Ada sebuah kisah nyata tentang perjumpaan dua
manusia yang menjadi cikal bakal sebuah thariqat. Seorang pemuda
yang mendapati banyak kegagalan dalam hidupnya, merasa dirinya tak berguna.
Pada suatu hari, ia bercakap-cakap dengan seorang lelaki tua yang telah lama
dikenalnya. Sekilas, tak ada hal yang istimewa pada lelaki tua tersebut. Di
tengah percakapan, lelaki tua tersebut berkata, “Nak, setiap manusia itu
membawa misi hidupnya masing-masing ke dunia ini.” Sang pemuda sangat
terperanjat mendengarnya. Perkataan tersebut menyadarkan dan membakar kembali
semangat hidupnya, serta memberinya harapan. Yang menarik adalah sang pemuda
ternyata bisa mengenali bahwa duduk permasalahan kehampaan makna hidup berakar
dari rahasia tentang misi hidup. Pemuda tersebut sebenarnya baru lulus SMA, dan
bukan pengkaji filsafat. Hal yang menarik adalah alasan pemuda tersebut, dalam
usianya masih sangat belia, bisa menyadari bahwa misi hidup itu inti dari
perjalanan hidup dan agama. Bahkan perjumpaannya dengan lelaki tua bijak
tersebut membuatnya membatin, “Tidaklah yang mengetahui rahasia besar seperti
itu kecuali orang besar”. Permasalahannya, apabila ungkapan serupa diucapkan
kepada seseorang yang tidak sedang mencari kesejatian hidup manusia di dunia,
terperangkap kedalam kehidupan sehari-hari dan lebih sibuk mencari kiat
cepat-praktis untuk segala hal, gandrung pada berbagai sensasi (seolah-olah?) pengalaman
spiritualketimbang tujuan sejatinya, lebih menghasrati berbagai wacana
spiritual tapi enggan terjun ke praktik penempuhan jalan spiritualnya itu
sendiri, maka perkataan tersebut bisa jadi tidak akan terasa istimewa dan
mungkin berlalu begitu saja.
Memang telah banyak filsuf maupun agamawan
yang menguraikan keunikan individu, namun jarang sekali yang menyentuh hingga
permasalahan misi hidup serta cara menemukan dan menjalani misi hidup tersebut.
Bahkan sebaliknya, dalam filsafat kontemporer seringkali penciptaan manusia itu
diyakini tak ubahnya benih tanpa spesies yang dapat tumbuh menjadi pohon apa
pun. Manusia semata-mata dipandang sebagai makhluk yang dicetak oleh lingkungan
dan budayanya, tanpa kekhususan yang dibawa dalam dirinya sendiri; suatu
faktisitas.1
Sedangkan tradisi spiritualitas agama-agama
besar umumnya meyakini bahwa manusia diciptakan dengan tujuan yang ilahiah. Dan
dalam banyak kisah pencarian Tuhan, seringkali tampak bahwa sang pencari memang
memiliki tekad kuat yang tertuju langsung kepada Sumbernya, dan tidak mudah
teralihkan kepada hal-hal lainnya.2 Pencarian-bertujuan-Sumber
ini jugalah yang menuntun sang pemuda tadi untuk bisa mengenali isyarat dari
ucapan sang ‘calon’ Mursyid.3
(Pos) Modernitas, Spiritual
Quotient (SQ), Neurosis Noogenic
“Kulihat orang-orang terkuat dan terpandai. Kulihat
semua potensi ini, dan kulihat itu disia-siakan. Seluruh generasi memompa gas,
menunggu meja, atau jadi budak berdasi. Iklan membuat kita mengejar mobil dan
pakaian, mengerjakan pekerjaan yang kita benci supaya kita bisa membeli
barang-barang yang tidak kita butuhkan. Kita adalah anak-anak sejarah, tanpa
tujuan atau tempat. Tak ada perang besar, tak ada depresi besar. Perang besar
kita adalah perang spiritual. Depresi besar kita adalah hidup kita sendiri.
Kita dibesarkan untuk percaya suatu hari jadi jutawan dan bintang rock, tapi
sebenarnya tidak. Dan kita mempelajari fakta itu dan kita menjadi sangat
marah.(Taylor Durden, “Fight Club”)
Sekelumit orasi yang dilontarkan tokoh Tyler
Durden—yang diperankan Brad Pitt—dalam film “Fight Club” di atas memaparkan
potret kegelisahan dan krisis makna hidup di masa kini. Krisis yang terjadi
ketika konstruksi sosial diobjektivikasi kemudian diinternalisasi kepada setiap
individu, namun ternyata tak memberikan jawaban yang memuaskan akan arah dan
makna perjalanan hidup manusia. Umumnya, sebagian besar manusia terjebak
kedalam kegilaan-dalam-semantik-baru, yaitu bangun pagi, pergi ke kantor,
pulang, menonton televisi, kemudian tidur, dan terus berputar seperti itu
hingga berakhir pada masa pensiun, masuk panti jompo, dan mati—terkadang diselingi
pernikahan dan beranak pinak. Krisis makna hidup senantiasa melintasi setiap
fragmen peradaban dan menyentuh setiap sisi roda sejarah dengan cirinya
masing-masing. Sinisme Tyler Durden di atas sebenarnya memperlihatkan
bentuk-baru-isi-lama dari krisis makna hidup di alam (pos)modern.
Hal lainnya yang menjadi ciri zaman sekarang
adalah peran rasionalitas dalam segenap elemen kehidupan yang berakar dari
berbagai pemikiran Renaissans. Secara pemikiran, modernisme dimulai di Eropa
bersamaan dengan awal gelombang pasca Renaissans. Sebuah Pencerahan. Ia adalah
Era Baru yang terlahir dari luka atas dominasi gereja yang membuat manusia
terpenjara dalam dogma dan pikiran hidup untuk mati semata. Luka tersebut
melahirkan antara lain moralisme sekuler, humanisme, individualisme,
rasionalisme dan kepercayaan akan progresivitas atau kemajuan sejarah.
Kini, kepercayaan akan progresivitas tersebut
telah menjelma menjadi kecepatan yang merupakan bagian dari obsesi modernisme,
yaitu untuk mencapai the limit of experience, untuk senantiasa
mencari kebaruan—asal kata modern sendiri berasal dari modo yang
berarti ‘barusan’—hingga ujung ekstremnya. Seringkali belum selesai suatu
produk modernitas dicerna, telah datang serangan gelombangkebaruan berikutnya.4 Berbeda
dengan masyarakat modern yang disebut sebagaihot society oleh
Levi-Strauss, cold society atau masyarakat tradisional hidup
dalam perubahan yang lambat dan elemen-elemen peradabannya pun tidak sekompleks
masyarakat modern, serta memutar siklus hidupnya dalam lingkaran tradisi yang
berulang dan senantiasa dijaga kesuciannya. Namun, pandangan akan kemandegan di
masyarakat tradisional sebenarnya juga terjadi di masyarakat modern dalam
bentuk yang lebih sophisticated. Siklus tersebut bernama rutinitas
hidup yang dilakukan dengan pengurasan energi secara intensif, baik
dalam ritme linier maupun chaos, hingga mengkristal menjadi disiplin
tubuhyang semakin halus serta menguasai kesadaran.
Segenap energi manusia modern dicurahkan untuk
mencapai tujuan dan hasil yang selalu terwujud dalam bentuk yang ternyata jauh
melampaui apa yang dipikirkannya. Pengurasan energi massal tersebut kemudian
membentuk ritme yang secara kolektif mengkristal menjadi rutinitas kerja, yang
menguasai tubuh-tubuh manusia modern, mengkonstruksi kesadarannya, menentukan
arah tujuan beserta visinya untuk mencapai kebaruan, progres demi progres.
Spesialisasi dan profesionalitas kerja, pada tingkatan lanjut, telah membuat
manusia menjadi pekerjaannya itu sendiri, terobsesi dengan perjalanan karir
yang akhirnya menjadi hidup dan matinya. Pekerjaan dan karir seakan menjadi
harapan ultima, sumber makna hidup, alasan keberadaan di muka bumi bagi
tubuh-tubuh modern yang didisiplinkan dalam ritme produksi-konsumsi. Marx
pernah mengingatkan masalah ini dalam pandangannya mengenai alienasi. Semangat
untuk senantiasa membuat kebaruan dalam modernisme—yang berakar dari
kepercayaan akan progresivitas sejarah—pada akhirnya mencapai kebuntuan.
Di sisi lain, rasionalitas sebagai anak
Pencerahan seringkali berposisi sebagai penjelas tunggal dari segala
permasalahan kemanusiaan. Rasionalitas tak ubahnya bola yang segenap
permukaannya menghadap ke segala arah. Rasionalitas mencoba menjawab kembali
semua pertanyaan yang selama ini dianggap telah disediakan jawabannya oleh agama.
Namun, rasionalitas—dengan filsafat modern sebagai ujung tombaknya—tetap
berdiri pada “tubuh sebagai landasan material” dalam penalarannya dan menolak
adanya hierarki realitas. Selain itu, rasionalitas juga kerap kali menolak
semua klaim universalitas namun diam-diam mentahbiskan dirinya sebagai Sang
Universal untuk menilai segala hal, atau mengkritik sesuatu sambil mengambil
posisi aman kebal kritik (semacam performative contradictions).
Maka tampillah posmodernisme sebagai reaksi terhadap permasalahan tersebut.
Posmodernisme—walau belum bisa dikatakan
sebagai era tersendiri—muncul dalam tiga wilayah dengan cirinya masing-masing.
Dalam bidang seni, posmodernisme muncul karena kebuntuan akan kebaruan—yang
menjadi semangat seni modern—hingga mencapai titik ekstrim dan nihilitasnya.
Setelah seorang seniman memamerkan kotorannya sendiri di galeri, atau seniman
yang menembak kepalanya sendiri pada puncak pertunjukannya, atau juga ‘sampah-sampah’
yang disusun dan dipamerkan di galeri menjadi karya seni bernama instalasi,
maka yang terjadi adalah absurditas dan nihilisme dari seni itu sendiri
terutama pada nilai serta arti dari kata “estetika”. Seni pun kemudian
mencampur-adukan berbagai gaya dalam satu karya seni untuk menciptakan kebaruan.
Dalam wilayah filsafat muncul kekecewaan atas proyek Renaissans yang ternyata
menghasilkan dua kali Perang Dunia, genocide, dan berbagai
peristiwa di mana kemanusian diinjak-injak. Selain itu, adanya dominasi Narasi
Besar di segenap kebudayaan telah membangkitkan penghargaan terhadap
narasi-narasi kecil yang selama ini terpinggirkan. Semiotika pun menolak makna
tunggal yang kaku dan beku, digantikan dengan sebuah kenikmatan akan penandaan
yang terbuka dan kreatif. Sedangkan dalam wilayah sosial muncul
fenomena hiperealitas serta konsumerisme yang mencapai titik ekstrimnya, yaitu
ketiadaan makna. Masyarakat yang dikuasai dan didikte oleh media, memuja tubuh
dan kemajuan dalam bentuk konsumsi atas produk-produk terbaru serta fashion,
tenggelam dalam ekstase informasi. Hal tersebut menjadi semacam modus baru
banjir bandang Nabi Nuh.
Keberhasilan posmodernisme, ternyata hanya
terjadi pada penampakan luarnya saja. Bahkan dapat dikatakan bahwa
posmodernisme terjerembab hanya menjadi ekstremitas dari modernisme. Setelah
kehilangan makna dalam kehidupan modern yang mendasarkan diri pada rasionalisme
habis-habisan, manusia malah terjebak pada ekstrimitas berikutnya, yaitu,
materialisasi segenap hasrat menjadi hasrat kebendaan ekstrim yang diangankan
dapat membebaskan manusia dari represi psikis sehingga meraih kebahagiaan.
