Oleh Abdul Hadi W.M. - Facebook Notes
Muhammad Iqbal -- Sang Allama, begitu dia disebut di negerinya –
adalah seorang filosof sastrawan Timur paling terkemuka pada abad ke-20 M
yang pernah dilahirkan dunia Islam. Gelar yang patut diberikan
kepadanya ialah Filosof Kebangkitan Timur dan Islam. Judul buku-bukunya
sendiri, yang di dalamnya gagasan-gagasan pembaharuannya dituangkan
dalam ungkapan puisi yang indah dan inspiratif, selalu mengacu pada tema
kebangkitan bangsa-bangsa Timur dan Islam. Misalnya Payam-i Masyriq (Pesan Dari Timur) dan Pas Chih Bayad Kard Aye Aqwam-i Syarq (Apa Yang Harus Kau Lakukan O Bangsa-bangsa Timur?”. Himpunan ceramahnya yang terkenal diberi judul Membangun Kembali Pemikiran Keagamaan Dalam Islam.
Puisi-puisinya sering dinilai sebagai karya profetik, karena ditulis
berdasar visi kerohanian yang terang dan mampu memberi petunjuk tentang
arah masa depan peradaban umat manusia. Konsep kunci pemikiran
falsafahnya ialah khudi(Diri) dan ‘isyq (Cinta),
merupakan gagasan revolusioner pada masanya dan relevan pada masa
kini. Gagasan ini lahir dilatarbelakangi keprihatinan Iqbal terhadap
kondisi buruk umat Islam pada abad ke-20 disebabkan
kelemahan-kelemahannya sendiri, terutama rasa kurang percaya diri kaum
Muslimin terhadap kekuatan ajaran agamanya dan khazanah budayanya yang
kaya.
Iqbal merasa prihatin menyaksikan betapa kaum
Muslimin di banyak negeri tidak lagi memiliki sistem nilai dan pandangan
dunia (weltanschauung) yang islami, dan juga tidak pernah
berusaha lagi membangun kebudayaan dan peradabannya berdasarkan sistem
pengetahuan Islam. Bahkan mereka tidak peduli dan menyerah begitu saja
kepada sistem nilai asing yang dicekokkan dan didiktekan kepada mereka,
dan dengan fanatiknya pula membela sistem dan kebudayaan asing itu.
Lebih daripada itu Iqbal melihat betapa kaum Muslim tidak mempunyai
tujuan dan cita-cita hidup yang tinggi. Cita-cita mereka terbatas pada
soal-soal kebendaan dan kedudukan. Ini semua merupakan pertanda
kemunduran Islam dan hilangnya identitasnya. Falsafah Iqbal tentang khudi berkaitan dengan itu semua.
Dalam sajaknya Iqbal menulis “Kepada Saqi, Penuang Anggur” lebih kurang:
Adat zaman mulai bertukar
Nada dan lagu baru terdengar di mana-mana
Dari mimpi masa silamnya Cina mulai bangkit
...
Namun orang Islam yang berpegang pada Tauhid
Jiwanya masih terbelenggu tali keramat
Seni, hukum, falsafah dan ilmu kalamnya
Masih tercemar praktek penyembahan berhala
Pada
akhir bait puisinya Iqbal menyatakan, “Kini Islam tak lebih dari
timbunan abu dingin dan gelap”. Keterpurukan Islam, menurut Iqbal,
disebabkan ulama dan cendekiawan Muslim tidak mampu menafsirkan kembali
ajaran agamanya dengan segar dan relevan dengan zamannya yang sedang
berubah. Namun untuk memahami gagasan Iqbal memang tidak mudah. Latar
belakang sejarah serta kondisi sosial ekonomi, politik dan budaya umat
Islam pada masa hidup Iqbal juga mesti dpahami.
Tiga Golongan Orang Islam
Iqbal lahir di Sialkot, sekarang masuk wilayah Pakistan, pada 22
Februari 1873 dan wafat di Lahore pada 21 April 1938. Dia memperoleh
pendidikan dasar di maktab, setara dengan madrasah di negeri kita.
Pendidikan menengahnya di Scottish Mission School Lahore, sedang
pendidikan tingginya diperoleh di Government College, juga di Lahore.
Setelah itu dia melanjutkan pendidikannya di Cambridge University,
London untuk mendapat gelar MA di bidang hukum. Gelar doktor di bidang
falsafah ia peroleh di Universitas Munchen, Jerman.
