T A S A W U F


Ulasan Buku: Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth, The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition
 
Melihat perkembangan Islam di Indonesia dua puluh lima tahun belakangan, salah satu pertanda paling menyolok adalah perhatian pada tasawuf, di samping segi sosial-politik Islam yang seringkali muncul secara kontroversial. Kalau kita memperhatikan laporan media-massa, kita akan mendapatkan betapa sering muncul laporan mengenai perkembangan tasawuf, seolah-olah ada kecenderungan baru cara keberagaman masyarakat yang beralih ke cara Sufistik. 
 
Media massa sering memberitakan laporan yang “unik” mengenai kajian-kajian tasawuf itu, misalnya kita lihat ada kursus “Sufi Dancing”, ada “spiritual gathering” mengenai masalah kematian dan alam kerohanian, ada kajian mengenai kedokteran Sufi, juga psikologi Sufi yang memberi konseling atas krisis kehidupan, di sebuah TV bahkan muncul acara dengan rubrik tasawuf. Walhasil, tasawuf telah menjadi pertanda ekspresif fenomena keagamaan dewasa ini.
 
Keberagamaan Sufistik: Pengalaman Mistik
 
Tasawuf adalah segi batin dari agama. Segi lahirnya biasanya disebut syari'ah, yang terutama berisi hukum-hukum keagamaan formal (fikih), yaitu mengenai apa yang seorang beragama harus lakukan, dan apa yang dilarang. Tasawuf di samping memberi segi batin dari aspek formal keagamaan itu, juga memberi visi mengenai arti hidup beragama. Ibn al-Arabi seorang filsuf mistik paling terkemuka, membagi empat tingkat praktik dalam memahami tasawuf, yaitu syari'ah (segi esoterik hukum-hukum agama); thariqah (tarekat, sebagai jalan mistik); haqiqah (hakikat, mengenai kebenaran); dan ma'rifah (makrifat atau gnosis, yaitu pengalaman kesatuan dengan Yang Ilahi). 
 
Keempat tingkat itu dirumuskan: pada tingkat hukum (syari'ah) ada kesadaran "milikmu dan milikku", dimana hukum-hukum agama akan mengatur hak dan kewajiban antarpribadi, seperti penataan hubungan di antara orang-orang. Dalam tingkat jalan Sufi (thariqah), rumusannya menjadi "milikku adalah milikmu, milikmu adalah milikku", karena itu para Sufi diajarkan mengenal sesama Sufi sebagai saudara, untuk membuka diri masing-masing, membuka hati, termasuk derma untuk sesama dan perkembangan Sufi. Pada tingkat kebenaran (haqiqah), ada pengalaman baru "tidak ada milikku, dan tidak ada milikmu". Pada tingkat ini ada minimalisasi atas egosentrisme, dan mereka "dari luar masuk ke dalam” mencari pengalaman batiniah yang paling asli (fitrah, primordial). Dan, yang keempat adalah pada tingkat gnosis (ma'rifah) dimana yang ada "tak ada saya, dan tak ada Anda", yang ada hanya Allah. Seorang Sufi akan merealisasi pengalaman bahwa yang ada seluruhnya adalah Allah, dan tidak ada satu pun yang terpisah dari Allah: Sebuah pengalaman mistik yang sekarang sering disebut "panteisme”, yang populer dalam tasawuf dengan “wahdat al-wujud” (kesatuan keberadaan). Keempat tingkat ini adalah perjalanan, dan menjadi tujuan Sufisme, dimana pengalaman sebelumnya mendasari pengalaman selanjutnya. 
 
Maka tidak heran dalam keberagamaan tasawuf ini, pengertian yang mendalam mengenai "jalan hati" (“the path of heart”), yang tidak lain adalah "jalan kepada cinta, “the path to love” mendapat perhatian, sehingga segi-segi psikologi-spiritual menjadi begitu penting dalam jalan ini, khususnya dalam mencapai tingkat kedirian (“nafs”) yang dari sini kita bisa sampai pada pengalaman kesatuan dengan yang Ilahi itu (yang disebut “ihsan”, yaitu "seolah-olah kita melihat Tuhan, kalaupun tidak, kita tahu bahwa Tuhan melihat kita"). 
 
Tujuan jalan hati dan cinta adalah untuk mencapai "gunung dari cahaya gnosis dalam hati yang terdalam". Sabistari, seorang penyair Sufi mengatakan, "Kalau kita bisa membelah setetes air (memasuki hati kita), kita akan mendapatkan tujuh samudera (pengalaman menyatu dengan Yang Ilahi). Cahaya gnosis itu ada dalam hati manusia, yang hanya bisa didapat lewat perjalanan hati dan cinta. Lewat jalan hati dan cinta ini manusia pun menemukan kembali Dirinya yang Sejati. Kerinduan pada Diri yang Sejati ini (jiwa yang penuh ketenangan, “al-nafs al-muthmainnah”) menjadi cita-cita kaum Sufi.
 
Tasawuf positif dan dialog kemanusiaan
 
Untuk memahami makna tasawuf itu, memang diperlukan pengertian yang mendalam: yakni maknanya dalam keseluruhan keberagamaan, dan kaitannya dengan penciptaan kehidupan kemanusiaan yang lebih baik. Inilah yang disebut "tasawuf positif", sebuah tasawuf yang terbuka kepada kebutuhan-kebutuhan dasar manusia untuk pertumbuhan, keseimbangan dan harmoni. Dengan tasawuf positif ini, terbuka juga kemungkinan dialog dengan berbagai ragam spiritualitas agama-agama, maupun non-agama yang semuanya sebenarnya dewasa ini menghadapi masalah besar bersama yaitu ancaman kemanusiaan!
Macam-macam tasawuf telah berkembang mengatasi krisis global kemanusiaan. Karena itu dialog di antara sesama penganut tasawuf dari berbagai agama, bisa menyumbangkan wacana untuk mengatasi berbagai krisis kemanusiaan. Apa yang disebut Hans Kung dengan "kebutuhan akan Etika global" tampaknya bisa dipenuhi dengan kerja sama agama-agama, dimulai dari pandangan positif terhadap hal yang paling dasar dari agamanya sendiri, “the heart of religion”, yaitu hakikat tasawuf itu sendiri, yang bisa mempertemukan berbagai agama. Dari sini kita bisa merambah kepada dialog bahkan “passing over” ke arah agama lain, untuk menggali dan mendapatkan kekayaan perspektif rohani. 
 
Kalau kita mengamati perkembangan kesadaran mengenai tantangan etika global itu, perkembangan tasawuf (dalam hal ini "tasawuf antar-agama") memang telah melandasi usaha-usaha bersama mencari sebuah alternatif atas pandangan kebudayaan modern yang mekanistik, sekularistik, ke arah cara pandang yang lebih ekologis dan holistik. Di sini tasawuf bertemu dengan spiritualitas agama-agama (Hinduisme, Buddhisme, Taoisme, mistik Kristen, new age, spiritualitas dari kearifan lokal dan seterusnya), yang bersama-sama diharapkan dapat mendorong massa yang kritis untuk melihat dunia ini secara baru. Inilah yang disebut Marilyn Ferguson sebagai “The Aquarian Conspiracy” (konspirasi Aquarius) yang menjadi pertanda dari kebangkitan tasawuf di awal milenium. 
 
Tasawuf memang mempunyai filsafat yang begitu mendalam mengenai spiritualitas dan segi-segi religiusitas keberagamaan, sehingga harapan banyak kalangan mengenai “healthy spirituality” memang bisa diperoleh dari tasawuf positif ini, di tengah ancaman "keberagamaan yang sakit" yang muncul karena otoritarianisme dalam beragama, yang dalam tasawuf digambarkan sebagai “nafs ammarah bi 'l-su” (nafsu yang mendorong kepada keburukan, Q. 12:53). 
 
Tasawuf menjanjikan penyelamatan. Apalagi di tengah berbagai krisis kehidupan yang serba materialis, hedonis, sekular, plus kehidupan yang makin sulit secara ekonomis maupun psikologis itu, tasawuf memberikan obat penawar rohani, yang memberi daya tahan. 
 
Dalam wacana kontemporer, sering dibahas tasawuf sebagai obat mengatasi krisis kerohanian manusia modern yang telah lepas dari pusat dirinya, sehingga ia tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti dan tujuan dari kehidupan di dunia ini. Ketidakjelasan atas makna dan tujuan hidup ini memang sangat tidak mengenakkan, dan membuat penderitaan batin. Maka mata air tasawuf yang sejuk dan memberikan penyegaran dan penyelamatan pada manusia-manusia yang terasing itu. 
 