Di sisi lain, agama yang diyakini banyak orang
dapat memberikan makna bagi kehidupan manusia, kini kerap kali tampil dalam
jubah formal, dalam status sosial belaka. Bahkan ajaran-ajarannya pun dianggap
surut menjadi sekadar aspek-aspek ritual formal yang dangkal dan tanpa visi.
Lalu muncullah New Age sebagai tawaran jalan keluar dari kehampaan
makna, tanpa jubah eksklusivitas dan simbol agama tertentu. Banyak juga yang
mengikutinya: bermeditasi, yoga, bertirakat atau mengikuti kajian-kajian
spiritual lintas agama. Sayangnya, hal itu lebih tepat dikatakan sebagai terapi
dan wacana ketimbang spiritualitas murni. Spiritualitas menuntut kesungguhan sepanjang hidup,
keberserahdirian total tanpa syarat, bukan sekadar obat di kala gundah,
pelarian di kala risau, dan pemuas intelektualitas.
Selain itu, baru-baru ini—setelah kemunculan
IQ dan EQ—muncul sabda mutakhir dari wacana Barat berupa SQ (Spiritual
Quotient atau kecerdasan spiritual) yang diklaim sebagai kecerdasan
ultima. SQ, menurut Danah Zohar dan Ian Marshall, adalah kecerdasan yang
membuat manusia dapat memaknai hidupnya menjadi lebih berarti. Konsekuensi
halus tak teraba dari SQ ini adalah bahwa SQ lebih tampak sebagai suatu upaya
terapi bagi diri yang kehilangan makna hidup. Bahkan, pemaknaan tersebut dapat
pula berlangsung dengan suatu cara yang arbitrer, karena pada dasarnya Zohar
dan Marshall sama sekali tidak berbicara mengenai sesuatu yang spiritual (dalam
pengertian yang berkaitan dengan ketuhanan maupun keberagamaan).
Kemunculan kecerdasan ketiga ini
ternyata cukup mendapatkan sambutan dan antusiasme dari khalayak Indonesia yang
tampaknya sedang dan selalu menanti pengakuan terhadap spiritualitas dari
(wacana) Barat. Berbagai tulisan mengenai SQ ini pun marak di media-media
cetak, selain rangkaian seminar atau kursus tentang hal ini. Bahkan posting
e-mail di awal tulisan ini pun memberikan tawaran “Melejitkan
kecerdasan spiritual (SQ) dengan membuka akses langsung ke sumber SQ itu
sendiri.” Permasalahannya, apa yang mau diolah dari SQ kalau landasan
epistemologisnya lebih terkesan mengada-ada.
SQ adalah kecerdasan akan proses
pemaknaan yang tidak memiliki hubungan penting dengan agama. Suatu
kecerdasan yang tidak hanya mengenali nilai-nilai—dan tentunya pula makna—yang
telah ada, namun juga kreatif dalam menemukan kebaruannya. Namun, dalam
masyarakat kontemporer, pembalikan dan penemuan hal-hal baru adalah sesuatu
yang lumrah terjadi dan seringkali subversif, karena—meminjam istilah Deleuze
dan Guattari—terjadi pembiakan mesin-mesin hasrat yang saling terhubung dan
menciptakan pelipatangandaan permainan hasrat, dan, dalam hal ini, adalah
hasrat akan kenikmatan penandaan.
Sebuah tanda menjadi bermakna ketika penerima
tanda memahami apa makna atau petanda dari tanda tersebut, namun, ketika
maknanya tidak terpahami, maka sesuatu tersebut tidak menjadi tanda. Namun,
dalam memahami sebuah tanda, penerima tanda akan mencoba menafsirkannya dengan
segenap pengalaman psikis maupun budaya yang membentuk pemahamannya mengenai tanda
tersebut. Terkait dengan SQ, Zohar dan Marshall mengutip perkataan Rumi dan
Ibnu ‘Arabi untuk menunjukkan sesuatu yang melampaui agama dan bentuk-bentuk,
sekaligus mengklaim keberadaan SQ melalui kedua shufi tersebut. Namun, tentu
saja apa yang Zohar dan Marshall pahami dari perkataan kedua orang tersebut
dilandaskan pada segenap penafsirannya yang terbentuk dalam kondisi psikis dan
budaya Barat (yang cenderung materialistik)—serta pencocokan terhadap kerangka
kerja SQ yang sedang digarapnya—dan bukan berdasarkan pengalaman dan
pengetahuan mistik sebagaimana yang dialami kedua shufi tersebut.6
Terkait dengan permasalahan agama, inti dari
agama—yang juga menjadi benang merah pada setiap agama kuno di Barat dan
Timur—adalah proses pengenalan diri yang akan mengantarkan kepada pengenalan
akan Yang Satu. Agama adalah state yang tetap terjaga (conserve)
dalam perjalanan waktu, bukan semata suatu lembaga yang terorganisir dengan
seperangkat aturan, ritual dan kepercayaan. Dan spiritualitas adalah inti
religiusitas dalam artiannya yang terdalam, sebagaimana yang dimaksudkan dan
dialami oleh para shufi, seperti Rumi dan Ibnu ‘Arabi, misalnya. Karena itu,
adalah suatu kesejalanan yang terlalu mengada-ada apabila spiritualitas-mistik
disandingkan dengan SQ. Apa yang diajukan oleh Zohar dan Marshall tidak lebih
hanya proses pemaknaan yang memang tidak selalu memiliki
hubungan penting dengan agama, terlebih dengan dimensi esoteris.
SQ bukanlah kecerdasan par excellence,
tapi lebih kepada usaha terapi diri dalam memaknai setiap tindakan dan hidup
melalui suatu proses penandaan. Proses pemaknaan tersebut dilakukan untuk dapat
menentramkan dan memberi jawaban atas berbagai masalah eksistensial yang
sebenarnya berasal dari alam bawah sadar berupa berbagai kompleks. Kemunculan
SQ bukanlah isyarat telah munculnya jembatan penghubung antara sains dan agama.
SQ lebih merupakan upaya diskursus Barat untuk mengintegralkan pandangannya
mengenai manusia dengan segala sesuatu yang selama ini seringkali luput dari
perhatian sains dengan tetap menjadikan tubuh sebagai basis materialnya. Dalam
konteks spiritualitas Islam, SQ tidaklah memiliki arti yang besar.7
Selain itu, muncul juga simulakra
mistisisme—seperti yang disinyalir oleh Richard Kirby—yaitu, sebuah titik balik
ketika spiritualitas hanya menjadi semacam terapi untuk menyiapkan dan
mengembalikan manusia kepada pola hidup hedonisnya, pada hasrat-hasrat
kebertubuhannya. Kirby juga menggunakan istilah ekstase—yang dianggap sebagai
ciri khas mistisisme—untuk fenomena yang dipandangnya menyerupai “ekstase”
namun dialami dalam suatu cara yang tidak bersifat religius. Tentunya “ekstase”
dalam dua keadaan yang bertolak belakang tersebut sangatlah berbeda dalam
pengalaman serta kualitas transformasinya. Pengertian “ekstase” dalam kategori
simulakra mistisisme serupa dengan yang diutarakan oleh Baudrillard sebagai
titik ekstrem ketika manusia menghilangkan semua makna hingga menjadi
kehampaan. Sedangkan pengalaman spiritual dalam mistisisme (sejati) adalah
“fana”, yaitu leburnya kehendak manusia dalam Kehendak Tuhan setelah menjalani
proses purifikasi yang panjang. Terlebih lagi, Jalan spiritual—yang biasa juga
disebut mistisisme (dari bahasa Yunani myein8 Jalan
spiritual merupakan “arus
besar keruhanian yang mengalir dalam semua agama”9 yang dalam
Islam disebut dengan tashawwuf.
Beberapa tahun belakangan ini, muncul juga
fenomena antusiasme terhadap tashawwuf yang umumnya dipicu
oleh kehampaan makna hidup. Kehampaan makna hidup tersebut oleh Viktor Frankl
diistilahkan dengan neurosis noogenic, yang membahas berbagai
gejala gangguan neurosis yang bermula dari hidup tak bermakna
berupa “perasaan bosan, jenuh, hampa, putus asa, kehilangan minat dan
inisiatif, hidup dirasakan sebagai suatu rutinitas belaka, tugas sehari-hari
dirasakan sangat menjemukan, kehilangan gairah kerja, merasa tak pernah
mencapai kemajuan, sikap acuh tak acuh, menipisnya rasa tanggung jawab terhadap
diri sendiri dan lingkungan, serta merasa tak berdaya menghadapi kehidupan.”10
Neurosis noogenic senantiasa terjadi dalam
setiap fase sejarah umat manusia. Gejala tersebut menyembul dari pertanyaan
manusia tentang keberadaannya di muka bumi ini—yang tak pernah dimintanya.
Boleh jadi gejala tersebut lebih sering terlihat di masyarakat kontemporer
perkotaan, disebabkan ritme kehidupan yang begitu cepat serta semangat
materialisme. Namun, pada dasarnya, pertanyaan-pertanyaan mengenai hidup itu
sendiri adalah pertanyaan setiap manusia yang terlahir ke muka bumi ini. Banyak
kritikus-budaya kontemporer dalam uraian-uraiannya menyiratkan kaitan
antara neurosis noogenic dengan perkembangan zaman, yaitu efek
dari kemajuan yang lebih menekankan pada berbagai aspek material dan
mengenyahkan aspek yang imaterial. Pertanyaannya, apakah dalam sejarah
kemanusian yang terjadi adalah kemajuan?
Kebaruan dan perubahan terjadi dalam skema
fraktal: sejak tingkatan peradaban manusia hingga pada tingkatan individu itu
sendiri. Perubahan, karenanya, adalah kata yang lebih netral untuk
menggambarkan sejarah manusia hingga hari ini, bukan kata kemajuan. Kata
kemajuan mengisyaratkan bahwa suatu masa lebih baik daripada masa yang lainnya,
suatu masa lebih beradab daripada masa yang lainnya. Pikiran tersebut tidak
sejalan dengan kemanusiaan itu sendiri, karena manusia, seperti yang
diungkapkan Levi-Strauss, selalu berpikir dengan kualitas yang sama juga dan
pikirannya tidaklah berkembang sebanyak penemuan area baru pengetahuan di mana
“unchanged and unchanging power” dari pikirannya mungkin diterapkan.11
Proposisi tersebut menandaskan bahwa
kompleksitas permasalahan yang dihadapi setiap manusia di setiap zaman pada
dasarnya adalah sama, sedangkan yang berbeda hanyalah manifestasinya saja. Apa
yang terjadi pada umat manusia saat ini hanyalah satu fragmen dari sejarah
panjang umat manusia dalam kualitas yang tetap sama.
Krisis Makna Hidup dan
Fenomena Demam Tashawwuf
Di Indonesia, proyek modernisasi—nama lain
dari “pembangunan nasional”—telah dicanangkan beberapa dasawarsa yang lalu,
namun tanpa diduga, krisis pun dimulai pada pertengahan tahun 1997. Krisis di
bidang moneter yang berpengaruh kepada krisis ekonomi dan politik di
Indonesia—dan juga di beberapa negara Asia lainnya—telah menyebabkan
terhambatnya proses modernisasi. “Setiap sistem memiliki daya tahan maksimum
dalam memikul sebuah beban; jika daya tahan maksimum tersebut terlampaui maka
sistem akan berubah perilakunya”, begitu postulat yang diajukan oleh Danny Daud
Setiana.12 Maka reformasi pun mulai digaungkan, akan tetapi
wajah masa depan negeri ini masih tetap buram, keraguan akan perbaikan tetap
menghinggapi segenap lapisan masyarakat. Ironisnya, semua rasa pesimisme
tersebut justru muncul menjelang kedatangan milenium ketiga yang sebelumnya
sering dikatakan sebagai Milenium Asia, Kebangkitan Asia atau Renaissans Asia.
