Suka dengan karakter Ien Ang seperti yang digambarkan dalam tulisan ini. Suka dengan gaya penjelasan Ien Ang. Sumber: http://on.fb.me/Zp6KGI.
Wawancara dengan Ien Ang oleh Ignatius Haryanto, Kompas, 12 November 2000
oleh Ariel Heryanto (Notes)
Lebih Jauh dengan Ien Ang
TAK banyak orang tahu bahwa Ien Ang, salah satu tokoh pemikir kontemporer dalam bidang cultural studies ini adalah seorang Indonesia, di antara puluhan sarjana lain asal Amerika, Eropa, Australia, dan India. Ien Ang bisa jadi suatu contoh dari intelektual Indonesia yang berdiaspora, yang dikenal dan harum namanya justru di dunia internasional.Nama Ien Ang kerap disebut karena ia merupakan penulis yang produktif dalam berbagai jurnal dan buku-buku internasional yang berkaitan dengan masalah cultural studies, post colonial studies, dan juga media studies. Fokus perhatian Ang sangatlah beragam mulai dari masalah politik identitas, masalah audiens yang aktif, masalah gender dalam konsumsi media, serta terakhir ini ia lebih banyak menulis soal hubungan antar komunal di dunia. Prestasinya juga dibuktikan dengan jabatan professor of cultural studies yang ia dapatkan dari University of Western Sydney, pada usia baru 42 tahun.
Wawancara dengan Ien Ang oleh Ignatius Haryanto, Kompas, 12 November 2000
oleh Ariel Heryanto (Notes)
Lebih Jauh dengan Ien Ang
TAK banyak orang tahu bahwa Ien Ang, salah satu tokoh pemikir kontemporer dalam bidang cultural studies ini adalah seorang Indonesia, di antara puluhan sarjana lain asal Amerika, Eropa, Australia, dan India. Ien Ang bisa jadi suatu contoh dari intelektual Indonesia yang berdiaspora, yang dikenal dan harum namanya justru di dunia internasional.Nama Ien Ang kerap disebut karena ia merupakan penulis yang produktif dalam berbagai jurnal dan buku-buku internasional yang berkaitan dengan masalah cultural studies, post colonial studies, dan juga media studies. Fokus perhatian Ang sangatlah beragam mulai dari masalah politik identitas, masalah audiens yang aktif, masalah gender dalam konsumsi media, serta terakhir ini ia lebih banyak menulis soal hubungan antar komunal di dunia. Prestasinya juga dibuktikan dengan jabatan professor of cultural studies yang ia dapatkan dari University of Western Sydney, pada usia baru 42 tahun.
Namun ketika Ignatius Haryanto, mahasiswa Indonesia yang tengah menuntut ilmu di National University of Singapore (NUS) menemui Ien Ang di kantor sementaranya di Centre of Advance Studies, NUS, akhir September lalu, tak ada tanda "kesangaran" bahwa wanita berusia 46 tahun ini adalah sosok yang penuh reputasi akademik internasional dan gelar profesor yang disandangnya sejak empat tahun lalu. Sebaliknya, Ien Ang adalah seorang wanita dengan wajah segar dan penuh senyum, dengan penampilan sederhana, T-Shirt berwarna abu-abu dengan strip berwarna biru tua pada ujung lengan, dipadu dengan celana jeans berwarna biru muda. Kesan ramah terpancar dari mata dan senyum yang tak pernah putus, dengan sesekali menyibak rambut sepanjang leher yang kerap menutupi matanya. Dalam wawancara ia pun tak ingin berposisi hanya sekadar seorang nara sumber, kerap kali ia malah balik mengajak penanya untuk juga mendiskusikan pertanyaan yang diajukan. Ia tidak ingin mengesankan wawancara ini menjadi suatu yang formal, dan sesekali ketika mendengar cerita tentang Indonesia, ia menerawang mengingat-ingat masa ketika ia masih tinggal di Indonesia jauh lebih dari 30 tahun yang lampau.
