selatan dan Asia Tenggara (Tirmingham 1972).
Kata Johns: “ Mereka (para sufi) adalah pendakwah yang gemar mengembara ke pelosok-pelosok negeri di dunia yang ketahui, sedang hidup bersahaja (sebaga faqir), kerap berhubungan dengan organisasi-organisasi dagang dan pengrajin yang bergabung dengan tariqat-tariqat yang mereka pimpin; mereka mengajarkan ilmu suluk yang teosofinya kompleks, namun mudah diresapi penduduk Nusantyara; mereka menguasai ilmu kerohanian dan ketabibab, senantiasa berusaha memelihara kesinambungan budaha lama dan lazim menggunakan istilah-sitilah dan unsur-unsur budaya pra-Islam namun memberinya pemahaman yang sesuai dengan ajaran Islam.”
Teori yang dikemukakan oleh Johns itu sesuai dengan keterangan dari sumber-sumber sejarah Nusantara sendiri. Hikayat Raja-raja Pasai yang ditulis menjelang akhir abad ke-14 memberitakan bahwa pendiri kerajaan Samudra Pasai Malik al-Saleh diislamkan oleh seorang faqir bernama Syekh Ismail yang datang dari Mekkah bersama 98 orang pengikutnya. Sumber sejarah Sulawesi Selatan juga mengungkapkan bahwa raja Gowa dan penduduknya diislamkan pada awal abad ke-17 oleh seorang ulama sufi dari Minangkabau yang datang dengan sebuah kapal dagang besar disebut padekawang. Sumber sejarah Banten Hikayat Maulana Hasanuddin juga menceritakan bahwa raja dan penduduk Banten diislamkan oleh faqir bernama Syarif Hidayatullah dan putranya Maulana Hasanuddin yang mempunyai banyak pengikut. Sedangkan salah satu versi Babad Tanah Jawi menceritakan bahwa Jawa Timur mulai diislamkan pada awal abad ke-15 M oleh Syekh Jumadil Akbar, seorang sufi dari Samarqand yang datang bersama para pengikutnya menumpang sebuah kapal dagang yang bertolak dari Pasai (Abdul Hadi W. M. 2001).
M. Naquib al-Attas (1972:29-32) yang mendukung teori ini menyatakan bahwa agama Islam meresap ke dalam jiwa penduduk Melayu setelah ajarannya ditafsirkan oleh para sufi dan disampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti. Faktor yang tidak penting bagi pesatnya penyebaran Islam di kepulauan Melayu menurut al-Attas ialah dijadikannya bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan Islam dan bahasa penyebaran Islam, yaitu setelah bahasa ini diislamkan sedemikian rupa. Kecuali itu watak agama Islam itu sendiri memang memiliki daya tarik yang kuat. Ajaran Islam berlandaskan sebuah kitab suci yang tunggal dan utuh, serta tidak berubah-ubah yaitu al-Qur’an. Dengan begitu penganutnya tidak dibingungkan olah banyak kitab suci seperti dalam agama lain. Ajaran ketuhanan dan sistem peribdatan Islam juga sangat sederhana dan tidak rumit. Islam juga mengajarkan bahwa dalam berhubungan dengan Tuhan seorang Muslim tidak memerlukan perantara dan peribadatan bisa dilakukan di mana saja tanpa perlu kehadiran pendeta. Agama Islam itu memandang semua manusia itu setara dan sederajat. Yang membedakan martabat manusia bukan karena keturunan dan kedudukanya dalam masyarajkt, tetapi ketakwaan dan amal salehnya.
Tentang besarnya dampak yang ditimbulkan oleh pesatnya perkembangan Islam ini dikemukakan antara lain oleh Menurut Kern (1917:17) kedatangan Islam di kepulauan Melayu telah membawa perubahan besar dan mendasar dalam semangat dan jiwa bangsa Melayu. Perubahan itu mempunyai arti penting karena merupakan pembebasan dari belenggu mitologi yang sebelumnya menguasai pikiran bangsa Melayu. Seperti M. Naquib al-Attas (1972), dia mengatakan bahwa kedatangan Islam telah berhasil meletakkan dasar—dasar rasionalitas dan keperluan berikhtiar menggunakan daya upaya akal dan pikiran. Inilah antara lain yang memicu pesatnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Melayu pada abad ke-14 – 19 M.
Faktor lain yang tidak kalah penting dalam membuka peluang bagi cepatnya pergembangan agama Islam itu ialah kejadian-kejadian di Asia Barat dan di dunia Melayu sendiri pada abad ke-12 – 14 M. Kekacauan yang melanda negeri-negeri Islam pada abad ke-12 sebagai akibat dari serangkaian peperangan dan terutama sekali Perang Salib, pembrontakan yang melanda negeri-negeri Islam dan sengketa berdarah antar penganut berbagai madzab agama, mendorong penduduk negeri mulai berduyun-duyun pindah ke negeri lain. Perpindahan secara besar-besaran terjadi setelah penghancuran Baghdad, ibukotakekhalifatan Abbasiyah pada tahun 1258 oleh bangsa Mongol menyusul serangkaian penaklukan terhadap negeri-negeri Islam di Asia Tengah dan Barat oleh bangsa yang sama.
