dari facebook.com/notes. Versi Cetak dimuat di Kabar Priangan, Rabu, 24 Juli 2013.
Al Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda dalam bentuk pupuh dan nadoman. Dibaca dengan cara dilantunkan, dan ditampilkan dalam bentuk tembang Sunda Cianjuran. Tujuannya agar kandungan ayat suci Al Qur’an lebih mudah dipahami oleh masyarakat Sunda.
Suara kecapi suling dan lantunan tembang Sunda Cianjuran terdengar mengalun dari ruang kerja H.R. Hidayat Suryalaga di rumahnya di kawasan Sukaasih, Ujungberung, Bandung. Sepintas tidak ada yang berbeda dengan tembang Sunda Cianjuran umumnya. Namun jika diperhatikan lebih seksama, akan tampak sekali perbedaannya. Lirik-lirik yang ditembangkannya diambil dari terjemahan Al Qur’an yang digubah ke dalam bentuk pupuh(dangding) seperti yang biasa dibawakan dalam tembang Sunda Cianjuran.
Inilah tembang Sunda Nur Hidayahan yang diambil dari Saritilawah Nur Hidayah (SN), buah karya Drs. H. R. Hidayat Suryalaga, seorang sastrawan dan budayawan Sunda. SN adalah sebuah terjemahan Al Qur’an berbahasa Sunda dengan menggunakan pupuh sebagai mediumnya. Selain SN, Hidayat pun membuat Nurul Hikmah, berupa terjemahan Al Qur’an dalam bentuk nadoman.
Saat ini, Saritilawah Nur Hidayah yang lengkap sudah dibukukan sebanyak 3 jilid. Masing-masing jilid memuat 10 Juz Al Qur’an. Sebelumnya, tahun 1994, ketika SN baru selesai juz I, Juz II dan Juz XXX (Juz ‘Amma), pernah diterbitkan secara terpisah, satu buku memuat satu Juz saritilwah. Selain dalam bentuk buku, SN pun kini dibuat dan diedarkan dalam bentuk CD. Sementara nadoman Nurul Hikmah hingga kini masih dicetak dalam beberapa edisi terbatas.
Walau jumlahnya masih terbatas, tapi berkat kerja keras Hidayat bersama Yayasan Nur Hidayah yang dibentuknya, keduanya sudah menyebar di kalangan masyarakat Sunda. Termasuk di beberapa pesantren yang ada di Jawa Barat.
Seperti yang tampak pada bukunya, SN sudah memperoleh rekomendasi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kotamadya DT. II Bandung (surat rekomendasi nomor 23/MUI/B/II/1994) dan MUI Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, (surat rekomendasi nomor 57/1/MUI-JB/IV/1994). Selain itu, mendapat dukungan pula dari Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Barat, dan Departemen Agama Provinsi Jawa Barat.
Terciptanya SN, berawal dari kegelisahan Hidayat ketika ingin mendalami isi kandungan Al Qur’an. Sebagai seseorang yang tidak mengenyam pendidikan di pesantren, Hidayat berusaha memahami isi kandungan Al Qur’an melalui tafsir dan terjemahan Al Qur’an. Namun setelah dibacanya tafsir tersebut dia merasa ada sesuatu yang kaku dalam bahasa yang digunakan dalam tafsir tersebut. Setelah dianalisis, salah satunya karena stuktur kalimat yang digunakan dalam kebanyakan tafsir Al Qur’an lebih banyak menggunakan pola Menerangkan-Diterangkan (MD). Sedangkan dalam gramatika bahasa Sunda pola dasarnya Diterangkan-Menerangkan (DM).
Ketika menjadi dosen di Jurusan Bahasa dan Sastra Sunda UNPAD, Hidayat menemukan fakta bahwa sebagian besar mahasiswanya tidak suka membaca tafsir terjemahan Al Qur’an. Padahal sebagian besar dari mereka sudah khatam membaca Al Qur’an. Hal yang sama didapatinya ketika suatu kali Hidayat diminta untuk memberikan pembekalan tentang budaya Sunda kepada para calon da’i. Pemahaman mereka terhadap Al Qur’an tidak begitu mendalam. Mereka hanya memahami sebagian saja dari Al Qur’an.
Ia pun terinspirasi setelah membaca buku ‘Membumikan Al Qur’an’ karya Quraish Sihab, yang menyebutkan bahwa hanya 500 ayat Al Qur’an yang menjadi bahan analisa di perguruan tinggi Islam. Dalam hatinya ia bertanya, ke mama yang 6100 ayat lagi?