Dan kini krisis tersebut semakin diperlengkap dengan teror
bom, kerusuhan dan berbagai bencana alam yang terjadi di awal milenium ketiga
ini.
Krisis multidimensi yang berbarengan dengan
gelombang reformasi tersebut telah membuka banyak katup yang selama ini
tersumbat pada masyarakat Indonesia, namun memuncak dalam histeria dan
ekstrimitas akan segala sesuatu. Dalam kondisi di mana kemajuan dan
keberhasilan hidup lebih banyak diukur dari seberapa jauh manusia mendapatkan
dan menguasai materi, maka kesuksesan hidup pun diidentikkan dengan mewujudkan
impian dalam bidang materi, sehingga manusia pun berusaha menampilkan dirinya
agar dapat dipandang sebagai orang yang mempunyai kemampuan materi, yang pada
akhirnya cenderung menyebabkan manusia kehilangan makna dalam hidupnya.13
Krisis moneter telah membuat banyak orang
terpukul dan terjatuh. Dalam hal ini, agama pun dilirik sebagai jawaban untuk
masalah-masalahnya. Sebuah kehausan spiritual. Namun wajah agama yang
ditawarkan pun beragam, mulai dari yang formal, kaku dan sangat harfiah dalam
memahami segala hukum agama, hingga tashawwuf yang dipandang
kaya dengan berbagai konsep, berdimensi esoteris, dan dapat membantu manusia
agar dapat menenangkan kegelisahan serta neurosis noogenic yang
mencekamnya.
Majalah Tempo sejak tahun 1991 telah
menurunkan laporan mengenai demam tashawwuf tersebut (yang jelas
bukan karena dampak krisis moneter yang baru melanda Indonesia pada pertengahan
tahun 1997). Biasanya ketika makna agama menjadi terdistorsi atau mengalami
pendangkalan sehingga cenderung formalistik, maka nuansa esoteris tashawwuf dianggap
dapat menghidupkan kembali semangat keagamaan yang telah mengering. Belakangan
ini, fenomena tersebut memang semakin meningkat dengan adanya
kursus-kursus tashawwuf, penerbitan buku-buku, majalah serta jurnal
yang banyak membahas mengenai tashawwuf dan laris manis di pasaran.
Situs serta mailing-list tashawwuf di internet pun
penuh diisi oleh para surfer, juga mulai ada siaran radio dan
televisi yang menyiarkan program-program pengkajian tashawwuf.
Kegiatan-kegiatan tersebut makin sering diikuti oleh para eksekutif,
selebritis, dan akademisi. Padahal dulunya tashawwuf dipandang
lebih merupakan ekspresi keberagamaan masyarakat pedesaan. Pendek kata, tashawwuf seakan
telah menjadi ekspresi fenomena keagamaan (Islam) dewasa ini di sebagian
masyarakat perkotaan. Namun, dunia kontemporer adalah dunia yang potensial
untuk menjadikan apa pun sebagai komoditi dan tontonan, didorong oleh hasrat
karnal dan libidinal.
Di wilayah ilmiah, tashawwuf pun
digolong-golongkan dengan penambahan titel klasik dan modern.
Misalnya, kini marak pula apa yang disebut sebagai Tasawuf Modern, Sufisme
Modern, Neo-Sufism, atau belakangan disebut pula dengan Tasawuf
Positif. Tashawwuf klasik, walau tetap mementingkan
pemahaman esoteris dari setiap ibadah formal yang dilakukan, masih sering dicap
cenderung menarik diri dari kehidupan dunia. Sedangkan tashawwuf
Pemahaman dan penggolongan tashawwuf dengan
cara seperti ini sedikit banyak dipengaruhi oleh sikap anti thariqat yang
dipandang sebagai Jalan yang diikuti oleh para shufi masa lalu. Thariqat dipandang
hanya berlandaskan pada ketaqlidan buta terhadap mursyid sebagai pembimbing
spiritual. Bahkan kini pun muncul slogan “Tasawuf Yes, Tarekat No”.
Permasalahannya, dari pandangan seperti itu terlihat bahwa kini jarang ada yang
memahami apakah sebenarnya thariqat itu, dan lebih terbetot
perhatiannya pada ekses-ekses yang dipandangnya ‘negatif’.14
Thariqat
sebenarnya adalah bagian khusus dari tashawwuf, yaitu aspek
operasionalnya. Thariqat merupakan sikap hidup di
dunia, terjun ke dalam ‘lautan’ dunia, berinteraksi dan beraktivitas dengan
manusia, namun jiwanya tidak ‘terbasahi’ oleh dunia. Inilah yang disebut dengan
sikap zuhud, yaitu tidak mengisi hati dengan kecintaan terhadap dunia.15
Thariqat sebenarnya memiliki tiga tujuan.
Tujuan pertama adalah menjadi al-muthahharuun, suatu tingkat
kesucian bayi. Pada tingkatan ini, barulah seseorang salik (pejalan thariqat)
dapat ‘menyentuh’ dimensi batin Al-Quran yang bahkan berdimensi hingga tujuh
lapis. Tingkatan ini disebut juga sebagai rahmat pertama. Tujuan kedua adalah
bertemu diri, atau ma‘rifat. Pada tingkatan inilah seseorang baru
dapat mengenal diri otentiknya dan mengetahui misi hidupnya di muka bumi. Pada
tingkatan inilah seseorang digelari sebagai syuhada (bisa juga dengan cara mati
syahid). Dan di tingkatan inilah seseorang baru dikatakan mengerti hakikat
syahadat (bagaimana bisa tingkatan seperti ini bisa dicapai hanya dalam satu
kali training?). Pada tingkatan inilah Ruh Al-Quds berbicara
di balik jiwa, seperti melihat matahari di balik film yang memfilter cahayanya
yang dapat membutakan mata. Ruh Al-Quds mengingatkan kembali
jiwa dengan perjanjian terhadap Tuhan (QS Al-A’raaf [7]: 172) dan
penetapan qadha dan qadarnya.16 Tingkatan
ini disebut juga sebagai rahmat kedua. Tugas seorang mursyid hanya sampai di
tingkatan ini, karena untuk berikutnya yang akan menjadi mursyid adalah Ruh
Al-Quds, yang akan menjadi penasehat dan pembimbing dalam menjalankan misi
hidupnya. Adapun tujuan thariqat yang ketiga adalah menjadi
hamba-Nya yang didekatkan (qarrib).
Konon wacana mengenai tashawwuf baru
menghangat setelah tahun 1985, walaupun sebenarnya tashawwuf telah
masuk ke Indonesia jauh sebelum itu, yaitu di masa penyebaran Islam di Tanah
Jawa yang dilakukan oleh Wali Sanga. Saat ini buku dan wacana tashawwuf telah
berkembang pesat, dan tampaknya akan terus berkembang seiring dengan antusiasme
masyarakat yang juga semakin meningkat. Namun, pemiskinan pemahaman pun cukup
potensial untuk terjadi. Salah satu wacana tashawwuf yang
muncul dengan imbas semangat kesesaatan (instant) atau kesementaraan,
misalnya, adalah training dan kiat-kiat praktis yang terlalu mereduksi dan
menyederhanakan hakikat tashawwuf. Walau antusiasme terhadap tashawwuf pada
masyarakat perkotaan umumnya dikarenakan neurosis noogenic, namun,
adalah keliru menganggap tashawwuf sebagai terapi untuk menenangkan
diri, obat atas kegelisahan karena—sebagaimana disabdakan Rasulullah
Saw—kegelisahan adalah tanda adanya dosa.
Thariqat merupakan
perjalanan kembali kepada Tuhan untuk dapat menemukan diri otentik dan misi
hidup tiap-tiap individu. Namun, perjalanan kembali ke Tuhan mewajibkan
berbagai ujian berat yang harus dilalui hingga jiwa manusia ditempa menjadi
kuat. Tak ubahnya, api yang membakar logam hingga merah membara agar dapat
dibentuk menjadi sesuatu yang berguna. Dengan tempaan ujian tersebut, maka sang
individu pun siap menerima amanah berupa misi hidup dalam posisi percaya
dan dipercaya. Ketenangan sebagaimana yang diinginkan banyak orang, dalam
tradisi tashawwuf lebih sering dipandang sebagai isyarat bahwa
Tuhan tidak lagi peduli terhadap manusia bersangkutan. Isyarat bahwa Tuhan
membiarkan seseorang hanya mendapatkan bagian di dunia saja, dan tidak di
akhirat nanti. Namun, saat ini banyak sekali ungkapan yang menyatakan bahwa
kegunaan untuk mempelajari tashawwuf adalah untuk mendapatkan
ketenangan dan terapi dari masalah kehidupan sehari-hari. Padahal, sejak
dulu tashawwuf adalah jalan yang mewajibkan adanya ujian dalam
setiap detik kehidupan. Ketenangan yang ada dalam tashawwuf adalah
tidak goyahnya hati dalam menghadapi setiap permasalahan yang datang, menyambut
masalah dan ujian sebagai jubah keagungan. Ujian itu hukumnya wajib bagi para
salik yang akan berjalan menuju Tuhannya.
Posisi tashawwuf sebagai
terapi untuk mencari ketenangan (semu) seringkali berakhir ironis. Tak ubahnya
memperbaiki mobil yang telah rusak karena kebut-kebutan dan akhirnya tabrakan,
agar dapat dipakai lagi untuk hal yang sama, dan senantiasa berulang begitu.
Semacam siklus lingkaran setan. Tashawwuf seakan menjadi tawaran
aktivitas di antara aktivitas hedonis lainnya, dan seolah berfungsi untuk
memulihkan kembali energi bagi aktivitas lain yang telah kehabisan energi yang,
bisa jadi, sama sekali berlawanan dengan semangat spiritualitas tashawwuf.
Para selebritis, misalnya, seringkali tampil ironis, dengan tubuh sebagai
komoditi yang ditawarkan kepada jutaan mata pemirsa untuk ditonton (karnal) dan
meraih popularitas seluas-luasnya (libidinal). Selama sebelas bulan tampil
melepas hasrat, dan selama Ramadhan mendadak tampil religius atas pesanan. Para
eksekutif yang terobsesi dengan keuntungan dan karir memompa seluruh energinya
untuk mendapatkan kesuksesan karnal dan libidinal. Apabila kemudian muncul kegelisahan,
maka tashawwuf dipakai sebagai terapi pembangkit semangat.
Di sisi lain, secara ilmiah, kini tashawwuf pun
digolong-golongkan ke dalam berbagai tipe wacana, seperti tashawwuf akhlaqi
atau tashawwuf filosofis, bahkan ada pula mengistilahkannya
dengan Jalan Cinta (Path of Love) dan Jalan Pengetahuan (Path of
Knowledge). Dalam tradisi wacana modern, hal tersebut merupakan sesuatu
yang positif, yaitu suatu kreativitas dalam mencipta konsep-konsep. Namun,
berbeda dengan tradisi spiritualitas, konsep sebenarnya lebih diarahkan sebagai
mimesis dari Kebenaran, sebagai imaji pemikiran, sebagaimana yang disarankan
oleh Plato. Untuk kajian akademis, penggolongan tersebut memang berguna, namun
dalam Jalan spiritual bisa lain masalahnya.
Perbedaan di kalangan shufi—yang telah sering
dibukukan—sebenarnya hanyalah sebatas peristilahan, bukan konsep. Ajaran-ajaran
yang ditulis oleh para shufi besar tak ubahnya televisi dengan berbagai macam
tipe bentuk dan ukuran, namun kesemuanya menayangkan satu siaran dari stasiun
televisi yang sama. Tak ubahnya air yang mengambil bentuk wadahnya, sehingga
tampak berbeda bentuk, padahal esensinya tetaplah air. Tak ada perbedaan antara
satu sama lainnya karena pengetahuan mereka lahir dari keberserahdirian total.