Di antara waktunya selama sebulan tinggal di Singapura sebagai fellow pada Centre for Advance Studies, NUS, Ien Ang sempat mempresentasikan paper diskusi yang berjudul "Indonesia on my mind: Diaspora, Internet and the Struggle for Hybridity". Paper ini merupakan sebagian dari buku keempat yang sedang ditulisnya berjudul On Not Speaking Chinese: Living Between Asia & West. Artikel ini, yang inspirasi judulnya diambil dari salah satu judul lagu yang pernah dibawakan penyanyi Ray Charles, Georgia On My Mind, mungkin menjadi semacam kilas balik bagi Ang dalam mengenal Indonesia yang pernah ia kenal sebagai tanah lahir dan tempat dimana ia menghabiskan masa kecilnya.
Lahir sebagai anak pertama dari lima orang bersaudara dari pasangan Ang Khoen Ie dan Oey Sioe Ing, di Surabaya pada tahun 1954, Ien Ang merasakan hidupnya sebagai bagian dari diaspora manusia Indonesia yang meninggalkan Indonesia pada tahun 1966-setahun setelah meletuskan peristiwa 30 September 1965. Ang tinggal di Belanda selama 25 tahun, hingga ia mendapatkan gelar doktor dari University of Amsterdam dan sejak tahun 1991 ia tinggal di Australia. Ia lulus doktor pada tahun 1985 dengan dibimbing oleh Prof Dennis Mc Quaill, setelah menyelesaikan program Doktorandusnya pada tahun 1982. Kedua tesisnya telah dibukukan dengan judul Watching Dallas (1985), dan Desperately Seeking Audience (1991). Buku Ang lainnya adalah Living Room Wars, dan ketiga buku ini diterbitkan oleh penerbit Routledge, penerbit buku akademik bergengsi asal Inggris.
Ia sempat menjadi lecturer pada Jurusan Ilmu Politik di Universitas Amsterdam, sebelum akhirnya ia pindah ke Murdoch University, Australia Barat pada tahun 1991 menjadi Senior Lecturer dan ia pun menjadi Direktur dari Center for Research in Culture and Communication pada universitas yang sama. Dari Murdoch, ia pindah ke University of Western Sydney, dan menjadi Direktur Institute for Cultural Research dan menjadi editor untuk sebuah jurnal bernama Communal/Plural (Journal of Transnational and Crosscultural Studies) milik universitas Western of Sydney. Di luar kesibukannya, ia pun masih sempat menikmati musik yang menjadi hobinya, terutama musik-musik berbagai etnik dunia, seperti musik asal Brazil, seperti Gilberto GIl, atau juga mendengarkan tiupan saxophone dari Miles Dives. Untuk artis wanita, ia menyukai penyanyi Madonna yang menurutnya, "Sangat menarik memperhatikan dirinya yang terus menginterpretasikan dirinya". Tak heran jika salah satu judul buku Ang pun mengambil inspirasi dari salah satu film yang pernah dibintangi Madonna, Desperately Seeking Susan.
Ia mengaku hanya sedikit bisa berbahasa Indonesia, dan ia berpikir untuk belajar kembali bahasa Indonesia. Namun, jika ada seorang asing bertanya tentang identitas diri kepadanya, Ang tak akan ragu menyebut "Saya orang Indonesia, yang mendapatkan pendidikan di Belanda dan kini tinggal di Australia."
BISA diceritakan tentang diri Anda lebih jauh?
Saya lahir di Surabaya pada tahun 1954, anak pertama dari lima bersaudara. Ayah saya bekerja sebagai insinyur di PT Bharata, perusahaan yang dulunya milik Belanda, namun waktu itu sudah dinasionalisasi. Sa-ya tinggal di Indonesia sampai tahun 1966, sebelum akhirnya keluarga kami memutuskan untuk pindah ke Belanda. Ketika saya meninggalkan Indonesia saya baru berumur 12 tahun dan sebelumnya saya bersekolah di Sekolah Suster.
Ketika terjadi peristiwa G 30 S pada tahun 1965, apa yang Anda masih ingat?