Dari sinilah kemudian timbul keinginannya untuk mencari cara agar Al Qur’an bisa lebih dekat dengan masyarakat pembacanya. Sebagai orang yang peduli terhadap budaya Sunda, terpikirlah untuk membuat terjemahan Al Qur’an dengan memanfaatkan potensi seni budaya yang digemari oleh masyarakat Sunda. Salah satunya tembang Cianjuran.
Dipilihnya bahasa Sunda dalam terjemahan ini alasannya selain lebih mudah dimengerti, juga karena bahasa ini lebih mewadahi asfek rasa Al Qur’an. Adapun pupuh, sudah dikenal luas oleh masyarkat Sunda. Lirik-lirik (rumpaka) pupuh inilah yang biasa digunakan dalam tembang Cianjuran.
Pupuh ialah sejenis puisi yang terikat oleh aturan baku mengenai melodi, khususnya yang menyangkut jumlah suku kata pada tiap larik, jumlah larik pada tiap bait serta variasi rima akhir. Dibaca dangan cara disenandungkan. Dalam tradisi sastra Sunda pupuh adalah bentuk puisi lama yang berasal dari pengaruh budaya Jawa.
Ada 17 pupuh yang dikenal oleh masyarakat Sunda. Dari ketujuh belas pupuh tersebut, ada 4 yang lebih populer di masyarakat. Yaitu Kinanti, Sinom, Asmarandana dan Dangdanggula(KSAD). Empat pupuh inilah yang dipakai Hidayat dalam mengkonversi terjemah Al Qur’an ke dalam SN.
Menurut Hidayat, filosofi tembang Sunda Cianjuran baik alat musik maupun susunan lagunya mempunyai nilai yang sangat tinggi. Sehingga sangat cocok untuk mengekspresikan rasa religiusitas yang islami. SN memberikan warna yang baru pula bagi seni tembang Cianjuran
“Selain untuk dakwah, pada wilayah seni pun Nur Hidayah memperkaya lirik tembang Sunda dengan memperluas wilayah tematisnya, dari yang sifatnya kontemplatif nostalgik ke wilayah yang lebih bersifat kontemplatif religius Islamik,” kata lelaki kelahiran Banjarsari, Ciamis, 16 Januari 1941 ini.
Dalam perkembangan tafsir Al Qur’an berbahasa Sunda khususnya yang dibuat dalam bentuk dangding, SN bukanlah yang pertama. Sebelumnya, Haji Hasan Moestapa, sastrawan Sunda dan ahli tasawuf, pada tahun 1920 sudah membuat tafsir Al Qur’an dalam bentuk dangding. Namun dia tidak menulis tafsir yang lengkap, hanya 105 ayat yang menurutnya cocok untuk orang Sunda.
Kemudian pada tahun 1940-an, Bupati Bandung R.A.A. Wiranatakoesoemah V, juga menulis tafsir Surat Al-Baqarah dalam bentuk dangding. Fakta ini pula yang menginspirasi Hidayat membuat SN yang lebih lengkap dari tafsir sebelumnya dalam bentuk serupa.
Seperti diakui oleh penulisnya, SN tidak diterjemahkan langsung dari Al Qur’an yang berbahasa Arab. Namun dia mengkonversi dari terjemahan yang sudah ada. Beberapa tafsir dan terjemahan Al Qur’an dipelajarinya dengan seksama. Yang pertama dia mendalami tafsir Al Qur’an yang dikeluarkan oleh Departemen Agama. Kemudian beberapa tafsir lainnya termasuk tafsir dalam bahasa Sunda seperti Tafsir Rahmat Basa Sunda (H. Oemar Bakry, Angkasa, Bandung, 1983), Ayat Suci Lenyepaneun (Moh. E. Hasyim, Pustaka, Bandung, 1998), dan lain-lain.
Sebagai bentuk sosialisasi, tahun 1996, SN untuk kali pertama disiarkan di radio Antasalam, sebuah radio swasta di Bandung yang memiliki segmen pendengar dari kalangan muslim. Masyarakat menanggapi secara positif. Bisa dikatakan tidak ada resistensi sama sekali dari kalangan umat Islam. Yang menarik, penolakan justru berasal dari kalangan non Islam yang menggunakan cara-cara yang sama (menggunakan media tembang Cianjuran untuk menyampaikan dakwah) seperti yang dilakukan oleh HS.
Tahun 2000 SN ditayangkan di TVRI Bandung (sekarang TVRI Jabar Banten) selama sebualan penuh selama bulan Ramadhan. Tahun 2001 RRI Bandung pun menyiarkannya setiap malam pada pukul 23.30-24.00 WIB. Selain diperkenalkan melalui media massa, SN pun diperkenalkan di sekolah-sekolah. Kerap pula ditampilkan sebagai pembuka pada acara-acara resmi kegamaan atau yang berkaitan dangan kebudayaan Sunda baik di lingkungan pemerintah, sekolah, dll.
