[Seri Kuliah Tasawuf 1]
Objektifitas Pengalaman Mistik
Mulyadhi Kartanegara
(1)
Orang pada umumnya mengatakan bahwa pengalaman mistik bersifat subjektif. Sebenarnya, menurut saya, semua pengalaman bersifat subjektif dalam arti dipengaruhi oleh subjek yang mengalaminya. Jadi ungkapan yang mengatakan bahwa pengalaman mistik adalah subjektif, boleh-boleh saja dan tidak mempunyai konotasi negatif. Tapi ungkapan tersebut bias jadi negatif kalau yang dimaksud dengan subjektif itu tidak punya landasan objektifnya, atau hanya sebuah delusi atau halusinasi, seperti yang diklaim oleh kaum sekuler. Menurut mereka, berbeda dengan pengalaman inderawi yang mempunyai dasar objektifnya—yakni benda-benda fisik,--pengalaman mistik tidak punya dasar objektivitas seperti itu, melainkan sebagai sebuah halusinasi yang dipandang oleh yang mengalaminya sebagai real. Namun, menurut pengamatan saya, alasan yang sesungguhnya dari klaim tersebut adalah ketidakpercayaan mereka kepada semua entitas atau objek-objek non-fisik. Bagi mereka yang ada adalah yang bersifat fisik, segala yang bersifat non-fisik dicurigai sebagai tidak real, fantastic dan delusif.
Tapi pendapat seperti itu dibantah oleh bapak Pragmatisme dan psikologi Amerika, William James. James percaya bahwa pengalaman mistik tersebut mempunyai dasar objektivitasnya sebagaimana pengalaman inderawi. Dalam bukunya The Varieties of Religious Experiences, ia menunjukkan bahwa pengalaman mistik adalah pengalaman yang universal, karena dialami oleh banyak orang suci (wali atau saints) dari zaman dan tempat yang berbeda-beda dengan latar belakang budayaan dan agama yang juga berbeda-beda. [http://on.fb.me/191owJ9]
(2)
Itulah sebabnya agama Hindu punya orang-orang sucinya yang memiliki pengalaman mistik yang tinggi. Demikian juga juga Taoisme, Budhisme, Kristen dan Yahudi dan Islam telah melahirkan orang-orang suci (dengan sebutannya yang berbeda-beda) seperti itu. Kalaulah pengalaman mistik atau religius tersebut tidak memiliki akar ontologisnya yang kuat, bagaimana mungkin orang-orang yang begitu berbeda dari sudut budaya, lokalitas dan waktu memiliki pengalaman mistik yang serupa?
Lebih-lebih lagi, kalau kita kemudian menyadari, setelah mempelajari ajaran-ajaran mereka, adanya kesamaan struktural dan ontologis dari dari pengalaman mistik mereka di atas, maka kita akan semakin yakin bahwa pengalaman mistik yang dialami banyak orang, dari berbagai lokalitas, waktu dan tradisi mempunyai akar-akar realitas yang kokoh. Inilah yang memungkinkan tercapainya apa yang diistilahkan dengan keteraturan (orderliness) dan keseragaman (uniformity) dari pengalaman mistik para mistikus ini, karena kalau tidak ada basis ontologis yang seperti itu bagaimana mungkin hal ini bias terjadi?
Sesungguhnya serangan terhadap pengalaman mistik adalah sepaket dengan serangan terhadap agama dan metafisika dari kaum sekuler yang tidak lagi mempercayai alam ghaib. Serangan seperti itu sangat berbahaya bila dibiarkan begitu saja, karena bisa dijadikan basis bagi penyerangan terhadap kenabian. Karena sekali mereka mampu merobohkan argumen-argumen tentang realitas pengalaman mistik, maka merekapun akan dengan mudah menolak kenabian, dan apabila kenabian ditolak, maka seluruh ajaran agama akan kehilangan pijakan atau basisnya. [http://on.fb.me/1jZEfu6] (Bersambung)
(3)
Oleh karena itu pernyataan-pernyataan oleh ilmuwan-ilmuwan atau cendikiawan semacam Mehdi Ha'iri Yazdi, yang dalam karyanya, The Principle of Islamic Epistemology, mempertahankan objektivitas atau lebih tepatnya basis objektif bagi pengalaman mistik menjadi krusial sebagai pertahanan filosofis terhadap serangan sekuler atas basis ontologis pengalaman mistik.
Namun selain argumen-argumen logis, argumen-argumen praktis juga bisa kita kemukakan untuk memperkuat objektivitas pengalaman dan dunia mistik. Kalau kita perhatikan beberapa tokoh spiritual maupun intelektual yang dipercaya mendapat pencerahan mistik, seperti al-Ghazali (w. 1111), Suhrawardi (w. 1191) dan Mulla Shadra (w. 1641), maka ketiga tokoh tersebut tidak pelak lagi adalah tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh hingga hari ini di dunia Islam, meskipun mereka telah meninggal dunia berabad-abad yang silam. Ajaran-ajaran mistik mereka masih dirasakan manfaat dan terus aktual dan mempesona bagi yang membacanya, bahkan bagi pembaca modern.
Kenyataan bahwa ajaran-ajaran mereka telah bertahan terhadap berbagai perubahan waktu yang begitu panjang, padahal ajaran mereka berdasar pada pengalaman mistik atau penyingkapan (mukasyafah) dan penyaksian (musyahadah) menunjukkan bukti bahwa ajaran-ajaran mereka itu "benar" dan menjadi fondasi di atas mana mereka membangun ajaran-ajaran mereka secara "objektif." Sebab ajaran apapun sangat sulit dibayangkan bisa bertahan dalam rentang waktu yang begitu lama--dengan berbagai manfaat yang dirasakannya, bahkan bisa menjadi inspirasi bagi para pengikutnya,--kalau ajaran-ajaran mereka itu sama sekali salah. Kelangsungan ajaran-ajaran ini dalam waktu yang begitu lama meruapakan jaminan atas kebenarannya.[http://on.fb.me/1b4eOjj]
Diskusi:
Mulyadhi Kartanegara: menurut Bruno Guiderdoni, astrofisikawan dari Prancis yang sudah Muslim, teka-teki (puzzle) di dunia fisik tidak akan terjawab sepenuhnya karena sebenarnya alam atak lain daripada manifestasi sifat-sifat Tuhan yang tidak terbatas, sehingga setiap saatakan ada fenomena yang samasekali baru yang sains membutuhkan waktu lama untuk memecahkannya.. dan kalau dunia fisik saja sudah begitu rumitnya, apalagi dunia non-fisik yang jauh lebih subtle darinya. karena itu ini bisa kita jadikan sebagai warning bagi kita juga para saintis untuk menyadari keterbatasan kita manusia dalam memahami realitas dari ciptaan Tuhan.
Mulyadhi Kartanegara: Elizabeth Shatori pernah menggambarkan kerja ilmuwan modern seperti seorang pianis yang baru memainkan separuh key board dari pianonya, karena separuh lagi merupakan entitas-entitas yang lebih halus dan abstrak,, tapi akankah permainan piano akan lengkap tanpa menyentuh bagian lainnya?
Mulyadhi Kartanegara Tedi Sumardi: perbedaan antara Rumi dan Ibn Arabi mungkin bisa ditebak dari dua buku karangan William chitticvk: (1) The Sufi path of Love (tentang Rumi) dan The Sufi Path of Knowledge (tentang Ibn Arabi). you d better read these book! very fascinating.. believe me...
[Seri Kuliah Tasawuf 2]
Ilmu Hushuli vs Ilmu Hudhuri
Mulyadhi Kartanegara
(1)
Mehdi ha'iri Yazdi mengatakan bahwa makrifat (al-ma'rifah) adalah sejenis pengetahuan melalui kehadiran, atau lebih populer disebut ilmu hudhuri (knowledge by presence). Oleh karena itu mungkin bermanfaat untuk mengenal apa yang dimaksud dengan ilmu hudhuri, sambil mengontraskannya dengan ilmu hushuli (knowledge by correspodence).
Ilmu hushuli adalah ilmu pengetahuan yang kita peroleh dari objek yang ada di luar kita secara objektif. Misalnya pengetahuan tentang meja dan gelas yang ada di atasnya. Menurut ahli ilmu hudhuri, sebuah benda yang ada di hadapan kita, selalu memiliki dua macam objek. Objek subjektif yang ada atau hadir dalam diri (pikiran) kita, dan objek objektif yang ada di luar diri kita. Objek yang di luar diri kita disebut bentuk (shurah), sedangkan objek yang ada di dalam diri kita disebut makna. Ilmu hushuli dimungkinkan tapi tanpa jaminan kebenaran. Ia dicapai oleh manusia berdasarkan pada "keserupaan" atau "korespondensi" antara bentuk dan makna. Kalau korespondensi ini berkorelasi positif, maka pengetahaun dikatakan benar, kalau negatif maka dikatakan salah atau keliru.