Mewujudkan cita-cita ini, bukanlah hal yang berlebihan. Apalagi dewasa ini tampak perkembangan yang menyeluruh dalam ilmu tasawuf dalam hubungan inter-disipliner. Beberapa contoh bisa disebut di sini, seperti pertemuan tasawuf dengan fisika, dan sains modern yang holistik, yang membawa kepada kesadaran arti kehadiran manusia dan tugas-tugas utamanya di muka Bumi, segi yang kini disebut “The Anthropic Principle”; pertemuan tasawuf dengan ekologi yang menyadarkan mengenai pentingnya kesinambungan alam ini dengan keanekaragaman hayatinya, didasarkan pada paham kesucian alam; pertemuan tasawuf dengan penyembuhan alternatif yang memberikan kesadaran bahwa masalah kesehatan bukan hanya bersifat fisikal, tetapi lebih-lebih ruhani. Tasawuf juga telah memberikan visi keruhanian untuk psikologi, seperti pertemuan tasawuf dengan psikologi baru yang menekankan segi transpersonal; dan lain-lain pertemuan interdisipliner yang intinya sama: semua menyumbang kesadaran bahwa arti tasawuf dewasa ini bukan hanya pada kesalehan formal, tetapi justru terutama etika global! Untuk itu tasawuf memang perlu wujud dalam cara hidup. Cara hidup tasawuf bukan terutama benar dari formalnya, tetapi bagaimana nilai-nilai tasawuf itu menjadi “way of life”! Inilah pesan pokok Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya The Garden of Truth ini.
 
Tasawuf Tanpa Substansi
 
Melihat perkembangan Islam di Indonesia, belakangan ini memang kelihatan ada pergeseran orientasi keberagamaan dari kesalehan formal kepada kesalehan sufistik. Persis pada titik ini ada "demam tasawuf" yang sedang melanda masyarakat Islam ini begitu mengkhawatirkan dan perlu mendapat perhatian. 
 
Seperti kita tahu, Islam di Indonesia telah berkembang sedemikian rupa sehingga kini tampak sangat formalis dalam beragama, seolah tidak ada lagi segi religiusitasnya. Bentuk-bentuk kesalehan formal dan kesalehan individual begitu menonjol. Keberagamaan sangat semarak, rumah ibadah berkembang pesat di mana-mana, jumlah orang naik haji meningkat, tetapi dari segi substansial, sebagai bangsa, keberagamaan rupanya belum mencerminkan nilai-nilai Islam. Apa yang disebut egalitarianisme, keadilan, kesadaran humanitarian, hormat kepada hukum, dan hak-hak asasi manusia, kesadaran lingkungan, kebersihan, penghargaan terhadap orang yang lemah, sikap inklusif dan pluralis, dan seterusnya, yang jelas merupakan nilai-nilai dasar agama, ternyata tidak tercermin dalam kehidupan masyarakat. Padahal kegairahan dalam beragama begitu tinggi, suasana keagamaan begitu menyolok.
Nah, kita sangat mengkhawatirkan demam tasawuf belakangan ini. Kalau demam tasawuf itu hanya kepanjangan saja dari kesalehan formal, lantas apa maknanya? Antara tasawuf dan bukan tasawuf tidak ada bedanya: sama-sama kesalehan formal yang tidak mencerminkan religiusitas! Demam tasawuf, mudah-mudahan tidak hanya merupakan kelanjutan dari kesalehan formal, yang kalau hanya begini, ya ibarat buih dalam lautan: tidak bermakna apa-apa secara sosial! Nasr dalam buku ini memberi uraian yang mendalam dan luas tentang tasawuf dan nilai-nilai itu. 
 
Maka kita berharap demam tasawuf ini, tidak merupakan langkah mundur dalam beragama, tetapi merupakan awal dari perkembangan Islam di Indonesia yang diharapkan dapat mewujudkan kehidupan keagamaan yang lebih terbuka, inklusif-pluralis, yang memberi rahmat kepada semua orang. Demam tasawuf semoga merupakan salah satu pertanda dari tumbuhnya kesadaran baru dalam mencari sumbangan agama-agama terhadap tantangan etika global di atas. Namun itu semua tergantung dari kemampuan kita dalam menyajikan tasawuf yang positif, bukan yang eksesif!
 
Seyyed Hossein Nasr yang dikenal sebagai filsuf Islam kontemporer, dalam buku ini memberi kita perspektif yang mendalam tentang tasawuf positif itu. Buku ini juga sering disebut sebagai buku yang memadatkan pikiran-pikiran Seyyed Hossein Nasr tentang tasawuf dan spiritualitas, yang sebelumnya tersebar dalam puluhan bukunya.

Meneroka Kekayaan Sastra Timur

Ulasan buku Sastra Timur dalam Perspektif Sastra Bandingan, karya Abdul Hadi WM

Oleh: Maman S Mahayana

Dapat dipastikan, inilah buku terlengkap yang membicarakan sastra Timur (Persia, India, Cina, Jawa, Melayu) dalam konteks mengungkap perjalanan sastra Indonesia sampai ke akarnya. Amir Hamzah (Pujangga Baru, Juni 1934—Januari 1935) boleh dikatakan merupakan orang pertama yang memperkenalkan sastra India, Cina, Arab, dan Parsi (Ajam). Dari pertemuan dengan khazanah sastra asing itulah—terutama kesusastraan dan kebudayaan Hindu, Buddha, dan Islam—kesusastraan Indonesia menyerap pengaruhnya dan sekaligus mengindonesiakannya. Bagi Amir Hamzah dan Abdul Hadi, perkenalan paling awal masyarakat Nusantara dengan kesusastraan (tertulis) bermula dari persentuhan dengan sastra Hindu yang dibawa para intelektual India. Dari sini dimulai tradisi sastra tulis di Nusantara.

Tetapi, Abdul Hadi tidak berhenti sampai di situ. Ia menerokanya lagi hingga ditemukan dua jalur besar akar tradisi sastra Indonesia. Pertama, di Jawa, sastra Hindu ditransformasikan para wali dengan tetap mempertahankan bahasa Jawa mengingat sasarannya masyarakat setempat. Melalui Sunan Bonang, lahirlah suluk dan makin semarak ketika memasuki dunia pesantren. Jadi, transisi dari sastra Hindu ke sastra Islam dan sastra Jawa pada umumnya, tidak terlepas dari peran para wali. Kedua, di Sumatra melalui tokoh sentralnya: Hamzah Fansuri yang memperkenalkan bentuk syair yang ditulis dengan huruf Jawi (Arab—Melayu). 
 
Begitulah, Abdul Hadi coba mempertegas kembali tradisi sastra Indonesia—yang di satu pihak, tidak terlepas dari sumbernya: tradisi sastra Melayu, dan di pihak yang lain, tidak boleh juga melupakan tradisi sastra Jawa yang ikut mewarnai kekayaan sastra Indonesia. Dalam konteks itu pula, pandangan Abdul Hadi melengkapi missing link perjalanan sastra Hindu dan zaman pra-Islam ke zaman Islam di Nusantara. Dua buku penting tentang khazanah kesusastraan Melayu klasik, sebagaimana yang ditulis Liaw Yock Fang (Sejarah Kesusastraan Melayu Klassik, Singapura: Pustaka Nasional, 1982) dan Teuku Iskandar (Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad, Jakarta: Libra, 1996), ternyata tidak menyentuh secara tegas, bagaimana sastra Hindu menyeberang ke Bali dapat tetap bertahan di sana, sementara di Jawa mengalami transformasi menjadi sastra Islam ketika Sunan Bonang dan para wali yang lain memanfaatkannya untuk kepentingan penyebaran Islam pada penduduk setempat. Uraian Abdul Hadi pada Bab Dua, “Sastra Sufi di Nusantara: Teori dan Estetikanya” (hlm. 99—112) membentangkan selok-belok perjalanannya. Dengan demikian, missing link yang selama ini mengendap sebagai misteri, kini memperoleh jawabannya lewat buku ini.
 
Dalam tradisi sastra Melayu (klasik), Hamzah Fansuri tentu saja tidak dapat diabaikan peranannya. Pemakaian huruf Jawi dalam karya-karya Hamzah Fansuri, telah membuka peluang seluas-luasnya bagi penyebaran sastra Islam di Nusantara mengingat bahasa Melayu sudah sejak lama dikenal masyarakat Nusantara sebagai lingua franca. Tetapi Hamzah Fansuri tidak memanfaatkan karya-karyanya lewat bahasa Melayu yang berfungsi sebagai lingua franca, melainkan justru merintisnya sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya, pengaruh Hamzah Fansuri jauh lebih luas memasuki wilayah Nusantara dibandingkan Sunan Bonang dan para wali lainnya yang bersetia pada bahasa (dan aksara) Jawa. Bagaimanapun, kerumitan bahasa Jawa dengan segala undak-usuknya dan kesederhanaan bahasa Melayu yang egaliter, ikut menentukan penerimaan dan perluasan kesusastraan dalam tradisi sastra Melayu menyebar ke wilayah Nusantara dibandingkan tradisi sastra Jawa yang eksklusif lantaran masyarakat cenderung mengalami kesulitan mempelajari bahasanya.
 
Itulah beberapa gagasan penting yang dibicarakan Abdul Hadi dalam sejumlah esainya yang ditempatkan di bagian awal. Yang menarik dalam ulasan itu adalah upayanya yang kerap mencantelkan persoalannya dalam konteks sastra Indonesia. Jadi, pembicaraan itu, jika tidak dikaitkan dengan khazanah sastra Indonesia, ia menariknya pada pemikiran tasawuf. Pada gilirannya, terbentang panorama wawasan pemikiran yang luas dan mendalam. Dunia sastra jadinya menjelma perbincangan pergolakan pemikiran filsafat Timur  tasawuf) dengan latar sejarah dan perkembangan masyarakat yang melahirkannya. Bahkan juga, ditegaskan pentingnya semacam alat analisis (teori) dan caranya mengungkap kekayaan teks sastra lewat penafsiran dan pendekatan yang sesuai dengan ruh karya yang bersangkutan. 
 