Yang saya ingat, usia saya waktu itu masih sangat muda, 11 tahun, tetapi saya merasakan ada hal yang mengerikan terjadi. Yang saya ingat adalah saat itu terjadi banyak sekali chaos, banyak terjadi keributan, nilai rupiah sangat jatuh kala itu, sekolah tutup selama berbulan-bulan. Saya pun banyak mendengar cerita tentang orang-orang yang hendak pergi keluar Indonesia. Sampai akhirnya pada tahun 1966, orangtua saya memutuskan untuk kita pindah ke Belanda. Kami diberitahu dua minggu sebelum keberang-katan dan kita harus segera menyiapkan barang-barang kita. Kira-kira tiga perempat dari keluarga besar saya pindah ke Belanda, walau masih ada juga keluarga yang tinggal di Sura-baya dan di Jakarta.
Kenapa pindahnya ke Belanda?
Menurut orangtua saya, kebetulan kami memiliki kesempatan untuk meninggalkan Indonesia, lalu di Indonesia saat itu terlalu banyak korupsi, dan orangtua saya selalu berkata bahwa tidak ada masa depan untuk pendidikan anak-anak, tapi tentu saja itu selalu menurut orangtua. Sebenarnya saya tidak ingin pindah, karena pada saat itu saya sebetulnya merasa betul sebagai seorang nasionalis Indonesia. Di sekolah kami diajar bagaimana terjadinya penjajahan oleh Belanda, dan jika kami pindah ke Belanda itu berarti kami pindah ke negeri penjajah kami, tentunya itu hal yang sangat aneh rasanya. Menurut orangtua saya pindah ke Belanda itu mudah, karena ayah dan ibu saya pernah bersekolah di Belanda. Ayah saya pada tahun 1947 bekerja pada sebuah kapal Belanda, dan ketika ia tiba di sana ia memutuskan untuk sekolah. Sementara ibu saya sudah terlebih dulu belajar di Belanda karena dikirim oleh kakek-nenek saya.
Di Belandalah orangtua saya bertemu dan kemudian memutuskan untuk menikah. Pada tahun 1952 mereka kembali ke Indonesia, ke Surabaya. Ayah saya sendiri berasal Kudus, jadi ia seorang peranakan Cina-Jawa, sementara ibu saya berasal dari keluarga Cina yang tinggal di Jakarta. Keluarga ibu saya yang masih punya orientasi kepada Cina, sementara ayah saya lebih merasa sebagai orang Jawa. Bahkan nenek saya dari keluarga bapak, tidak bisa bercakap selain dengan menggunakan bahasa Jawa. Dan di keluarga kami walaupun ibu dan ayah saya tahu berbahasa Cina, tapi ia tidak menggunakannya di rumah, kami lebih berbicara dengan bahasa Indonesia, dan ketika kami akhirnya pindah ke Belanda, kami pun lebih sering menggunakan bahasa Belanda sebagai percakapan sehari-hari.
Lalu di Belanda Anda mengambil studi tentang komunikasi. Mengapa bidang itu yang Anda pilih?
(Sambil tertawa...) Sebenarnya ada banyak hal yang memutuskan saya untuk memilih studi komunikasi. Tetapi saya kira saya sangat tertarik untuk memperhatikan tentang audience- permirsa, penonton media. Saya melihat kebanyakan studi komunikasi menekankan pada masalah isi media, bentuk media dan lain-lain, lalu menggunakan riset kuantitatif untuk mengukur audiens, jadi audiens selama ini dilihat dari kerangka institusi yang masuk dalam proses produksi media. Saya merasa bahwa terlalu banyak asumsi yang diberikan terhadap audiens, sehingga terasa tidak adil, karena kita tidak pernah menyelidikinya secara lebih jauh.