Dalam mensosialisasikan karyanya, Hidayat tidak sendirian. Sebelumnya, tahun 1996, ia pernah membentuk sebuah komunitas pengajian di kediamannya. Bagi Hidayat tidak terlalu sulit untuk mengumpulkan orang-orang untuk berkumpul di rumahnya. Sebagai seorang yang peduli terhadap budaya Sunda, ia dikenal memiliki wawasan yang luas tentang budaya Sunda. Dia banyak bersentuhan dengan berbagai kalangan masyarakat Sunda. Termasuk dengan awak Galih Pakuan, sebuah komunitas pengagum Haji Hasan Mustappa. Tak heran jika banyak orang bertandang ke rumahnya untuk belajar tentang kesundaan. Termasuk dari kalangan generasi muda.
Hidayat mendirikan pengajian yang oleh anggotanya biasa disebut “majelis malem reboan” (karena dilaksanakan setiap rabu malam). Ini adalah awal Hidayat mensosialisasikan SN. Anggotanya sebagian besar terdiri dari anak-anak muda. Jumlahnya tidak banyak. Hanya sekitar 10 sampai 15 orang. Sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa dari UNPAD Jurusan Bahasa dan Sastra Sunda dan IAIN (sekarang UIN) Sunan Gunung Djati yang tertarik mempelajari kebudayaan Sunda.
Bentuk pengajiannya agak unik. Berbeda dengan pengajian pada umumnya. Diawali dengan pembacaan ayat suci Al-Qur'an oleh seorang anggota pengajian yang fasih membaca Al Qur’an. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan saritilawah yang biasa dibacakan oleh masyarakat umum. Untuk sesi ini biasanya diwakili oleh mahasiswa dari IAIN. Baru kemudian giliran anggota yang lain mahasiswa dari UNPAD yang menembangkan Saritilawah Nur Hidayah dengan diiringi musik kacapi-suling.
Setelah selesai satu ayat, lalu diadakan pembahasan setelah salah seorang peserta yang menguasai tafsir Al Qur’an memaparkan kandungan ayat tersebut. Yang menarik, dalam sesi ini, Hidayat melengkapi penjelasan ayat yang sedang dibahas dengan merujuk kepada khazanah budaya Sunda sebagai bahan perbandingan.
Dari komunitas inilah kemudian SN diperkenalkan kepada masyarakat. Tidak hanya itu, Hidayat pun mengajak beberapa seniman tembang Sunda baik secara personal maupun kelompok untuk mensosialisasikan SN. Diantaranya seniman Yus Wiradiredja dan Tati Saleh (alm). Bersama kelompoknya kedua seniman ini membawakan SN untuk pertama kalinya di stasiun TVRI Bandung selama sebulan penuh pada bulan Ramadhan tahun 2000.
Walau pengajian itu sekarang sudah tidak ada lagi, bukan berarti SN berhenti sampai di situ. SN terus berusaha diperkenalkan. Saat ini SN ditayangkan di Bandung TV, sebuah televisi lokal di Bandung. Adalah Dian Hendrayana, wartawan, pengarang Sunda yang juga mendalami tembang Cianjuran yang mengusahakan ditampilkannya SN di Bandung TV. Ketika menjadi mahasiswa di UNPAD, Dian ikut dalam pengajian Nurhidayahan, dan kini bekerja di Bandung TV.
Menurut Dian, di kalangan seniman tembang Sunda, SN sangat digemari. Mereka tertarik membawakan SN karena lirik-liriknya yang bersumber dari Al Qur’an.
“Sejak tahun kedua Bandung TV berdiri, kami menayangkan SN, terutama pada saat bulan Ramadhan. Namun di luar bulan Ramadhan pun kami terus menayangkannya. Ratingnya cukup bagus,” tutur Dian.
SN mulai dikerjakan Hidayat sejak tahun 1981 dan selesai tahun 1998. Awalnya Hidayat hanya menerjemahkan Juz XXX/Juz ‘Amma. Baru kemudian Juz I dan Juz II. Dan baru selesai seluruhnya (30 Juz) pada bulan Mei 1998. Pekerjaan ini dikerjakan disela-sela kesibukannya menjalankan rutinitas lainnya sebagai dosen dan seniman. Khusus untuk Juz XXVII dan Juz XXVIII diselesaikannya pada bulan April hingga Mei 1998 di Madinah al Munawwaroh dan Mekah al Mukaromah pada saat menjalankan ibadah haji.