Berbeda dengan midus ilmu hushuli, ilmu hudhuri pada umumnya berhubungan dengan makna atau objek subjektif yang sudah "dihadirkan" dalam diri kita. Ia bukan tentang objek objektif yang berada di luar diri kita, sehingga objek ini disebut absen atau tidak hadir dalam diri kita dan tidak bisa kenal secara langsung atau intuitif. Sebaliknya ilmu hudhuri selalu menangkap objeknya secara langsung, karena ia telah "hadir" dalam diri kita. Dan justru karena ia telah hadir dalam diri kita, maka kita mengetahui objek tersebut seperti kita mengetahui diri kita sendiri. Dari sinilah muncul konsep self-knowledge, pengetahuan tentang diri sendiri. Dalam pengetahun diri, karena subjek dan objek adalah sama, maka jurang yang biasanya menganga antara subjek dan objekpun telah terjembatani. Maka terjadilah identitas (kesamaan) antara subjek dan objek. Pengetahuan diri sedemikian langsungnya, karena tanpa simbol apapun, sehingga kebenarannya pasti terjamin, karena di sini knowing (mengetahui) adalah sama dengan ada (being), ringkasnya "knowing is being," di mana pengetahuan telah menjadi wujud itu sendiri. (Bersambung) [http://on.fb.me/1kbzmy8]
(2)
Pengetahuan tentang diri sendiri (self-knowledge), termasuk di dalamnya objek-objek subjektif yang telah dihadirkan dalam diri kita, memiliki beberapa keistimewaan tertentu di antaranya: pertama, berbeda dengan pengetahuan hushuli yang objeknya berada di luar (ghaib, tidak hadir) dalam diri seseorang dan karena itu tidak memiliki kaitan langsung dengannya, pengetahuan melalui kehadiran bisa mengetahui objek-objeknya secara langsung, sehingga memiliki tingkat kepastian yang sangat tinggi. Tingkat kepastian seperti ini tidak bisa dicapai oleh ilmu hushuli karena adanya jurang yang dalam antara subjek dan objeknya, sehingga keraguan selalu bisa timbul di dalamnya.
Kedua, adalah bahwa dia memiliki prioritas absolut terhadap jenis pengetahuan manusia lainnya. Syaikh Isyraqi, Suhrawardi mengatakan bahwa dalam perjalanan pengetahuan manusia, seseorang haruslah pertama melakukan penyelidikan terhadap kesadaran akan dirinya sendiri ('ilmi bidzatihi). Barulah dari tahap ini ia bergerak menuju apa yang ada "di atas" atau "di seberang" dirinya sendiri. Pengetahuan tentang diri sendiri bukanlah pengetahuan yang diperoleh melalui representasi (bishurah), tetapi pengetahaun melalui makna (bima'na) yang mendahului pengetahuan representatif. Setiap representasi yang terjadi pada pikiran orang yang mengetahui, pada kenyataannya merupakan sesuatu tambahan kepada realitas ini, dan dibandingkan dengan realitas itu sendiri justru ia bertindak sebagai "dia" (huwa) bukan "aku" (ana). (Bersambung) [http://on.fb.me/1bWvFsT]
Objektifitas Pengalaman Mistik
Mulyadhi Kartanegara
(1)
Orang pada umumnya mengatakan bahwa pengalaman mistik bersifat subjektif. Sebenarnya, menurut saya, semua pengalaman bersifat subjektif dalam arti dipengaruhi oleh subjek yang mengalaminya. Jadi ungkapan yang mengatakan bahwa pengalaman mistik adalah subjektif, boleh-boleh saja dan tidak mempunyai konotasi negatif. Tapi ungkapan tersebut bias jadi negatif kalau yang dimaksud dengan subjektif itu tidak punya landasan objektifnya, atau hanya sebuah delusi atau halusinasi, seperti yang diklaim oleh kaum sekuler. Menurut mereka, berbeda dengan pengalaman inderawi yang mempunyai dasar objektifnya—yakni benda-benda fisik,--pengalaman mistik tidak punya dasar objektivitas seperti itu, melainkan sebagai sebuah halusinasi yang dipandang oleh yang mengalaminya sebagai real. Namun, menurut pengamatan saya, alasan yang sesungguhnya dari klaim tersebut adalah ketidakpercayaan mereka kepada semua entitas atau objek-objek non-fisik. Bagi mereka yang ada adalah yang bersifat fisik, segala yang bersifat non-fisik dicurigai sebagai tidak real, fantastic dan delusif.
Tapi pendapat seperti itu dibantah oleh bapak Pragmatisme dan psikologi Amerika, William James. James percaya bahwa pengalaman mistik tersebut mempunyai dasar objektivitasnya sebagaimana pengalaman inderawi. Dalam bukunya The Varieties of Religious Experiences, ia menunjukkan bahwa pengalaman mistik adalah pengalaman yang universal, karena dialami oleh banyak orang suci (wali atau saints) dari zaman dan tempat yang berbeda-beda dengan latar belakang budayaan dan agama yang juga berbeda-beda. [http://on.fb.me/191owJ9]
(2)
Itulah sebabnya agama Hindu punya orang-orang sucinya yang memiliki pengalaman mistik yang tinggi. Demikian juga juga Taoisme, Budhisme, Kristen dan Yahudi dan Islam telah melahirkan orang-orang suci (dengan sebutannya yang berbeda-beda) seperti itu. Kalaulah pengalaman mistik atau religius tersebut tidak memiliki akar ontologisnya yang kuat, bagaimana mungkin orang-orang yang begitu berbeda dari sudut budaya, lokalitas dan waktu memiliki pengalaman mistik yang serupa?
Lebih-lebih lagi, kalau kita kemudian menyadari, setelah mempelajari ajaran-ajaran mereka, adanya kesamaan struktural dan ontologis dari dari pengalaman mistik mereka di atas, maka kita akan semakin yakin bahwa pengalaman mistik yang dialami banyak orang, dari berbagai lokalitas, waktu dan tradisi mempunyai akar-akar realitas yang kokoh. Inilah yang memungkinkan tercapainya apa yang diistilahkan dengan keteraturan (orderliness) dan keseragaman (uniformity) dari pengalaman mistik para mistikus ini, karena kalau tidak ada basis ontologis yang seperti itu bagaimana mungkin hal ini bias terjadi?
Sesungguhnya serangan terhadap pengalaman mistik adalah sepaket dengan serangan terhadap agama dan metafisika dari kaum sekuler yang tidak lagi mempercayai alam ghaib. Serangan seperti itu sangat berbahaya bila dibiarkan begitu saja, karena bisa dijadikan basis bagi penyerangan terhadap kenabian. Karena sekali mereka mampu merobohkan argumen-argumen tentang realitas pengalaman mistik, maka merekapun akan dengan mudah menolak kenabian, dan apabila kenabian ditolak, maka seluruh ajaran agama akan kehilangan pijakan atau basisnya. [http://on.fb.me/1jZEfu6] (Bersambung)
(3)
Oleh karena itu pernyataan-pernyataan oleh ilmuwan-ilmuwan atau cendikiawan semacam Mehdi Ha'iri Yazdi, yang dalam karyanya, The Principle of Islamic Epistemology, mempertahankan objektivitas atau lebih tepatnya basis objektif bagi pengalaman mistik menjadi krusial sebagai pertahanan filosofis terhadap serangan sekuler atas basis ontologis pengalaman mistik.
Namun selain argumen-argumen logis, argumen-argumen praktis juga bisa kita kemukakan untuk memperkuat objektivitas pengalaman dan dunia mistik. Kalau kita perhatikan beberapa tokoh spiritual maupun intelektual yang dipercaya mendapat pencerahan mistik, seperti al-Ghazali (w. 1111), Suhrawardi (w. 1191) dan Mulla Shadra (w. 1641), maka ketiga tokoh tersebut tidak pelak lagi adalah tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh hingga hari ini di dunia Islam, meskipun mereka telah meninggal dunia berabad-abad yang silam. Ajaran-ajaran mistik mereka masih dirasakan manfaat dan terus aktual dan mempesona bagi yang membacanya, bahkan bagi pembaca modern.
Kenyataan bahwa ajaran-ajaran mereka telah bertahan terhadap berbagai perubahan waktu yang begitu panjang, padahal ajaran mereka berdasar pada pengalaman mistik atau penyingkapan (mukasyafah) dan penyaksian (musyahadah) menunjukkan bukti bahwa ajaran-ajaran mereka itu "benar" dan menjadi fondasi di atas mana mereka membangun ajaran-ajaran mereka secara "objektif." Sebab ajaran apapun sangat sulit dibayangkan bisa bertahan dalam rentang waktu yang begitu lama--dengan berbagai manfaat yang dirasakannya, bahkan bisa menjadi inspirasi bagi para pengikutnya,--kalau ajaran-ajaran mereka itu sama sekali salah. Kelangsungan ajaran-ajaran ini dalam waktu yang begitu lama meruapakan jaminan atas kebenarannya.[http://on.fb.me/1b4eOjj]
Mulyadhi Kartanegara: menurut Bruno Guiderdoni, astrofisikawan dari Prancis yang sudah Muslim, teka-teki (puzzle) di dunia fisik tidak akan terjawab sepenuhnya karena sebenarnya alam atak lain daripada manifestasi sifat-sifat Tuhan yang tidak terbatas, sehingga setiap saatakan ada fenomena yang samasekali baru yang sains membutuhkan waktu lama untuk memecahkannya.. dan kalau dunia fisik saja sudah begitu rumitnya, apalagi dunia non-fisik yang jauh lebih subtle darinya. karena itu ini bisa kita jadikan sebagai warning bagi kita juga para saintis untuk menyadari keterbatasan kita manusia dalam memahami realitas dari ciptaan Tuhan.