Ismail R. Faruqi (1991:247) lebih kurang menulis, “Sebagai akibat penaklukan itu terjadi pula perindahan besar-besaran orang Islam ke Asia Tenggara. Oleh sebab itu sejak abad ke-13 wilayah ini menyaksikan perluasan kekuatan Islam. Para ahli fiqih, sufi terkemuka, tentara yang tidak aktif lagi, bekas pejabat dan orang kaya, tabib, seniman, sastrawan, guru agama, para saudagar dan pengrajin, orang-orang Islam dari berbagai lapsan sosial, etnik, ras, golongan dan madzab dengan kepakaran masing-masing secara bergelombang berduyun-duyun datang ke Nusantara mencari kehidupan yang aman dan nyaman, jauh dari kekejaman orang Mongol dan peperangan lain...”
Keadaan politik di kepulauan Nusantara dan krisis yang dialami Sriwijaya sejak abad ke-12 M hingga keruntuhannya pada akhir abad 14 akibat serangan Majapahit, merupakan titik awal berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di dunia Melayu dan sekaligus pesatnya penyebaran agama Islam. Dengan runtuhnya kerajaan Buddhis terakhir di dunia Melayu itu maka pengaruh agama Buddha dan sinthesa Hindu Buddha yang telah berlangsung sejak abad ke-12, mengalami kemunduran pula. Sedangkan di kota-kota pelabuhan dan pesisir Sumatra yang lain agama Islam telah mulai berkembang. Pada akhir abad ke-15 kerajaan Hindu terakhir di Jawa, Majapahit mengalami keruntuhan pula. Majapahit sebelumnya sangat berpengaruh di dunia Melayu dan membawa masuk tantrisme, sebuah aliran sinkretis dalam Hinduisme, ke Sumatra. Karena dua agama sebelum Islam ini secara politik dan kultural terkait langsung dengan perkembangan dua kerajaan ini, maka dengan runtuhnya dua kerajaan ini pudar pulalah pengaruh kedua agama tersebut di dunia Melayu. Lagi pula di Sumatra, wilayah pertama di Nusantara yang penduduknya menerima dampak langsung penyebaran Islam, agama-agama tersebut hadir semata-mata sebagai agama elit aristokratik dan para pendeta. Masyarakat luas di luar lingkungan istana dan vihara sebagian besar tetap menganut kepercayaan lokal mereka apakah itu syamanisme atau paganisme seperti kepercayaan Palbegu atau Kaharingan.
Tahapan Islamisasi Nusantara
Dari apa yang dikemukakan, dapat dikemukakan tahapan-tahapan proses islamisasi di kepulauan Nusantara. Tahapan awal, yaitu kedatangan para saudagar Muslim Arab, Persia, Turki dan Indo-Persia, sampai terbentuknya komunitas-komunitas Islam di kota-kota pelabuhan. Dalam tahapan ini perkawinan pedagang asing dengan wanita setempat, merupakan saluran awal bagi proses pengislaman. Lembaga pendidikan Islam sudah pasti dibuka, dan guru-guru agama juga pasti telah hadir. Begitu pula para muballigh pasti juga sudah melakukan kegiatan dakwah. Tahapan ini berlangsung sejak abad ke-8 hingga awal abad ke-12 M;
Tahapan kedua, terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam dan giatnya penyebaran agama Islam oleh para sufi dan pemimpin tariqat sufi ke berbagai pelosok kepulauan Nusantara. Tahapan ini berlangsung pada abad ke-13 – 17 M. Pada masa inilah sastra Melayu berkembang hingga puncak kematangannya. Kerajaan-kerajaan Islam yang awal seperti Samudra Pasai (1270-1524), Malaka (1400-1511) dan Aceh Darussalam (1516-1700) memainkan peranan utama pada tahapan ini;
Tahapan ketiga adalah berkembangnya kelembagaan Islam, yang bermula pada abad ke-17 hingga abad ke-19 M. Tahapan ini berlangsung setelah agama Islam tersebar luas di seluruh kepulauan Nusantara. Perlembagaan Islam di bidang keagamaan, sosial, politik, pendidikan dan kebudayaan telah terbentuk dan berkembang sedemikian rupa sehingga memantapkan perkembangan agama ini dan kelangsungan hidupnya. (lihat juga Hasan Muarif Ambary 1998: 55-60).
Perkembangan tradisi intelektual Islam dan sastra Melayu berkaitan dengan tahapan kedua dan ketiga. Selama dua tahapan ini berlangsung terjadi tiga gelombang besar pemikiran Islam (Taufik Abdullah 2002) yang tercermin dalam dengan jelasnya dalam karya-karya penulis Melayu yang dihasilkan selama periode-periode tersebut. Gelombang pertama terjadi pada abad ke-13 – 14 M, bersamaan dengan tumbuhnya kerajaan Samudra Pasai, berupa peletakan dasar-dasar kosmopolitanisme Islam, yaitu sikap budaya yang menjadikan diri sebagai bagian dari masyarakat kosmopolitan dengan referensi kebudayaan Islam. Bukti-bukti tertulis dari gelombang ini berupa inskripsi pada batu nisan makam Islam di Pasai dari abad itu, yang terdiri antara lain dari petikan ayat-ayat al-Qur’an seperti ayat kursi, nukilan sajak sufistik Sayidina Ali dan dua sajak dalam bahasa Persia karangan Sa`di, penyair sufi Persia abad ke-13.