Abdul Hadi tidak menolak teori atau pendekatan yang ditawarkan para ilmuwan Barat, meski juga tampak semangatnya menawarkan pandangan para ilmuwan Timur. Selama ini ada kecenderungan para ilmuwan—kaum akademisi—kita terlalu takjub pada apa pun yang datang dari Barat. Bahkan ada kesan, sikap itu seperti membutatulikan pemikiran kritis yang mestinya terus dipelihara, agar kita tidak serta-merta menelannya begitu saja secara bulat-mentah. Oleh karena itu, diperlukan perspektif yang dapat menyentuh dan mengungkap pesan kultural, sosiologis, dan filosofis karya-karya yang berasal dari kebudayaan dan peradaban Timur. 
 
Itulah spirit yang coba ditegakkan Abdul Hadil dalam buku ini, sebagaimana yang diisyaratkan dalam esai pembuka buku ini, “Ta’wil: Asas Teori Sastra dan Hermeneutika Islam” (hlm. 3—26). Bukankah karya sastra hanya mungkin dapat dipahami selengkapnya, jika kita tidak memisahkan teks itu dengan persoalan sosio-budaya yang melingkari diri pengarangnya? 
 
Perkara penafsiran teks jadi penting artinya untuk menguak makna yang tersembunyi di balik teks. Bukankah makna tekstual atau maka tersurat teks itu pun tidak dapat dilepaskan dari konteks, latar belakang, dan semangat zamannya yang justru makna tersiratnya terimpan di sana?
 
***
 
Secara keseluruhan, buku ini disusun dalam lima bab yang menghimpun 16 esai dengan bab terakhir diposisikan sebagai epilog. Sebagaimana yang dinyatakan dalam subjudulnya, buku ini membawa kita pada panorama sastra Persia (Bab 3, hlm. 209—292), sastra India (hlm. 51—60), sastra Cina (hlm. 61—78, dan keseluruhan Bab 4, hlm. 293—390), sastra Jawa (hlm. 27—50; 79—98), dan sastra Melayu (Bab 2, dan tersebar di halaman lain ketika topik itu dicantelkan dengan sastra Melayu klasik). 
 
Timbul pertanyaan: mengapa pembicaraan Hamzah Fansuri seperti sengaja tidak diberi porsi yang terlalu mendalam?
 
Ya. Pembicaraan Hamzah Fansuri secara khusus dapat kita jumpai pada esai “Tamsil Laut dan Ma’al Hayat dalam Syair-Syair Tasawuf Hamzah Fansuri” (hlm. 113—124). Meskipun begitu, di banyak halaman, pemikiran Hamzah Fansuri kerap disinggung dalam kaitannya dengan teks sufi atau tasawuf. Bagaimanapun, jika kita mengikuti perkembangan intelektual dan pemikiran Abdul Hadi WM, kita akan sampai pada kesimpulan, bahwa dunia Hamzah Fansuri tidak lain adalah wilayah “kekuasaan” Abdu Hadi. Karya-karyanya, antara lain, Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya (Bandung: Mizan, 1995), Kembali ke Akar Kembali ke Sumber (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), dan satu mahakaryanya yang lain, Tasawuf yang Tertindas (Cet. Pertama, 2000 diterbitkan Paramadina; Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2020, x + 470 halaman) menegaskan, bahwa Abdul Hadi boleh dikatakan satu-satunya pakar yang paling lengkap membicarakan dan mengulas karya-karya dan alam pemikiran Hamzah Fansuri. Bandingkan, misalnya, dengan karya Drewes dan Brakel (Poems of Hamzah Fansuri, 1986) atau Braginsky (“Puisi Sufi Perintis Jalan” 1992, Tasawuf dan Sastra Melayu, 1993, dan Yang Indah, Yang Berfaedah dan Yang Kamal: Sastra Melayu Abad ke-7—17, 1998). Jadi, dapat dipahami, jika pembicaraan Hamzah Fansuri dalam buku Sastra Timur ini sengaja tidak diberi porsi yang terlalu mendalam.
 
Pertanyaan lain berkenaan dengan buku ini adalah: Apa makna Sastra Timur dalam Perspektif Sastra Bandingan sebagimana tersurat pada subjudulnya?
 
Dalam berbagai konsep dan teori, sastra bandingan (literature comparative) disebutkan sebagai perbandingan dua karya sastra atau lebih yang berasal dari dua (atau lebih) negara yang berbeda. Apakah perbandingan sastra Jawa dan sastra Melayu atau ulasan mengenai sastra sufi Persia (Bab 3) dan panorama sastra Cina klasik (Bab 4) termasuk wilayah sastra bandingan? Secara konseptual memang tidak termasuk wilayah sastra bandingan, tetapi secara praktik, Abdul Hadi melakukan banyak perbandingan sejumlah karya dari berbagai wilayah tradisi sosio budaya yang berbeda. Dalam hal ini sesungguhnya praktik sastra bandingan diperlihatkan Abdul Hadi dengan menelusuri latar belakang sosio-budaya tempat karya itu dilahirkan. 
 
Dalam banyak teori, tujuan utama sastra bandingan adalah mencari persamaan dan perbedaan dari dua (atau lebih) teks yang berasal dari dua (atau lebih) negara yang berbeda. Dengan mengungkap persamaan dan perbedaan teks-teks itu, terbuka kemungkinan penelusuran teks mana yang lahir lebih awal; sejauh mana pengaruhnya; dan apakah ada kecenderungan terjadinya plagiasi—sebagaimana yang terjadi pada novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck—Hamka dan Magdalena (Majdulin)—Al-Manfaluthi atau puisi “Krawang-Bekasi”—Chairil Anwar dan puisi “The Young Dead Soldiers”—Archibald Macleish? 
 
Sekadar membandingkan karya sastra secara tekstual, kita memang akan menemukan adanya persamaan dan perbedaan—juga sesuai teks. Jika begitu, perbandingan itu tidak akan menyentuh sejarah kelahiran teks itu dan persoalan sosio-budaya yang tersembunyi di dalamnya. Artinya, kita hanya akan berkutat pada kulit luarnya, tanpa coba mengetahui isinya. Itulah salah satu problem sastra bandingan. Oleh sebab itu, diperlukan pengungkapan lebih jauh tentang berbagai persoalan yang mempengaruhi diri pengarang, termasuk juga penelusuran akar tradisi budayanya. Dalam hal itulah Abdul Hadi—meski tak mengikuti konsepsi sastra bandingan Eropa atau Amerika, melangkah lebih jauh memasuki pemahaman kehidupan kemasyarakat dan kebudayaan, bahkan ideologi yang mengendap dalam diri pengarang.
 
***
 
Ulasan ringkas ini tentu saja tak sebanding dengan muatan yang terkandung dalam buku Sastra Timur ini. Oleh sebab itu, yang paling mustahak dilakukan pembaca adalah menyimak sendiri buku itu dan silakan berselancar menelusuri ceruk dan lika-liku sastra Timur. Dari sana, niscara kita akan menemukan begitu banyak oasis yang bakal memperkaya rohani dan wawasan kita tentang sastra Timur. Bahkan, jika dikembalikan pada proses penjadian kebudayaan Indonesia, kita tidak dapat menafikan, bahwa muasalnya tidak lain dari pertemuan tradisi Nusantara dengan Hinduisme dan Islam. 
 
Nah, begitulah … 
 
(Maman S. Mahayana, Pengajar FIB-UI, Ketua Yayasan Hari Puisi)
 
sumber: facebook.com

Kalau Allah Menghendaki, Semua bisa saja Terjadi?

Oleh: Agus Mustofa* - di facebook.com
 
Beberapa waktu terakhir ini, channel Youtube saya sedang ramai. Karena, secara beruntun saya membahas tema-tema kontroversial. 
 
Yang pertama, soal konflik antara Palestina dan Israel. Sudah memasuki episode kelima. Dan yang lebih ramai lagi adalah soal penciptaan Adam dan Hawa. Yang sudah memasuki episode ketujuh belas.
Sehingga saya diundang sebagai narasumber dalam sejumlah forum kajian. Di antaranya, forum "Dialog Positif"-nya Kang Abu Marlo, "Rumah Belajar Dr Weka", "Ngaji Roso"-nya Cak Hendra dan "CakNurian Urban Sufism"-nya Prof. Komarudin Hidayat. Keempatnya meminta tema “Ternyata Adam Dilahirkan”.
 
“Perdebatan antara teori evolusi dan keyakinan tentang penciptaan manusia pertama sudah berlangsung lama. Agus Mustofa menyodorkan jawaban alternatif yang mengejutkan. Benarkah Adam ternyata dilahirkan?,” tulis flyer CakNurian Urban Sufism, yang digelar Jum’at, 4 Juni 2021.
 