Sebagai perbandingan, SN yang diambil Al Qur’an Surat Ar- Rum, Ayat 41dan 42 seperti berikut ini:
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan meraka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (41) Katakanlah: “Adakan perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-oang yang dahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (42) (Sumber Tafsir Al Qur’an DEPAG)
Dalam Saritilawah Nur Hidayah ditulis seperti ini:
Bismillahirrohmanirrohim
Ka Alloh abdi nyalindung, tina panggodana setan.
Kalayan asma Nu Agung, Alloh Anu welas Asih, –Alloh–
Pupuh Asmarandana
Karuksakan anu Dilantarankeun ku Pagawean Manusa
(Keruksakan yang Disebabkan Ulah Manusia)
XXI/:30/41
Geus kasaksi geus kabukti, enggeus nembrak karuksakan, bancang pakewuh katembong, ruksak di laut di darat, lantaran gawe manusa, ngaruksak terus ngaraksuk, leungeunna nu ngagalaksak.
(Telah tampak telah terbukti, tampak jelas kerusakan, huru hara terlihat, rusak di laut di darat, karena perbutan manusia, merusak terus merasuk, tangannya yang membuat kerusakan)
XXI/:30/41
Kitu kersana Ilahi, kersaning Alloh Ta’ala, karasa akibatna teh, sabagian balukarna, panggawena manusa, sok sugan jadi pituduh, mulang ka jalan utama.
(Begitulah kehendak Tuhan, kehendak Allah Ta’ala, terasa akibatnya, sebagian akibatnya, ulah manusia, mudah-mudahan jadi petunjuk, kembali ke jalan yang benar)
XXI/:30/42
Bejaan bere pepeling, “Bral andika geura nyaba, ngumbara tong ngotok ngowo, lumampah salatar jagat, bari hempek titenan, kaayaan unggal lembur, unggal tempat nu kasaba.
(Berilah nasihat, “Berangkatlah engkau , berkelana jangan diam saja, berjalanlah di muka bumi, sambil mengamati, keadaan setiap kampung, setiap tempat yang dilalui)
57/XXI/:30/42
Pek titenan masing sidik, perhatikeun enya-enya, nu kasaksen nu katembong, kuma kajadianana, jelema nu baheula, nu ngalawan ka Anu Agung, anu nyembah ka berhala.
(Perhatikanlah dengan teliti, perhatikan dengan sungguh-sungguh, yang tampak dan terlihat, bagaimana kejadiannya, orang-orang terdahulu, yang melawan Allah Yang Agung, yang menyembah berhala)
Shodaqollohul Adzim
Maha Pinuji Ilahi, moal lepat pidawuh-Na. –Alloh–
Maha terpuji Allah, firman-Nya tidak akan salah. –Allah–
Setelah SN selesai ditulis, tahun 1999 Hidayat kemudian menulis Nurul Hikmah (NH). NH adalah terjemahan Al Qur’an dalam bentuk nadoman. Hingga kini sudah tercipta lebih dari 6500 bait nadoman. Berbeda deangan SN, NH dibuat untuk segmen kalangan anak-anak dan remaja. Jika SN memerlukan kemampuan khusus dalam menembangkannya, karena dibuat dalam bentuk pupuh, maka NH dapat dilantunkan secara bebas, karena NH dibuat dalam bentuk nadoman yang biasa dilantunkan di masjid atau pesantren. Dari bahasa yang digunakan NH lebih menggunakan bahasa yang populer. Isinya pun bersipat kontekstual, Hidayat memasukan ilustrasi- ilustrasi dalam kehidupan sehari-hari. Tujuannya agar bisa diminati oleh anak-anak sebagai generasi penerus Islam.
Sebagai contoh, Nadoman Nurul Hikmah yang diambil dari Al Qur’a,n Juz XXI Surat Ar Rum ayat 22:
Nyanggakeun ieu nadoman,
Sumberna tina Al Qur’an,
Ar-Rum nu jadi suratna,
Ayat dua puluh dua.
(Kami persembahkan nadoman ini,
Sumbernya dari Al Qur’an,
Surat Ar-Rum,
Ayat dua puluh dua.)
Ieu ayat penting pisan,
Eusina kedah lenyapan,
Seueur anu jadi tanda,
Agungna Alloh Ta’ala
(Ayat ini penting sekali,
Isinya harus diresapi,
Banyak sekali tanda,
Keagungan Allah Ta’ala)
Saamparna jagat raya,
Salegana alam dunya,
Bumi langit sagebarna,
Ciptaan Alloh Nu Esa,
(Sehamparan jagat raya,
Seluasnya alam dunia,
Seisi bumi dan langit,
Ciptaan Allah Yang Esa)
Lajeng tengetan manusa,
Mangrupa-rupa bangsana,
Bareda warna kulitna,
Ciptaan Maha Kawasa.