Dalam gelombang kedua terjadi proses islamisasi kebudayaan dan realitas secara besar-besaran. Islam dipakai sebagai cermin untuk melihat dan memahami realitas. Pusaka lama dari zaman pra-Islam, yang Syamanistik, Hinduistik dan Buddhistik ditransformasikan ke dalam situasi pemikiran Islam dan tidak jarang dipahami sebagai sesuatu yang islami dari sudut pandang doktrin. Gelombang ini terjadi bersamaan dengan munculnya kesultanan Malaka (1400-1511) dan Aceh Darussalam (1516-1700). Dalam gelombang ketiga, ketika pusat-pusat kekuasaan Islam di Nusantara mulai tersebar hampir seluruh kepulauan Nusantara, pusat-pusat kekuasaan ini ‘seolah-olah’ berlomba-lomba melahirkan para ulama besar. Maka tak heran apabila di pusat-pusat kekuasaan Islam seperti Aceh Darussalam, Palembang, Banjarmasin, Johor Riau, Patani, Banten, dan lain-lain lahir ulama-ulama terkemuka seperti Syekh Nuruddin al-Raniri, Syekh Abdul Rauf Singkil, Syekh Yusuf Makassar, Syekh Muhyi Pamijahan, Syekh Abdul Samad al-Palimbangi, Syekh Arsyad al-Banjari, Syekh Nawawi Banten, Raja Ali Haji, Kiyai M. Kholil Bangkalan, dan lain-lain. Dalam gelombang inilah proses ortodoksi Islam mengalami masa puncaknya. Ini terjadi pada abad ke-18 – 19 M.
Ilmu-ilmu yang diajarkan di lembaga pendidikan juga mempengaruhi arah dan perkembangan sastra. Ilmu-ilmu yang diajarkan itu ialah: (1) Pelajaran asas agama Islam, misalnya yang berkenaan dengan sistem kepercayaan dan peribadatan; (2) Fiqih dan syariah, atau jurisprudensi dan hukum Islam; (3) Ilmu kalam, sering disetarakan dengan teologi, menguraikan persoalaan berkenaan dengan kandungan teologis wahyu ilahi; (4) Tafsir al-Qur’an dan Hadis; (5) Ilmu Tasawuf; (6) Sejarah Islam; (7) Bahasa dan sastra Arab, meliputi balaghah (retorika), mantiq (logika) dan ilmu ma`ani (semantik); (7) Ilmu pengetahuan lain seperti sejarah, geografi, adab (lihat juga Ismail Hamid 1983:2; Braginsky 1993).
Dari bukti-bukti sejarah yang ada seperti epigrafi pada batu nisan makam kuna Islam di Pasai, Malaka dan tempat-tempat lain di Sumatra dan Semenanjung Malaya, serta bukti-bukti sejarah lokal seperti Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu, juga dapat diketahui bahwa bukan hanya wacana bercorak keilmuan yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan. Wacana intelektual lain seperti sastra dan falsafah turut pula diajarkan sebagai sarana penanaman nilai-nilai Islam dan pembentuk pandangan hidup serta gambaran dunia (Weltanschauung). Teks-teks sastra yang digunakan sebagai bahan bacaan antara lain ialah: (1) Puisi-puisi didaktis, khususnya yang bercorak keagamaan, sosial keagamaan dan sufistik; (2) Hikayat berkenaan dengan kehidupan Nabi Muhammad s.a.w., nabi-nabi sebelum Islam dan para sahabat; (3) Pensejarahan atau historiosofi; (4) Karya-karya berkenaan dengan undang-undang, hukum dan ketatanegaraan (Ismail Hamid 1983:2).
(Ringkasan)
Catatan: Dalam tulisan ini belum dimasukkan pandangan baru bahwa bukan tidak mungkin kedatangan Islam dan penyebarannya juga melibatkan pedagang dan pelayar Nusantara yang telah sering melakukan kegiatan pelayaran perdagangan ke Madagaskar dan Tanah Arab pada abad-abad pertama tarikh Masehi, sebelum lahirnya agama Islam. Legenda Nusantara seperti Kisah Aji Saka perlu dikaji. Dari kisah ini kita mendapatkan informasi bahwa agama Islam dibawa masuk ke Indonesia oleh para pedagang Nusantara yang telah memeluk agama Islam. Informasi lain ialah surat menyurat antara raja Sriwijaya dengan khalif Umayyah di Damaskus pada akhir abad ke-7 M, sebagaimana telah diteliti oleh sejarawan Muslim dari Pakistan, S. Q. Fatimi. Dalam suratnya kepada khalif di Damaskus, raja Sriwijaya (Zabaq) menyatakan tertarik kepada agama Islam dan ingin mempelajari lebih mendalam. Baginda meminta kepada khalif mengirimkan guru agama ke Zabaq.)
Abdul Hadi W. M.