Walaupun Iqbal memperoleh pendidikan di Eropah, namun pengetahuan
tentang Islam juga tidak tenggelam oleh pengetahuan Baratnya. Ia memang
memiliki sikap yang kritis terhadap ulama dan pemikiran tradisionalnya,
namun terhadap peradaban modern Barat dia juga sangat kritis. Kondisi
buruk yang dihadapi umat Islam di bawah sistem kolonial Inggeris yang
diskriminatif, merupakan sumber renungan puisi dan dasar pijak pemikiran
falsafahnya.
Pada awal abad ke-19 M Dinasti Mughal,
yang lebih kurang tiga abad memegang tampuk pemerintahan di India dan
membawa Islam pada puncak kejayaannya di bidang intelektual, keagamaan
dan budaya; mengalami keruntuhan. Kegelapan mulai meliputi kehidupan
umat Islam disebabkan semakin kuatnya cengkeraman kolonialisme Inggeris.
Kebijakan pemerintah kolonial Inggeris yang diskriminatif terhadap kaum
Muslimin berakibat fatal: umat Islam semakin terpuruk dalam hampir
semua lapangan kehidupan. Dalam ekonomi dan politik mereka menjadi kaum
paria yang tidak berdaya, begitu juga di bidang intelektual dan
kebudayaan. Degradasi moral pula mulai melanda kelas menengah Muslim.
Yang sangat ketara lagi semakin mundurnya pemikiran para ulama di bidang
agama dan intelektual.
Yang lebih menyedihkan lagi
bagi Iqbal ialah terpecah-belahnya umat Islam ke dalam beberapa
golongan, yang kian memperlemah solidaritas antar sesama Muslim.
Setidak-tidaknya di India ketika itu umat Islam terpecah menjadi tiga
golongan besar mengikuti kecenderungan pemikiran para pemimpin atau
ulama masing-masing. Golongan pertama ialah sekelompok kelas menengah
yang mendapat pendidikan Barat. Kebanyakan mereka tidak lagi mengenal
ajaran agama secara mendalam, dan sangat dangkal pengetahuannya tentang
kebudayaan dan peradaban Islam. Pemahaman yang dangkal dan buruk ini
diperoleh dari sistem pendidikan Inggeris yang mereka ikuti.
Mereka lebih akrab dengan kebudayaan Barat dan tumbuh menjadi pembela
fanatik sekularisme. Islam di mata mereka setali tiga uang dengan
keterbelakangan dan kemunduran. Mereka takjub dan silau terhadap Barat
bukannya tanpa pamrih. Dengan menyerap pola hidup dan pola pikir Barat
mereka mengharpkan pemerintah kolonial Inggeris bersimpati kepada mereka
dan naik martabatnya. Menurut Iqbal golongan inilah yang paling nyata
kehilangan khudi(diri) dan asing terhadap ajaran Islam dan
kebudayaan Islam. Mereka gemar meniru pola hidup Barat yang cenderung
materialistis dan hedonistis. Tentang golongan ini Iqbal menulis menulis
dalam sebuah puisinya dengan nada menyindir:
Rahasia kekuatan Barat bukan dalam nada suling dan gitarnya
Pun tidak dalam tari setengah telanjang gadis-gadisnya
Tidak pula karena persona kemolekan wanitanya
Pun bukan disebabkan buah dadanya dipamerkan dan rambut dipotong
pendek
Kekuatan Barat bukan pula karena sekularisme
Kemajuannya tidak disebabkan menggunakan huruf Latin
Kekuatan Barat terletak pada ilmu pengetahuan dan seninya
Lampunya menyala terang oleh karena api ini
Pengetahuan tidak tergantung pada mode dan corak pakaian
Surban tidak merintangimu memperoleh pengetahuan
Golongan
kedua, yang juga dikritik habis-habisan oleh Iqbal, ialah Muslim
tradisional yang berpikiran picik dan gemar bertaqlid pada ulama yang
pandangan keagamaannya mandeg total. Karena golongan ini sangat benci
kepada Inggeris, maka segala hal yang berasal dari Barat mereka tolak.
Mereka tumbuh menjadi golongan yang picik dan tertutup. Mereka tidak mau
mempelajari ilmu pengetahun modern sebab berasal dari Barat dan tidak
juga mau belajar bahasa Inggeris untuk meningkatkan pengetahuannya.
Iqbal pun memandang golongan ini sebagai kelompok soaial yang telah
kehilangan khudi atau dirinya yang sejati. Di tangan
mereka agama jatuh menjadi sehiimpunan upacara dan bentuk peribadatan
formal yang tidak membawa transformasi dan perubahan yang bermakna
kepada penganutnya. Ayat-ayat kitab suci dibaca dan dihafal tanpa
diikuti rasa ingin mengetahui maknanya secara mendalam. Bahkan tidak
jarang yang menganggap kalimat-kalimat suci sebagai azimat untuk
menangkal diri dari ancaman bahaya.
