Antara Agama, Kemanusiaan, Atau..?

(Untuk bahan renungan...)

Oleh: Adriano Rusfi

Tiba-tiba seperti ada yang menikam keimanan saya, saat seseorang mengutip pendapat Sang Dalai Lama:

“Kita mungkin bisa hidup tanpa agama dan meditasi. Namun, kita tak mungkin hidup tanpa cinta dan kasih saya terhadap sesama manusia.”

Apakah memang telah datang harinya, di mana antara agama dan kemanusiaan perlu ditabuhkan genderang perang?

Tapi, di medan pertarungan hari ini, dua kubu memang tampak berdiri dan berkumpul saling berjauhan. Bukan saja berjauhan, tapi agaknya mereka berseberangan.

Di kanan, ada sebuah kaum, mereka khusyuk mondar-mandir ke rumah ibadah. Begitu khusyuknya, sehingga dia tak sempat menoleh ketika ada yang merintih kelaparan di sepanjang jalan. Kini, mereka telah keluar dari rumah ibadah sambil mengenakan sendal baru yang dicuri dari tempat penitipan. Di mulutnya masih bergumam lafadz istighfar. Mereka tampaknya tergopoh bersama baju gamisnya, karena harus segera membayar Ongkos Naik Haji di sebuah Bank. Ya, harus segera, sebelum datang seorang tetangga miskin memohon bantuan untuk istrinya yang harus dioperasi. Dan, masih ada satu tugas menunggu sebelum azan maghrib berkumandang dan dzikir harus dilantunkan dengan khusyuk, yaitu menggerebeg sebuah warung minuman keras yang dijaga oleh seorang ibu berkalung salib yang mengais biaya uang sekolah anaknya. Nah, kini selesai sudah. Warung laknat itu telah berhasil diobrak-abrik, dan kayunya tinggal dibuang bersama sampah ke dalam kali. Malam telah bisa dilalui sambil tersungkur menangis meminta ampun.

Di kiri, ada sekelompok orang tanpa atribut, mereka mirip gerombolan. Tampaknya mereka tak memiliki secuilpun rumah ibadah. Mereka berkumpul di sebuah tempat bernama Cafe. Ada yang tangan kirinya mencekik leher botol minuman keras, dan tangan kanannya mengepal melawan penindasan. Ada yang kedua tangannya merangkul pinggang seorang pelacur, sambil berpikir tentang teknologi yang dapat mengurangi pemanasan global. Sementara, lelaki bertato itu tampak gegap-gempita berteriak menghentikan perang. Nah, di sana juga ada perempuan-perempuan nyaris tanpa busana yang sibuk mengumpulkan koin-koin untuk penderita kelaparan di Afrika. Mereka tampak berantakan, namun anehnya tak satupun yang menyerobot antrean.

Saya hanya bingung menentukan posisi pada hari ini. Saya ingin bertanya kepada Dalai Lama. Saya mencari-cari, ada di mana dia. Saya cari dia di kubu sebelah kiri. Kata seseorang, tadi memang dia ada, tapi baru saja pergi. Sebenarnya saya juga ingin segera pergi, karena tak tahan aroma minuman keras, dan bau amis sperma yang seenaknya saja berceceran di sana-sini. Tapi, langkah saya tertahan, karena tiba-tiba saja saya mencium aroma teramat wangi : aroma kemanusiaan, walau agak bercampur dengan bau muntah. Rasanya saya seperti tak asing dengan aroma ini, sangat akrab. Tapi entahlah... Saya harus berpikir keras mengingat-ingat.

Ya... saya ingat sekarang : ini bau tubuh Rasulullah, tak salah lagi. Ya, tak mungkin salah, karena hanya satu tubuh di muka bumi ini yang baunya paling manusiawi. Ia, Rasulullah, yang menata batu bata kemanusiaan pada dirinya sejak hari pertama kelahirannya. Aroma itu begitu kuat, karena keluar dari hasil racikan empat unsur utama kemanusiaan : kejujuran (shidiq), kepercayaan (amanah), komunikasi (tabligh) dan kecerdasan (fathanah). Ya, ini rukun kemanusiaan (Arkanul Insan), bukan rukun Islam, bukan rukun Iman !!! Inilah empat rukun yang Beliau miliki, sebelum menjadi Mu’min, sebelum menjadi Muslim.