Saya masih sering melihat sebagian umat Islam yang shocked, ketika disodori kajian kontroversial semacam itu. Yang saya kemukakan dalam bentuk Kajian Tasawuf Modern dan Islam Futuristik. Sebuah kajian ilmiah yang berbasis pada informasi Al Qur’an dan Sains Modern. Atau, yang kita kenal sebagai kajian ayat-ayat qauliyah dan kauniyah.
 
Saya lihat sebagian besar umat Islam masih terbiasa menggunakan cara-cara tradisional dalam beragama. Ikut pendapat yang sudah diajarkan oleh pendahulu. Tanpa berani mengajukan pemikiran kritis. Dan, sangat ketat berpegang pada kredo “pendapat ulama terdahulu lebih baik dibandingkan dengan pendapat ulama kemudian.”
 
Budaya semacam ini telah membuat umat Islam mengalami kemandekan dalam pemikiran. Berhenti sejauh pemikiran masa lalu. Padahal peradaban manusia terus berkembang ke masa depan. Dan membutuhkan pemikiran-pemikiran keagamaan yang sesuai dengan zamannya.
 
Tidak seperti di zaman keemasan Islam. Di mana para pemikir membangun budaya keilmuan yang terbuka dan kritis. Sehingga muncul banyak aliran pemikiran, termasuk mazhab-mazhab, yang memperkaya budaya keilmuan di dalam Islam.
 
Jika kita lihat sejarahnya, para imam pendiri mazhab itupun sesungguhnya adalah guru dan murid. Tetapi mereka memiliki keberanian untuk berbeda dengan gurunya. Sehingga memunculkan mazhab yang berbeda.
 
Imam Hanafi adalah ulama yang sezaman dengan Imam Malik. Mereka saling memuji dan menghargai. Sedangkan Imam Malik adalah guru Imam Syafii. Dan Imam Syafii adalah guru Imam Hambali. Perbedaan di antara mereka disikapi sebagai hal yang produktif. Dan penuh hikmah. Masing- masing mazhab memiliki argumentasi sendiri-sendiri. Tidak memaksakan kehendak harus sama.
 
Budaya pemikiran yang bagus itu kini semakin memudar di kalangan tertentu. Yang cenderung mengedepankan keseragaman berpikir. Menolak perbedaan. Bahkan, mengharamkannya. Dan tak jarang, sambil menudingkan kata ‘sesat’ terhadap orang lain yang berbeda pendapat. Sekalipun perbedaan pendapat itu didasari dengan argumentasi ilmiah. Dan merujuk sumber-sumber otoritatif di dalam Islam.
 
Yang demikian ini, tentu sangat memprihatinkan. Tidak menjadikan umat Islam menjadi maju. Melainkan, semakin mundur dalam kancah peradaban. Dan berpotensi untuk ditinggalkan oleh kalangan milenial yang semakin logis, rasional, dan kritis dalam memahami segala hal yang ada di sekitarnya.
 
Ungkapan-ungkapan bernada teologis seringkali dijadikan sebagai alasan pembenar oleh mereka. Tetapi, sebenarnya menunjukkan keengganan berpikir secara ilmiah. Misalnya, ungkapan “ Jika Allah menghendaki, apapun bisa saja terjadi …” 
 
Dalam sejumlah forum kajian, saya sering mendengar argumentasi semacam ini. Dengan maksud untuk membenarkan argumentasi mereka. Misalnya, ketika saya sampaikan dalil-dalil Al Qur’an maupun bukti-bukti ilmiah yang menunjukkan keboleh jadian terciptanya Adam di dalam rahim.
 
Alih-alih meng-counter dengan menggunakan dalil-dalil dan bukti ilmiah yang menguatkan argumentasinya, mereka lebih suka mengemukakan ungkapan sakti “Jika Allah menghendaki, apapun bisa terjadi”. Dengan kata lain, tidak usah “capek-capek” membahas dalil dan bukti ilmiah. Karena, apapun bisa terjadi. Asal Allah menghendakinya.
 
Tentu saja. Tidak ada yang salah dengan kalimat itu. Ungkapan “Jika Allah menghendaki, apapun bisa terjadi” itu adalah benar adanya. Mana ada kalau dikehendaki oleh Allah, sesuatu itu tidak terjadi? Allah Maha Berkuasa dan Maha Berkehendak untuk melakukan apa saja.
 
Masalahnya, kalimat itu hanya dipakai untuk bersembunyi dari kemalasan berpikir. Yang dengan cara itu, mereka seakan-akan sudah menunjukkan kebenarannya. Padahal, ia sendiri tidak tahu kehendak Allah itu yang mana. Kecuali, Allah menyebutkan di dalam Al Qur’an sebagai ayat qauliyah. Ataupun, menunjukkan dalam bentuk ciptaan – ayat kauniyah – di alam semesta.
 
Contoh konkretnya begini. Apakah Allah bisa menciptakan planet Bumi berbentuk kotak? Tentu saja bisa. Karena Dia Maha Berkuasa. Maha Pencipta. Tetapi, apakah bentuk Bumi kita ini kotak? Kan, tidak.
 
Apakah Allah juga bisa menciptakan buah mangga langsung tersedia di atas meja, tanpa melalui pohon yang tumbuh, berbunga dan berbuah? Tentu saja, secara filosofis, bisa. Apapun yang Dia kehendaki pasti terjadi. Masalahnya, apakah penciptaan buah mangga itu instan seperti itu? Langsung di atas meja setiap kita? Kan, tidak.
 
Termasuk, apakah Allah bisa menciptakan manusia dari sebentuk boneka tanah dan langsung jadi manusia yang hidup? Tentu sangat bisa. Tetapi, apakah begitu kejadiannya? Kan, tidak. 
 
Al Qur’an sendiri yang mengemukakan, bahwa penciptaan manusia dari tanah itu berproses. Dari tanah diubah Allah menjadi saripatinya. Diubah lagi menjadi air mani atau nuthfah. Diubah-Nya lagi menjadi gumpalan mirip darah alias alaqah. Diproses menjadi gumpalan daging atau mudghah. Dan seterusnya. Dan, akhirnya menjadi janin. Yang kemudian terlahir di dunia sebagai manusia. Persis seperti yang Dia firmankan di dalam Al Qur’an.
 
“Dialah yang menciptakan kamu sekalian dari tanah. Kemudian dari setetes mani. Sesudah itu dari segumpal alaqah. Kemudian kamu sekalian dilahirkan sebagai seorang bayi. [QS. Ghafir: 67]
 
Jadi, masalahnya bukanlah Allah bisa atau tidak bisa menciptakan segala yang dikehendaki-Nya. Melainkan, berada pada keengganan sebagian kita untuk melakukan kajian secara ilmiah. Padahal, Allah senantiasa mememerintahkan kepada kita untuk menggunakan akal dan ilmu dalam memahami segala ciptan-Nya. Wallahu a’lam bissawab …
 
[Dimuat di Harian DisWay Jum'at, 4 Juni 2021]
 
*Alumni Teknik Nuklir UGM, Penulis Buku-Buku Tasawuf Modern, dan Founder Kajian Islam Futuristik.

Berfilsafat Untuk Mencapai Kebahagiaan

Oleh: Budhy Munawar Rachman

Tidak alasan bagi manusia untuk berfilsafat, kecuali untuk mencapai kebahagiaan

Tinjauan buku singkat: E.F. Schumacher, A Guide for the Perplexed (1977)

Dewasa ini, kehidupan kemanusiaan kita mengalami krisis yang luar biasa. Salah satu pertanda krisis itu adalah semakin dangkalnya pengertian modern kita mengenai kehidupan manusia. Ini terutama terlihat dari pemahaman seratus tahun belakangan ini mengenai apa yang disebut sains, dan kaitannya dengan pengertian mengenai kemanusiaan. Krisis ini akhirnya, memudarkan kepercayaan pada percobaan modern untuk membahagiakan manusia. Dan semakin banyak pemikir-pemikir yang sering dianggap “aneh” yang menyarankan bahwa pemulihan harus datang “dari dalam diri manusia”, bukan hanya lewat pemecahan politis dan sistemik. Salah seorang pemikir yang dianggap aneh itu adalah E.F. Schumacher.

Buku A Guide for the Perplexed ini ditulis oleh ekonom-filsuf E.F. Schumacher, yang sebelumnya terkenal karena bukunya Small is Beatiful, yang telah menjadi semacam kitab suci para aktivis LSM pada era 1970an dan 1980-an. Buku A Guide for the Perplexed ini adalah filsafat di balik buku Small is Beatiful yang mendunia, sebagai perlawanan atas gagasan bahwa besar (hal yang massif) itu efisien.

Ada beberapa istilah penting dalam buku Schumacher A Guide for the Perplexed yang perlu mendapat perhatian seperti: “pemulihan harus datang dari dalam,” mengenai “manusia dan tingkat-tingkatnya yang lebih tinggi,” mengenai masalah “konvergen” dan “divergen” dan beberapa istilah lain. Seyyed Hossein Nasr, menyebut “His posthumous work Guide for the Perplexed is one of the most easily approachable introductions to traditional doctrines available today.” Jadi buku E.F. Schumacher ini bisa disebut sebagai buku pengantar tentang filsafat perennial yang bagus.

