Membangun Kesetiaan Kepada Tuhan

Oleh : Ahmad Tohari

Bila mau jujur kita harus berani mengakui bahwa secara sosiologis puasa kita kurang atau bahkan tidak efektif. Puasa Ramadhan dalam aspek kemanusiaan dimaksudkan sebagai pelatihan membangun kepribadian menjadi lebih setia kepada Sang Pencipta. Dalam Alquran dijelaskan, orang yang setia kepada Tuhan bercirikan (1) percaya akan adanya entitas-entitas kasat mata, (2) menegakkan kesadaran akan kehadiran Allah dalam dirinya (shalat), (3) mendermakan sebagaian penghasilan, (4) percaya akan kenabian Muhammad serta adanya wahyu yang diturunkan kepada orang-orang terpipih sebelum Kanjeng Nabi, dan (5) percaya akan adanya alam akhirat.

Apabila kelima hal tersebut telah menjadi pilar kesadaran, maka diharapkan manusia akan bisa masuk ke dimensi aksiologis yang dicitakan dalam Islam yakni menghindari semua larangan Tuhan dan mematuhi segala aturan dan perintah-Nya. Dan apakah larangan dan perintah Tuhan itu?

Untuk menjawab pertanyaan ini, terus terang, saya agak khawatir akan dicemooh karena pendapat saya mungkin tidak populer. Saya yakin perintah Tuhan tidak terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan ibadah murni yang ujudnya adalah ritus-ritus itu. Ritus memang diperlukan sebagai pemupuk ikatan batin atau cinta kepada-Nya. Tetapi cinta kepada Tuhan tidak mungkin tinggal menjadi ujud yang abstrak. Dan kita menyadari, Tuhan Yang Mahamandiri sesungguhnya tidak membutuhkan sesuatu pun dari mahluknya. Maka cinta kepada-Nya seharusnya diberi ujud nyata berupa kecintaan terhadap seluruh ciptaannya; jelasnya, kehidupan.

Bila dinyatakan dalam skema, maka ritus puasa adalah pelatihan untuk membangun mental setia kepada Tuhan. Kesetiaan kepada Tuhan dibuktikan dengan kecintaan kepada-Nya. Dan kecintaan kepada-Nya minta diberi bentuk nyata berupa kecintaan kepada kehidupan. Nah, sejauh manakah puasa ini telah membuat kita menjadi manusia yang cinta kehidupan dalam rangka setia kepada Tuhan?

Mereka yang menyintai kehidupan adalah orang-orang yang menyebarkan rahmat kepada ciptaan-Nya di mana-mana. Mereka adalah orang-orang yang bisa menahan diri dari perbuatan yang merugikan dirinya maupun orang lain, tidak membuat kerusakan di manapun. Mereka yang menyintai kehidupan adalah orang-orang jujur, menaati hukum, produktif, beriktikad baik, suka bekerja, menghargai sesama. Dan semua itu diniatkan sebagai amal kesetiaan kepada Tuhan.

Sayangnya orang-orang seperti itu, rasanya menjadi manusia langka di masyarakat kita sekarang ini. Dalam lingkup kecil masih banyak kekerasan, penipuan, kejahatan, selingkuhan. Dalam lingkup lebih luas, terjadi pengabaian amanat rakyat, korupsi, penindasan yang tersamar, pelecehan atas hak-hak kaum yang tersingkir. Ketidakadilan terus meningkat. Semua ini terjadi karena mental setia kepada Tuhan tidak tumbuh apalagi berkembang, meski secara formil ibadah murni banyak kita lakukan.

Bila demikian kenyataannya, apakah salah bila dikatakan puasa kita tidak efektif? Agaknya memang tidak salah. Sebab bila puasa kita efektif, mestilah kesetiaan kita kepada Tuhan meningkat. Dan hal ini bisa dibuktikan dengan kemampuan kita memberikan andil dalam membangun kehidupan yang lebih baik.

Tetapi begitulah, fungsi puasa sebagai pelatihan membangun kesetiaan kurang berkembang. Puasa hanya menjadi ritus kering yang tidak mencerahkan dan tidak meningkatkan kesalehan. Ya, bahkan puasa agaknya bukan satu-satunya rukun Islam yang telah terkikis dari bobotnya sehingga amat lemah efektifitasnya dalam membangun kesalehan hidup. 

Shalat yang dalam aspek sosial punya peran sebagai pembangun mental agar orang bisa mencegah perilaku keji dan mungkar, buahnya tidak lebat. Masih terjadi banyak sekali kemungkaran dan kekejian di tengah masyarakat, dan tidak sedikit pelakunya adalah orang-orang yang menjalankan ibadah itu.

Syahadat? Ibadah ini adalah kesaksian mutlak seorang manusia bahwa tidak ada ilah selain Allah. Menuhankan apapun selain-Nya adalah kesalahan yang tak terampuni. Tapi nyatanya tidak sedikit pengucap syahadat yang menuhankan selain Allah dalam berbagai manifestasi dan bentuknya, dari yang nyata hingga yang samar. Pamer, mementingkan dan meninggikan diri, sok ini, sok itu adalah manifestasi pemberhalaan diri yang umum terjadi. Namun demikian sedikit orang yang sadar bahwa itu tak sejalan dengan makna syahadat yang telah diucapkannya.

Demikian juga dengan ibadah haji. Ibadah ibadah ini pun lebih dihayati sebagai ibadah murni yang tidak punya fungsi pencerahan. Padahal selain punya dimensi vertikal, ibadah haji seharusnya punya dampak membentuk kesalehan sosial. Kanjeng Nabi Ibrahim yang dikenal sebagai pelopor ibadah haji telah memberi teladan pengorbanan yang luar biasa. Ketika Tuhan meminta agar Ibrahim menyerahkan nyawa Ismail anaknya, diberikan. Manusia yang rela berkorban seberat itu pasti suka memberi dan malu menjadi pihak yang menerima. Apalagi menjadi pencuri atas hak-hak orang lain!

Nah, bila pengamalan rukun Islam dalam hal ini ibadah puasa belum juga membuat kita lebih islami (lebih setia kepada Tuhan) maka benar kata Kanjeng Nabi: Banyak orang berpuasa tidak mendapat apa-apa kecuali lapar dan harus. Dan pertanyaannya : Apakah kita merasa sabda Kanjeng Nabi itu mengarah kepada kita? Mari kita jawab sendiri-sendiri. 

Sumber : Republika, Resonansi, Senin 17 September 2007