Agama Islam telah hadir di Nusantara selambat-lambatnya pada abad ke-8 atau 9 M bersamaan dengan waktu ramainya kegiatan perdagangan internasional yang dilakukan bangsa Aran, Turki, Persia dan Indo-Muslim di Asia Tenggara. Tetapi sampai abad ke-12 M agama ini berkembang lambat dan penganutya terbatas di kota-kota pesisir yang biasa disinggahi kapal-kapal dagang Muslim itu. Karena itu pengaruhnya tidak cukup berarti bagi masyarakat Melayu, penduduk Nusantara pertama yang memeluk agama ini secara massal dan mengembangkan peradaban baru berdasarkan agama ini.
Pengaruh kehadiran agama ini mulai tampak pada abad ke-13 – 15 M setelah berdirinya dua kerajaan besar Islam Samudra Pasai (1270-1524) dan Malaka (1400-1511), serta hadirnya para sufi pengembara dan guru-guru agama yang tampil sebagai pendakwah ulung. Kehadiran agama ini pada-abad tersebut, terlebih pada abad-abad berikutnya, ternyata memberi dampak besar dan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan besar dan mendasar dalam kehidupan bangsa Melayu. Perubahan tersebut tidak hanya berlaku dalam sistem kepercayaan dan peribadatan, tetapi juga dalam tatanan sosial, sistem pemerintahan dan kehidupan intelektual. Tumbuh pesatnya jumlah penganut agama ini di kepulauan Melayu dan berrdirinya kerajaan-kerajaan Islam yang awal itu memungkinkan lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebar luas. Dengan begitu tradisi baca tulis dan keterpelajaran berkembang luuas diikuti oleh maraknya kegiatan penulisan kitab-kitab keagamaan, keilmuan dan sastra.
Karena watak ajarannya yang egaliter dan populis, serta mudah dipahami, membuat semua lapisan masyarakat tertarik untuk memeluk agama ini. Apalagi setelah disampaikan oleh para pendakwah yang piawai melalui bahasa yang sederhana. Diperkuat lagi dengan corak penyebarannya yang mengikuti aktivitas pelayaran dan perdagangan antar pulau, serta pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa penyebarannya (Braginsky 1998). Sebagai agama kitab, Islam menganjurkan kepada para penganutnya agar belajar membaca dan menulis. Dengan demikian mereka dapat membaca dan memahami isi kitab suci al-Qur’an dan ilmu-ilmu Islam lain yang diturunkan darinya. Dibukanya lembaga-lembaga pendidikan memungkinkan penggunaan huruf Arab berkembang. Sejak masa inilah penulis-penulis Melayu menggunakan aksara Jawi atau Arab Melayu dalam menulis kitab atau risalah di dalam bahasa mereka (M. Naquib al-Atttas 1972; Mohd. Taib Osman 1974; Ismail Hamid 1984).
Pusat-pusat penyebaran agama Islam di Nusantara berada di tiga titik sentral yaitu istana, pesantren dan pasar. Di tiga titik sentral penyebaran Islam ini pulalah sastra Melayu baru yang ditulis menggunakan huruf Jawi dilahirkan. Sebagai bagian dari kehidupan intelektual dan keagamaan, karya-karya penulis Melayu itu dengan sendirinya mencerminkan kecenderungan pemikiran dan wawasan budaya yang berkembang pada zaman karya-karya itu ditulis. Karena masing-masing pusat kegiatan penulisan ini memiliki kepentingan, kecenderungan dan wawasan budaya yang berbeda sesuai dengan peran masing-masing dalam penyebaran Islam, maka lahir pulalah dari masing-masing pusat kegiatan penulisan tersebut jenis, bentuk dan ragam sastra yang berbeda-beda. Dengan lahirnya jenis dan ragam sastra yang berbeda-beda itu maka hadirnya Islam menyebabkan sastra tulis Melayu mengalami pengayaan melampaui zaman sebelumnya ketika pusat kegiatan penulisan terbatas di istana dan vihara, sedangkan masyarakat luas di sekitarnya hidup dengan sastra lisan.
Islam dan Kegiatan Perdagangan
Ada beberapa teori yang berbeda tentang dari negeri mana Islam yang berkembang di kepulauan Nusantara datang dan faktor-faktor apa saja yang mendorong pesatnya agama ini berkembang pada abad ke-13 – 17 M. Teori yang awal sekali muncul berasal dari Moquette (1912). Menurutnya Islam yang berkembang di kepulauan Nusantara bercorak India karena Islam memang datang dari Gujarat dibawa oleh pedagang-pedagang India. Teori yang diikuti oleh banyak sarjana Barat dan Indonesia di kemudian hari ini didasarkan pada penemuan batu nisan makam Islam abad ke-13 di Pasai yang bentuknya mirip dengan batu nisan sezaman yang dijumpai di Cambay, Gujarat. Tetapi teori ini dibantah oleh M. Naquib al-Attas (1972:33-4) yang berpendapat bahwa dasar-dasar teori yang dikemukakan Moquette dan para pendukung teorinya itu sangat lemah.
Menurut al-Attas batu-batu nisan itu didatangkan dari Cambay semata-mata karena letak negeri itu lebih dekat ke Sumatra dibanding dibawa dari negeri Arab dan Persia. Batu nisan itu bisa saja dibuat oleh pengrajin Arab atau Persia mengikut model yang telah berkembang di Asia Tengah dan Asia Barat. Yang penting untuk dijadikan dasar pembuktian bukan bentuk nisan itu semata-mata, tetapi corak dari kandungan teks keagamaan yang dinukilkan pada batu nisan itu yang sepenuhnya berciri Islam. Berdasarkan hujahnya ini al-Attas mengemukakan bahwa agama Islam yang hadir di kepulauan Nusantara berasal dari Arab atau Persia, dibawa oleh para pendakwah Islam bersama-sama para saudagar. Gujarat, Koromandel dan Malabar di India, atau Koromandel dan hanya tempat persinggahan sementara sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Nusantara.