Peta Filosofis

Menurut Schumacher, kita memerlukan sebuah peta filosofis, yang bisa menjelaskan kita berada di mana sekarang ini, sekaligus arah perjalanan hidup kita. Selama ini peta-peta yang disodorkan oleh saintisme, yaitu sebuah paham materialisme modern, telah membiarkan tidak terjawab banyak masalah-masalah penting dari hidup manusia. Bahkan menganggapnya sebagai “bukan masalah!”

Saintisme misalnya menganggap tidak bermakna pertanyaan-pertanyaan abadi filsafat dan agama, seperti: Mengapa kita ada di dunia ini. Kita berasal dari mana? Dan akan ke mana setelah kematian nanti? Apa arti dan tujuan hidup? Dan seterusnya, pertanyaan-pertanyaan perennial, yang “anehnya” oleh Schumacher ditekankan bahwa harusnya filsafat (modern) membawa manusia ke jalan itu. Tapi nyatanya semakin modern filsafat semakin jauh dari usaha menjawab pertanyaan tersebut

Oleh saintisme manusia dinilai hanyalah, tak lain dari, “suatu mekanisme biokimia pelik yang dimotori oleh suatu sistem pembakaran yang memberi tenaga kepada komputer-komputer dengan fasilitas-fasilitas penyimpanan yang luarbiasa guna memelihara informasi bersandi”. Juga sebuah pandangan reduksionistik yang misalnya lewat psikoanalisa Freud, akan menganggap perjuangan kepada nilai-nilai kemanusiaan tertinggi hanyalah, tak lain dari, “mekanisme-mekanisme pertahanan diri, dan bentukan-bentukan reaksi.”

Maka, pertanyaan-pertanyaan seperti “Apa yang harus saya lakukan” apalagi “Apa yang harus saya lakukan agar selamat sebagai manusia”; pertanyaan-pertanyaan teleologis yang menyangkut tujuan hidup, akan dianggap aneh.

Keadaan dunia sekarang ini betul-betul krisis, karena tidak menganggap lagi apa yang berabad-abad sebagai pertanyaan paling penting (perennial questions), dan telah menyibukkan para filsuf, sebagai pertanyaan yang tak bermakna. Dari sudut filsafat, inilah sebenarnya agenda besar Schumacher yang dapat kita temui dalam buku ini, mencoba menjawab dengan cara yang bisa dipahami orang modern, pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Menurut Schumacher, keadaan dunia modern sekarang ini membawa kita perlu melihat lagi peta filosofis kita: Apakah peta kita itu telah memuat apa yang sungguh-sungguh penting dalam hidup kemanusiaan. Schumacher mencoba membeberkan pada kita peta yang perlu kita telaah sungguh-sungguh, yang meliputi Empat Kebenaran besar, yang dengan caranya masing-masing agama-agama besar dunia, dan filsafat sampai sebelum masa modern telah berusaha menjelaskan mengenai Empat Kebenaran ini, yaitu Kebenaran mengenai: (1) “Dunia”; (2) “Manusia” yaitu perlengkapan yang digunakan untuk berhadapan dengan “Dunia”; (3) Cara belajar tentang dunia; dan (4) Apa yang dimaksud dengan “hidup” di dunia.

Empat Kebenaran perenial ini berisi: Kebenaran tentang dunia, menyangkut “Empat Tingkat Eksistensi”. Kebenaran tentang perlengkapan yang digunakan manusia untuk berhadapan dengan dunia, adalah “Asas Ketepatan” (adaequatio). Kebenaran tentang cara belajar tentang dunia meliputi “Empat Bidang Pengetahuan.” Dan Kebenaran tentang “Cara hidup di dunia” meliputi pembedaan antara dua jenis masalah, yaitu konvergen (bertitik temu), dan divergen (bertitik pisah).

Peta filosofis ini, memang bukan segala-galanya, seperti peta bukanlah teritorinya. Tetapi untuk mengerti teritori tetaplah diperlukan peta sebagai “petunjuk jalan” supaya kita tidak tersesat, atau bingung. Dan menarik buku Schumacher ini sebenarnya merupakan peta filosofis untuk kita, dalam menemukan jalan menuju kebahagiaan kehidupan manusia.

Menurut Schumkacher, para filsuf modern, pada umumnya bukanlah pembuat peta, yang setia dengan kesinambungan apa yang telah dibuat pendahulu mereka dalam tradisi filsafat yang panjang. Malah mereka adalah seperti yang telah dilakukan Descartes, bapak filsafat modern, “berpatah arang dengan tradisi, main sapu bersih, memulai dari awal, dan berusaha menemukan sendiri segala sesuatunya!” Apa yang dilakukan Descartes dan para pengikutnya, sampai masa kini, akhirnya malah “mundur dari kebijaksanaan” setelah mereka menyadari menurut mereka, bahwa jangkauan pikiran manusia sangat terbatas, dan bahwa tak ada alasan untuk menaruh perhatian kepada hal-hal yang berada di luar kemampuan manusia. Ada skeptisisme yang mewarnai epistemologi modern, sehingga mereka menyerah, terutama untuk mengetahui masalah-masalah metafisika. Sementara kearifan tradisional dan perenial, yang juga tahu mengenai kelemahan pikiran manusia, mereka juga tahu bahwa tetap ada kemungkinan manusia sanggup melampaui dirinya sendiri menuju tingkat-tingkat yang makin lama makin tinggi.

Keadaan epistemologi modern telah memiskinkan pengertian kita mengenai manusia. Banyak wilayah dari apa yang telah diusahakan oleh pemikiran-pemikiran tradisional, selama ribuan tahun, tidak lagi termuat dalam peta filosofis modern. Filsafat modern juga telah kehilangan dimensi vertikal. Ketika filsafat dihadapkan pada pertanyaan, “Apakah yang harus saya perbuat dengan hidup saya?” Jawaban filsafat akan bersifat, paling jauh, adalah utilitarianisme seperti: “Jadikanlah dirimu senyaman-nyamanmu!” Atau “Bekerjalah demi kebahagiaan sebanyak-banyak orang!”. Hakikat manusia menurut pandangan modern, akibat pengaruh teori evolusi, adalah hewan “yang sedikit lebih tinggi” (tetapi tetap hewan!).

Pikiran mengenai “lompatan eksistensi” yang sangat disadari oleh para filsuf sepanjang zaman, telah diabaikan sedemikian rupa, dan dianggap kabur. Para filsuf modern menyamaratakan semua, dan menghindari istilah hirarki seperti “lebih tinggi” atau “lebih rendah.” Bandingkan dengan jawaban filsafat tradisional atas pertanyaan itu. “Kebahagiaan manusia ialah bergerak menuju kepada “yang lebih tinggi”, mengembangkan bakat-bakatnya yang “tertinggi”, memperoleh pengetahuan tentang hal-ihwal yang “lebih tinggi” dan yang “tertinggi”, serta bila mungkin, bertemu dengan Tuhan. Dan bila manusia tidak mengerjakan tugas perenialnya ini, maka berarti ia bergerak menuju kepada yang “lebih rendah”, dan hanya mengembangkan bakat-bakatnya yang “lebih rendah” yang ada padanya seperti pada hewan, sehingga ia pun menjadikan dirinya sendiri tak bahagia, bahkan mungkin putus asa.

Suatu kepercayaan umum dewasa ini, banyak orang-orang modern tidak percaya lagi bahwa kebahagiaan yang sempurna dapat dicapai dengan metode-metode yang sama sekali tidak dikenal oleh filsafat modern. Dan ini wajar, karena tanpa pengertian kualitatif mengenai “yang lebih tinggi” dan “yang lebih rendah” maka mustahillah memikirkan pedoman hidup yang melampaui segala bentuk egoisme. Itu sebabnya memikirkan kembali adanya tingkat-tingkat eksistensi dan kaitannya dengan filsafat menjadi hal yang penting sekali, supaya kita jangan memiskinkan filsafat hanya pada pengetahuan mengenai “hal-hal yang rendah” (seperti sains) sambil menutup diri mengenai “hal-hal yang tinggi” (seperti spritualitas manusia).

Buku ini memang bukan buku sederhana, tapi begitu Anda bisa menangkap maksud dan isi buku ini, Anda akan berterima kasih pada Schumacher yang telah memberi peta filosofis tersebut, sehingga Anda jadi tahu ke arah mana Anda akan menjalani hidup ini.

 

The Quest for Meaning: Developing a Philosophy of Pluralism

Oleh Dr Zaprulkhan

Bagaimanakah mencari makna hidup dalam pentas kehidupan abad 21 yang sangat pluralistik dalam berbagai aspeknya? Bagaimana caranya kita dapat berinteraksi dengan penuh kedamaian, ketenangan, kesetaraan, penghormatan, harmoni dan kebahagiaan di tengah-tengah beragamnya perbedaan agama, keyakinan, paham, tradisi, budaya, filosofi, bangsa dan negara dalam ruang dan waktu milenium ketiga dewasa ini? Inilah benang merah yang akan dijawab oleh Tariq Ramadan dalam karya cemerlangnya tersebut.