Mulyadhi Kartanegara: Elizabeth Shatori pernah menggambarkan kerja ilmuwan modern seperti seorang pianis yang baru memainkan separuh key board dari pianonya, karena separuh lagi merupakan entitas-entitas yang lebih halus dan abstrak,, tapi akankah permainan piano akan lengkap tanpa menyentuh bagian lainnya?
Ahmad Häns-Petr Kauffmann: mengapa pengalamn mistik melahirkan agama2, trus apa yg membedakan pengalamn mistis nabi dalam islam dengan santo santo atau biku biku dalm agama lain
Mulyadhi Kartanegara Ahmad: pertama harus dibedakan antara nubuwwah (kenabian) dan wilayah (kewalian), sekalipun mereka sebenarnya satu jalur.. Farid al-Din 'Attar pernah berkata bahwa setinggi-tinggi tingkat pengalaman wali batulah awal dari pengalaman nabi. Jadi santo-santo dan para wali tidak bisa disejajarkan dengan nabi. Kedua Allah berfirman bahwa ia menurunkan kitab dan hikmah, kitabuntuk para nabi dan hikmah untuk pada wali dan filosof. Bahwa Allah juga mengatakan bahwa jumlah nabi itu banyak sekali, ada yang dikisahkan dalam qur'an ada juga yang tidak. Demikian jugabtentunya pada kekasih Allah yang memiliki harptibyang suci, merekapun bisa memperoleh hikmah dan ilham dari Allah swt.
Junaidi Abdillah: Iman dan Yaqin letaknya dimana pak?
Mulyadhi Kartanegara: Iman letahnya di hati berdsar pada hidayah Allah. Tapi menurut al-ghazali, hidayah yang diibaratkan cahaya terbesar di mana-mana melalui indera (miskat), akal (misbah), imajinasi (juzajah), dan hati (zaitunah). Karena itu bukti empiris, rasional dan intuitif menjadi penguat iman kita dalam hati. Tentunya hati sebagai organ spiritual, bukan yang fisik (bukanotak, atau liver maupun jantung)
Mulyadhi Kartanegara Ahmad: pertama harus dibedakan antara nubuwwah (kenabian) dan wilayah (kewalian), sekalipun mereka sebenarnya satu jalur.. Farid al-Din 'Attar pernah berkata bahwa setinggi-tinggi tingkat pengalaman wali batulah awal dari pengalaman nabi. Jadi santo-santo dan para wali tidak bisa disejajarkan dengan nabi. Kedua Allah berfirman bahwa ia menurunkan kitab dan hikmah, kitabuntuk para nabi dan hikmah untuk pada wali dan filosof. Bahwa Allah juga mengatakan bahwa jumlah nabi itu banyak sekali, ada yang dikisahkan dalam qur'an ada juga yang tidak. Demikian jugabtentunya pada kekasih Allah yang memiliki harptibyang suci, merekapun bisa memperoleh hikmah dan ilham dari Allah swt.
Junaidi Abdillah: Iman dan Yaqin letaknya dimana pak?
Mulyadhi Kartanegara: Iman letahnya di hati berdsar pada hidayah Allah. Tapi menurut al-ghazali, hidayah yang diibaratkan cahaya terbesar di mana-mana melalui indera (miskat), akal (misbah), imajinasi (juzajah), dan hati (zaitunah). Karena itu bukti empiris, rasional dan intuitif menjadi penguat iman kita dalam hati. Tentunya hati sebagai organ spiritual, bukan yang fisik (bukanotak, atau liver maupun jantung)
Mulyadhi Kartanegara Tedi Sumardi: perbedaan antara Rumi dan Ibn Arabi mungkin bisa ditebak dari dua buku karangan William chitticvk: (1) The Sufi path of Love (tentang Rumi) dan The Sufi Path of Knowledge (tentang Ibn Arabi). you d better read these book! very fascinating.. believe me...
[Seri Kuliah Tasawuf 2]
Ilmu Hushuli vs Ilmu Hudhuri
Mulyadhi Kartanegara
(1)
Mehdi ha'iri Yazdi mengatakan bahwa makrifat (al-ma'rifah) adalah sejenis pengetahuan melalui kehadiran, atau lebih populer disebut ilmu hudhuri (knowledge by presence). Oleh karena itu mungkin bermanfaat untuk mengenal apa yang dimaksud dengan ilmu hudhuri, sambil mengontraskannya dengan ilmu hushuli (knowledge by correspodence).
Ilmu hushuli adalah ilmu pengetahuan yang kita peroleh dari objek yang ada di luar kita secara objektif. Misalnya pengetahuan tentang meja dan gelas yang ada di atasnya. Menurut ahli ilmu hudhuri, sebuah benda yang ada di hadapan kita, selalu memiliki dua macam objek. Objek subjektif yang ada atau hadir dalam diri (pikiran) kita, dan objek objektif yang ada di luar diri kita. Objek yang di luar diri kita disebut bentuk (shurah), sedangkan objek yang ada di dalam diri kita disebut makna. Ilmu hushuli dimungkinkan tapi tanpa jaminan kebenaran. Ia dicapai oleh manusia berdasarkan pada "keserupaan" atau "korespondensi" antara bentuk dan makna. Kalau korespondensi ini berkorelasi positif, maka pengetahaun dikatakan benar, kalau negatif maka dikatakan salah atau keliru.
Berbeda dengan midus ilmu hushuli, ilmu hudhuri pada umumnya berhubungan dengan makna atau objek subjektif yang sudah "dihadirkan" dalam diri kita. Ia bukan tentang objek objektif yang berada di luar diri kita, sehingga objek ini disebut absen atau tidak hadir dalam diri kita dan tidak bisa kenal secara langsung atau intuitif. Sebaliknya ilmu hudhuri selalu menangkap objeknya secara langsung, karena ia telah "hadir" dalam diri kita. Dan justru karena ia telah hadir dalam diri kita, maka kita mengetahui objek tersebut seperti kita mengetahui diri kita sendiri. Dari sinilah muncul konsep self-knowledge, pengetahuan tentang diri sendiri. Dalam pengetahun diri, karena subjek dan objek adalah sama, maka jurang yang biasanya menganga antara subjek dan objekpun telah terjembatani. Maka terjadilah identitas (kesamaan) antara subjek dan objek. Pengetahuan diri sedemikian langsungnya, karena tanpa simbol apapun, sehingga kebenarannya pasti terjamin, karena di sini knowing (mengetahui) adalah sama dengan ada (being), ringkasnya "knowing is being," di mana pengetahuan telah menjadi wujud itu sendiri. (Bersambung) [http://on.fb.me/1kbzmy8]
(2)
Pengetahuan tentang diri sendiri (self-knowledge), termasuk di dalamnya objek-objek subjektif yang telah dihadirkan dalam diri kita, memiliki beberapa keistimewaan tertentu di antaranya: pertama, berbeda dengan pengetahuan hushuli yang objeknya berada di luar (ghaib, tidak hadir) dalam diri seseorang dan karena itu tidak memiliki kaitan langsung dengannya, pengetahuan melalui kehadiran bisa mengetahui objek-objeknya secara langsung, sehingga memiliki tingkat kepastian yang sangat tinggi. Tingkat kepastian seperti ini tidak bisa dicapai oleh ilmu hushuli karena adanya jurang yang dalam antara subjek dan objeknya, sehingga keraguan selalu bisa timbul di dalamnya.
Kedua, adalah bahwa dia memiliki prioritas absolut terhadap jenis pengetahuan manusia lainnya. Syaikh Isyraqi, Suhrawardi mengatakan bahwa dalam perjalanan pengetahuan manusia, seseorang haruslah pertama melakukan penyelidikan terhadap kesadaran akan dirinya sendiri ('ilmi bidzatihi). Barulah dari tahap ini ia bergerak menuju apa yang ada "di atas" atau "di seberang" dirinya sendiri. Pengetahuan tentang diri sendiri bukanlah pengetahuan yang diperoleh melalui representasi (bishurah), tetapi pengetahaun melalui makna (bima'na) yang mendahului pengetahuan representatif. Setiap representasi yang terjadi pada pikiran orang yang mengetahui, pada kenyataannya merupakan sesuatu tambahan kepada realitas ini, dan dibandingkan dengan realitas itu sendiri justru ia bertindak sebagai "dia" (huwa) bukan "aku" (ana). (Bersambung) [http://on.fb.me/1bWvFsT]
(3)
Selain dua keistimewaan di atas, ilmu hudhuri juga mempunyai keistimewaan yang lain. Sementara ilmu hushuli hanya bisa mengetahui hal-hal yang bersifat eksternal, khususnya yang bersifat empiris, ilmu hudhuri bisa juga mengetahui hal-hal yang non-empiris. Seperti telah disinggung, dalam ilmu hudhuri dikenal dua macam objek, objek objektif (transitive object) yang berada di luar diri kita dan objek subjektif (immanent object) yang hadir dalam diri kita. Dalam ilmu hudhuri, yang juga sering disebut pengetahuan fenomenal, objek-objek transitif atau objektif bersifat aksidental, sedangkan objek immanen atau subjektif bersifat niscaya dan instrinsik. Yang pertama dihubungkan melalui korespondensi, sedangkan yang terakhir dihubungkan melalui identitas.