Yang membedakan adalah wadah pembahasaannya. Seorang Suhrawardi atau Mulla
Shadra yang ketika muda lebih terbiasa dengan wacana filsafat, ketika
membahasakan tashawwuf akan menggunakan bahasa-bahasa
filsafat. Karena itu, untuk zaman sekarang, apabila muncul kembali shufi sekaliber
Ibn ‘Arabi atau Rumi yang ketika mudanya terbiasa dengan wacana sains, bukan
tidak mungkin pembahasannya tentang tashawwuf akan menggunakan
bahasa-bahasa sains.
Selain itu, pengetahuan mistik yang berasal
dari Satu Sumber bagi para shufi lebih berfungsi untuk meningkatkan hakikat ‘ubudiyyah. Inilah perbedaan yang cukup
mencolok dengan wacana Tasawuf Modern. Kecenderungan wacana tersebut adalah
melakukan klasifikasi dan mencari berbagai perbedaan di antara ajaran-ajaran
tersebut secara kreatif untuk penciptaan konsep-konsep baru, dan seringkali
tidak langsung diniatkan sebagai Jalan spiritualitas. Hal ini terlihat
cukup jelas dengan tidak adanya lagi karya-karya tashawwuf yang
kualitasnya sebanding dengan karya-karya para shufi terdahulu,
seperti Fushush Al-Hikam dari Ibnu ‘Arabi, Al-Hikam dari
Ibnu Atha’illah, Ihya ‘Ulumuddin dari Imam Al-Ghazali, Hikmah
Muta’aliyyah dari Mulla Sadra, Al-Mawaqif wal Mukhathabat dari
Imam An-Nifari, dan banyak lagi yang lainnya. Apabila para shufi zaman dulu
menulis karyanya dari hasil berthariqat, mencapai ma‘rifat,
dan menemukan al-‘ilm at-tasawwur-nya serta dianugrahi nur ilmu, setelah
sekian tahun jatuh bangun dalam berbagai ujian kehidupan dan menjalani misi
hidupnya, maka wacana tashawwuf hari
ini lebih didominasi oleh wacana-wacana rasional tanpa pengalaman dan
pengetahuan mistik.17
Tashawwuf, Struktur Insan, Misi
Hidup
Apabila kita pergi ke toko-toko buku yang juga
menjual buku-buku tashawwuf, akan kita dapati jumlah terbitan
buku tashawwuf yang lumayan banyak untuk ukuran Indonesia yang
masyarakatnya terkenal malas membaca. Sudah cukup banyak manuskrip tashawwuf klasik
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Belum lagi kajian tashawwuf dari
para penulis lokal maupun Islamolog Barat. Terlebih apabila kita menjelajahi
situs amazon untuk mencari buku dengan subjek tashawwuf, maka data
yang disuguhkan bisa mencapai ribuan judul buku. Namun, dari kesemua
kajian tashawwuf yang ada, rasanya belum pernah ada yang
membahas ihwal misi hidup, padahal misi hidup termasuk ajaran inti tashawwuf.18 Permasalahan
misi hidup merupakan perkara yang paling mendasar dalam kehidupan manusia. Adakah inti Ad-Diin selain
manusia menemukan misi hidupnya, mengetahui dan menjalankan maksud dan tujuan
Tuhan menciptakannya? Itulah inti dari ajaran agama baik itu Hindu, Budha,
Yahudi, Nasrani, maupun Islam.19 Bagaimana sebenarnya misi
hidup dalam tashawwuf?
Ali bin Abi Thalib menyebutkan bahwa “Awwaludiina
Ma‘rifatullah” (Awal dari Ad-Diin [agama] adalah ma‘rifatullah).
Kemudian ditegaskan pula oleh Al-Ghazali bahwa “kemuliaan dan keutamaan
manusia… adalah disebabkan persediaannya ma‘rifatullah (mengenal Allah)…di
mana ma‘rifatullah itu di dunia adalah keelokan, kesempurnaan
dan kebanggaannya manusia, dan di akhirat adalah sebagai alat dan simpanannya.”
Adapun ma‘rifat itu sendiri adalah dengan apa
yang disabdakan oleh Rasulullah, “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu,”
(Barangsiapa yang mengenal nafs-nya, maka sungguh ia akan
mengenal Rabb-nya). Rangkaian pernyataan di atas menegaskan relasi
yang erat antara Ad-Diin, ma‘rifatullah, ma‘rifatur-Rabb,
hingga ke ma‘rifatun-nafs. Bahwa pencapaian state Ad-Diin adalah
dengan menempuh urutan-urutan panjang sejak mengenali apa yang Tuhan hadirkan
secara unik dalam tiap jiwa atau nafs (ma‘rifatun-nafs),
mengenali Rabb (Sang Pemelihara) yang menetapkan kadar-kadar tertentu bagi
setiap nafs (ma‘rifatur-Rabb), hingga akhirnya mengenal
Tuhan (ma‘rifatullah). (bisakah tahapan-tahapan ini di-training-kan
hanya dalam sehari?)
Sedangkan ibadah sering dikaitkan dengan
metafora pemunculan buah (hasanah) dari sebuah pohon nafs yang unik
(lihat QS Ibrahim [14]: 24-25). Tuhan menetapkan benih yang spesifik kepada
tiap-tiap jiwa manusia untuk ditumbuhkan menjadi pohon dan buah yang sesuai
dengan benih tersebut (lihat QS Al-Israa’ [17]: 13). Beragamanya manusia
berkaitan dengan bagaimana pengabdian atau ibadah manusia sesuai dengan apa
yang Dia kehendaki (manusia menjadi kalimah Allah, kalimah Thayyibah [QS
Ibrahim [14]: 24]), sesuai dengan benih amal dan kemisian yang telah Dia
tetapkan sebelumnya pada setiap jiwa (QS Al-Israa’ [17]: 13) di alam persaksian
(QS Al-A’raaf [7]: 172). Misi hidup unik pada setiap individu merupakan suatu
perkara yang sering dibicarakan oleh para shufi masa lalu. Dalam banyak bagian karya
maupun ucapannya hal tersebut sering diungkapkan, hanya saja bukan dalam bentuk
rincian teknis pencapaiannya (katakanlah semacam buku how to, self-help,
atau do it yourself). Bahkan Rumi secara ekplisit pernah
mengutarakan hal ini:
Dan seseorang berkata, “Aku telah melupakan sesuatu.”
Sesungguhnya, hanya satu hal saja di dunia ini yang tidak boleh engkau lupakan.
Boleh saja engkau melupakan semua hal lain, kecuali yang satu itu, tanpa engkau
harus menjadi risau karenanya. Jika engkau mengingat semua yang lain, tapi
melupakan yang satu itu, maka tiada sesuatu pun yang telah engkau capai. Dirimu
itu bagaikan seorang utusan yang dikirim seorang raja ke sebuah desa dengan
suatu tujuan khusus. Jika engkau berangkat dan kemudian mengerjakan seratus
tugas lainnya, tapi lalai menyelesaikan tugas yang dikhususkan untukmu
tersebut, itu sama saja artinya dengan engkau tidak mengerjakan apa-apa.
Demikianlah, manusia diutus ke dunia ini untuk suatu tujuan dan sasaran khusus.
Jika seseorang tidak mencapai tujuan itu, berarti ia tidak menyelesaikan apa
pun. “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah itu kepada petala langit dan
bumi dan gunung-gunung: dan mereka menolak untuk memikulnya dan gentar
kepadanya; tetapi Al-Insan mengambilnya; dan sungguh, ia itu
dzalim dan bodoh.” (QS Al-Ahzab [33]: 72) 21
Pada kesempatan lainnya, Rumi pun menegaskan
kembali ihwal misi hidup ini:
Kau mempunyai tugas untuk dijalankan. Lakukan yang
lainnya, lakukan sejumlah kegiatan, isilah waktumu secara penuh, dan jika kau
tidak menjalankan tugas ini, seluruh waktumu akan sia-sia.22
Pada kenyataannya, sulit bagi manusia untuk
menumbuhkan benih kemisian tersebut jika tanah tempat tumbuhnya benih tersebut
merupakan tanah yang gersang, dan bumi diri yang kering dari hujan rahmat
Tuhan. Hanya dengan dua bagian rahmat-Nyalah [QS 57:28], yaitu (1) manusia
dapat menempuh jalan pensucian dan disucikan (Al-Muthahharuun) yang karena
kesuburan sang muthahharuun, maka (2) benih ketetapan-Nya dapat dikenali
(ma‘rifat) dan dipersaksikan (syuhada) untuk kemudian ditumbuhkan dan berbuah
(bagi sesama manusia dan bagi semesta alam), hingga jadilah manusia sebagai
kalimah-Nya. Misi nafs harus ditemukan dan dijalankan di bumi ini, tidak ada
perubahan dalam misi nafs karena bakat langit nafs merupakan fithrah yang tidak
berubah [QS 30:30], dan sebagian besar manusia tidak mengetahui ketetapan
dirinya karena hatinya dipenuhi dosa.
Meskipun setiap individu memiliki benih serta
misi yang spesifik dan unik, namun perlu dikaji pola yang umum berlaku dalam
rangka mencapai persaksian dan kedekatan dengan Tuhan. Pintu masuk menuju hal
ini adalah pada perkara bagaimana menemukan tatanan yang senantiasa tertanam
dalam diri manusia (innate), yaitu struktur insan dalam kaitannya dengan
perjalanan menuju Tuhan. Pemahaman tentang struktur insan amat berpengaruh
dalam membentuk struktur keberagamaan, karena manusia adalah makhluk yang
berproses dan berkembang, baik lahir maupun batin di mana proses tersebut ada
polanya. Pola proses inilah yang amat penting dipahami seorang salik, sehingga
dia bisa mengukur posisi perjalanannya menuju Tuhan dan membangun
keberagamaannya dengan struktur yang benar sesuai kehendak Tuhan. Proses ini dikenal di kalangan
kaum shufi dengan istilah ‘uruj (mi’raj), yaitu
proses berpindahnya atau naiknya kesadaran manusia, dari satu kesadaran ke
kesadaran lain sehingga faktor kendali kehidupan seseorang senantiasa berpindah
sejalan dengan ‘uruj.23

Pemahaman tentang Struktur Insan selain
ditujukan untuk mengidentifikasi keberadaan entitas-entitas tersebut, utamanya
adalah demi memahami mekanisme ‘uruj ini. Bahwa keberagamaan seseorang dibangun
dengan pola tumbuh dan hadirnya nafs-qalb-‘aql-ruh secara nyata yang kesemuanya
diawali dari kesadaran bahwa semua entitas tersebut eksis dan ada wujudnya.
Memang pada awalnya manusia hanya menyadari keberadaan tubuhnya, dan umumnya
ide tentang nafs yang dipahaminya sangat kental terwarnai oleh pembahasan yang
ada dalam psikologi. Selain itu, dia pun akan banyak menggunakan
fakultas-fakultas jasadiah saja, serta menjadikan alam yang materialistik
sebagai bahan pembelajaran dan sumber informasi, seperti otak, nalar (rasio)
kemudian bagian-bagian lain dari kesadaran (consciousness) manusia yang hanya
merupakan aradh dari nafs. Kemudian dengan bertaubat, manusia pun berkesempatan
untuk menghidupkan nafsnya dan menjadikannya sebagai subjek belajar pada
tingkat nafs yang bahan pembelajaran dan sumber informasinya adalah alam
malakut. Begitulah seterusnya proses ‘uruj ini mengalir, hingga totalitas
kepribadiannya bertemu dengan Ruh Al-Quds yang merupakan utusan Tuhan.