Padahal, menurut
Iqbal dan banyak cendekiawan Muslim lain, al-Qur`an mengajarkan kepada
umat agar mencintai ilmu pengetahuan dan mengasah akal pikirannya. Dan
yang disebut ilmu pengetahuan tidak terbatas ilmu-ilmu agama, tetapi
juga termasuk ilmu pengetahuan alam dan sosial, ilmu-ilmu kemanusiaan
dan kebudayaan. Bahkan peradaban dan kebudayaan Islam berkembang pesat
pada zaman kejayaan Abbasiyah di Baghdad, karena orang Islam giat
mempelajari bahasa-bahasa dan kebudayaan dari luar Islam seperti Yunani,
Persia, India, Cina dan Byzantium. Namun dalam menyerap kebudayaan,
falsafah dan ilmu pengetahuan dari luar itu para cendekiawan dan filosof
Muslim bersikap kritis; dan dengan metode dan caranya yang sendiri yang
didapat ajaran agamanya dapat mengembangkan corak pemikiran, ilmu
pengetahuan dan kebudayaan sendiri.
Terhadap golongan kedua ini Iqbal menulis sajak yang tidak kalah pedas kecamannya, lebih kurang seperti berikut:
Agama sejati tenggelam, kalah dari bukan agama
Bagi para mullah agama ialah kesibukan mengecam orang sebagai kafir
Bagi mereka yang sekuler, agama ialah bagaimana mengatur siasat
Dan menimbun kekayaan walaupun merugikan agama anutannya
Bagi para mullah agama ialah bagaimana mendatangkan kesukaran
Atas nama kitab suci dan Tuhan
Golongan
masyarakat Muslim lain yang juga dikecam oleh Iqbal ialah para pengikut
tarekat sufi yang dekaden. Mereka acuh tak acuh terhadap pemulihan
kehidupan sosial ekonomi orang Islam. Mereka melarikan diri dari
kehidupan nyata dan tenggelam dalam kehidupan spiritual yang palsu.
Padahal Islam tidak memusuhi dunia meskipun meninggikan akhirat.
Mengeritik golongan ketiga dan juga kedua Iqbal menulis dalam sajak
“Kepada Saqi, Penuang Anggur”:
Kebenaran ajaran agama terkubur dalam timbunan sampah
Dan upacara-upacara sesat menenggelamkan kalimah syahadatnya
Khotbah para ulamanya memang enak didengar telinga
Namun kehilangan api cinta sejati
...
Kaum sufinya dulu dikenal sebagai Kesatria Tuhan yang tak kenal rasa takut
Tidak tertandingi dalam cinta dan makrifat
Namun kini mereka telah berubah jadi pesilat lidah
Dan tukang khayal yang menyedihkan
Yang ideal bagi Iqbal untuk memajukan peradaban Islam ialah bagaimana
memadukan akal dan wahyu, metode rasional dan metode intuitif,
pengetahuan dan cinta, ilmu dan iman. Di Barat, kata Iqbal, hanya akal
yang diutamakan dan iman disingkirkan. Di Timur kaum pendeta dan
terpelajarnya hanya menekankan pada intuisi dan perasaan, tetapi
mengabaikan akal atau rasio. Iman dan cinta penting karena manusia
adalah hamba-Nya, dan untuk berdialog dengan Tuhan memerlukakan sarana
iman dan cinta. Namun sebagai khalifah-Nya di muka bumi, manusia harus
mendayagunakan akalnya dan giat mencari pengetahuan agar dapat mengemban
amanat Tuhan untuk memelihara dan mengembangkan kehidupan di bumi.
Khudi dan Kebangunan Islam
Apa yang dimaksud khudi dalam
pemikiran falsafah Iqbal? Apa relevansinya bagi kita dan bagaimana
kaitan sebenarnya dengan gagasan kebangunan kembali Islam sebagai agama
profetik? Sebagaimana telah dikemukakan, gagasan Iqbal tentang khudi pada
mulanya bertolak dari keprihatinannya terhadap keadaan umat Islam di
India yang telah mulai kehilangan diri dan jati dirinya. Jadi gagasan
ini lebih bersifat sosiologis dibanding bersifat falsafah. Tetapi
kemudian, terutama sebagai nampak dalam buku puisinya Asrar-i Khudi (Rahasia-rahasia Diri, 1905) gagasan tentang khudidiperluas
dan diperdalam, dan dalam puisi-puisi Iqbal yang lebih kemudian lagi
dikaitkan dengan kebangunan kembali Islam pada abad ke-20 M.