Karena sifatnya yang aksidental maka objek-objek transitif (objektif) tidak mempunyai hak istimewa sebagai satu- satunya objek yang mungkin dapat diketahui oleh manusia. Mulla Shadra dalam sistem filsafatnya, memperluas objek-objek subjektif yang esential dari semata-mata kesan inderawi, sebagai objek pengalaman inderawi, kepada objek-objek ma'quli (intelligible) yang bersifat transenden. Di sini perbedaan antara objek-objek esensial dan aksidental, justru terutama dirancang untuk diterapkan pada semua jenis tindakan epistemik, baik yang bersifat empiris maupun yang transenden, yakni objek-objek ma'quli. Objek-objek ini merupakan objek-objek aktual dari pikiran kita, karena, menurut Mulla shadra, objek-objek inilah yang betul-betul terbebas dari materi dan esensial untuk diketahui oleh tindakan intelektual.[] [http://on.fb.me/1cyaJ81]
[Seri Kuliah Tasawuf 3]
Jaminan Kebenaran
Mulyadhi Kartanegara
(1)
Sejak saya mengerti kritik Immanuel Kant terhadap akal murni (pure reason) bahwa tidak ada jalan bagi akal murni, dengan menggunakan kategori-kategori mental, untuk mengetahui hakikat seautu benda (das Ding an sich), saya selalu bertanya-tanya bagaimana seorang sufi atau filosof mistik yakin bahwa apa yang ia ketahui adalah benar, apa jaminannya?
Karena itu apa yang saya diskusikan di sini adalah tentang jaminan kebenaran dari sebuah pengetahuan mistik atau makrifah. telah kita ketahui bahwa pengetahuan mistik berbeda dengan pengetahuan rasional, sehingga kritik Immanuel Kant di atas tidak bisa diterapkan kepada modus pengetahuan mistik. lalu pertanyaannya adalah apa yang menjamin bahwa pengetahuan mistik adalah benar?
Sebagaimana telah diketahui bahwa pengetahuan mistik tidak berbicara tentang objek transitif yang berada di luar diri manusia, di mana kataeagori-kategori mental seperti ruang, waktu, sebab akibat, dan reaasi, mengantarai diri seseorang sebagai subjek dengan objeknya. Pengetahuan mistik berbicara tentang objek immanen yang hadir yang dialami dan ditemukan langsung oleh seseorang dalam dirinya. di sini jurang yang merentang antara subjek dan objek telah dijembatani dengan sempurna, dan kategori-kategori mental kehilangan fungsinya sebagai pengantara atau bahkan penghalang antara subjek dan objek. akibatnya, hakikat dari sebuah objek mungkin diraih dalam modus pengetahuan intuitif yang bisa menembus dinding objek hingga jantungnya. (bersambung) [http://on.fb.me/J6Hxgl]
(2)
Untuk menggambarkan pengetahuan intim yang langsung ini, para sufi menyebutnya dengan istilah ilmuladunni yang menggambarkan pemberian langsung sebuah "makna" dari sesuatu oleh Tuhan ke dalam hati seorang hamba yang dikehendaki-Nya, dalam sebuah peristiwa apokalistik yang disebut "mukasyafah" (penyingkapan) atau "musyahadah" (penyaksian langsung). Karena yang mengkapkan pengetahuan tadi ke dalam hati seorang hamba itu adalah Allah sendiri, dan karena Allah, sebagai sang Kebenaran, tidak mungkin bohong, maka apa yang disingkapkan-Nya itu pastilah benar. Inilah jaminan kebenaran bagi para Sufi yang selalu mendatangkan keyakinan dalam hati mereka. Berbeda dengan pengetahuan yang diperoleh lewat bacaan, pengalaman mistik (makrifat) dialami dan dirasakan sendiri oleh sang sufi sehingga mendatang keyakinan yang medalam dan penuh kepastian, sebuah kepastian yang tidak mungkin akan bisa dicapai dalam modus pengetahuan lain yang bersifat diskursi (bahtsi). (bersambung) [http://on.fb.me/1cBHv8h]
Tentu saja kita tidak boleh berhenti dengan jawaban yang simplistik ini, dasn kita perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada seorang sufi ketika ia memperoleh makrifat atau mukasyafah. Dari tulisan yang lalu, ketika kita telah bicara tentang ilmu hudhuri, bahwa sesuatu itu selalu memiliki objek yang "hadir" yang berbeda dengan objek lahirian yang ada di luar diri kita, yang kebenarannya, menurut Kant, tidak bisa dipastikan. Menurut para sufi, objek-objek eksternal ini kita bisa kenal secara tidak langsung melalui "representasi" dari objek yang kita teliti melalui korespondensi. Kalau representasi tersebut berkorenpondensi secara positif dengan objeknya, maka pengetahuan itu dikatakan benar, tapi kalau secara negatif salah. Berbeda dengan objek lahiriah, objek immanen yang hadir dalam diri kita dalam bentuk makna, dapat diketahui secara langsung tanpa perantara, simbol ataupun representasi apapun, sehingga diperoleh pengetahuan intuitif yang langsung, mendalam dan "genuine" tentangnya. dan ketika makna objek itu telah hadir dalam diri kita, maka pengetahuan kita tentangnya akan sama dengan pengetahuan diri kita sendiri, atau yang diistilahkan dengan self-knowledge, yang bisa dijamin kebenarannya.
dalam peristiwa ini sebenarnya telah terjadi identifikasi yang organik antara pengetahuan, subjek yang mengfetahui dan objek yang diketahui--karena orang yanag sama adalag subjek dan sekaligus objeknya. Identitas antara subjek dan objek inilah yang barangkali bisa mematahkan kritik Immanuel Kant, sedangkan identitas antara pengetahuan dan yang diketahui telah melahirkan semacam ilmu istimewa di mana apa yang diketahui adalah sama dengan wujud yang diketahui, atau dengan istilah lain "to know is to be." di sini juga terjadi identifikasi antara pikiran (adzhan) dan realitas (a'yan). dengan cara inilah kelihatannya para sufi merasa konfiden akan kebenaran dari pengetahun mereka. bagi mereka inilah jamainan kebenaran itu....[] [http://on.fb.me/1cSnkXa]
Diskusi:
Ramlan Qurthubi AF: Mistik-falsafi itulah yg diajarkan Abu Yazid Albustami,mungkin Prof..Keberfilsafatan dg kesufian itu tak jauh berbeda,yg berbeda kesufian trkdng mengantarkan kpd kefilsafatan,tapi kefilsafatan tdk mengantarkan kepada kesufian..Karena Sufisme bisa menembus sisi ruang & waktu,inilah pengalaman mistik/pengalaman spritual..Sdngkan filsafat menembus sisi rasionalitas manusia & memandang obyek yg bisa dirasionalkan....Kebenaranya sama,cuma cara pandangnya yg berbeda,karena fisika kuantum yg membahas sisi rasionalitas dimensi ruang & waktu blum sampai pd titik akhir pembuktian teorinya..Tenggelam secara sufi memikirkan filsafat lebih baik daripada memikirkan filsafat dalam kesufian..Inilah tgs fisika kuantum & para filosof untk merasionalkan sisi kebenaran pengalaman mistik..Karena pengalaman mistik hanya bisa dirasakan oleh yg berpengalaman merasakan,apa ini yg membuat Prof..Hamka,Prof..Ahmad tafsir,dll yg membuat dirinya berthorekat untk menemukan kebenaran yg tidak bisa dikejar sisi rasionalitas..Wallahualam..Mf bkn menggurui...Mohon koreksi..Trima ksh..
النهر الصغير: Imam Sya'rani sktr abad 10 H seorang ahli hadis dan jg sufi prnh menyatakan kurang lbh jgn trlalu brtumpu pada kasyaf krn sbgian dr kasyaf itu Yukhthi/keliru. Di sini berarti pengalaman sprotual antara sufi satu dgn lain jelas brbeda. Kdng sy jg bertanya" jika para Imam mis Syafi'i dan Malik serta lainx sering disebut wali, maka kenapa mrk berbeda dlm konklusi ijtihadx. Mestix jika kasyaf hasilx sama.....?
Mulyadhi Kartanegara: itu karena kebenaran itu terlalu besar dab banyak seginya untuk bisa dipahami oleh satu orang, dan satu masa. seperti orang yang masuk ke pameran gajah di tempat gelap, di mana orang hanya diizinkan dalam waktu singkat untuk menyentuh gajah dalam gelap. apa yang terjadi setiap orang punya ceriteranya mas8ing masing. pertanyaannya apakah ceritera yang bermacam-macam itu menandakan bahwa gajah itu banyak? tentu saja tidak, gajah itu satu tapi dipersepsi dari sisi yang berbeda-beda.. semoga bermanfaat
Fachry Ali: Dg membaca diskusi ini ada kesan sy bahwa 'kebenaran' yg dimaksud di sini adalah 'pemahaman' atau 'persepsi' seseorang atau segolongan orang atas 'realitas' tertentu. Jika ini bisa diterima, maka 'persepsi' atau 'pemahaman' itu memang bersifat subyektif dan tdk bisa diukur.