Al-Ghazali mengatakan bahwa hakikat seseorang
ditentukan dari aspek tertinggi dalam dirinya, dan ‘uruj menunjukkan aspek
tertinggi yang eksis dalam diri seseorang. Awalnya manusia hanyalah seonggok
daging dengan kekuatan berpikir, karena dalam konteks kepribadian psikis,
manusia hanya eksis tubuhnya saja. Tetapi bila nafs seseorang telah hidup, maka
sebutan nafs tersebut juga melekat dalam totalitas kepribadiannya. Begitu juga
bila qalb-nya, dan kemudian ‘aql-nya, telah kembali. Dalam ‘uruj ini ada yang
sifatnya tumbuh dari dalam dirinya, ada pula yang berupa rahmat dari sisi Tuhan
yang diterimanya kelak. ‘Uruj dari Jasad sampai dengan ‘Aql, itu semua
merupakan potensi yang ada dalam diri manusia sejak lahir. Namun, potensi
tersebut belum berarti apa-apa sampai benar-benar berwujud dan eksis.
Dalam tashawwuf diuraikan bahwa manusia itu
terdiri dari tiga entitas utama, yaitu tubuh atau jasad, nafs dan Ruh Al-Quds.
Pengetahuan manusia tentang tubuh memang sudah lebih jauh daripada
pengetahuannya mengenai nafs karena pengertian nafs ini masih sering dikacaukan
pengertiannya dengan psikis. Psikis, dalam struktur insan, merupakan entitas
yang dihasilkan dari pertemuan antara tubuh yang dihidupkan karena nafakh ruh
dan nafs, dan hasilnya antara lain adalah ego dan hawa nafsu, otak dan syahwat.
Ego merupakan aspek kepala dari hawa nafsu (libidinal) sebagaimana otak
terhadap anggota tubuh; hawa nafsu adalah segala kecenderungan manusia terhadap
hal-hal yang sifatnya imateri seperti citraan, harga diri, kesombongan,
keakuan, dan lain sebagainya. Adapun tubuh ketika ia dihidupkan oleh nafakh ruh
maka muncullah suatu kecenderungan dalam dirinya terhadap segala sesuatu yang
“sebahan” dengannya, yaitu hal-hal yang sifatnya materi, seperti perempuan,
harta, binatang ternak dan lain sebagainya (lihat QS Ali ‘Imran [3]: 14);
kecenderungan ini disebut sebagai syahwat (karnal). Tubuh, dalam pandangan
tashawwuf, berasal dari “alam mulk (ardhiyah) yang merupakan manifestasi
terendah dari kehadiran Al-Haqq dalam alam syahadah”24 dan
“berperan sebagai kendaraan bagi nafs untuk menemukan Al-Haqq di bumi jagat ini
sebagai pelajaran pertamanya.”25
Sementara otak manusia merupakan bagian dari
fakultas tubuh yang terhidupkan bersamaan dengan tubuh dan akan berhenti
bekerja ketika tubuh mati. Otak (yang kerjanya disebut sebagai nalar) memiliki
keterbatasan dalam melihat dan memahami permasalahan, otak memiliki
kecenderungan untuk membatasi universalitas dari keuniversalan ide-ide ilahiah
atau juga berbagai permasalahan yang ada pada tingkatan malakutiyyah. Namun,
fatalnya, otak seringkali merasa bahwa dia adalah sebuah bola yang utuh
(seperti telah dikemukakan di atas) padahal ada bagian “bola” akal yang lain,
yaitu lubb. Lubb merupakan fakultas dari nafs yang hanya akan bekerja secara
holistik dalam memahami suatu persoalan yang biasanya bersifat hakikat. Selain
itu, lubb baru akan mulai berfungsi setelah qalbnya tercahayai dengan Cahaya
Tuhan dan nafs yang disucikan-Nya.
Mengenai ‘aql (atau lubb) Al-Ghazali
menguraikan pengertiannya yang bersekutu, yaitu, pertama, ‘aql yang diartikan
sebagai “pengetahuan hakikat” segala sesuatu, dan, tentu saja, bertempat di
qalb, dan, kedua, ‘aql dalam arti lathifah yang mampu mencerap hakikat segala
sesuatu. Dari uraian mengenai dua hal di atas tampaklah bahwa yang menjadi
objeknya adalah hakikat, dan yang dimaksud bukanlah akal empiris (otak), namun
akal atas yang disebut ‘aql atau lubb (orang yang memilikinya disebut sebagai
ulil ‘albaab). Akal itu seperti bola yang seluruh permukaannya menghadap ke
segala arah dan terbagi menjadi tiga bagian, yaitu akal bawah (pikiran, otak
dan ego), fu’ad (aspek dari akal atas) dan akal atas (‘aql atau lubb). Ad-Diin,
dalam hal ini, adalah persoalan yang baru dipahami jika keseluruhan “bola” akal
tersebut telah terbuka.
Ibnu ‘Arabi mengemukakan bahwa penilaian
(proposisi) yang beragam bukan hanya pengetahuannya saja, tapi juga jalan untuk
memperoleh pengetahuan itu sendiri. Secara umum manusia memperoleh pengetahuan
melalui lima indra dan satu akal yang didrive oleh ego sebagai aspek permukaan
fu’ad.26 Namun bagi manusia yang nafsnya telah hidup dan
qalbnya tercahayai, maka ada pula pengetahuan yang langsung masuk ke dalam qalb
tanpa melalui indra yang manapun. Suatu cara yang tidak umum. Hal ini pernah
dijelaskan oleh Ja’far As-Shaddiq bahwa ‘ilm itu diperoleh bukan dengan jalan
ta’alum (menuntut ilmu), tetapi dengan hakikat ‘ubudiyyah.
Ibnu ‘Arabi, juga Abu Thalib Al-Makki,
membedakan antara ‘ilm
dengan ma‘rifat; ‘ilm diperoleh dengan ‘aql dan orangnya disebut sebagai
‘alim, sedang ma‘rifat diperoleh dengan musyahadah dzauqiyyah dan orangnya
disebut sebagai ‘arif. Abdul Jabbar An-Nifarri mengatakan bahwa jenjang ‘ilm
itu adalah serambi ma‘rifat. Jika ma‘rifat itu sebagai awal dari proses
Ad-Diin, tentunya jenjang serambi ma‘rifat (jenjang ‘ilm haqiqah) harus
dilampaui terlebih dahulu, dan ini pun harus terlebih melalui jenjang
tazkiyatun nafs (thariqat). Memang tampak rumit, sulit, namun kembali ke
permasalahan mendasar yaitu “apa yang sebenarnya manusia cari di muka bumi
ini?”. Banyak hal yang manusia itu harus melihat ke dalam qalb agar mengerti
peta persoalannya, sehingga akan dapat mengerti apa fungsi dari ‘aql.
Dalam
kaitannya dengan Pengetahuan ke-ma‘rifat-an, Ibnu ‘Arabi menjelaskan sebagai
berikut:
Ada tiga bentuk pengetahuan. Pertama, pengetahuan
kecerdasan otak, yang sesungguhnya hanyalah keterangan dan kumpulan kenyataan,
dan pemanfaatan sampai pada pengertian-pengertian atau rencana para cendekiawan
lebih jauh. Ini disebut ajaran kecendekiawanan (intelektualisme).
Kedua, pengetahuan tentang keberadaan, meliputi
perasaan yang emosional (renjana) dan kejanggalan, di mana manusia menganggap
bahwa ia merasakan sesuatu tapi tidak dapat memanfaatkannya. Ini disebut
emosionalisme.
Ketiga, pengetahuan sejati yang disebut Pengetahuan
atas Al-Haqq. Pada bentuk ini, manusia dapat merasakan apa yang benar, sejati,
melampaui batas-batas pemikiran dan perasaan. Para ilmuwan dan cendekiawan
terpusat pada bentuk pertama pengetahuan. Kaum emosionalis dan eksperientalis
menggunakan bentuk kedua. Lainnya memadukan keduanya, atau memanfaatkan salah
satu sebagai pilihan.
Tetapi mereka yang mencapai kebenaran, adalah mereka
yang tahu bagaimana menghubungkan dirinya sendiri dengan Al-Haqq bahwa ia
berada di dua pengetahuan tersebut. Mereka inilah kaum Shufi sejati, kaum
Darwis dan mengalami Pencapaian.27
Kemudian nafs, sebagai entitas yang sering
dikacaukan dengan pengertian psikologis yang memandangnya sebagai kualitas;
selain itu nafs pun sering dikacaukan pengertiannya dengan hawa nafsu. Nafs
adalah fokus pendidikan Ilahi dan
“harus mengembara di muka bumi hingga terbuka
kepadanya malakut langit, atau hakikat dari segala yang wujud (khalq) di alam
syahadah, dan hakikat dari setiap khalq adalah Al-Haqq.”28
Sejak awal, nafs memang sudah memiliki potensi
pengetahuan, yaitu tentang dirinya sendiri. Karena itu, aksioma Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu
terbagi menjadi tiga bagian, di mana frasa ‘arafa
nafsahu menunjukkan proses sang nafs ketika berusaha memahami pengetahuan
yang dikandung dalam dirinya. Frasa ‘arafa
Rabbahu menunjukkan proses ketika datang pengetahuan dari Tuhan yang
melegalkan (membenarkan maupun menyalahkan) pengetahuan sang diri manusia
tentang nafsnya. Sementara kata faqad
tidak mesti bermakna serial secara waktu, namun serial secara urutan sebab
akibat. Dalam hal ini, Man ‘arafa nafsahu
adalah sebab dari ‘arafa Rabbahu. Tuhan berkepentingan terhadap
kebenaran proses pengenalan manusia terhadap dirinya, karena manusia diciptakan
sesuai dengan citra Dia, dan sebagai makhluk yang paling ‘mirip’ dengan Dia,
maka diri manusia membawa pengetahuan tentang Tuhan dalam derajat akurasi dan
kebenaran tertinggi di seluruh semesta alam.29
Bila dalam proses ‘arafa nafsahu subjeknya adalah jiwa (an-nafs), maka dalam proses ‘arafa Rabbahu subjeknya adalah Ruh
Al-Quds. Ruh Al-Quds ini baru akan hadir bila nafs telah sempurna berproses,
yaitu telah sampai ke derajat nafs al-muthmainnah. Hadirnya Ruh
Al-Quds yang merupakan
“utusan-Nya di dalam diri, yang membawa
ketetapan-ketetapan hidup (‘amr) si nafs di dunia ini (lihat QS Asy-Syuura
[42]: 52, langsung dari bahasa Qur`annya yang mana terdapat kalimah ruuh dan
‘amr). Ruh Al-Quds merupakan juru nasehat si nafs dari dalam qalb, dan nafs
yang telah diperkuat dengan ruh ini, selain disebut sebagai an-nafs an-natiqah
(jiwa yang berkata-kata disebabkan adanya juru nasehat dari dalam qalbnya),
juga disebut sebagai an-nafs al-muthmainnah. Disebut muthmainnah karena si nafs
tersebut telah stabil dalam orbit dirinya (qudrah diri/swadharma), di sini ruh
tadi disebut pula sebagai sakinah (syekinah dalam bahasa Ibrani) yang
diturunkan ke dalam qalb yang memperoleh kemenangan (al-fath) ‘amr.”30
Karena itulah kehadiran Ruh Al-Quds sangat
terkait dengan amal shalih yang membuat nafs mampu menggunakan kekuatannya
(aradh), maupun membuat tubuh mampu untuk menjalankan amal shalihnya, yaitu
sesuai dengan kehendak Tuhan. Ruh Al-Quds ibarat sosok Rasul di suatu kaum, di
mana kaum itu adalah diri Al-Mu‘miniin. Ruh Al-Quds berbeda dengan nafakh ruh
atau nyawa, karena Ruh Al-Quds bukanlah wujud fisik sebagaimana nafakh ruh. Dia
pun bukanlah aradh, sebab urusan (‘amr) Tuhan mustahil berupa tubuh maupun
aradh. Ruh Al-Quds ini bersifat lathifah ‘alimah, yaitu sesuatu yang lembut
(tidak bertubuh), memiliki ilmu dan memberikan kepahaman pada diri (nafs)
manusia. Karena itu, bila dikaitkan dengan nafs, kehadiran Ruh Al-Quds ini
adalah dalam posisi guru, pemberi pemahaman, dan yang mentransfer pengetahuan
dari sisi Tuhan, dikarenakan jiwa (an-nafs) hanya mampu mengetahui kekuatan
yang ada dalam dirinya saja. Entitas Ruh Al-Quds ini disebut dengan Ruh ‘Amr
dalam terminologi Al-Ghazali, dan disebut sebagai Intelek Aktif dalam
terminologi Mulla Shadra.31
Struktur Insan seperti diuraikan di atas
banyak diungkapkan dalam Al-Quran baik secara eksplisit maupun implisit. Adapun
penjelasan yang dinyatakan dalam bentuk perumpamaan yang ringkas dapat dilihat
pada QS An-Nuur [24]: 35:
“Allah cahaya petala langit dan bumi. Perumpamaan
cahaya-Nya bagaikan sebuah misykat yang di dalamnya terdapat pelita terang.