Dalam pendahuluannya, Tariq Ramadaan mengajukan sebuah tesis dengan metafora sebuah jendela: We all observe the world through our own windows. “Kita semua mengamati dunia melalui jendela milik kita masing-masing.” Jendela merupakan metafora dari sebuah sudut pandang, sebuah kerangka kerja, atau sebuah kaca mata yang selalu mewarnai penglihatan kita sekaligus memiliki orientasi dan keterbatasan dalam mencandra realitas secara holistik-komprehensif.

Dengan kesadaran ini, kita harus mengakui dengan rendah hati bahwa yang kita miliki tidak lebih dari sebuah point of view, suatu sudut pandang yang membentuk ide-ide, persepsi dan imajinasi kita terhadap fenomena kehidupan dunia yang plural. Di sini, kita mesti mengakui keterbatasan sudut pandang kita dalam memotret realitas yang kompleks.

Meskipun demikian, kita jangan larut dalam relativitas sudut pandang kita dan meragukan segala sesuatu yang kita tangkap. Kesadaran bahwa kita memiliki sudut pandang yang terbatas justru mengajak kita memiliki rasa ingin tahu yang sehat, enerjik dan kreatif tentang jumlah sudut pandang yang tak terbatas banyaknya yang juga dimiliki orang lain dalam memandang dunia yang sama. Kita harus menyadari bahwa ada begitu banyak orang yang memandang realitas kompleks yang sama melalui jendela mereka masing-masing.

Selain itu, Tariq Ramadan juga mengajak kita menyelami samudera kebenaran hakiki melalui jendela (perspektif) kita masing-masing. Kita harus siap berlayar mengarungi ke tengah-tengah lautan dan menyadari bahwa lautan eksis karena ada begitu banyak pantai di sekelilingnya. Kehadiran pantai yang sangat banyak jumlahnya itulah yang menjadikan satu lautan, satu samudera. Ketika kita mencandra kebenaran dengan perspektif yang kita miliki, kita perlu menyadari bahwa ada begitu banyak perspektif yang dimiliki orang lain yang juga sedang mencandra kebenaran yang sama.

Setiap kita hanya mencandra kebenaran dengan perspektif kita yang terbatas. Begitu pula pihak lain menangkap kebenaran dari perspektif mereka masing-masing yang memiliki keterbatasan. Meskipun tatkala kita tenggelam di tengah-tengah lautan, kita tidak melihat pantai; sejauh mata memandang, kita hanya menyaksikan sebuah lautan yang tak bertepi, tapi bersama kesadaran dan kerendahan hati, kita perlu mengakui bahwa ada begitu banyak pantai pada setiap horizon pandangan yang kita saksikan.

Hakikat kebenaran (luasnya lautan) terlalu akbar untuk dibatasi dengan satu perspektif (satu pantai) semata. Oleh sebab itu, dalam mengarungi samudera kebenaran yang maha luas tersebut, kita mesti menyiapkan sikap rendah hati sebagai kapal kehidupan kita. 

Dalam karya brilian tersebut, Tariq Ramadan membahas berbagai topik, seperti pencarian makna hidup, konsep tentang sesuatu yang universal, iman dan nalar, persaudaraan dan kesetaraan, kebebasan dan pendidikan, respek dan toleransi, tradisi dan modernitas, peradaban, cinta, pengampunan, spiritualitas dan lain-lain. Izinkan saya memotret sekilas beberapa topik yang menjadi core karya tersebut.

Pencarian Makna Hidup

Dalam pandangan Tariq Ramadan, kendati setiap kita mencandra kompleksitas kehidupan yang bersifat plural dan hakikat kebenaran dengan keterbatasan perspektif kita masing-masing, namun setiap kita memiliki satu kesamaan: setiap kita selalu mencari makna, kebenaran, kedamaian sekaligus kebahagiaan.

Dalam tilikan Tariq Ramadan, setiap orang, baik kaum idealis maupun materialis, filsuf atau saintis, orang beriman maupun ateis, selalu mencari makna dalam kehidupan yang mereka jalani. Setiap orang yang bersedia menelisik fenomena kehidupannya dengan lebih dalam, niscaya akan dihantui dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensial: Why life? Why me? What is the meaning of death, suffering, love, morality and so on?

Dengan hadirnya pertanyaan-pertanyaan eksistensial itu, setiap orang bahkan kaum ateis sekalipun berupaya menjawabnya agar kehidupan mereka bermakna. Seorang filsuf ateis seperti Jean Paul Sartre yang menegaskan kehidupan ini absurd, tetap mengakui bahwa kegelisahan eksistensial terhadap hadirnya penderitaan dan kematian merupakan sesuatu yang sangat sentral dalam pengalaman riil kehidupan umat manusia. Karena itu, berhadapan dengan kegelisahan eksistensial ini, Sartre meresponsnya dengan tegas: ‘We have to recognize it, accept it, and transcend it’, ‘Kita harus mengenalinya, menerimannya, dan sekaligus melampauinya.’ Dengan respons tersebut, bagaimana pun juga Sartre tengah merajut makna dalam kehidupannya.

Dengan demikian, menurut Tariq Ramadan pencarian makna hidup dalam pentas kehidupan umat manusia bagaikan sidik jari yang unik bagi setiap orang. Setiap orang sama-sama mempunyai sidik jari itu. Namun setiap orang memiliki sidik jari yang unik dan berbeda antara satu dengan lainnya. Prinsip universal dalam pencarian makna yang selalu dilakukan setiap orang ini, disebut oleh Tariq Ramadan sebagai a universal singularity.

Tentang Yang Universal

Ketika berbicara tentang suatu konsep yang bersifat universal, biasanya kita merujuk pada beberapa konsep yang kita yakini atau kita pahami sebagai universal. Lalu kita mengartikulasikannya di ruang publik dan menginginkan bahkan kadangkala mengharuskan publik yang terdiri dari orang-orang yang berbeda paham, keyakinan, pendidikan, dan kultur untuk menerima konsep-konsep yang kita gulirkan. Dalam benak kita, karena konsep-konsep tersebut bersifat universal, maka semua orang, tidak peduli adanya perbedaan mereka dengan kita, harus menerima konsep-konsep universal tersebut. Dalam benak kita mengatakan: “Karena konsep-konsep tersebut bersifat universal, maka semua orang harus menerimanya.”

Yang seringkali luput dari pandangan kita adalah orang lain juga dengan pandangan, keyakinan, paham, agama, pendidikan, dan kultur yang mereka miliki mempunyai juga konsep-konsep universal yang boleh jadi berbeda dengan konsep-konsep universal yang kita miliki. Kaum filsuf mempunyai beragam konsep tentang sesuatu yang bersifat universal. Para ilmuwan juga memiliki berbagai konsep tentang hal-hal yang universal. Demikian pula kaum agamawan mempunyai pelbagai ide mengenai hal-hal yang dinilai universal yang berlaku bagi semua umat manusia.

Yang berbahaya adalah ketika kita memaksakan konsep-konsep universal yang kita yakini atau kita pahami kepada orang lain yang berbeda untuk menerimanya. Kita meyakini bahwa konsep-konsep universal yang kita miliki itulah satu-satu yang bersifat universal dan semua orang harus menerimanya. Tariq Ramadan menyebut keyakinan ini sebagai “dogmatic mind”, pikiran yang dogmatis.

Dogmatic mind ini bisa saja dimiliki oleh siapapun: kaum agamawan, para cendekiawan, filsuf ataupun juga ilmuwan. Ketika seseorang mempercayai bahwa konsep-konsep yang digulirkannya merupakan satu-satunya yang bersifat universal dan harus diterima oleh orang lain yang berbeda, maka ia sudah terjebak dalam perangkap dogmatic mind.

Untuk keluar dari jebakan dogmatic mind, kata Tariq Ramadan, yang diperlukan adalah open minded, sebuah pikiran yang terbuka untuk berinteraksi, bersedia mendengarkan pihak lain sekaligus berusaha secara empati memahami beragam perbedaan tentang konsep-konsep yang universal yang disuarakan oleh orang lain, budaya lain, tradisi lain, paham lain dan agama lain. Tariq Ramadan menyebut beragam istilah tentang konsep-konsep yang bersifat universal, the immanent universal, the inner universal, the universal of the heart, the universal of reason bahkan the nihilist universal of nothingness and non-meaning.

Dengan alasan inilah, Tariq Ramadan menegaskan sebuah prinsip: There can be no universal without diversity. ‘Tidak akan pernah ada suatu konsep universal tanpa hadirnya keragaman. Oleh sebab itu, karena diskursus tentang yang universal dinarasikan oleh banyak suara yang beragam dengan argumentasinya masing-masing, kita jangan terlalu percaya diri dengan menutup diri. Bahkan kita perlu menumbuhkan kecurigaan yang sehat terhadap konsep universal kita sebagai satu-satunya konsep yang benar.