Sarjana Melayu itu lebih lanjut mengatakan bahwa bukti paling kuat berkenaan dari mana Islam datang, dan siapa yang memainkan peranan penting, ialah dengan melihat watak, corak dan ciri umum Islam yang berkembang di Nusantara, bukan bentuk-bentuk artefak. Untuk mengetahuinya seseorang harus meneliti sastra Melayu dan pemikiran keagamaan yang dominan. Bahwa Islam yang dianut sebagian besar penduduk Nusantara adalah madzab Syafii dengan kecenderungan sufistik yang kuat, menunjukkan bahwa Islam yang tiba di Nusantara dari Yaman. Ada pun tradisi sastra yang dikembangkan terutama bersumber dari khazanah sastra Persia.
Ibn Batutah yang berkunjung ke Samudra Pasai pada tahun 1345-6 dalam kitabnyaRihlah melaporkan bahwa sultan yang memerintah negeri adalah seorang yang saleh dan gemar berdiskusi denan para ulama madzab Syafii, ahli-ahli tasawuf dan para cendikiawan dari Persia. Setiap hari Jum’at sultan berjalan kaki ke masjid seperti orang biasan dan disana bertemu serta berbincang dengan orang banyak” (Gibb 1957:273-6). Minat dan kecenderungan pada tasawuf juga tampak pada inskripsi pada batu nisan makam Islam di Pasai dan Malaka abad ke-13 – 15 M, serta tempat-tempat lain di Sumatra dan Semenanjung Malaya. Selain menampilkan nukilan-nukilan ayat-ayat sufistik al-Qur’an, nukilan yang banyak ditemui dalam inskripsi Pasai dan Malaka ialah petikan sajak Sayidina Ali. Inskripsi paling tua yang memuat petikan sajak sufistik Sayidina Ali ialah tulisan pada makam Sultan Malik al-Saleh pendiri kerajaan Samudra Pasai yang wafat pada tahun 1297 M. Inskripsi yang unik terdapat pada batu nisan makam seorang putri saudagar Pasai yaitu Naina Husamuddin yang wafat pada tahun 1420. Di situ tertulis petikan dua sajak Sa`di al-Syirazi, penyair sufi Persia abad ke-13, dalam bahasa Persia (Othman Mohd. Yatim 1990:16; Ibrahim Alfian 1991).
Pandangan yang sejalan dengan teori Moquette ialah teori yang mengemukakan bahwa pesatnya perkembangan agama Islam terutama sekali disebabkan faktor-faktor perdagangan. Teori ini dikemukakan antara lain oleh Windstedy (1935), Kern (1937), Bonsquet (1938), Gonda (1952), dan terutama sekali oleh van Leur (1955:100-6) dan Schrieke (1955). Dasarnya ialah kenyataan bahwa pesatnya perkembangan Islam di kepulauan Nusantara bersamaan dengan ramainya kegiatan pelayaran dan perdagangan yang dilakukan orang-orang Arab, Turki, Persia dan Indo-Persia.
Peranan Sufi
Tetapi teori ini disanggah oleh Johns (1961), M. Naquib al-Attas (1972) dan Mohd. Taib Osman (1974). Para pedagang memang ikut memainkan peran dalam menambah jumlah penganut Islam di kota-kota pelabuhan, misalnya melalui saluran perkawinan dan hubungan dagang dengan penduduk pribumi. Tetapi peranan mereka tidaklah menonjol sebagaimana diperkirakan oleh van Leur, Kern, Gonda dan Schrieke. Jika faktor perdagangan yang dominan memperluas daerah penyebaran Islam dan memicu pesatnya perkembangannya, sudah tentu agama ini telah berkembang pesat jauh sebelum abad ke-13, karena komunitas-komunitas Islam sudah dijumpai di banyak kota pelabuhan dalam jumlah yang besar. Dalam menyanggah teori ini Johns mengemukakan teori tasawuf.
Menurut Johns tersebar luasnya agama ini terutama disebabkan hadirnya para darwish atau faqir, yaitu sekelompok sufi yang gemar mengembara dari negeri satu ke negeri lain untuk menyebarkan agama Islam seraya mengajarkan ilmu tasawuf dan mengembangkan organisasi mereka, yaitu tariqat. Tariqat adalah organisasi sosial keagamaan yang telah muncul pada abad ke-11 di dunia Islam. Pada abad ke-13, terutama sejak penaklukan Baghdad oleh bangsa Mongol pada tahun 1258, peranan tariqat semakin menonjol dan keangggotannya semakin tersebar luas di seluruh dunia Islam. Dengan demikian masing-masing tariqat sufi memiliki jaringan internasional yang luas yang memudahkan pemimpin atau guru spiritual mereka melakukan perjalanan jauh dari negeri satu ke negeri lain. Pada abad itu pula tidak sedikit dari tariqat-tariqat sufi ini yang mengikat hubungan dengan gilde-gilde atau organisasi-organisasi dagang (ta`ifa) yang dihimpun para pedagang dan pengrajin di berbagai negeri Islam, serta menguasai kegiatan pelayaran dan perdagangan di Afrika Timur, Asia Selatan dan Asia Tenggara (Tirmingham 1972).