Mulyadhi Kartanegara: Ka Fakhry Ali: ka Fakhri benar bahwa yang dimaksud adalah pemahaman yang subjektif terhadap realitas sejati. Tetapi persepsi subjektif ini tidak bisa menghapus adanya kebenaran objektif, yang mngatasi kebenaran-kebenaran subjektif tersebut. Dalam ceritera pameran gajah di tempat gelap, diceriteakan betapa banyak orang berselisih setelah mendengar laporan tentang gajah tersebut. Ada yang mengatakan bahwa gajah itu seperti tiang, ada yang mengatakan seperti kipas, ada yang mengatakan seperti selang dan juga ada yang mengatakan sepertindrum, tergantung bagian mana spdari gajah tersebut yang tersentuh. Sampai disi oersepsi subjektif terhadap realitas gajah sepertinya mengalami kebuntuan. Para pengikut mazhab, sekte dan golonganpun ramai berselisih di luar tempay pameran. Melihat kekacauan ini, maka panitia menyuruh orang-orang yang bertengkar ini untuk masuk. Setelah masuk maka panitia menyalakan ruang pameran yang gelap tersebut, dan setelah beberapa saat berlalu mereka menyadari bahwa apa yang dioertikaikan tadi adalah kebenaran-kebenaran parsial, tapi yang kini, setelah menyaksikan gajah secara keseluruhan, menemukan kebenaran yang lebih komprehensif yang bisa mengatasi segala perbedaan yang muncul tentang gajahbtersebut... Semoga bisa dimengerti maksud ceritera ini. (Ceritera ini berasal dari jalaluddin Rumi, nicholson hanya penerjemah)
Mi'raj Dodi Kurniawan: pengetahuan mistik atau intuitif (ilmu huduri) tak terjelaskan secara literal. ketika ia berusaha dijelaskan secara literal, maka bukan lagi ilmu huduri, melainkan sudah didekati dengan husuli (hanya menjelaskan sekelumit/selintas). karena tak bisa dijelaskan secara literal, maka bukti dan untuk membuktikan sebagian tanda pengetahuan huduri sang sufi adalah dalam perkataan, sikap, dan perbuatannya. wallahu a'lam.
Mulyadhi Kartanegara: Mi'raj Dodi: benar bahwa ia harus diekspresikan dalam sikapndan oerbuatan, karena itu nanti salah satu tajuk kuliah kita adalaj "tak bisa tanpa amal." Dan saya sangat memohon kepada mereka yang sudah mencicipi anggur cinta sufi untuk memberikan pencerahan, tapi tidak cukup dengan mengatakan bahwa tasawuf tidak bisa dijelaskan oleh orang yang belum pernah mencicipi manusnya tasawuf. Karena kalau itu yang dikehendaki, maka kuliah apapun tentang tasawuf adalah mustahil dan batal semuanya...
[Seri Kuliah Tasawuf 4]
Kesatuan Subjek dan Objek
Mulyadhi Kartanegara
(1)
Pada kajian lalu yang berkaitan dengan ilmu hudhuri, kita telah berbicara tentang pengetahuan yang kita ketahui secara langsung karena objeknya telah hadir dalam diri kita. Juga telah disinggung tentang identitas (kesamaan) subjek dan objek. Pada kajian sekarang kita akan lebih fokus pada kesatuan subjek dan objek.
Dalam proses pengetahuan hushuli yang kita peroleh liwat indera dan akal, kita selalu mengandaikan diri kita sebaagi subjek dan yang hendak kita ketahui sebagai objek; dan diantara keduanya selelu terbentang jurang yang dalam yang tidak mudah diseberangi. Ketika kita mencoba memahami sebuah objek ilmu, kita akan memulai dengan berbagai pertanyaan seperti apa, mengapa, bagaimana, siapa, kapan dan di mana. Tanpa mengajukan pertanyaan seperti itu, kita tidak akan pernah tahu sesuatu apapun tentang objek tersebut.
Tetapi perlu disadari bahwa begitu kita mengajukan sebuah pertanyaan, maka sesungguhnya kita telah menjajah objek tersebut dengan perangkat-perangkat subjektif, yang oleh Kant disebut kategori. Jadi ketika kita mengetahui sebuah objek, maka yang kita ketahui itu adalah objek sebagaimana yang kita ingin ketahui, bukan objek itu sendiri yang mengungkapkan dirinya kepada kita. Apapun yang kita ketahui tentang objek itu, maka objek itu sendiri tetap tersembunyi. Dalam istilah Kant, kita tidak mengetahui objek itu sebagaimana adanya (das Ding an sich) dan tidak pernah akan mengetahuinya kecuali sebatas penampakannya belakan (fenomena). Dengan demikian jurang yang menganga antara subjek dan objek tidak pernah akan terseberangi. (Bersambung).
(2)
Kalau yang baru saja kita diskusikan berkenaan dengan objek-objek indeawi, maka demikian juga yang terjadi pada objek-objek rasional (ma'qulat). Objek-objek yang kita pelajari lewat buku itupun sebenarnya tidak bisa kita tembus. Di sini pun jurang antara kita, sang subjek dan konsep-konsep sebagai objek yang kita dekati lewat pengkajian rasional juga tida terjembatanani, karena objek-objek tersebut dikaji lewat simbol-simbol. Dan karena pengetahuan kita berhenti pada simbol--dalam bentuk kata atau huruf--maka sesungguhnya kitapun tidak akan sampai ke jantung (realiatas) objek tersebut yang, yang bersembunyi di balik bermacam-macam simbol.
Mawlana Rumi pernah menyatakan bahwa kita tidak akan oernah bisa memetik atau menyunting sekuntum mawar dari M.A.W.A.R. Kitapun alangkah dalam perbedaan antara mawar yang ada di taman bunga dengan mawar yang dikaji dalam buku-buku atau diuraikan dalam kalimat atau kata-kata. Dalam pengalaman sehari-haripun kita mengetahui perbedaan antara "rasa manis" yang didiskusikan dalam buku-buku dengan rasa manis yang kita cicipi dalam segelas teh manis yang dihidangkan buat kita. Betapapun banyaknya buku yang kita kaji mengenai rasa manis tersebut, tanpa mencicipinnya, maka diskusi tentangnya akan menjadi sia-sia-- dalam arti tidak bisa kita pahami hakikatnya.
Akan tetapi bagi mereka yang merasakannya, ia akan segera mengerti apa hakikat manis itu tanpa konsep atau definisi, sekalipun menungkin ia sendiri tidak bisa mendefinisikannya apa yang dipahaminya kepada orang lain. Oleh karena itu bagi mereka yang membahas rasa manis itu melalui perangkat rasional, yaitu bahasa verbal atau diskusi, rasa manis itu akan tetap tersembunyi, dan jurang antara subjek dan objek belum bergeser apalagi teratasi. (Bersamung)
(3)
Berbeda halnya dengan pengetahuan inderawi dan rasional, pengetahuan mistik mampu menembus objek sampai jantungnya. Tetapi ketika ia tercapai, maka objek tersebut tidak bias dipisahkan dari subjeknya. Ciri pengetahuan mistik adalah kelangsungannya, seperti orang yang dapat memahami arti manis, tidak melalaui kata-kata, melainkan melalui pengalaman langsung dengan mencicipinya. Pengalaman mistik mempunyai kesamaan dengan itu. Rumi pernah berkata, “kalau anda ingin mengerti api secara intuitif, maka pangganglah diri anda di dalamnya.” Ini juga berkaitan dengan ceretera tentang kupu-kupu dalam Manthiq al-Thayr karangan Fariduddin ‘Attar yang ingin mengetahui tentang haklikat api. Dikatakan dalam ceritera tersebut bahwa hanya kupu-kupu yang yang tubuhnya terbakar dan memerah seperti api yang mengerti hakikat api, bukan kupu-kupu yang hanya merakan panas dari jarak yang dekat, bukan pula kupu-kupu yang telah membakarkan hanya sebagian saja dari sayapnya ke api terserbut.
Dengan demikian maklumlah kita bahwa modus pengetahuan mistik berbeda dengan modus pengetahuan inderawi ataupun rasional, karena dalam pengetahuan mistik kita tidak mendekati objek ini melalui kategori-kategori subjektif ataupun simbolisme, yang menyebabkan kita tetap berada di luar objek tsb, melainkan menembus objek tersebut dengan cara menyelaminya secara langsung. Di sini kita berbicara tentang objek yang telah hadir berupa makna dalam jiwa kita, sehingga objek yang kita ketahui telah menjadi bagian organik dari diri kita dan telah menjadi identik dengan diri kita yang mengetahui. Dan apapun yang identik dengan diri kita maka ia telah menjadi diri kita sendiri. Ketika ia telah menjadi diri kita, maka tercapaikan kesatuan antara subjek dan objek, karena subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui bukanlah sesuatu yang berbeda dan terpisah melainkan sesuatu yang satu dan sama. Semoga bermanfaat![]
[Seri Kuliah Tasawuf 57]
Bab III: Fasal 26: TAK BISA DIPELAJARI DARI BUKU
Prof. Mulyadhi Kartanegara
[Pengantar: menjelang bulan suci Ramadhan ini, saya bermaksud meneruskan Seri Kuliah Tasawuf, yang sudah cukup lama terhenti. Ini adalah terusan kuliah-kuliah sebelumnya, yang dulu berhenti pada Fasal 25. Jadi seri kuliah akan dimulai dengan Bab III, tentang Ma'rifah fasal 26, tentang Tasawuf Tak Bisa dipelajari dari Buku. Selamat membaca, semoga bermanfaat..]