Saya mengambil contoh nyata, kami dari keluarga migran Indonesia, melihat bahwa media massa punya peranan yang sangat penting. Saya ingat sekali ketika kami sekeluarga tiba di Belanda, ayah mengatakan kepada bahwa kami harus bisa menguasai bahasa Belanda secepat-cepatnya, dan mulai sejak itu kami harus bercakap-cakap dalam bahasa Belanda. Lalu ayah saya langsung membeli sebuah pesawat televisi dan kami sekeluarga menonton televisi bersama. Dari situlah kami belajar bahasa Belanda dan juga belajar tentang bagaimana budaya orang Belanda sehari-hari. Dalam contoh ini, buat kami, menjadi audiens itu menjadi sangat penting, karena kami bisa segera mengaitkan diri kami dengan lingkungan baru dimana kami tinggal. Saya mendapat gelar Doctorandus (setingkat dengan master) di University of Amsterdam pada tahun 1982 dengan menulis tesis tentang audiens dari film Dallas.
***
BAGAIMANA Anda mulai berkenalan dengan cultural studies?
Seperti juga Anda katakan bahwa paradigma ilmu komunikasi banyak tidak berkembang, terlalu statistik, dan lain-lain, saya merasakan hal yang sama, sehingga saya juga ingin mencari paradigma alternatif. Pada akhir tahun 1970-an, kelompok Birmingham, dimana para tokoh cultural studies awal mulai berkarya (seperti Raymond Williams, Stuart Hall, dan lain-lain), kelompok ini pun terkenal di seluruh Eropa. Untunglah karena Inggris tidak jauh dari Belanda, saya punya kesempatan untuk datang ke Birmingham Centre pada tahun 1981.
Sebelumnya saya menemukan satu buku kecil di perpustakaan yang sangat bagus, ditulis oleh Raymond Williams, berjudul Television, Technology and Cultural Form, di situ saya mulai tertarik dengan cultural studies. Sungguh sangat menarik misalnya mendengarkan Stuart Hall memberikan kuliah. Hall adalah seorang penceramah yang memikat. Cultural studies ini sangat menarik karena merupakan perkembangan teori yang tak bisa lepas dari kondisi masyarakat saat itu. Cultural studies tidak melulu bicara soal teori, tetapi juga melakukan penelitian-penelitian empiris, yang kemudian makin memperkaya teorinya. Terus terang perkembangan saya saat ini pun banyak sekali dipengaruhi oleh Stuart Hall, apalagi Hall sendiri seorang yang berasal dari Jamaika dan kemudian mengajar di universitas besar di Inggris. Ada sedikit kemiripan hidupnya dengan saya.
Mengapa Anda tidak melakukan suatu studi tentang Indonesia misalnya pada saat itu?
Pada awal tahun 1980-an itu, Indonesia pada saat itu menurut saya tidak terlalu menarik dan juga karena Indonesia adalah sebuah negeri jauh di sana.
Apakah ada perasaan sakit hati juga di dalamnya?
Tidak juga, tidak sakit hati... tetapi buat saya Indonesia itu lebih merupakan suatu yang personal daripada misalnya politikal. Saya ingat kala itu misalnya mahasiswa radikal di Belanda memprotes kedutaan besar di sana karena pemerintah Indonesia menangkapi para mahasiswa yang memprotes Soeharto. Buat para mahasiswa ini, Indonesia adalah suatu yang politis, tapi tidak personal, tapi sebaliknya buat saya Indonesia adalah hal yang personal daripada yang politis. Tetapi ketika pada tahun 1991, saya pindah ke Australia, inilah kali pertama saya pergi ke luar negeri menuju arah Indonesia. Saya merasa sangatexcited, walaupun saya hanya terbang melewati kepulauan Indonesia saja, tanpa mampir. Namun, ketika saya bekerja di Perth, di Murdoch University, saya berkenalan dengan beberapa orang Indonesianist yang sangat intens mengunjungi Indonesia, yaitu Krishna Sen dan David Hill. Dari mereka berdua inilah saya belajar kembali tentang apa itu Indonesia.
Kapan Anda terakhir datang ke Indonesia?