Kata Johns: “ Mereka (para sufi) adalah pendakwah yang gemar mengembara ke pelosok-pelosok negeri di dunia yang ketahui, sedang hidup bersahaja (sebaga faqir), kerap berhubungan dengan organisasi-organisasi dagang dan pengrajin yang bergabung dengan tariqat-tariqat yang mereka pimpin; mereka mengajarkan ilmu suluk yang teosofinya kompleks, namun mudah diresapi penduduk Nusantyara; mereka menguasai ilmu kerohanian dan ketabibab, senantiasa berusaha memelihara kesinambungan budaha lama dan lazim menggunakan istilah-sitilah dan unsur-unsur budaya pra-Islam namun memberinya pemahaman yang sesuai dengan ajaran Islam.”
Teori yang dikemukakan oleh Johns itu sesuai dengan keterangan dari sumber-sumber sejarah Nusantara sendiri. Hikayat Raja-raja Pasai yang ditulis menjelang akhir abad ke-14 memberitakan bahwa pendiri kerajaan Samudra Pasai Malik al-Saleh diislamkan oleh seorang faqir bernama Syekh Ismail yang datang dari Mekkah bersama 98 orang pengikutnya. Sumber sejarah Sulawesi Selatan juga mengungkapkan bahwa raja Gowa dan penduduknya diislamkan pada awal abad ke-17 oleh seorang ulama sufi dari Minangkabau yang datang dengan sebuah kapal dagang besar disebut padekawang. Sumber sejarah Banten Hikayat Maulana Hasanuddin juga menceritakan bahwa raja dan penduduk Banten diislamkan oleh faqir bernama Syarif Hidayatullah dan putranya Maulana Hasanuddin yang mempunyai banyak pengikut. Sedangkan salah satu versi Babad Tanah Jawi menceritakan bahwa Jawa Timur mulai diislamkan pada awal abad ke-15 M oleh Syekh Jumadil Akbar, seorang sufi dari Samarqand yang datang bersama para pengikutnya menumpang sebuah kapal dagang yang bertolak dari Pasai (Abdul Hadi W. M. 2001).
M. Naquib al-Attas (1972:29-32) yang mendukung teori ini menyatakan bahwa agama Islam meresap ke dalam jiwa penduduk Melayu setelah ajarannya ditafsirkan oleh para sufi dan disampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti. Faktor yang tidak penting bagi pesatnya penyebaran Islam di kepulauan Melayu menurut al-Attas ialah dijadikannya bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan Islam dan bahasa penyebaran Islam, yaitu setelah bahasa ini diislamkan sedemikian rupa. Kecuali itu watak agama Islam itu sendiri memang memiliki daya tarik yang kuat. Ajaran Islam berlandaskan sebuah kitab suci yang tunggal dan utuh, serta tidak berubah-ubah yaitu al-Qur’an. Dengan begitu penganutnya tidak dibingungkan olah banyak kitab suci seperti dalam agama lain. Ajaran ketuhanan dan sistem peribdatan Islam juga sangat sederhana dan tidak rumit. Islam juga mengajarkan bahwa dalam berhubungan dengan Tuhan seorang Muslim tidak memerlukan perantara dan peribadatan bisa dilakukan di mana saja tanpa perlu kehadiran pendeta. Agama Islam itu memandang semua manusia itu setara dan sederajat. Yang membedakan martabat manusia bukan karena keturunan dan kedudukanya dalam masyarajkt, tetapi ketakwaan dan amal salehnya.
Tentang besarnya dampak yang ditimbulkan oleh pesatnya perkembangan Islam ini dikemukakan antara lain oleh Menurut Kern (1917:17) kedatangan Islam di kepulauan Melayu telah membawa perubahan besar dan mendasar dalam semangat dan jiwa bangsa Melayu. Perubahan itu mempunyai arti penting karena merupakan pembebasan dari belenggu mitologi yang sebelumnya menguasai pikiran bangsa Melayu. Seperti M. Naquib al-Attas (1972), dia mengatakan bahwa kedatangan Islam telah berhasil meletakkan dasar—dasar rasionalitas dan keperluan berikhtiar menggunakan daya upaya akal dan pikiran. Inilah antara lain yang memicu pesatnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Melayu pada abad ke-14 – 19 M.
Faktor lain yang tidak kalah penting dalam membuka peluang bagi cepatnya pergembangan agama Islam itu ialah kejadian-kejadian di Asia Barat dan di dunia Melayu sendiri pada abad ke-12 – 14 M. Kekacauan yang melanda negeri-negeri Islam pada abad ke-12 sebagai akibat dari serangkaian peperangan dan terutama sekali Perang Salib, pembrontakan yang melanda negeri-negeri Islam dan sengketa berdarah antar penganut berbagai madzab agama, mendorong penduduk negeri mulai berduyun-duyun pindah ke negeri lain. Perpindahan secara besar-besaran terjadi setelah penghancuran Baghdad, ibukotakekhalifatan Abbasiyah pada tahun 1258 oleh bangsa Mongol menyusul serangkaian penaklukan terhadap negeri-negeri Islam di Asia Tengah dan Barat oleh bangsa yang sama.