Pelita tersebut di dalam kaca, kaca itu seolah kaukab yang berkilau dinyalakan
oleh (minyak) dari pohon yang banyak berkahnya, pohon zaitun yang tumbuh tidak
di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya saja
hampir-hampir menerangi walau tanpa disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah
membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat
perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Dalam
membahas mengenai Struktur Insan, para shufi besar melakukannya dengan teliti
karena, seperti telah diperlihatkan di atas, bahwa Struktur Insan adalah suatu
hal yang fundamental sebab permasalahan lain di dunia ini merupakan perpanjangan
darinya. Kini
telah banyak tulisan yang dibuat oleh cendekiawan Muslim yang membahas masalah
tersebut, memetakannya serta mencoba membandingkan dan menyamakan beberapa
aspek-aspek tertentu dari Psikologi Barat—yang memang telah terlebih dulu
berkembang secara ilmiah dan sistematik—dengan berbagai konsepsi Struktur Insan
dalam Al-Quran dan hadis. Kemudian dilabeli dengan istilah “Psikologi Islami”.
Namun bahasan-bahasan tersebut lupa untuk menguraikan secara jelas garis batas
wilayah antara kajian psikologi dan tashawwuf. Walau psikologi dan tashawwuf mengambil manusia sebagai
objek kajiannya, namun aspek manusia yang yang menjadi fokus pengamatannya
berbeda satu sama lain, baik secara epistemologis maupun entitas, walaupun
dalam beberapa hal kedua disipilin ilmu ini membentuk suatu hubungan yang
komplementer mengenai Struktur Insan.32
Poskrip: Gaya Hidup
Kenikmatan dan Diri Otentik
Apa makna “spiritualitas” pada saat ini?
Heidegger pernah mengidentifikasi adanya proses karat pada suatu kata yang
senantiasa terjadi pada setiap generasi sehingga seringkali menutupi pengalaman
asli kemunculan kata tersebut. Begitu pula halnya dengan kata “spiritualitas”.
Terkait dengan minimnya pengalaman mistis-spiritual di era ini, istilah
spiritualitas pun mengalami pengkaratan makna yang kemudian “disesuaikan”
dengan imajinasi dan pengalaman tubuh-karnal manusia kontemporer ihwal istilah
tersebut. Sebagaimana terlihat pada ilustrasi berikut:
Dalam setiap shownya gereja, salib, figur Bapa tidak
pernah lepas, bahkan setiap pertunjukannya diawali dengan doa. Pada
pertunjukkannya yang ke-1000 pada tanggal 22 Juli 1991 dia berdoa “saya
spiritual”, “saya religius”. Ketika ditanya tentang acara doa sebelum
pertunjukkan tersebut, Madonna berkata “Ya, saya religius. Mereka ikhlas, paling
tidak sejauh menyangkut diri saya…Saya tidak mencoba membangun jembatan antara
seks dan agama. Hanya gereja Katolik yang bersikeras memisahkan keduanya, dan
keduanya selalu dipisahkan, dan itu nonsens.”33
Sebagaimana juga terlihat pada wacana tentang
SQ, karat pada istilah spiritualitas pun terbentuk, namun hal itu seringkali
tidak disadari oleh para penyambut antusias SQ di Indonesia. Selain itu, kini
berkembang pula gaya hidup kenikmatan yang dipicu oleh perkembangan sains dan
teknologi untuk melayani kebutuhan (baca: hasrat) manusia kontemporer. Dalam
banyak aspek kehidupannya, manusia kontemporer mendapatkan banyak kemudahan
teknologis sehingga mereka pun semakin memanjakan tubuh dan hasratnya.
Akibatnya, mereka pun cenderung rentan terhadap penderitaan dan masalah.
Misalnya, manakala muncul permasalahan hidup,
mereka terbiasa mencari solusi cepatnya melalui buku-buku how to, self-help,
atau do it yourself. Umumnya mereka abai menyadari bahwa sudah lazimnya masalah
itu akan senantiasa datang silih berganti, dengan variasi yang beragam pula.
Mengandalkan buku-buku tersebut sebagai solusi hanya akan menjadikan mereka
sebagai konsumen tetap industri nasihat. Berapa ribu buku yang diperlukan untuk
setiap masalah manusia dalam hidupnya? Padahal, yang diperlukan adalah kebiasaan untuk berpikir
mendasar dan membangun suatu sikap yang tepat untuk setiap permasalahan yang
datang. Tak ubahnya detektif dalam film-film Hollywood yang memiliki
“kunci khusus” yang dapat digunakan untuk membuka segala jenis pintu. Namun,
tampaknya kebanyakan manusia (terlebih di Indonesia yang masyarakatnya memang
malas membaca) untuk belajar berpikir mendasar dan mendalam (yang tidak selalu
identik dengan berpikir secara filsafat).
Pada setiap masa manusia memang mempunyai
hasrat komunal yang khas, yaitu hasrat yang terbentuk dari keinginan tak
sadarnya untuk menjadi seperti orang kebanyakan. Pada masa sekarang, salah satu
bentuk hasrat komunal tersebut lebih dikenal dengan istilah budaya pop. Budaya
pop cenderung menjauhkan orang dari kecemasan eksistensialnya (yang justru
potensial untuk memunculkan pertanyaan tentang diri otentik) dan mengalihkan
mereka kepada pergantian cepat dari suatu hal ke hal yang lainnya (chronos).
Maraknya penayangan berbagai sinetron kacangan di Indonesia lebih sering
memperlihatkan ajakan untuk menyikapi hidup dengan berpikir secara dangkal dan
menawarkan estetika seadanya. Juga maraknya penerbitan chicklit dan teenlit,
bukannya membuat manusia tergugah untuk menyadari Ada (seperti dikemukaan Milan
Kundera), tetapi malah memperparah kelupaan akan Ada. Fenomena ini sedikit agak
berbeda dengan masyarakat Barat yang umumnya memiliki tradisi membaca cukup
baik dan kerja profesional perfeksionis, sehingga artefak-artefak budaya popnya
pun cenderung agak “berbobot” daripada artefak budaya pop lokal Indonesia.
Selain itu, dalam kekomunalan hasratnya
tersebut, manusia kontemporer hampir di seluruh belahan dunia bisa merasa telah
menemukan diri otentiknya melalui berbagai artefak budaya pop yang diproduksi
secara massal. Tak heran apabila sering ditemui seseorang berkata—melalui
atribut, pakaian serta gaya hidup yang menyertainya—bahwa inilah diri
otentiknya. Padahal “diri otentik” yang diklaimnya tersebut lebih merupakan
konstruksi citraan yang disodorkan strategi-marketing-kapitalistik kepada
konsumennya melalui media, mal dan lingkungan pergaulannya. Terlebih lagi, bisa
jadi jutaan manusia lainnya di berbagai belahan bumi mengklaim konstruksi
citraan yang serupa sebagai diri otentiknya. Itulah permasalahan yang kerap
kali muncul dalam budaya pop yang dipacu oleh industrialisasi massal hasrat
komunal manusia kontemporer.
Dalam tradisi spiritualitas kuno terlihat
bahwa penempuhan jalan spiritual yang konsisten selalu menggiring pelakunya
kepada penemuan diri otentik yang sebenarnya ada di dalam diri sendiri. Bukan
“diri otentik” yang diambil dari luar, yang dikonstruksi oleh citraan-citraan
yang ditawarkan oleh industri dan lingkungan pergaulannya, yang sebenarnya
merupakan keterjebakan manusia dalam citraan cerminnya (sebagaimana diuraikan
dalam psikoanalisis Lacanian). Terlebih lagi, pada saat ini banyak wacana dan
filsafat yang ternyata lahir dari sikap menyerah begitu saja kepada
hasrat-hasrat yang berkembang di masyarakat kontemporer, dan mengafirmasi
hasrat-hasrat tersebut dengan memberi berbagai landasan filosofis sebagai
penopangnya.
Salah satu fenomena kontemporer lainnya yang
terkait dengan spiritualitas adalah demistifikasi. Misalnya penggambaran sosok
Isa (Yesus) dalam film “The Last Temptation of Christ” atau Iskandar Zulkarnain
dalam film “Alexander”. Setidaknya kedua film ini menggambarkan kecenderungan
umum untuk melakukan demistifikasi terhadap segala hal yang dipandang asing
atau tidak akrab dengan kehidupan kebanyakan orang. Maka, sosok Isa pun digambarkan
sebagai orang yang sebenarnya takut mati, cinta dunia, dan berhasrat tidur
dengan Maria Magdalena dan lain sebagainya. Atau Iskandar Zulkarnain yang
digambarkan sebagai biseks, pengecut dan senantiasa berada di bawah
bayang-bayang ibunya. Gugahan semacam apa yang bisa dirasakan manusia dari
narasi demistifikasi ini? Apakah akan ada penguatan psikis, inspirasi
kehidupan, atau dorongan keberanian dari narasi demistifikasi seperti itu?
Narasi demistifikasi seperti ini hanya akan melemahkan manusia untuk menerima
begitu saja citraan bahwa manusia itu memang rapuh, lemah, oportunis, dan sama
sekali tidak bisa bersikap heroik. Lantas, transformasi apa yang diharapkan
dari demistifikasi semacam ini? Sementara, narasi sebenarnya sangat berguna
untuk dapat membantu manusia memahami kompleksitas hidup melalui imajinasi dan
impresi, ketimbang filsafat yang lebih cenderung mengubah kehidupan menjadi
postulat dan kategorisasi yang lebih mengena di nalar daripada rasa.
Karenanya,
narasi tentang kesucian dan keheroikan masih tetap diperlukan, bukan untuk
dijadikan menara gading, tetapi sebagai inspirasi dalam menyikapi kehidupan.
Nah, sikap yang perlu dikembangkan untuk zaman sekarang bukanlah asketisme
dengan mengasingkan diri di hutan atau gua terpencil, tetapi asketisme seperti
ikan laut yang badannya tidak menjadi asin walau pun hidup di lautan yang asin.
Maksudnya, manusia bergulat dan bersentuhan langsung dengan kehidupan dunia
namun tidak terwarnai oleh kehidupan dunia tersebut. Karena itu, sebaiknya
manusia kontemporer membangun daya tahan individu untuk tidak mudah larut dan
hanyut dalam hasrat komunal dan arus budaya massa.Wallahu ‘alam bishawwab.[]
Catatan Kaki:
1. Permasalahan tentang faktisitas ini banyak
dibahas oleh Martin Heidegger.