Pada tahun 1996, kebetulan saya pun pergi ke Indonesia bersama dengan Krishna Sen, untuk mengikutiworkshop tentang media di Universitas Satya Wacana, kebetulan Ariel Heryanto yang mengundang kami.
Bagaimana perasaannya ketika datang ke Indonesia lagi?
Yah perasaan saya sangat kompleks saat itu. Di satu sisi, saya senang bisa menemukan kembali makanan-makanan Indonesia. Kami pergi ke Semarang, dan kemudian naik taksi menuju Salatiga. Saya merasa cukup nyaman, karena saya dianggap sebagai turis Jepang, karena saya tidak bisa berbahasa Indonesia, sementara Krishna Sen lebih fasih berbahasa Indonesia dan bisa bercakap-cakap dengan supir taksi. Namun, selama perjalanan itu saya merasakan sentimen anti Cina itu sangat keras, ketika misalnya sang supir menyebut bahwa orang-orang Cina merebut hak ekonomi mereka, tentu saja ini perasaan yang banyak muncul dari orang dari golongan seperti itu, dan mungkin juga benar dan mungkin juga tidak.
Lalu bagaimana kemudian Anda jadi memperhatikan Indonesia lagi?
Pada awal tahun 1998, ketika di Indonesia mulai terjadi banyak peristiwa anti-Cina, tahu-tahu saya mendapat email dari seorang pendiri website Huaren ("http://www.huaren.org") dan di situ ada ajakan untuk masuk dalam mailing list mereka untuk memperhatikan situasi yang terjadi di Indonesia terhadap kelompok Cina. Saya baru kemudian terpikir kembali, apa yang sedang terjadi dengan negeri saya yang dulu pernah melahirkan saya. Itulah karenanya saya memberi judul paper kemarin itu "Indonesia on My Mind". Kemudian penjelasan lain adalah, bahwa menjadi seorang yang memiliki darah Cina buat saya bukan tanpa masalah. Ketika kami masih ada di Belanda, ada suatu komunitas Cina yang selalu berkumpul dengan makanan-makanan ala Indonesia, dan di Belanda, menjadi seorang Cina, cukup simpel, komunitas ini akan mengerti bahwa, oh ini Cina dari Indonesia. Ya sudah... Tetapi ketika saya pergi ke Australia saya menemukan berbagai macam Cina yang lain, ada yang berasal dari Taiwan, Cina, Singapura, orang Cina yang lahir di Australia, dan di dalamnya juga Cina Indonesia. Demikian pula ketika saya pergi ke Taiwan untuk suatu seminar, mereka banyak menganggap saya sebagai saudara mereka, tapi bagaimana bisa, karena saya tidak bisa berbahasa Mandarin, dan bidang minat saya dan mereka tentu saja berbeda. Jadi ada persoalan besar tentang arti Chineseness di sini.
Lalu?
Orang Cina Indonesia makin dikenal oleh dunia umum bahwa umumnya mereka tidak bisa berbahasa Mandarin, tidak lagi menjalankan kebudayaan yang dianut oleh masyarakat Cina umumnya. Jadi label Cina di sini menjadi suatu yang problematik juga, kadang mungkin orang Cina Indonesia dianggap kurang Cina dibanding dengan orang Cina dari kawasan lain. Dan ketika di Indonesia kerusuhan bulan Mei 1998 mencuat ke permukaan, maka yang terjadi untuk kelompok seperti Huaren maka, ada banyak seruan kepada orang Cina di berbagai wilayah di dunia untuk membantu orang Cina di Indonesia. Di sini nuansa politik identitas menjadi sangat nyata, dimana kelompok Huaren mau mencoba merekonstruksi kembali peristiwa Mei 1998, dan kelompok ini membawa asumsi bahwa semua orang Cina di dunia ini sama saja. Ini asumsi yang tidak benar, karena saya sendiri misalnya lebih merasa sebagai orang Indonesia daripada sebagai orang Cina. Tetapi ini bukan berarti saya tidak berempati kepada mereka yang menjadi korban, korban Mei 1998 adalah korban dari perpolitikan yang mendudukan mereka dalam posisi yang sangat sulit. Ada banyak orang yang mencoba untuk lari dari Indonesia, terutama mereka yang punya uang, tapi mereka yang tidak punya uang, dan ini lebih banyak, memilih untuk tetap tinggal dan hidup di lingkungan yang belum tentu akan lebih baik. Di paper saya, saya menyebutnya ini sebagai strategi untuk melakukan hibdriditas, bercampur dengan komunitas lain sebagai suatu cara untuk survive dan untuk mengartikulasi diri secara lokal.