Pusat kehidupan kemanusiaan dan sumber eksistensi kita sebagai manusia,
menurut Iqbal ialah Diri. Dirilah yang bertanggung jawab memilih yang
paling sesuai dan juga memilih cara untuk mempertahankan dan
mengembangkan hidup. Tingkat intensitas dan kelemahan khudi dalam diri setiap insan yang menentukan kekuatan dan kelemahan seseorang
atau suatu bangsa. Semakin penuh kesadaran dirinya, semakin tinggi
cita-cita dirinya, semakin kuat kehendak dan semangat bangsa tersebut
mencpai cita-citanya dan tidak menyerah pada cita-cita bangsa lain yang
dipaksakan kepadanya.
Dalam bahasa yang sederhana khudi merupakan
pusat kesadaran manusia dan disebabkan kenyataan ini manusia dipandang
sebagai mahkluq kerohanian. Sebagai kenyataan ohani khudi merupakan
kesadaran dan perasaan bawaan yang membimbng manusia menuju
martabatnya. Iqbal bertolak dari ayat al-Qur`an surah Ali Imran, “Sesungguhnya Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum mereka merubah dirinya (kesadaran diri, atau alam pikirannya.” Esensi khudi mengacu
pada pengertian yang dikemukakan al-Qur`an tentang kedudukan manusia di
alam semesta dan di tengah mahkluq lain, yaitu sebagai khalifah Tuhan
dan juga sebagai hamba-Nya.
Gagasan Iqbal ini dikembangkan dari gagasan para sufi seperti Jalaluddin Rumi dan Abdul Karim al-Jili mengenai Insan Kamil (Manusia Universal). Rujukannya dijumpai dalam al-Qur’an misalnya dalam surat al-Baqarah 30: “Alam semesta dicipta bagi manusia dan manusia ditunjuk sebagai khalifah Tuhan di muka bumi.” Juga dalam al-Qur’an 15:29, “Allah mencipta manusia menurut gambaran-Nya, meniupkan ruh ke dalam tubuhnya.”
Begitu pula al-Qur’an menyebut manusia sebagai makhluq yang paling
banyak menerima anugerah kemampuan intelektual. Ayat yang dirujuk Iqbal
untuk memperkuat gagasan tentang realisasi diri (khudi) menuju
martabat Insan Kamil, ialah al-Qur’an 51:20-21. Di situ dinyatakan bahwa
ayat-ayat Tuhan terbentang di langit dan bumi, serta di dalam diri
manusia. Ini menurut Iqbal merupakan pertanda pentingnya realisasi diri
ke arah pribadi yang menyerupai gambaran-Nya.
Iqbal
juga mengutip Hadis riwayat Muslim dan Bukhari, “Seseorang yang
merealisasikan martabatnya sebagai khalifah Tuhan di bumi, tidak akan
dapat dikalahkan oleh siapa pun”. Pepatah Sufi menyatakan, “Barang siapa
yang dapat merealisasikan dirinya, dia merealisasikan Tuhannya.”
Menurut Iqbal khudi atau Diri dapat tumbuh dan menjadi teguh apabila diperkuat oleh Cinta (`isyq).
Cinta adalah kecenderungan kuat terhadap sesuatu yang dicintai. Cinta
seorang Muslim yang paling tinggi ditujukan kepada Tuhan, kemudian
kepada ajaran agama dan Nabi sebagai pembimbingnya di jalan keimanan
dan tauhid.
Cinta dalam falsafah Iqbal juga diartikan
sebagai iman dan juga intuisi intelektual. Dalam pengertian yang
demikian Cinta merupakan metode untuk memperoleh pengetahuan di luar
jalan yang rasional dan empiris, tetapi melalui ilham profetik atau visi kerohanian yang terang. Cinta juga merupakan prinsip kreatif
kehidupan. Manusia dapat merealisasikan dirinya bukan semata-mata
melalui ilmu pengetahuan, tetapi juga dengan Cinta. Pengetahuan intuitif
juga disebut Cinta dan ia dibangun oleh seorang Muslim dengan jalan
memperbanyak ibadah dan amal saleh.
Adanya kesadaran mendalam mengenai khudi dan
kuatnya cinta kaum Muslimin terhadap ajaran agama, beserta khazanah
intelektual dan budayanya, merupakan syarat kebangunan kembali Islam
pada abad ini. Tanpa kebangunan Diri, tidak mungkin umat Islam mengalami
kebangkitan. Tanpa jati diri dan percaya diri, juga terhadap tauhid
sebagai inti ajaran agamanya, kaum Muslimin tidak akan dapat
merevitalisasi peradabannya yang pernah jaya dan cemerlang di masa lalu.
Abdul Hadi W.M. 15 November 2010