Pembicara:
Abi
Ujian
adalah respon atas aplikasi kita untuk tes. Di-reply saja sudah satu
kebanggaan besar, artinya aplikasi kita dilihat.
Kita
bisa memaknai apa saja dengan bebas, sepanjang pemaknaan itu
menghasilkan sesuatu yang produktif. Seorang anak kecil mungkin
melihat Tuhan dalam wajah yang ramah, lembut, penuh kasih sayang, dan
mendukung apa saja yang dilakukannya.
Sejak
ratusan tahun yang lalu, orang-orang selalu bertanya, jika ada
pertanyaan yang tidak bisa dijawab/dimaknai sampai kiamat sekalipun,
maka ia terbuka terhadap pemaknaan apapun.
Dan
jika sesuatu tidak juga menemukan suatu jawaban/pemaknaannya, maka
ada dua kemungkinan, (1) peristiwa itu terlalu transenden/tinggi
untuk jangkauan pikiran manusia (2) peristiwa itu terlalu sederhana
dibanding pikiran manusia yang terlalu rumit.
Bercermin
dari musibah banjir sekarang (Februari 2007, red.), lantas semua
orang berkomentar tentang segala sesuatu, seperti, amdalnya ga bener,
tata kota ga bener dll. Lalu apa setelah bencana ada tindak lanjut
perbaikan (baca: menghasilkan produktivitas).
Banjir
adalah fenomena. Penting: Kita harus bisa menangkap nomena (hikmah)
di balik fenomena.
Lantas
apa dosa mereka--yang jadi korban--di alam ruh? Dan apa kebaikan
kita--yang tidak jadi korban--ketika di alam ruh? Untuk menjawabnya,
lihat ilustrasi ini, gabah di beras, dibuang. Gabah yang dibuang itu
dimakan ayam, jadi daging ayam. Daging ayam lantas dimakan manusia.
(See..?) [rekomendasi buku: Mengolah Bencana Menjadi
Vitaminnya Jiwa, oleh Gede Prama]
#
3
perkembangan jiwa manusia dalam merespon:
-
Fase jiwa ABG, tahunya cinta itu kiriman bunga, kata-kata manis. Cinta itu adalah respon 'iya' atau 'baik' terhadap apapun harapan dia.Contoh: Setiap orang terikat dengan doa (atau harapan) yang diucapkannya. Maka ketika tidak langsung terwujud, dia menjadi kecewa, karena begitu terikatnya ia dengan harapan-harapan baiknya itu.Padahal seharusnya kita malu karena telah membandingkan Tuhan yang begitu transenden dengan benda atau sesuatu yang bersifat kebendaan.
-
Fase jiwa orang dewasa, pada saat ia dicintai, ia merasa harus memberi feedback.Mulai memasuki wilayah “hikmah”.Ketika seorang laki-laki dicintai seorang perempuan, ia merasa harus memberi cinta juga. Muka cemberut karena cemburu adalah wajah cinta yang lain. Harusnya kita bisa melihat wajah cinta dalam bentuk lain.
-
Fase tertinggi, selalu memandang baik dalam bentuk apapun Tuhan menampakkan wajahnya, baik itu dalam bentuk kesenangan/kebaikan maupun ketidaksenangan atau sesuatu yang dianggap tidak baik.
Ketiga
tingkatan di atas diperoleh melalui proses atau tahap-tahap.
Pertanyaannya, berada di tahap manakah kita..?
#
Peristiwa
apapun yang hadir ke hadapan kita adalah SPK (surat perintah kerja)
dari Tuhan.
Ada
pengamen. Tidak mungkin dihadirkan pengamen itu ke hadapan kita kalau
kita tidak ada sesuatu pun untuk kita berikan. Diberdayakan pengemis
itu, minimal senyuman, itu menggembirakan, menghibur.
Ada
kanguru terperosok di depan kita, itulah SPK dari Tuhan. Tolong dia,
tanpa melihat apakah ia hewan, manusia atau apapun.
Sakit
maag, kenyatannya sakit, ada bagian tubuh yang fungsinya terganggu.
Hikmahnya, ada sesuatu yang salah dalam pengertian kesehatan kita.
Baik-buruk,
susah-senang, berpasang-pasangan. Susah baik, senang pun baik. Tidak
ada yang sia-sia yang diciptakan Tuhan.
#
Misal,
beli rumah kosong. Kita masuki. Rumah ini memberi keheningan yang
'cukup'.
Ketika
manusia menapaki keheningan (ruang kosong), maka berikutnya yang
muncul adalah kerumitan pikiran manusia, ini baiknya di cat warna
apa, di pojok ini di kasih lukisan apa, dsb. Lantas mulai muncul
problem-problem. Kemudian manusia menjadi tidak fair. Ketika
terjadi kerumitan-kerumitan, Tuhan lagi yang disalahkan, mengapa
Tuhan menguji begini atau begitu, dlsb.
Punya
akuarium baru. Kosong, hanya ada seekor ikan, berenang bolak-balik,
indah. Kemudian manusia mulai berpikir, ini kalau ditaruh lukisan
disininya bakalan bagus, kasih boneka-bonekaan, ..., ... dll. menjadi
rumit. Padahal sang ikan asyik-asyik saja, baik ketika akuarium
kosong atau setelah dikasih segala sesuatunya.
Sebesar
apa ditemukan, sebesar itu pula resiko yang diciptakan, hidup itu
selalu punya 2 sisi. Sebesar apa kita memperoleh kesenangan, sebesar
itu pula resiko yang akan kita dapatkan.
Contohnya,
semakin canggih teknologi nuklir yang diciptakan (untuk mendapatkan
kemudahan-kemudahan), sebesar itu pula resiko kematian/kerusakan
lingkungan yang bakal dihadapi.
Demikianlah
hidup, selalu ada dua sisi. Namun manusia selalu tidak siap dengan
dua sisi itu. Masih melihat segala sesuatu dalam kacamata dualitas.
Tidak bisa seimbang.
Keluarlah
dari ketidakberkembangan jiwa. Keluarlah dari kesibukan
(menilai-nilai). Kalau ada yang berbuat ini itu, kalau salah, ya..
peringatkan. Itulah yang dimaksud dengan “diam itu emas”. Diam
yang produktif/bermakna.
Ketika
melihat sesuatu di jalan atau perilaku orang, jangan kebanyakan
komen, berusahalah lampaui itu. Inilah realitas masuk kepada “ruang
keheningan”. Realitas baik/buruknya dikunyah saja. Tapi tidak
berarti fatalis.
Misal,
rumah kita kebanjiran, selamatkanlah diri, lakukan saja. Bantu orang
lain, lakukan saja. Toh kita tidak menderita sendiri. Kasus ada 16 KK
yang tidak mau dievakuasi karena tidak ada jaminan perlindungan akan
harta mereka. Ga perlu komen. Prioritas tiap orang beda-beda,
disitulah jiwa mereka sedang berkembang.
Apa-apa
yang hadir di hadapan kita adalah SPK (surat perintah kerja) dari
pemberi mandat, yaitu Tuhan. Apa yang bisa kita lakukan? Apa yang
hadir(dihadirkan) itu tidak mungkin sia-sia (ayat Quran).
Mengapa
itu ditunjukkan kepada kita? Sesuatu itu ditunjukkan kepada orang
yang paham. Ketika kita punya suatu pikiran yang produktif, maka alam
seluruhnya akan membantu.[]
Kunyahlah
segala yang dihadirkan.