2. Tak ubahnya seperti orang yang sedang naik
kendaraan menuju suatu tujuan yang jauh dan dengan sabar menempuhnya hingga
sampai di tujuannya, dan bukannya seperti orang yang kemudian malah teralihkan
oleh berbagai pemandangan indah yang dia jumpai di perjalanan tersebut, kemudian
berhenti dan terlena di sana. Atau, lebih kongkritnya, adalah seperti orang
yang bergelut di wilayah spiritualitas, tetapi lupa untuk mencari Sang Sumber,
karena ternyata lebih asyik dengan berbagai wacana, pengalaman, dan
klaim-klaimnya.
Bayangkan jika terdapat sebuah gelas yang
sebagiannya berisi kopi. Adalah sia-sia apabila seseorang mencoba menambahkan
air putih ke dalamnya hingga penuh agar mendapatkan segelas air putih yang
jernih lagi segar. Tentunya jalan keluarnya telah terpikirkan oleh semua orang
yaitu membuang terlebih dahulu semua sisa kopi hingga gelas tersebut
benar-benar bersih dan barulah dituangkan air putih ke dalamnya, sehingga bisa
didapatkan segelas air putih yang jernih lagi segar. Begitu pula halnya dalam
belajar tashawwuf, apabila di dalam benak telah banyak doxa maka adalah sia-sia
untuk membuka dan membaca karya-karya para shufi besar mana pun karena tak akan
diperoleh pemahaman yang jernih dan objektif tentang apa itu tashawwuf—apa
lagi menemukan misi hidup—selain semakin besarnya doxa. Misalnya, terlanjur
meyakini bahwa tarekat itu tidak perlu, bahwa mursyid itu tidak diperlukan,
bahwa spiritualitas itu urusan pribadi yang tidak perlu tampak di wilayah
publik, dan lain sebagainya. Akan tetapi, ternyata membuang doxa tidaklah
semudah membuang sisa kopi dalam gelas.
Umumnya, yang membuat manusia sulit sekali
untuk menanggalkan seluruh doxa adalah ego. Pernah dalam sebuah kisah
diceritakan pula tentang seseorang yang telah membaca banyak sekali buku-buku
hendak datang kepada seorang guru untuk belajar mengenai dimensi esoteris dari
agama. Sang guru mempersilakan orang tersebut untuk duduk dan kemudian
menyuguhinya teh. Akan tetapi, sang guru menuangkan teh ke dalam gelas tersebut
sampai isinya meluap tumpah keluar sehingga orang tersebut mengingatkan sang
guru ihwal teh yang telah tumpah ruah tersebut. Namun, sang guru malah balik
mengatakan bahwa itulah gambaran orang tersebut. Benaknya telah dipenuhi oleh
banyak hal yang telah ia baca sehingga membentuk doxa, yaitu bahwasanya ia
telah mengetahui banyak hal. Maka kalaupun sang guru hendak mengajarinya
sesuatu, ajaran tersebut hanya akan terbuang keluar sebagaimana gelas yang
telah terisi penuh dengan teh tersebut. Bukankah air hanya mengalir ke tempat
yang lebih rendah?
‘Ali bin Abi Thalib pernah berkata,
“Janganlah mencari Al-Haqq lewat manusia, namun
temukanlah dulu Al-Haqq, dan kemudian engkau akan mengetahui siapa-siapa mereka
yang mengikutinya (mengikuti Al-Haqq tersebut).”
Pernyataan itu menjelaskan mengenai suatu
panduan bagi siapa pun yang mencari Al-Haqq karena, sebagaimana banyak tercatat
dalam sejarah, manusia seringkali tertipu oleh penampilan luar dari segala
sesuatu, atau juga kekagumannya baik pada penampakan maupun konsepsi.
Al-Haqq merupakan pengetahuan tentang Diri-Nya
sejauh yang dapat terbahasakan; ia juga merupakan sesuatu yang signifikan bagi
manusia karena Al-Haqq itu datang dari Rabb, namun Al-Haqq terlampau halus
untuk dilihat, diraba, digenggam, sehingga manusia harus senantiasa berupaya
membuka hatinya dalam mencari Al-Haqq. (Lihat QS Al-Qaari‘ah [101]: 6-8; QS
Al-A‘raaf [7]: 8).
3. Ihwal pencarian-bertujuan-sumber ini
juga pernah diungkapkan oleh Jalaluddin Rumi sebagai berikut:
Pernahkah kau dengar nama segala sesuatu dari Yang
Mengetahui?: dengarlah makna rahasia ‘Dia mengajarkan kepadanya Nama-nama.
Bagi kita, nama segala sesuatu adalah bentuk lahirnya; bagi Sang Pencipta,
ia adalah hakikat batinnya.
Dalam
pandangan Musa nama tongkatnya adalah “tongkat”; dalam pandangan Tuhan namanya
“naga”.
Di dunia ini nama “Umar adalah pemuja berhala”, namun di alam baka ia adalah “mu‘min yang sesungguhnya”.
Di hadapan Tuhan, pendek kata, segala yang merupakan tujuan kita adalah nama kita yang sebenarnya.
Mudahnya,
perkataan Rumi tersebut bisa digambarkan seperti berikut: apabila seseorang
lebih disibukkan mencari wacana-wacana baru spiritualitas, maka namanya di
hadapan Tuhan adalah sang pencari wacana, apabila lebih disibukkan mencari
pengalaman-pengalaman berbau spiritualitas, maka namanya di hadapan Tuhan adalah
sang pencari pengalaman berbau spiritualitas, dan apabila lebih disibukkan
mencari Tuhan, maka namanya di hadapan Tuhan adalah sang pencari Tuhan.
4. Untuk pembahasan yang komprehensif tentang
fenomena kecepatan dalam kebudayaan kontemporer, lihat Yasraf Amir Piliang
(2004) Dunia Yang Berlari: Mencari “Tuhan-tuhan” Digital, Grasindo: Jakarta.
5. Lebih radikal lagi, Deleuze dan Guattari
pun menjelaskan bahwa filsafat bukan lagi imaji pemikiran, tetapi pencipta
pembedaan dengan mengeksplorasi hingga tingkat yang radikal kemampuan pembedaan
akal. Bahkan, filsafat pun diposisikan sebagai penciptaan konsep-konsep, bukan
pencarian kebenaran atau hal-hal yang ideal lainnya.
6. Terkait hal ini, suatu kali Rumi pernah
menceritakan tentang seekor burung beo yang jinak dan pandai berbicara. Burung
tersebut kepunyaan seorang pedagang toko kelontong. Karena jinaknya, burung
tersebut hanya terbang di sekitar toko kelontong. Dan ucapan-ucapan beo
tersebut menarik perhatian banyak orang di pasar sehingga toko kelontong tersebut
menjadi ramai pengunjung.
Suatu ketika, burung beo tersebut terbang
mendekati sang pemilik toko yang sedang memasak. Tanpa disengaja, si burung beo
menjatuhkan minyak sehingga sang pemilik toko terkejut dan memukul kepala beo
tersebut dengan sendok masak yang ada di tangannya. Pukulan tersebut mengenai
kepala si beo sehingga rontoklah bulu di atas kepalanya. Beo tersebut terkejut.
Kepalanya kini gundul, dan si beo pun jadi berhenti bicara. Sang pemilik toko
tersadar akan hal itu dan mencoba membujuk beo tersebut agar mau bicara
kembali, karena ucapan-ucapan beo tersebutlah yang menarik banyak pengunjung ke
tokonya. Namun, apa daya, beo tersebut tetap diam seribu bahasa. Kemudian,
keesokan harinya, ketika beo tersebut sedang bertengger di depan toko, melintaslah
seorang darwis dengan kepala gundul. Tiba-tiba saja beo tersebut berteriak,
“Hei gundul, pasti kemarin kamu juga menumpahkan minyak ya”.
7. Kritik terhadap SQ ini termuat dalam
Journal of Psyché Vol. 1 No. 2, Desember 2000, Pusat Riset Metodologi dan
Pengembangan Psikologi – Yayasan Pendidikan Paramartha (PRMPP-YPP), Bandung,
dengan artikel yang sebagian besar khusus membahas mengenai SQ tersebut.
Antusiasme umat Muslim terhadap SQ ini cukup menyedihkan yang terutama
disebabkan kurangnya daya kritis, kekaguman yang terlalu berlebihan terhadap
sabda pamungkas Barat serta penyetaraan antara wacana Barat dan Islam yang
dipaksakan secara serampangan. Ada sebuah kejadian menarik di mana seorang
cendekiawan Muslim mencoba mengajukan sebuah kecerdasan ultima di atas SQ,
yaitu “kecerdasan ilahiyyah”, sebuah kecerdasan yang membuat seseorang bisa
menahan dirinya dari berbuat dosa karena takut kepada Tuhan. Hal ini merupakan
kerancuan konsepsi yang fatal, karena apa yang disebut sebagai “kecerdasan
ilahiyyah” tadi tak berbeda dengan “ihsan” dalam Islam. Lagipula, cendekiawan
tersebut melupakan hal yang paling fundamental, yaitu pengertian dari
kecerdasan itu sendiri; konsepsinya hanya membuat kata kecerdasan menjadi
berarti apa pun. SQ bukanlah ihsan.
8. Annemarie Schimmel, (2000): Dimensi Mistik
dalam Islam, diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono dkk, Pustaka Firdaus:
Jakarta, hal. 1.
9. Ibid. hal.2.
10. Herry Mardianto Syakir, (2001):
Perbandingan Spiritual Well-Being antara Anggota dan Non Anggota Tarekat di
Kota Besar: Studi Kuantitatif pada Para Anggota Yayasan Islam Paramartha –
Paguyuban Thariqah Kadisiyyah wilayah Bandung, Jawa Barat, Skripsi Sarjana
Psikologi, Fakultas Psikologi – Universitas Indonesia: Depok.
11. Levi-Strauss dalam Structural Anthropology
sebagaimana dikutip oleh Terence Hawkes, Structuralism and Semiotics, London:
Routledge, 1988, hal. 49.
12. Danny Daud Setiana, (1998): Perkembangan
Model Penentuan Kurs Valuta Asing: Studi Kasus Kurs Rupiah Terhadap Dollar
Periode 1997-1998, Tugas Akhir Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi
Industri, Institut Teknologi Bandung.
13. Herry Mardianto Syakir, op. cit.
14. Sebenarnya, sudah menjadi kelaziman dalam
perjalanan sejarah lemanusiaan terjadi deviasi. Bahkan kitab suci pun sering
menceritakan bagaimana pada setiap zaman selalu terjadi deviasi ajaran agama
setelah sang nabinya meninggal. Ini tak ubahnya air yang semakin keruh ketika
menjauhi sumber mata airnya, sehingga praktis di hilir kita hanya mendapati air
kotor yang tercampur banyak sampah. Begitu pula halnya dengan tarekat. Ketika
sang pendiri atau mursyid awalnya meninggal, maka untuk berikutnya kita hampir
tidak bisa menjamin kemurnian tarekat tersebut. Sebagaimana hadis Rasulullah
menyatakan bahwa diambilnya ilmu itu berbarengan dengan meninggalnya sang ulama
yang memiliki ilmu tersebut, dan tinggallah orang-orang bodoh yang sesat dan
menyesatkan
15. Lihat QS Thahaa [20]: 77.
16. Lihat QS Al-Israa’ [17]: 13
17. Wacana tashawwuf dulu dan sekarang
dihasilkan dari suatu aktivitas yang lebih mirip perumpamaan antara pemain
sepakbola (para shufi masa lalu) dengan komentatornya (para pengkaji tashawwuf
kontemporer). Ada sebuah kisah nyata yang terjadi baru-baru ini. Seorang ulama
yang juga menggeluti bidang sosial budaya mengundang seorang pejalan tashawwuf
(salik) untuk memberi materi tentang tashawwuf. Si salik tersebut presentasi
tentang tashawwuf sambil sesekali diimbuhi dengan pengalaman-pengalaman
suluknya. Si salik tersebut menceritakan bahwa pada tingkatan tertentu manusia
bisa berkomunikasi dengan jiwanya sendiri. Tampaknya ulama cendekiawan ini
kurang sreg dengan hal tersebut. Kemudian pada saat makan malam, di hadapan
salik tadi dia berkata dalam bahasa Arab kepada sahabat salik tersebut, yang
kebetulan bisa berbahasa Arab, bahwa dia baru mendengar kalau manusia bisa
berkomunikasi dengan jiwanya. Dia tidak pernah mendapati hal itu dalam
literatur-literatur tashawwuf mana pun. Kemudian, dia pun menandaskan bahwa
untuk ke depan nantinya dia hanya akan mencari orang-orang yang bisa bicara
tentang tashawwuf berdasarkan literatur dan bukan dari pengalaman. Setidakanya
sikap ulama cendekiawan tersebut adalah representasi tentang kecenderungan
sebagian besar pengkaji tashawwuf yang lebih gandrung pada literatur tanpa
pernah punya pengalaman mistik langsung. Lagi pula, ulama tersebut keliru.