Salah satu kenyataan yang jarang disadari para peminat tasawuf adalah bahwa tasawuf dalam arti sebenarnya tidak dapat dipelajari dari buku, karena apa yang telah dituliskan atau dijelaskan dalam buku bukan lagi tasawuf, tapi lebih menyerupai filsafat. Ketika Suhrawardi al-Maqtul ditanya tentang apakah kitab Hikmat al-Isyraq sebuah kitab filsafat atau tasawuf, ia menjawab bahwa kitab ini kitab filsafat tetapi berdasar pada pengalaman mistik atau tasawuf. Pengalaman batin apapun yang telah dituliskan, akan mengalami proses rasionalisasi atau sistimatisasi sehingga tidak lagi mewakili pengamalan mistik asli yang kadang meluap-luap. Bisa jadi terdapat "jurang" atau "gap" antara apa yang dialami dan apa yang ditulis dari pengalaman tersebut.
Mawlana Rumi, seperti telah disinggung, pernah berkata: "apapun yang aku perikan tentang cinta, ketika cinta itu datang sendiri padaku, aku malu dengan semua pemerian itu." Di sini kita bisa melihat adanya jurang yang lebar antara cinta sebagaimana yang diperikan dan cinta sebagaimana yang dialami. Demikian juga kalau kita mau memberi contoh yang lebih kongkrit, pemerian tentang rasa gula (manis) akan berbeda dengan rasa gula itu sendiri. Dan seseorang perlu mencicipi gula itu dulu untuk bisa memahami pemerian tentang rasa gula tersebut.
Tapi bagi mereka yang belum pernah mencicipi gula, pemerian tentang rasa gula, betatapun baiknya dan betatapun rincinya ia tidak akan memberi manfaat atau pengertian apapun kepadanya. Sebaliknya mereka yang pernah merasakannya, akan mengerti tentang rasa manis tersebut bahkan tanpa membutuhkan kata-kata, definisi, deskripsi atau pemerian apapun. Selain itu, seperti yang diingatkan Runi, apa yang dituliskan dalam buku tidak lain daripada simbol. Adapun objek yang sesungguhnya dari apa yang diperikan adalah sesuatu yang amat berbeda bahkan mungkin tidak punya kaitan yang organik dengannya. Rumi pernah bertanya, "Apakah kita bisa menyunting atau memetik mawar dari M.A.W.A.R?" Tentu saja tidak. Dari huruf MAWAR kita tidak akan bisa mencium "semerbaknya yang memabukkan," atau "luka berdarah dari durinya yang tajam." Karena itu terdapat jurang yang tajam antara "kata" dan "yang diperkatai, " atau dengan kata-kata Rumi sendiri, "Anda baru menyebut nama, cari yang empunya "nama." (Bersambung)
Selain dua keistimewaan di atas, ilmu hudhuri juga mempunyai keistimewaan yang lain. Sementara ilmu hushuli hanya bisa mengetahui hal-hal yang bersifat eksternal, khususnya yang bersifat empiris, ilmu hudhuri bisa juga mengetahui hal-hal yang non-empiris. Seperti telah disinggung, dalam ilmu hudhuri dikenal dua macam objek, objek objektif (transitive object) yang berada di luar diri kita dan objek subjektif (immanent object) yang hadir dalam diri kita. Dalam ilmu hudhuri, yang juga sering disebut pengetahuan fenomenal, objek-objek transitif atau objektif bersifat aksidental, sedangkan objek immanen atau subjektif bersifat niscaya dan instrinsik. Yang pertama dihubungkan melalui korespondensi, sedangkan yang terakhir dihubungkan melalui identitas.
Karena sifatnya yang aksidental maka objek-objek transitif (objektif) tidak mempunyai hak istimewa sebagai satu- satunya objek yang mungkin dapat diketahui oleh manusia. Mulla Shadra dalam sistem filsafatnya, memperluas objek-objek subjektif yang esential dari semata-mata kesan inderawi, sebagai objek pengalaman inderawi, kepada objek-objek ma'quli (intelligible) yang bersifat transenden. Di sini perbedaan antara objek-objek esensial dan aksidental, justru terutama dirancang untuk diterapkan pada semua jenis tindakan epistemik, baik yang bersifat empiris maupun yang transenden, yakni objek-objek ma'quli. Objek-objek ini merupakan objek-objek aktual dari pikiran kita, karena, menurut Mulla shadra, objek-objek inilah yang betul-betul terbebas dari materi dan esensial untuk diketahui oleh tindakan intelektual.[] [http://on.fb.me/1cyaJ81]
[Seri Kuliah Tasawuf 3]
Jaminan Kebenaran
Mulyadhi Kartanegara
(1)
Sejak saya mengerti kritik Immanuel Kant terhadap akal murni (pure reason) bahwa tidak ada jalan bagi akal murni, dengan menggunakan kategori-kategori mental, untuk mengetahui hakikat seautu benda (das Ding an sich), saya selalu bertanya-tanya bagaimana seorang sufi atau filosof mistik yakin bahwa apa yang ia ketahui adalah benar, apa jaminannya?
Karena itu apa yang saya diskusikan di sini adalah tentang jaminan kebenaran dari sebuah pengetahuan mistik atau makrifah. telah kita ketahui bahwa pengetahuan mistik berbeda dengan pengetahuan rasional, sehingga kritik Immanuel Kant di atas tidak bisa diterapkan kepada modus pengetahuan mistik. lalu pertanyaannya adalah apa yang menjamin bahwa pengetahuan mistik adalah benar?
Sebagaimana telah diketahui bahwa pengetahuan mistik tidak berbicara tentang objek transitif yang berada di luar diri manusia, di mana kataeagori-kategori mental seperti ruang, waktu, sebab akibat, dan reaasi, mengantarai diri seseorang sebagai subjek dengan objeknya. Pengetahuan mistik berbicara tentang objek immanen yang hadir yang dialami dan ditemukan langsung oleh seseorang dalam dirinya. di sini jurang yang merentang antara subjek dan objek telah dijembatani dengan sempurna, dan kategori-kategori mental kehilangan fungsinya sebagai pengantara atau bahkan penghalang antara subjek dan objek. akibatnya, hakikat dari sebuah objek mungkin diraih dalam modus pengetahuan intuitif yang bisa menembus dinding objek hingga jantungnya. (bersambung) [http://on.fb.me/J6Hxgl]
(2)
Untuk menggambarkan pengetahuan intim yang langsung ini, para sufi menyebutnya dengan istilah ilmuladunni yang menggambarkan pemberian langsung sebuah "makna" dari sesuatu oleh Tuhan ke dalam hati seorang hamba yang dikehendaki-Nya, dalam sebuah peristiwa apokalistik yang disebut "mukasyafah" (penyingkapan) atau "musyahadah" (penyaksian langsung). Karena yang mengkapkan pengetahuan tadi ke dalam hati seorang hamba itu adalah Allah sendiri, dan karena Allah, sebagai sang Kebenaran, tidak mungkin bohong, maka apa yang disingkapkan-Nya itu pastilah benar. Inilah jaminan kebenaran bagi para Sufi yang selalu mendatangkan keyakinan dalam hati mereka. Berbeda dengan pengetahuan yang diperoleh lewat bacaan, pengalaman mistik (makrifat) dialami dan dirasakan sendiri oleh sang sufi sehingga mendatang keyakinan yang medalam dan penuh kepastian, sebuah kepastian yang tidak mungkin akan bisa dicapai dalam modus pengetahuan lain yang bersifat diskursi (bahtsi). (bersambung) [http://on.fb.me/1cBHv8h]
(3)
Tentu saja kita tidak boleh berhenti dengan jawaban yang simplistik ini, dasn kita perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada seorang sufi ketika ia memperoleh makrifat atau mukasyafah. Dari tulisan yang lalu, ketika kita telah bicara tentang ilmu hudhuri, bahwa sesuatu itu selalu memiliki objek yang "hadir" yang berbeda dengan objek lahirian yang ada di luar diri kita, yang kebenarannya, menurut Kant, tidak bisa dipastikan. Menurut para sufi, objek-objek eksternal ini kita bisa kenal secara tidak langsung melalui "representasi" dari objek yang kita teliti melalui korespondensi. Kalau representasi tersebut berkorenpondensi secara positif dengan objeknya, maka pengetahuan itu dikatakan benar, tapi kalau secara negatif salah. Berbeda dengan objek lahiriah, objek immanen yang hadir dalam diri kita dalam bentuk makna, dapat diketahui secara langsung tanpa perantara, simbol ataupun representasi apapun, sehingga diperoleh pengetahuan intuitif yang langsung, mendalam dan "genuine" tentangnya. dan ketika makna objek itu telah hadir dalam diri kita, maka pengetahuan kita tentangnya akan sama dengan pengetahuan diri kita sendiri, atau yang diistilahkan dengan self-knowledge, yang bisa dijamin kebenarannya.