Sejatinya dalam hidup ini kita sedang dalam perjalanan panjang untuk mencari makna, kebenaran, kebahagiaan dan kedamaian hakiki. Dalam perjalanan pencarian ini, kita berjumpa dengan begitu banyak orang yang berbeda namun memiliki pencarian makna hakiki yang sama, meskipun dengan jalan yang berbeda. Karena itu, menyadari bahwa kita sedang dalam perjalanan pencarian makna, mengenali beragam cara yang berbeda dalam merengkuh makna, dan memiliki keraguan yang sehat terhadap perspektif kita sebagai satu-satunya yang benar, bagi Tariq Ramadan merupakan tiga elemen dasar untuk menumbuhkan sikap rendah hati dalam interaksi kita dengan orang lain yang memiliki latar belakang yang pluralistik.

Tariq Ramadan juga mengusulkan agar kita menjadikan sesuatu yang bersifat universal sebagai sebuah ruang terbuka atau sebuah ruang umum besar dimana beragam cara, beragam jalan, dan beragam tradisi pemikiran dan agama dapat berjumpa satu sama lain dengan damai. Dalam ruang umum yang sangat akbar tersebut, semua perbedaan wacana pemikiran yang diwakili fakultas panca indra, pikiran, dan hati dapat berjumpa satu sama lain.

Pesannya bukan untuk menyatukan pelbagai sistem, nilai dan budaya dengan sistem, nilai dan budaya lain yang berbeda, tapi justru untuk menyediakan ruang-ruang perjumpaan dimana kita semua dapat bertemu dan saling menyapa secara setara. Kita tidak perlu mempunyai obsesi untuk menyatukan semua yang beragam tersebut, karena memang tidak bisa disatukan. Tariq Ramadan lebih setuju menggunakan kata intersection daripada integration: The intersection of what we have in common, rather than the integration of differences.

Toleransi dan Respek

Toleransi dan respek terhadap pihak yang berbeda menjadi salah satu tema yang sangat menarik yang dibahas dalam buku ini. Menurut Tariq Ramadan, ada perbedaan antara toleransi dan respek dalam menyikapi perbedaan. Meskipun dalam keadaan tertentu, toleransi dapat bersifat aktif, tapi secara umum toleransi lebih bersifat pasif dalam menyikapi perbedaan. Dalam toleransi, kita hanya bersikap untuk menerima eksistensi pihak lain yang berbeda tanpa kita berusaha memahami, mengenali dan bahkan menggali lebih jauh tentang eksistensi pihak lain tersebut.

Sedang dengan respek, kita lebih bersikap aktif dan proaktif kepada pihak yang berbeda daripada sikap pasif. Kita terdorong perasaan ingin tahu secara positif terhadap eksistensi dan kehadiran pihak lain. Kita juga berupaya mempelajari pihak-pihak yang berbeda agar kita dapat mengetahui dan mengenali siapa sebenarnya mereka. Pengenalan, perasaan ingin tahu dan pengetahuan yang aktif mengantarkan akal dan hati kita memasuki kompleksitas dunia pihak lain yang berbeda. Kita mulai bersentuhan dengan prinsip-prinsip dan harapan-harapan mereka, dengan ketegangan dan kontradiksi-kontradiksi kehidupan yang mereka alami.


Jika toleransi dapat mereduksi pihak lain hanya sebagai pihak yang hadir belaka secara pasif, respek justru membuka diri kita untuk menyelami kompleksitas eksistensi pihak lain. Pada saat yang sama, sikap respek mengajarkan kita bahwa pihak lain sama kompleksnya dengan eksistensi kita: mereka sama dengan kita, mereka cermin kita, dan kegelisahan mereka pun sama dengan kegelisahan kita. Melalui sikap respek, kita akan menyadari bahwa: The other exists within me, and I exist within the others, “Pihak lain sebenarnya hadir dalam diri kita dan kita juga sesungguhnya hadir dalam pihak lain.”

Sebab, kita bukan cuma sama-sama merasakan kesenangan dan kegembiraan, kenikmatan dan kebahagiaan, kasih sayang dan cinta, tawa dan senyuman, tapi juga sama-sama mengalami kesulitan dan kepayahan hidup, kepahitan dan penderitaan hidup, kebencian dan penolakan, termasuk air mata dan tangisan. Di bawah kolong langit yang sama, kita semua sama-sama merasakan kehangatan sinar matahari yang sama sebagaimana kita juga merasakan kesejukan guyuran air hujan yang sama.

Kendati demikian, dalam pengamatan Tariq Ramadan, sebenarnya dari agama Hindu hingga agama-agama monoteis, dan sejak dari Sokrates, Plato dan Aristoteles, semuanya membawa pesan umum bahwa kita semua secara alami dan potensial memiliki kecenderungan untuk menolak orang lain yang berbeda, bahkan bisa menjadi intoleran dan rasis. Kita bisa menjadi tuli, buta, dogmatis, bersikap tertutup dan membenci yang liyan: kita tidak terlahir langsung sebagai orang yang berpikiran terbuka, penuh penghormatan kepada pihak lain dan bersikap pluralis. Kita menjadi orang yang open-minded, penuh penghormatan, dan pluralis melalui upaya personal, pendidikan, pengalaman, dan pengendalian diri dengan bijaksana.

Dalam konteks ini, cukup menarik bagaimana Tariq Ramadan mengingatkan kita tentang perumpamaan sejumlah orang buta yang berusaha mengenali seekor gajah. Kita perlu melihat kembali kisah manis ini sejenak untuk menengok pesan moral di baliknya. 

Orang buta pertama, menyentuh belalainya dan menyimpulkan bahwa gajah itu seperti ular panjang dan bisa meliuk-liuk ke kiri dan ke kanan. Orang buta kedua yang menyentuh badan gajah, membantahnya. Katanya, gajah itu seperti tembok rumah yang lebar dan keras. Orang buta ketiga yang meraba gadingnya gajah, menolak kedua kawannya sebelumnya. Ia mengatakan bahwa gajah itu seperti sebuah tombak yang runcing. Orang buta keempat yang memegang telinganya gajah, berpendapat berbeda dengan ketiga kawannya. Baginya gajah itu bagaikan sebuah permadani yang lebar. Sedangkan orang buta kelima yang meraba ekor gajah, juga berpendapat berbeda dengan keempat temannya sebelumnya. Dia berpandangan bahwa gajah itu seperti seutas tali. Akhirnya orang buta keenam yang memegang kaki gajah yang kokoh, juga tidak setuju dengan pendapat kelima kawannya sebelumnya. Dengan tegas, ia menyatakan bahwa gajah itu sesungguhnya seperti sebatang pohon yang tangguh.


Gajah dalam konteks ini secara metaforis bisa bermakna hakikat kebenaran yang senantiasa dicari, diburu, dan ditangkap eksistensinya oleh setiap orang dari berbagai tradisi pemikiran, filsafat, agama, dan keyakinan. Dari parabel di atas, menurut Tariq Ramadan ada beberapa pesan moral edukatif yang bisa kita petik agar kita dapat bersikap toleran, respek, pluralis dan open-minded terhadap beragam pandangan tentang kebenaran.

Pertama, tidak seorang pun yang mampu menangkap dan memahami hakikat kebenaran secara utuh komprehensif. Kedua, cara, pendekatan dan metode dalam menangkap dan memahami hakikat kebenaran ada banyak. Hampir setiap orang, dalam hal ini setiap tradisi pemikiran, filsafat, spiritualitas, agama dan keyakinan memiliki beragam cara dan pendekatan yang unik dalam mencandra kebenaran berdasarkan tradisi mereka masing-masing.

Ketiga, setiap orang sebenarnya memiliki kelemahan (kebutaan) internal dalam mencandra hakikat kebenaran; sehingga yang dituntut sebuah sikap rendah hati dan siap saling berbagi dengan orang lain.


Yang menjadi masalah, sebagaimana kita lihat pada parabel di atas, setiap orang merasa begitu yakin dengan perspektifnya masing-masing dan menolak, mengesampingkan bahkan dengan arogan menyalahkan pandangan-pandangan lain yang berbeda. Semua sikap tersebut merupakan representasi dari sikap closed-minded, sebuah sikap tertutup terhadap pandangan yang berbeda. Di sini kita melihat betapa berbahayanya sikap closed-minded.

Solusinya, setiap kita perlu melakukan fundamental introspection, untuk bersedia melihat, mendengar, mengenali sekaligus memahami pandangan-pandangan lain yang berbeda. Kita perlu menyadari kelemahan perspektif kita tentang hakikat kebenaran. Kita perlu menyadari terdapat pandangan-pandangan yang kaya tentang kebenaran dan idealnya kita bersedia mengkaji secara empatik pandangan-pandangan orang lain yang berbeda mengenai kebenaran tersebut.

Dengan keterbukaan sikap inilah, beragam perspektif yang awalnya berbeda dan tampak bertentangan satu sama lain, justru akan memperkaya dan melengkapi perspektifnya sendiri. Dengan open-minded, kita melakukan semacam transendensi yakni melampaui perspektif kita yang terbatas dengan menyelami beragam perspektif pihak lain yang kaya sehingga bisa melengkapi sekaligus memperkaya perspektif kita yang terbatas. Di sini kita melihat betapa signifikannya sikap open-minded.