Kenapa? Tentu... karena Beliau akan dipersiapkan menjadi Rasulullah : Utusan Allah. Dibutuhkan penerimaan atas kredibilitas kemanusiaan seseorang, kalau omongan seorang Rasul ingin didengarkan. Dibutuhkan pengakuan atas integritas kemanusiaan seseorang, kalau tindak-tanduk seorang utusan ingin diteladani. Dibutuhkan respek yang tinggi atas kualitas kemanusiaan seseorang, jika ia ingin menawarkan sebuah revolusi. Karena, hanya dengan rukun kemanusiaan yang ia miliki, ia bisa meyakinkan kaumnya,

“Wahai kaumku, jika aku katakan kepada kalian bahwa di atas bukit sana ada sekawanan serigala akan menyerang kalian, percayakah kalian?”

“Wahai kaumku, jika aku katakan kepada kalian bahwa di balik bukit saja ada pasukan musuh yang akan menyerang kalian, percayakah kalian?”

Dan, kemanusiaan telah memenangkan risalah beliau, ketika kaumnya menjawab,

“Kami percaya wahai Muhammad, karena engkau Al Amin, tak pernah berdusta.”
Ah... kalau begitu saya salah masuk kelompok. Seharusnya dari tadi saya masuk kelompok kanan. Bukankah itu kubu yang bersyahadat kepada Rasul dan yang paling sering bershalawat kepada Beliau? Tapi, kenapa saya tak mencium aroma kemanusiaan di sana ? Apakah Rasulullah yang dishalawati oleh kubu kanan adalah “Rasululullah” yang lain, “Rasulullah” yang langsung diturunkan dari langit? Bukan Rasulullah yang berkata,

“Aku manusia biasa seperti kalian. Hanya saja, aku mendapat wahyu...” ???
Tampaknya kelompok kanan ini tak tertib membaca kitabNya. Tiba-tiba saja mereka membaca ayat-ayat yang turun di Madinah, yang acap dimulai dengan panggilan “Wahai orang-orang yang beriman...” Ya, mereka lupa untuk membaca ayat-ayat yang turun lebih dulu, ayat-ayat yang turun di Makkah, ayat-ayat yang menyapa “Wahai sekalian manusia...” Pantaslah kalau begitu, mereka jadi beriman namun gagal untuk berinsan. Mereka basah dengan keimanan, namun kering dengan kemanusiaan.

Lalu, apakah saya harus kembali ke kiri?

Tampaknya tidak juga. Sudah lewat waktunya di mana saya harus menjadi koboi : Koboi yang membantai bandit di sebuah kafe, sambil melabrak sekian banyak hukum, etika, kesantunan, menjungkirkan meja dan kursi, serta membuat bar luluh-lantak. Bukan umurnya lagi bagi saya untuk menjadi pejuang melankolis nan romatis, yang bermimpi tentang kehidupan surgawi tanpa sedikitpun amis darah, sambil menuduh kelompok kananlah yang gemar menumpahkannya. Kayaknya itu tak mungkin saya : Bercerita tentang kemanusiaan sambil meludahi ibu kandung sendiri, bertindak untuk kemanusiaan sambil mengutuk agama dan Tuhan yang pertama kali mengajarkan definisi kemanusiaan.

Ya, saya hanya harus kembali ke tengah, seperti firman Allah :

“Dan demikianlah, telah Kami jadikan kalian ummat pertengahan, agar kalian menjadi saksi atas manusia, dan agar Rasul pun menjadi saksi atas kalian...” (Q.S. Albaqarah : 143)

sumber: http://on.fb.me/10nnwrY