dalam peristiwa ini sebenarnya telah terjadi identifikasi yang organik antara pengetahuan, subjek yang mengfetahui dan objek yang diketahui--karena orang yanag sama adalag subjek dan sekaligus objeknya. Identitas antara subjek dan objek inilah yang barangkali bisa mematahkan kritik Immanuel Kant, sedangkan identitas antara pengetahuan dan yang diketahui telah melahirkan semacam ilmu istimewa di mana apa yang diketahui adalah sama dengan wujud yang diketahui, atau dengan istilah lain "to know is to be." di sini juga terjadi identifikasi antara pikiran (adzhan) dan realitas (a'yan). dengan cara inilah kelihatannya para sufi merasa konfiden akan kebenaran dari pengetahun mereka. bagi mereka inilah jamainan kebenaran itu....[] [http://on.fb.me/1cSnkXa]
Diskusi:
Ramlan Qurthubi AF: Mistik-falsafi itulah yg diajarkan Abu Yazid Albustami,mungkin Prof..Keberfilsafatan dg kesufian itu tak jauh berbeda,yg berbeda kesufian trkdng mengantarkan kpd kefilsafatan,tapi kefilsafatan tdk mengantarkan kepada kesufian..Karena Sufisme bisa menembus sisi ruang & waktu,inilah pengalaman mistik/pengalaman spritual..Sdngkan filsafat menembus sisi rasionalitas manusia & memandang obyek yg bisa dirasionalkan....Kebenaranya sama,cuma cara pandangnya yg berbeda,karena fisika kuantum yg membahas sisi rasionalitas dimensi ruang & waktu blum sampai pd titik akhir pembuktian teorinya..Tenggelam secara sufi memikirkan filsafat lebih baik daripada memikirkan filsafat dalam kesufian..Inilah tgs fisika kuantum & para filosof untk merasionalkan sisi kebenaran pengalaman mistik..Karena pengalaman mistik hanya bisa dirasakan oleh yg berpengalaman merasakan,apa ini yg membuat Prof..Hamka,Prof..Ahmad tafsir,dll yg membuat dirinya berthorekat untk menemukan kebenaran yg tidak bisa dikejar sisi rasionalitas..Wallahualam..Mf bkn menggurui...Mohon koreksi..Trima ksh..
النهر الصغير: Imam Sya'rani sktr abad 10 H seorang ahli hadis dan jg sufi prnh menyatakan kurang lbh jgn trlalu brtumpu pada kasyaf krn sbgian dr kasyaf itu Yukhthi/keliru. Di sini berarti pengalaman sprotual antara sufi satu dgn lain jelas brbeda. Kdng sy jg bertanya" jika para Imam mis Syafi'i dan Malik serta lainx sering disebut wali, maka kenapa mrk berbeda dlm konklusi ijtihadx. Mestix jika kasyaf hasilx sama.....?
Mulyadhi Kartanegara: itu karena kebenaran itu terlalu besar dab banyak seginya untuk bisa dipahami oleh satu orang, dan satu masa. seperti orang yang masuk ke pameran gajah di tempat gelap, di mana orang hanya diizinkan dalam waktu singkat untuk menyentuh gajah dalam gelap. apa yang terjadi setiap orang punya ceriteranya mas8ing masing. pertanyaannya apakah ceritera yang bermacam-macam itu menandakan bahwa gajah itu banyak? tentu saja tidak, gajah itu satu tapi dipersepsi dari sisi yang berbeda-beda.. semoga bermanfaat
Fachry Ali: Dg membaca diskusi ini ada kesan sy bahwa 'kebenaran' yg dimaksud di sini adalah 'pemahaman' atau 'persepsi' seseorang atau segolongan orang atas 'realitas' tertentu. Jika ini bisa diterima, maka 'persepsi' atau 'pemahaman' itu memang bersifat subyektif dan tdk bisa diukur.
Mulyadhi Kartanegara: Ka Fakhry Ali: ka Fakhri benar bahwa yang dimaksud adalah pemahaman yang subjektif terhadap realitas sejati. Tetapi persepsi subjektif ini tidak bisa menghapus adanya kebenaran objektif, yang mngatasi kebenaran-kebenaran subjektif tersebut. Dalam ceritera pameran gajah di tempat gelap, diceriteakan betapa banyak orang berselisih setelah mendengar laporan tentang gajah tersebut. Ada yang mengatakan bahwa gajah itu seperti tiang, ada yang mengatakan seperti kipas, ada yang mengatakan seperti selang dan juga ada yang mengatakan sepertindrum, tergantung bagian mana spdari gajah tersebut yang tersentuh. Sampai disi oersepsi subjektif terhadap realitas gajah sepertinya mengalami kebuntuan. Para pengikut mazhab, sekte dan golonganpun ramai berselisih di luar tempay pameran. Melihat kekacauan ini, maka panitia menyuruh orang-orang yang bertengkar ini untuk masuk. Setelah masuk maka panitia menyalakan ruang pameran yang gelap tersebut, dan setelah beberapa saat berlalu mereka menyadari bahwa apa yang dioertikaikan tadi adalah kebenaran-kebenaran parsial, tapi yang kini, setelah menyaksikan gajah secara keseluruhan, menemukan kebenaran yang lebih komprehensif yang bisa mengatasi segala perbedaan yang muncul tentang gajahbtersebut... Semoga bisa dimengerti maksud ceritera ini. (Ceritera ini berasal dari jalaluddin Rumi, nicholson hanya penerjemah)
Mi'raj Dodi Kurniawan: pengetahuan mistik atau intuitif (ilmu huduri) tak terjelaskan secara literal. ketika ia berusaha dijelaskan secara literal, maka bukan lagi ilmu huduri, melainkan sudah didekati dengan husuli (hanya menjelaskan sekelumit/selintas). karena tak bisa dijelaskan secara literal, maka bukti dan untuk membuktikan sebagian tanda pengetahuan huduri sang sufi adalah dalam perkataan, sikap, dan perbuatannya. wallahu a'lam.
Mulyadhi Kartanegara: Mi'raj Dodi: benar bahwa ia harus diekspresikan dalam sikapndan oerbuatan, karena itu nanti salah satu tajuk kuliah kita adalaj "tak bisa tanpa amal." Dan saya sangat memohon kepada mereka yang sudah mencicipi anggur cinta sufi untuk memberikan pencerahan, tapi tidak cukup dengan mengatakan bahwa tasawuf tidak bisa dijelaskan oleh orang yang belum pernah mencicipi manusnya tasawuf. Karena kalau itu yang dikehendaki, maka kuliah apapun tentang tasawuf adalah mustahil dan batal semuanya...
[Seri Kuliah Tasawuf 4]
Kesatuan Subjek dan Objek
Mulyadhi Kartanegara
(1)
Pada kajian lalu yang berkaitan dengan ilmu hudhuri, kita telah berbicara tentang pengetahuan yang kita ketahui secara langsung karena objeknya telah hadir dalam diri kita. Juga telah disinggung tentang identitas (kesamaan) subjek dan objek. Pada kajian sekarang kita akan lebih fokus pada kesatuan subjek dan objek.
Dalam proses pengetahuan hushuli yang kita peroleh liwat indera dan akal, kita selalu mengandaikan diri kita sebaagi subjek dan yang hendak kita ketahui sebagai objek; dan diantara keduanya selelu terbentang jurang yang dalam yang tidak mudah diseberangi. Ketika kita mencoba memahami sebuah objek ilmu, kita akan memulai dengan berbagai pertanyaan seperti apa, mengapa, bagaimana, siapa, kapan dan di mana. Tanpa mengajukan pertanyaan seperti itu, kita tidak akan pernah tahu sesuatu apapun tentang objek tersebut.
Tetapi perlu disadari bahwa begitu kita mengajukan sebuah pertanyaan, maka sesungguhnya kita telah menjajah objek tersebut dengan perangkat-perangkat subjektif, yang oleh Kant disebut kategori. Jadi ketika kita mengetahui sebuah objek, maka yang kita ketahui itu adalah objek sebagaimana yang kita ingin ketahui, bukan objek itu sendiri yang mengungkapkan dirinya kepada kita. Apapun yang kita ketahui tentang objek itu, maka objek itu sendiri tetap tersembunyi. Dalam istilah Kant, kita tidak mengetahui objek itu sebagaimana adanya (das Ding an sich) dan tidak pernah akan mengetahuinya kecuali sebatas penampakannya belakan (fenomena). Dengan demikian jurang yang menganga antara subjek dan objek tidak pernah akan terseberangi. (Bersambung).
(2)
Kalau yang baru saja kita diskusikan berkenaan dengan objek-objek indeawi, maka demikian juga yang terjadi pada objek-objek rasional (ma'qulat). Objek-objek yang kita pelajari lewat buku itupun sebenarnya tidak bisa kita tembus. Di sini pun jurang antara kita, sang subjek dan konsep-konsep sebagai objek yang kita dekati lewat pengkajian rasional juga tida terjembatanani, karena objek-objek tersebut dikaji lewat simbol-simbol. Dan karena pengetahuan kita berhenti pada simbol--dalam bentuk kata atau huruf--maka sesungguhnya kitapun tidak akan sampai ke jantung (realiatas) objek tersebut yang, yang bersembunyi di balik bermacam-macam simbol.
Mawlana Rumi pernah menyatakan bahwa kita tidak akan oernah bisa memetik atau menyunting sekuntum mawar dari M.A.W.A.R. Kitapun alangkah dalam perbedaan antara mawar yang ada di taman bunga dengan mawar yang dikaji dalam buku-buku atau diuraikan dalam kalimat atau kata-kata. Dalam pengalaman sehari-haripun kita mengetahui perbedaan antara "rasa manis" yang didiskusikan dalam buku-buku dengan rasa manis yang kita cicipi dalam segelas teh manis yang dihidangkan buat kita. Betapapun banyaknya buku yang kita kaji mengenai rasa manis tersebut, tanpa mencicipinnya, maka diskusi tentangnya akan menjadi sia-sia-- dalam arti tidak bisa kita pahami hakikatnya.