Kendati demikian, sikap respek kita terhadap orang lain melampaui wilayah pemahaman semata, tapi juga membutuhkan suatu pengalaman yang bersifat psikologis dan resiprokal. Tariq Ramadan juga menurunkan sebuah pesan universal tentang hubungan yang penuh kedamaian dan cinta kasih dalam sebuah adagium populer: “Cintailah tetanggamu sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri.”

Menurut Tariq Ramadan, adagium ideal ini membawa tiga pesan moral. Pertama, adagium itu sesungguhnya sebuah imbauan tentang cinta kepada sesama, sebuah kecenderungan hati yang penuh kasih kepada pihak lain yang perlu kita upayakan.

Kedua, untuk bisa mencintai orang lain, berarti kita harus memberi perhatian khusus terlebih dahulu untuk mencintai diri sendiri yang harus benar-benar dialami secara autentik. Sebab kita tidak bisa mencintai orang lain dengan tulus sebelum kita mencintai diri sendiri dengan autentik. Ketiga, sebagai implikasinya: mencintai diri sendiri dan menemukan kedamaian internal merupakan sebuah prasyarat untuk mencintai dan menyambut orang lain ke dalam damainya hati kita. Semua ini juga mengharuskan kita mengenali godaan-godaan alami diri kita yang paling gelap, namun tetap berusaha mencari suara-suara aspirasi murni yang paling luhur di kedalaman jiwa kita. “This is a love story”, ini merupakan sebuah kisah cinta, tulis Tariq Ramadan.


Pendidikan

Selain itu, Tariq Ramadan juga menyinggung bagaimana cara kita menghadapi kompleksitas tantangan abad 21 melalui pendidikan. Meskipun diskursus ilmu pengetahuan, sains dan teknologi menjadi tuntutan yang tidak bisa dilepaskan dari dunia pendidikan, namun Tariq Ramadan menganjurkan kita untuk tetap melengkapi pendidikan kita dengan ajaran-ajaran fundamental yakni wacana agama atau spiritualitas, filsafat dan seni. Agama atau spiritualitas, filsafat dan seni merupakan tiga disiplin yang harus menjadi the core curriculum of every intellect jika kita ingin membekali peserta didik menjadi manusia yang mandiri dan bebas namun bertanggungjawab.

Agama dan spiritualitas seringkali dapat membuat manusia tumbuh secara spiritual dan melindungi mereka dari kegelisahan eksistensial. Agama juga dapat menorehkan arti tentang kehidupan dan menyingkap makna yang sublim dari pengalaman hidup kita. Sedangkan filsafat dapat membentuk kesadaran kritis sekaligus berpikir kritis-konstruktif dalam diri kita. Filsafat mendesak nalar kita untuk terus menelaah, untuk mengajukan berbagai pertanyaan-pertanyaan reflektif dan menggunakan perangkat kritisnya secara konstruktif.

Mempelajari filsafat juga dapat menjadikan kita rendah hati dan mampu mengambil jarak untuk tidak buru-buru melakukan justifikasi terhadap kebenaran. Sebab filsafat yang arogan yang mengklaim mengetahui the ultimate truth dan menghina kebenaran pihak lain, hakikatnya bukan lagi filsafat: They are ideologies. Karena salah satu ciri filsafat adalah keterbukaan terhadap segala pengetahuan, wacana, dan kebenaran, tanpa menjustifikasi absolutisme.

Sementara seni dapat mengantarkan manusia bersentuhan, berjumpa, dan merasakan lembutnya makna keindahan. Keindahan bukan hanya berdiri sebagai keindahan an sich, tapi dalam keindahan juga sebenarnya membersitkan makna. Refleksi filosofis terhadap dunia seni yang autentik akan membawa kita melampaui diri kita sehingga kita akan menyadari bahwa: Beauty is the marriage of philosophy, spirituality and art’, “Keindahan adalah pernikahan sakral antara filsafat, spiritualitas dan seni.”

Dunia seni juga mengundang manusia untuk menemukan berbagam sumber keindahan dalam dirinya yang mengajak melampaui batasan-batasan dunia fisiknya sehingga dapat memberinya makna dan inspirasi. Karena itu, pendidikan hati, pikiran dan imajinasi yang melatih kita agar dapat melihat, mendengar, mencium, merasa dan menyentuh dengan lebih baik merupakan salah satu kebutuhan dalam membentuk sikap mandiri dan bebas yang terletak dalam jantung modernitas.

Ketiga wacana spritualitas, filsafat dan seni harus ada dalam dunia pendidikan agar dapat membentuk seorang manusia yang kritis namun bijaksana, kaya inspirasi namun rendah hati, dan bersikap bebas merdeka namun bertanggungjawab; sebuah tanggungjawab kepada Tuhan sekaligus tanggungjawab kepada kemanusiaan.

Dengan konsep-konsep tentang pencarian makna hidup, kebenaran, dan kedamaian, serta sesuatu yang bersifat universal, toleransi, respek, dan pendidikan, Tariq Ramadan menjadikan semua ini sebagai wahana dalam membangun sikap pluralisme, di samping beragam konsep lainnya yang ia eksplorasi dengan elegan dalam karya tersebut.

Secara global, The Quest for Meaning merupakan karya Tariq Ramadan yang paling rasional-filosofis sekaligus sangat bersifat kontemplatif-reflektif dibandingkan dengan karya-karyanya yang lain, seperti To Be A European Muslim, Islam, The West and The Challenges of Modernity, Western Muslims and The Future of Islam, atau pun Radical Reform.

Dalam The Quest for Meaning, Tariq Ramadan mengajak kita menyelami berbagai tradisi pemikiran filsafat, baik dari Barat maupun Timur, seperti dari tradisi Yunani, Cina, India, maupun dari kawasan Timur Tengah Islam. Ia juga mambawa kita mendalami wacana-wacana agama, teologi, dan spiritualitas dari beragam agama dunia, semacam agama Yahudi, Kristen, Islam, Buddhisme, Hindu, Kong Hu Chu misalnya.

Menariknya, ia tidak memiliki tendensi untuk membela atau mengistimewakan satu tradisi pemikiran dan agama di atas tradisi pemikiran dan agama lainnya. Tradisi pemikiran dan filsafat Barat tidak lebih hebat daripada tradisi pemikiran dan filsafat Timur, sebagaimana tradisi pemikiran dan filsafat Timur tidak lebih istimewa daripada tradisi pemikiran dan filsafat Barat. Wacana agama Yahudi dan Kristen tidak lebih unggul ketimbang wacana agama Islam, Buddhisme, Hindu dan Kong Hu Chu, sebagaimana wacana agama Islam, Buddhisme, Hindu dan Kong Hu Chu tidak lebih tinggi ketimbang wacana agama Yahudi dan Kristen. Semuanya sama-sama menawarkan makna hidup dan kedamaian hakiki, kebajikan dan kebenaran, belas kasih dan kebahagiaan meskipun dengan cara yang berbeda-beda.

Dengan begitu fasihnya, ia menayangkan puspa ragam diskursus yang relevan dengan persoalan-persoalan yang sedang dibahasnya dari berbagai tradisi pemikiran, teologi, spiritualitas dan agama. Semuanya dikaji secara terbuka dan kritis. Setiap solusi-solusi cemerlang yang sudah disuguhkannya secara eksploratif, di ujung pembahasan selalu dipertanyakan kembali secara terbuka.

Tariq Ramadan memberikan kita semacam constructive discontent, sebuah ketidakpuasan konstruktif yang mengundang kita untuk selalu mempertanyakan setiap jawaban-jawaban yang kita gulirkan, sekaligus terus memperkaya, mempertajam, dan tetap terbuka dengan jawaban-jawaban baru yang tidak berkesudahan. Dengan kata lain, setiap jawaban yang disuguhkannya, selalu ditutup dengan tanda koma (,) yang merefleksikan sebuah sikap keterbukaan, bukan tanda titik (.) yang merefleksikan sebuah sikap ketertutupan.

Karena itu, sebagaimana ditegaskan oleh Tariq Ramadan dalam awal pembahasannya bahwa karya ini adalah sebuah perjalanan dan juga sebuah tujuan yang tidak ada titik finishnya. The goal of the journey is the journey itself, tulis Tariq Ramadan.

Akan tetapi kita sebagai pelancong yang memburu makna hidup, kebenaran, kedamaian dan kebahagiaan, di akhir perjalanan kita, kata Tariq Ramadan diharapkan dengan yakin dan pikiran terbuka akan berikrar: ‘My philosophy is travel, and pluralism is my destination. Humanity is my table, respect is my garment, empathy is my food and curiosity is my drink’. “Filosofi saya adalah perjalanan dan pluralisme adalah tujuan saya. Kerendakan hati menjadi sandaran saya, dan rasa hormat menjadi pakaian saya. Sedangkan empati menjadi makanan saya dan hasrat ingin tahu menjadi minuman saya.”

Oleh sebab itu, The Quest for Meaning bukan hanya inspiring and provoking our thought but also enlightening and transforming our mind.

Sungguh, sebuah karya yang sangat layak untuk kita gumuli dan cumbui.