Ismail R. Faruqi (1991:247) lebih kurang menulis, “Sebagai akibat penaklukan itu terjadi pula perindahan besar-besaran orang Islam ke Asia Tenggara. Oleh sebab itu sejak abad ke-13 wilayah ini menyaksikan perluasan kekuatan Islam. Para ahli fiqih, sufi terkemuka, tentara yang tidak aktif lagi, bekas pejabat dan orang kaya, tabib, seniman, sastrawan, guru agama, para saudagar dan pengrajin, orang-orang Islam dari berbagai lapsan sosial, etnik, ras, golongan dan madzab dengan kepakaran masing-masing secara bergelombang berduyun-duyun datang ke Nusantara mencari kehidupan yang aman dan nyaman, jauh dari kekejaman orang Mongol dan peperangan lain...”
Keadaan politik di kepulauan Nusantara dan krisis yang dialami Sriwijaya sejak abad ke-12 M hingga keruntuhannya pada akhir abad 14 akibat serangan Majapahit, merupakan titik awal berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di dunia Melayu dan sekaligus pesatnya penyebaran agama Islam. Dengan runtuhnya kerajaan Buddhis terakhir di dunia Melayu itu maka pengaruh agama Buddha dan sinthesa Hindu Buddha yang telah berlangsung sejak abad ke-12, mengalami kemunduran pula. Sedangkan di kota-kota pelabuhan dan pesisir Sumatra yang lain agama Islam telah mulai berkembang. Pada akhir abad ke-15 kerajaan Hindu terakhir di Jawa, Majapahit mengalami keruntuhan pula. Majapahit sebelumnya sangat berpengaruh di dunia Melayu dan membawa masuk tantrisme, sebuah aliran sinkretis dalam Hinduisme, ke Sumatra. Karena dua agama sebelum Islam ini secara politik dan kultural terkait langsung dengan perkembangan dua kerajaan ini, maka dengan runtuhnya dua kerajaan ini pudar pulalah pengaruh kedua agama tersebut di dunia Melayu. Lagi pula di Sumatra, wilayah pertama di Nusantara yang penduduknya menerima dampak langsung penyebaran Islam, agama-agama tersebut hadir semata-mata sebagai agama elit aristokratik dan para pendeta. Masyarakat luas di luar lingkungan istana dan vihara sebagian besar tetap menganut kepercayaan lokal mereka apakah itu syamanisme atau paganisme seperti kepercayaan Palbegu atau Kaharingan.
Tahapan Islamisasi Nusantara
Dari apa yang dikemukakan, dapat dikemukakan tahapan-tahapan proses islamisasi di kepulauan Nusantara. Tahapan awal, yaitu kedatangan para saudagar Muslim Arab, Persia, Turki dan Indo-Persia, sampai terbentuknya komunitas-komunitas Islam di kota-kota pelabuhan. Dalam tahapan ini perkawinan pedagang asing dengan wanita setempat, merupakan saluran awal bagi proses pengislaman. Lembaga pendidikan Islam sudah pasti dibuka, dan guru-guru agama juga pasti telah hadir. Begitu pula para muballigh pasti juga sudah melakukan kegiatan dakwah. Tahapan ini berlangsung sejak abad ke-8 hingga awal abad ke-12 M;
Tahapan kedua, terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam dan giatnya penyebaran agama Islam oleh para sufi dan pemimpin tariqat sufi ke berbagai pelosok kepulauan Nusantara. Tahapan ini berlangsung pada abad ke-13 – 17 M. Pada masa inilah sastra Melayu berkembang hingga puncak kematangannya. Kerajaan-kerajaan Islam yang awal seperti Samudra Pasai (1270-1524), Malaka (1400-1511) dan Aceh Darussalam (1516-1700) memainkan peranan utama pada tahapan ini;
Tahapan ketiga adalah berkembangnya kelembagaan Islam, yang bermula pada abad ke-17 hingga abad ke-19 M. Tahapan ini berlangsung setelah agama Islam tersebar luas di seluruh kepulauan Nusantara. Perlembagaan Islam di bidang keagamaan, sosial, politik, pendidikan dan kebudayaan telah terbentuk dan berkembang sedemikian rupa sehingga memantapkan perkembangan agama ini dan kelangsungan hidupnya. (lihat juga Hasan Muarif Ambary 1998: 55-60).
Perkembangan tradisi intelektual Islam dan sastra Melayu berkaitan dengan tahapan kedua dan ketiga. Selama dua tahapan ini berlangsung terjadi tiga gelombang besar pemikiran Islam (Taufik Abdullah 2002) yang tercermin dalam dengan jelasnya dalam karya-karya penulis Melayu yang dihasilkan selama periode-periode tersebut. Gelombang pertama terjadi pada abad ke-13 – 14 M, bersamaan dengan tumbuhnya kerajaan Samudra Pasai, berupa peletakan dasar-dasar kosmopolitanisme Islam, yaitu sikap budaya yang menjadikan diri sebagai bagian dari masyarakat kosmopolitan dengan referensi kebudayaan Islam. Bukti-bukti tertulis dari gelombang ini berupa inskripsi pada batu nisan makam Islam di Pasai dari abad itu, yang terdiri antara lain dari petikan ayat-ayat al-Qur’an seperti ayat kursi, nukilan sajak sufistik Sayidina Ali dan dua sajak dalam bahasa Persia karangan Sa`di, penyair sufi Persia abad ke-13.