Akan tetapi bagi mereka yang merasakannya, ia akan segera mengerti apa hakikat manis itu tanpa konsep atau definisi, sekalipun menungkin ia sendiri tidak bisa mendefinisikannya apa yang dipahaminya kepada orang lain. Oleh karena itu bagi mereka yang membahas rasa manis itu melalui perangkat rasional, yaitu bahasa verbal atau diskusi, rasa manis itu akan tetap tersembunyi, dan jurang antara subjek dan objek belum bergeser apalagi teratasi. (Bersamung)
(3)
Berbeda halnya dengan pengetahuan inderawi dan rasional, pengetahuan mistik mampu menembus objek sampai jantungnya. Tetapi ketika ia tercapai, maka objek tersebut tidak bias dipisahkan dari subjeknya. Ciri pengetahuan mistik adalah kelangsungannya, seperti orang yang dapat memahami arti manis, tidak melalaui kata-kata, melainkan melalui pengalaman langsung dengan mencicipinya. Pengalaman mistik mempunyai kesamaan dengan itu. Rumi pernah berkata, “kalau anda ingin mengerti api secara intuitif, maka pangganglah diri anda di dalamnya.” Ini juga berkaitan dengan ceretera tentang kupu-kupu dalam Manthiq al-Thayr karangan Fariduddin ‘Attar yang ingin mengetahui tentang haklikat api. Dikatakan dalam ceritera tersebut bahwa hanya kupu-kupu yang yang tubuhnya terbakar dan memerah seperti api yang mengerti hakikat api, bukan kupu-kupu yang hanya merakan panas dari jarak yang dekat, bukan pula kupu-kupu yang telah membakarkan hanya sebagian saja dari sayapnya ke api terserbut.
Dengan demikian maklumlah kita bahwa modus pengetahuan mistik berbeda dengan modus pengetahuan inderawi ataupun rasional, karena dalam pengetahuan mistik kita tidak mendekati objek ini melalui kategori-kategori subjektif ataupun simbolisme, yang menyebabkan kita tetap berada di luar objek tsb, melainkan menembus objek tersebut dengan cara menyelaminya secara langsung. Di sini kita berbicara tentang objek yang telah hadir berupa makna dalam jiwa kita, sehingga objek yang kita ketahui telah menjadi bagian organik dari diri kita dan telah menjadi identik dengan diri kita yang mengetahui. Dan apapun yang identik dengan diri kita maka ia telah menjadi diri kita sendiri. Ketika ia telah menjadi diri kita, maka tercapaikan kesatuan antara subjek dan objek, karena subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui bukanlah sesuatu yang berbeda dan terpisah melainkan sesuatu yang satu dan sama. Semoga bermanfaat![]
[Seri Kuliah Tasawuf 57]
Bab III: Fasal 26: TAK BISA DIPELAJARI DARI BUKU
Prof. Mulyadhi Kartanegara
[Pengantar: menjelang bulan suci Ramadhan ini, saya bermaksud meneruskan Seri Kuliah Tasawuf, yang sudah cukup lama terhenti. Ini adalah terusan kuliah-kuliah sebelumnya, yang dulu berhenti pada Fasal 25. Jadi seri kuliah akan dimulai dengan Bab III, tentang Ma'rifah fasal 26, tentang Tasawuf Tak Bisa dipelajari dari Buku. Selamat membaca, semoga bermanfaat..]
Salah satu kenyataan yang jarang disadari para peminat tasawuf adalah bahwa tasawuf dalam arti sebenarnya tidak dapat dipelajari dari buku, karena apa yang telah dituliskan atau dijelaskan dalam buku bukan lagi tasawuf, tapi lebih menyerupai filsafat. Ketika Suhrawardi al-Maqtul ditanya tentang apakah kitab Hikmat al-Isyraq sebuah kitab filsafat atau tasawuf, ia menjawab bahwa kitab ini kitab filsafat tetapi berdasar pada pengalaman mistik atau tasawuf. Pengalaman batin apapun yang telah dituliskan, akan mengalami proses rasionalisasi atau sistimatisasi sehingga tidak lagi mewakili pengamalan mistik asli yang kadang meluap-luap. Bisa jadi terdapat "jurang" atau "gap" antara apa yang dialami dan apa yang ditulis dari pengalaman tersebut.
Mawlana Rumi, seperti telah disinggung, pernah berkata: "apapun yang aku perikan tentang cinta, ketika cinta itu datang sendiri padaku, aku malu dengan semua pemerian itu." Di sini kita bisa melihat adanya jurang yang lebar antara cinta sebagaimana yang diperikan dan cinta sebagaimana yang dialami. Demikian juga kalau kita mau memberi contoh yang lebih kongkrit, pemerian tentang rasa gula (manis) akan berbeda dengan rasa gula itu sendiri. Dan seseorang perlu mencicipi gula itu dulu untuk bisa memahami pemerian tentang rasa gula tersebut.
Tapi bagi mereka yang belum pernah mencicipi gula, pemerian tentang rasa gula, betatapun baiknya dan betatapun rincinya ia tidak akan memberi manfaat atau pengertian apapun kepadanya. Sebaliknya mereka yang pernah merasakannya, akan mengerti tentang rasa manis tersebut bahkan tanpa membutuhkan kata-kata, definisi, deskripsi atau pemerian apapun. Selain itu, seperti yang diingatkan Runi, apa yang dituliskan dalam buku tidak lain daripada simbol. Adapun objek yang sesungguhnya dari apa yang diperikan adalah sesuatu yang amat berbeda bahkan mungkin tidak punya kaitan yang organik dengannya. Rumi pernah bertanya, "Apakah kita bisa menyunting atau memetik mawar dari M.A.W.A.R?" Tentu saja tidak. Dari huruf MAWAR kita tidak akan bisa mencium "semerbaknya yang memabukkan," atau "luka berdarah dari durinya yang tajam." Karena itu terdapat jurang yang tajam antara "kata" dan "yang diperkatai, " atau dengan kata-kata Rumi sendiri, "Anda baru menyebut nama, cari yang empunya "nama." (Bersambung)
Adapun cara memahami sesuatu dalam tasawuf amatlah berbeda dan karena itu para sufi telah menciptakan metode yang berbeda dengan metode pengetahuan biasa seperti yang terdapat dalam sains dan filsafat. Suhrawardi membedakan metode ilmu biasa dengan istilah bahtsi (diskurssif), sedangkan metode tasawuf dengan dzawqi atau rasa (eksperiensial). Di sini seseorang dihimbau untuk secara langsung mengalami bukan memahami objeknya. Karena hanya dengan mengalami maka ia bisa memahami.
Rumi pernah berkata, "Jika anda ingin punya pengetahuan yang sejati tentang air, maka ceburkanlah dirimu ke dalamnya, barulah anda akan memiliki pengetahuan yang intim tentangnya dan bukan dengan cara membacanya. Atau bakarlah dirimu dengan api, jika anda ingin mengetahui hakikat api." Sehubungan dengan itu terkenallah sebuah kisah tentang kupu-kupu yang ingin mengetahui hakikat api. Baru ketika tubuh kupu-kupu itu memerah seperti api, maka dikatakan bahwa kupu-kupu itu memiliki pengetahuan yang sejati tentang api itu sendiri. Inilah yang dimaksud dengan dzawqi, merasakan atau mengalami objek tersebut dan bukan hanya sekedar mengetahuinya lewat tulisan atau analisis deskriptif.
Selain itu perlu diperhatikan peranan hati dalam meraih pengetahuan sejati, yang berbeda dengan penalaran rasional. Seorang sufi tidak akan pernah sampai pada pengetahuan sejati kecuali melalui hati suci, yang seperti kaca, dapat menerima cahaya dengan sempurna apabila ia telah dibersihkan dari segala debu yang melekat padanya. Selama kaca tersebut penuh dengan debu, maka seberapapun intensitas cahaya yang datang, ia tak mampu menyampaikan cahaya tersebut ke dalam diri kita.
(Bersambung)
Rumi pernah berkata, "Jika anda ingin punya pengetahuan yang sejati tentang air, maka ceburkanlah dirimu ke dalamnya, barulah anda akan memiliki pengetahuan yang intim tentangnya dan bukan dengan cara membacanya. Atau bakarlah dirimu dengan api, jika anda ingin mengetahui hakikat api." Sehubungan dengan itu terkenallah sebuah kisah tentang kupu-kupu yang ingin mengetahui hakikat api. Baru ketika tubuh kupu-kupu itu memerah seperti api, maka dikatakan bahwa kupu-kupu itu memiliki pengetahuan yang sejati tentang api itu sendiri. Inilah yang dimaksud dengan dzawqi, merasakan atau mengalami objek tersebut dan bukan hanya sekedar mengetahuinya lewat tulisan atau analisis deskriptif.
Selain itu perlu diperhatikan peranan hati dalam meraih pengetahuan sejati, yang berbeda dengan penalaran rasional. Seorang sufi tidak akan pernah sampai pada pengetahuan sejati kecuali melalui hati suci, yang seperti kaca, dapat menerima cahaya dengan sempurna apabila ia telah dibersihkan dari segala debu yang melekat padanya. Selama kaca tersebut penuh dengan debu, maka seberapapun intensitas cahaya yang datang, ia tak mampu menyampaikan cahaya tersebut ke dalam diri kita.
(Bersambung)