***
APA pendapat Anda melihat Indonesia yang sangat beragam etnik dan suku bangsanya ini? Apakah Indonesia bisa hidup dengan mempercayai adanya multikulturalisme?
APA pendapat Anda melihat Indonesia yang sangat beragam etnik dan suku bangsanya ini? Apakah Indonesia bisa hidup dengan mempercayai adanya multikulturalisme?
Saya mengemukakan hal ini tapi tanpa pengetahuan yang cukup dalam tentang Indonesia. Tetapi menurut saya sangatlah penting untuk memiliki negeri yang menganut paham multikulturalisme ini, tapi hal ini juga erat kaitannya dengan relasi kekuasaan yang ada di dalamnya. Konsep ini menjadi problematik karena selalu ada salah satu kelompok yang dominan dalam masyarakat, dan kemudian akan muncul juga kelompok yang ingin membela diri, di situ kemudian ethnic politics menjadi hal yang sangat nyata. Sebenarnya ini konsep yang paradoks juga, karena di satu sisi harus mempertahankan bangsa, namun di sisi yang lain ada berbagai kelompok yang harus diakui keberadaannya. Khusus tentang kelompok Cina di Indonesia, saya mendengar pada masa Habibie ada aturan yang melarang diteruskannya perbedaan antara pribumi dan non- pribumi, tapi sebagaimana terjadi di tempat lain, aturan hukum yang ada pun tak dengan sendirinya menghapus diskriminasi atau pembedaan perlakuan yang terjadi dalam masyarakat.
Mengapa Anda katakan bahwa konsep multikulturalisme itu penting?
Secara moral, konsep ini harus diakui, tetapi lebih penting lagi karena konsep multikultur adalah cara untuk melakukan kompromi dengan berbagai unsur yang ada dalam masyarakat. Ini bukan hal yang romantis, tapi lebih merupakan semacam kontrak dengan anggota masyarakat lain, dan ini juga merupakan usaha untuk menangani perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarat, dan multikultur juga menjadi semacam penyeimbang antara tarikan untuk memusat (centring power) dan keluar dari pusat (decentring power). Bisa dikatakan ini merupakan kompromi yang tak pernah tetap karena dalam masyarakat terus ada perkembangan, apalagi dalam kondisi modern saat ini, ada globalisasi, ada kesadaran manusia yang makin meningkat, dan ada juga arus perpindahan penduduk yang terus berlangsung. Jadi tak ada cara lain selain melakukan kompromi dalam suatu masyarakat yang multikultur seperti di Indonesia.
Anda juga melihat beberapa kelompok radikal agama terakhir ini?
Ya, saya melihat itu sebagai fenomena politik agama, dalam merupakan suatu yang problematik menghadapi kelompok seperti ini. Di Australia misalnya ada pengaturan soal kebebasan untuk beragama (Religious Freedom), orang bisa beragama apa saja tanpa tekanan, tapi ini pun ada batasnya, dalam konteks hidup dalam masyarakat multikultur. Dan saya kira tak ada tempat di dunia ini yang sempurna dalam mengelola masalah multikultur ini. Satu dua tempat bisa disebut, tapi hanya sebatas bahwa tidak ada konflik yang mencuat di wilayah tersebut. Hal ini tak pernah bisa sempurna, tapi itu juga sebabnya isu ini harus terus dijalankan, sebagai suatu pekerjaan yang dilanjutkan terus menerus. Menurut saya sebaiknya masyarakat yang multikultur itu merupakan negara yang sekuler. *