Dalam gelombang kedua terjadi proses islamisasi kebudayaan dan realitas secara besar-besaran. Islam dipakai sebagai cermin untuk melihat dan memahami realitas. Pusaka lama dari zaman pra-Islam, yang Syamanistik, Hinduistik dan Buddhistik ditransformasikan ke dalam situasi pemikiran Islam dan tidak jarang dipahami sebagai sesuatu yang islami dari sudut pandang doktrin. Gelombang ini terjadi bersamaan dengan munculnya kesultanan Malaka (1400-1511) dan Aceh Darussalam (1516-1700). Dalam gelombang ketiga, ketika pusat-pusat kekuasaan Islam di Nusantara mulai tersebar hampir seluruh kepulauan Nusantara, pusat-pusat kekuasaan ini ‘seolah-olah’ berlomba-lomba melahirkan para ulama besar. Maka tak heran apabila di pusat-pusat kekuasaan Islam seperti Aceh Darussalam, Palembang, Banjarmasin, Johor Riau, Patani, Banten, dan lain-lain lahir ulama-ulama terkemuka seperti Syekh Nuruddin al-Raniri, Syekh Abdul Rauf Singkil, Syekh Yusuf Makassar, Syekh Muhyi Pamijahan, Syekh Abdul Samad al-Palimbangi, Syekh Arsyad al-Banjari, Syekh Nawawi Banten, Raja Ali Haji, Kiyai M. Kholil Bangkalan, dan lain-lain. Dalam gelombang inilah proses ortodoksi Islam mengalami masa puncaknya. Ini terjadi pada abad ke-18 – 19 M.
Ilmu-ilmu yang diajarkan di lembaga pendidikan juga mempengaruhi arah dan perkembangan sastra. Ilmu-ilmu yang diajarkan itu ialah: (1) Pelajaran asas agama Islam, misalnya yang berkenaan dengan sistem kepercayaan dan peribadatan; (2) Fiqih dan syariah, atau jurisprudensi dan hukum Islam; (3) Ilmu kalam, sering disetarakan dengan teologi, menguraikan persoalaan berkenaan dengan kandungan teologis wahyu ilahi; (4) Tafsir al-Qur’an dan Hadis; (5) Ilmu Tasawuf; (6) Sejarah Islam; (7) Bahasa dan sastra Arab, meliputi balaghah (retorika), mantiq (logika) dan ilmu ma`ani (semantik); (7) Ilmu pengetahuan lain seperti sejarah, geografi, adab (lihat juga Ismail Hamid 1983:2; Braginsky 1993).
Dari bukti-bukti sejarah yang ada seperti epigrafi pada batu nisan makam kuna Islam di Pasai, Malaka dan tempat-tempat lain di Sumatra dan Semenanjung Malaya, serta bukti-bukti sejarah lokal seperti Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu, juga dapat diketahui bahwa bukan hanya wacana bercorak keilmuan yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan. Wacana intelektual lain seperti sastra dan falsafah turut pula diajarkan sebagai sarana penanaman nilai-nilai Islam dan pembentuk pandangan hidup serta gambaran dunia (Weltanschauung). Teks-teks sastra yang digunakan sebagai bahan bacaan antara lain ialah: (1) Puisi-puisi didaktis, khususnya yang bercorak keagamaan, sosial keagamaan dan sufistik; (2) Hikayat berkenaan dengan kehidupan Nabi Muhammad s.a.w., nabi-nabi sebelum Islam dan para sahabat; (3) Pensejarahan atau historiosofi; (4) Karya-karya berkenaan dengan undang-undang, hukum dan ketatanegaraan (Ismail Hamid 1983:2).
(Ringkasan)
Catatan: Dalam tulisan ini belum dimasukkan pandangan baru bahwa bukan tidak mungkin kedatangan Islam dan penyebarannya juga melibatkan pedagang dan pelayar Nusantara yang telah sering melakukan kegiatan pelayaran perdagangan ke Madagaskar dan Tanah Arab pada abad-abad pertama tarikh Masehi, sebelum lahirnya agama Islam. Legenda Nusantara seperti Kisah Aji Saka perlu dikaji. Dari kisah ini kita mendapatkan informasi bahwa agama Islam dibawa masuk ke Indonesia oleh para pedagang Nusantara yang telah memeluk agama Islam. Informasi lain ialah surat menyurat antara raja Sriwijaya dengan khalif Umayyah di Damaskus pada akhir abad ke-7 M, sebagaimana telah diteliti oleh sejarawan Muslim dari Pakistan, S. Q. Fatimi. Dalam suratnya kepada khalif di Damaskus, raja Sriwijaya (Zabaq) menyatakan tertarik kepada agama Islam dan ingin mempelajari lebih mendalam. Baginda meminta kepada khalif mengirimkan guru agama ke Zabaq.)
Sumber: Facebook Notes