Baru-baru ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebuah buku karya Ibnu
Arabi yang memperlihatkan komunikasi tubuh, jiwa, dan Ruh Al-Quds.
18. Berikut adalah rangkaian penjelasan tentang tasawuf, dan posisinya
dalam Islam:
Pada
suatu hari kami (‘Umar bin Khattab r.a. dan para sahabat r.a. lainnya)
duduk-duduk bersama Rasulullah Saw. Lalu muncul di hadapan kami seorang yang
berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak tanda-tanda perjalanan.
Tidak seorangpun dari kami yang mengenalnya.
Dia langsung duduk menghadap Rasulullah Saw. Kedua
kakinya menghimpit kedua kaki Rasulullah, dan kedua telapak tangannya
diletakkan di atas paha Rasulullah Saw, seraya berkata, “Ya Muhammad, beritahu
aku tentang Al-Islam.”
Lalu Rasulullah Saw menjawab, “Al-Islam ialah
bersyahadat bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji
apabila mampu.”
Kemudian dia bertanya lagi, “Kini beritahu aku tentang Al-Iman.”
Rasulullah Saw menjawab, “Beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan beriman
kepada Qadar baik dan buruknya.”
Orang itu lantas berkata, “Benar. Kini beritahu aku
tentang Al-Ihsan.”
Rasulullah berkata, “Beribadahlah kepada Allah
seolah-olah anda melihatNYA walaupun Anda tidak melihatNYA, karena sesungguhnya
Allah melihat Anda.”
Kemudian orang itu pergi menghilang dari pandangan mata. Lalu Rasulullah Saw bertanya kepada Umar, “Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?” Lalu Aku (Umar) menjawab, “Allah dan rasulNYA lebih mengetahui.”
Kemudian orang itu pergi menghilang dari pandangan mata. Lalu Rasulullah Saw bertanya kepada Umar, “Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?” Lalu Aku (Umar) menjawab, “Allah dan rasulNYA lebih mengetahui.”
Rasulullah lantas
berkata, “Itulah Jibril datang untuk mengajarkan Ad-Diin kalian.”
(Al-Hadits)
19. Topik ini dibahas dengan sangat
komprehensif oleh Zamzam Ahmad Jamaluddin T. dalam makalahnya yang berjudul
Mata Air Agama-agama, PICTS: Bandung (tidak dipublikasikan).
20. Imam Al-Ghazali, Ihya Al-Ghazali, (1983)
Jilid 4, diterjemahkan oleh Prof. Tk. H. Ismai Yakub, SH, MA., C.V. Faizan:
Jakarta Selatan, cetakan ketiga, hal. 5.
21. Dikutip dari terjemahan Fihi Maa Fihi oleh
Herman Soetomo, sahabat saya, yang disebarkan hanya untuk kalangan terbatas.
22. Idries Shah, (1999): Jalan Sufi: Reportase
Dunia Ma‘rifat, Risalah Gusti: Surabaya, hal. 124-125.
23. Lihat tulisan Muhammad Sigit Pramudya
& Kuswandani mengenai Struktur Insan dalam perspektif Imam Al-Ghazali dalam
Jurnal Suluk Ruh Al-Quds Vol. 1 No. 1, Agustus 2001, Paramartha International
Center for Tashawwuf Studies – Yayasan Pendidikan Paramartha (PICTS-YPP),
Bandung.
24. Zamzam A. Jamaluddin T. & Tri Boedi
Hermawan, (2000) Struktur Insan dalam Al-Qur`an, Apa yang Tersentuh oleh
Psikologi Analitik, dan Status Kecerdasan Spiritual (SQ), Journal of Psyché
Vol. 1 No. 2, Desember 2000, Pusat Riset Metodologi dan Pengembangan Psikologi
– Yayasan Pendidikan Paramartha (PRMPP-YPP), Bandung, hlm. 6.
25. Ibid., hal. 7.
26. Untuk penjelasan lebih detail lihat Zamzam
A. Jamaluddin T. & Tri Boedi Hermawan, (2000), op.cit.
27. Idries Shah, (1999): hal. 85-86.
28. Zamzam A. Jamaluddin T. & T.B.
Hermawan, op.cit.., hal. 8. Lihat juga QS Al-Hajj (22) : 46 tentang berjalan di
muka bumi hingga memiliki hati yang berakal.
29. Ma‘rifat merupakan rahmat Tuhan terhadap
hamba-Nya yang Dia kehendaki, yaitu rahmat kedua setelah kembali menjadi
al-muthahharuun (tingkat kesucian bayi, yang merupakan rahmat pertama).
Mengenai hal ini, Ibnu Atha‘illah mengatakan
“Ketika terbuka kepadamu wajah pengenalan (ta’aruf), maka jangan engkau hiraukan amalanmu yang sedikit itu. Sesungguhnya hal ini tidak terbuka bagimu melainkan karena Dia menghendaki pengenalan-Nya atasmu.
Tidakkah kau ketahui bahwa sebuah pengenalan
itu merupakan pengenalan ihwal Diri-Nya kepadamu, sedangkan amal itu sesuatu
yang engkau hadiahkan kepada-Nya. Maka sepadankah antara apa yang engkau
berikan kepada-Nya dengan Diri-Nya yang Dia berikan kepadamu?”
(Ibnu Atha’illah Al-Iskandari, (2001): Al-Hikam,
diterjemahkan oleh Zamzam A. Jamaluddin T. & Kuswandani beserta tim
PICTS-YPP, belum dipublikasikan).
Ihwal ma‘rifat ini dibahas secara indah dan
gamblang oleh Nasiri Khusrau:
Kenalilah dirimu
Kalau kau pahami dirimu sendiri,
Kau akan bisa memisahkan yang kotor dari yang suci
Pertama, akrablah dengan dirimu
Kemudian jadilah pembimbing lingkunganmu
Kalau kau kenal dirimu, kau akan mengetahui segalanya
Kalau kau pahami dirimu, kau akan terlepas dari bencana
Kau tak tahu nilaimu sendiri
Sebab kau tetap begini
Akan kau lihat Tuhan, kalau
kau kenal dirimu sendiri
Langit yang tujuh dan bintang yang tujuh adalah budakmu
Namun, kasihan, kau tetap membudak pada ragamu
Jangan pusingkan kenikmatan hewani
Kalau kau pencari surgawi
Jadilah manusia sejati
Tinggalkan tidur dan pesta ria
Tempuhlah perjalanan batin seperti pertapa
Apapula tidur dan makan-makan?
Itu semua urusan binatang buas
Dengan ilmu jiwamu bertunas
Jagalah sekarang juga
Sudah berapa lama kau tidur?
Pandanglah dirimu sendiri
Kau sesungguhnya luhur
Renungkan, coba pikirkan dari mana kau datang?
Dan kenapa kau dalam penjara ini sekarang?
Jadilah penentang berhala bagai Ibrahim yang pemberani
Ada maksud kau dicipta serupa ini
Sungguh malu kalau kau telantarkan maksud penciptaanmu ini.
(Puisi ini saya temukan dalam bentuk sesobek
kertas bekas yang tergeletak di jalan, dan saya tidak tahu potongan kertas
tersebut bagian dari buku atau majalah apa.)
30. Ibid., hal. 7. Artikel ini membahas secara
komprehensif mengenai Struktur Insan tersebut beserta seluk beluknya. Juga
lihat Zamzam A. Jamaluddin T., (1997): Misykat Cahaya-cahaya, dalam Jurnal
Suluk Ruh Al-Quds Vol. 1 No. 1, Agusutus 2001, Paramartha International Center
for Tashawwuf Studies – Yayasan Pendidikan Paramartha (PICTS-YPP), Bandung.
31. Nafs manusia mempunyai beberapa derajat
dan maqam, dari awal pembangkitannya hingga akhir tujuannya; dan ia memiliki
keadaan-keadaan essensial dan modus-modus keberadaan tertentu. Pertama, dalam
keadaan keterhubungan (dengan tubuh) nafs merupakan substansi korporeal (baca
pula; material). Kemudian nafs menjadi lebih intens secara bergradasi dan
berkembang melalui tahap-tahap yang berbeda dari aturan alaminya hingga ia
hidup dengan dirinya sendiri dan bergerak dari dunia ini ke dunia lain, hingga
kembali kepada Tuhannya. Jadi nafs bermula dalam suatu (keadaan) korporeal,
tapi menetap dalam (keadaan) spiritual. Hal pertama yang dibangkitkan dalam
keadaannya (yang terhubung dengan tubuh) adalah kekuatan korporeal; kemudian
bentuk alami; kemudian nafs yang mempunyai kemampuan mengindera dengan
derajat-derajatnya; kemudian nafs yang kogitatif dan rekolektif; dan kemudian
nafs natiqah. Kemudian, setelah intelek praktis, nafs memperoleh intelek
teoritis sesuai dengan bermacam-macam derajatnya, dari tingkatan intelek dalam
potensi hingga intelek dalam aktualitas dan Intelek Aktif—yang sama dengan Ruh
al-Quds dalam ‘amr Rabb yang dinisbatkan pada Tuhan dalam firman-Nya;
‘Katakanlah: “Ruh (itu) dari ‘amr Rabbi.” (QS. Al-Israa’ [17]: 85). Derajat
terakhir ini muncul hanya pada sejumlah amat kecil manusia. Lebih lanjutnya,
(hanya dengan) usaha dan ikhtiar manusia tidak cukup untuk memperolehnya,
karena suatu tarikan ilahiah diperlukan untuk pencapaiannya, sebagaimana yang
disebutkan dalam sebuah hadits: “Sebuah tarikan dari Tuhan melampaui seluruh
usaha manusia dan jin.” (Mulla Shadra, [2001]. Hikmah al-Arsyiyyah, alih
bahasa. Dimitri Mahayana, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, hal. 179-180.)
32. Masalah ini dibahas lebih jauh dalam
Alfathri Adlin & Ening Ningsih, (2001): Nafs Lathifah, Ego, Kesadaran:
Batasan antara Psikologi dan Tashawwuf, Journal of Psyché Vol. 2 No. 1, Juni
2001, atau untuk pengantar yang komprehensif mengenai masalah ini lihat Zamzam
A. Jamaluddin T. & Tri Boedi Hermawan, (2000) op.cit.
33. Malcolm, Derek, (1991): In bed with the
woman who dares, sebagaimana dikutip oleh Akbar S. Ahmed, (1993):
Posmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam, Mizan: Bandung, hlm. 224.