....
(Lalu perhatikan wahai manusia,
Berbagai macam suku bangsanya,
Berbeda warna kulitnya,
Ciptaan Yang Maha Kuasa)
....
Menurut Ade Tajudin Nawawi, sekretaris I Dewan Dakwah Islam Indonesia, kehadiran SN dan NH patut disambut dengan baik oleh masyarakat sunda. SN dan NH bisa menjadi alternatif bagi masyarakat Sunda dalam memahai isi kandungan ayat suci Al Qur’an. Selain itu, masyarakat pun bisa belajar bahasa Sunda yang baik dan indah dari karya ini.
“Ini adalah sebuah refleksi dari kegelisahan seorang sastrawan sunda terhadap kenyataan di masyarakat Sunda dalam beragama,” demikian penilaian Ade terhadap karya Hidayat Suryalaga.
Hidayat berharap karyanya ini bisa tersebar luas di masyarakat. Sebagai penulis dia sudah menyelesaikan tugasnya dengan baik. Tinggal bagaimana masyarakat Sunda mengapresiasinya. Pemerintah dan tokoh agama pun diharapkan bisa memberi dukungan lebih besar lagi guna tercapainya dakwah menggunakan seni budaya ini.
Guru Para “Mualaf” Sunda
Pikiran Rakyat, 31 Desember 2010. dari sunangunungdjati.com
Haji Raden Hidayat Suryalaga, di dunia maya populer sebagai Abah Surya, adalah guru bagi para pemula yang “mencari” Sunda. Lahir di Ciamis, 16 Januari 1941, ia wafat dipanggil Sang Khaliq pada Sabtu, 25 Desember 2010.
Banyak yang kaget dengan kepergiannya yang tiba-tiba itu. Rabu ia masih diskusi Pikiran Rakyat. Esoknya ia memberikan paparan mengenai Sunda di depan jajaran pengurus besar Paguyuban Pasundan. Tak ada yang menduga kalau Abah Surya mengidap gangguan liver yang cukup akut. Ia seperti sakit biasa-biasa saja lazimnya orang tua, batuk. Rupanya ia tak ingin mengecewakan setiap pihak yang mengundangnya untuk berceramah tentang Sunda.
Bagi nonoman Sunda yang ingin mengenal budayanya, nama Abah Surya akan menjadi referensi di urutan teratas. Selaku guru, ia akan menerima setiap murid dengan senyum khasnya dan keramahan yang membuat setiap orang cepat merasa akrab. Rumahnya di Suka Asih Atas membuat para tetamu segera merasa at home.
Sepanjang percakapan tentang tema yang beragam, hampir tak pernah terlontar kata makian atau panyawad kepada seseorang. Ia menjaga betul sosok setiap tokoh Sunda di mata para pemula. Sekalipun ada tamu yang mengadukan perilaku seorang tokoh yang kurang berkenan, Abah Surya akan segera ngalelempeng, ia melihat si tokoh dari sudut pandang yang lain. Ia tidak ingin mewariskan kebencian kepada siapapun.
Awal 1996, ketika kuliah di IAIN, saya mendapat rekomendasi untuk sowan kepadanya. Saya pun mulai bertanya segala hal terkait Sunda. Karena tidak ingin menikmati sendiri keasyikan diskusi dengannya, saya ajak Bambang Q Anees, Ahmad Gibson, dan lain-lain. Saat itu Abah Surya sudah menyelesaikan 13 juz saritilawah Nurhidayah. Ia agak gamang untuk melanjutkan karena ada kritik yang menggugat kapasitasnya sebagai penafsir Al-Qur’an. Kami selalu mendorongnya untuk terus melanjutkan karya besar itu, tanpa menghiraukan bermacam kritik.
Setiap Rabu malam, kami datang ke Suka Asih sekira jam 20.00 WIB. Saya biasanya kebagian tugas membacakan ayat Al-Quran yang akan dibahas. Seorang kawan kemudian membaca terjemahannya. Lalu denting kecapi dan jerit seruling mengiringi tembang sari tilawahnya. Dan dimulailah diskusi pada malam itu. Kami yang dari IAIN akan diminta menjelaskan kandungan ayat yang merujuk kitab tafsir atau hadits. Abah kemudian memberikan paparan terhadap masalah itu dari referensi ke-Sunda-an, ada kalanya dari buku tertentu atau dari respons sejumlah tokoh terhadap masalah yang hampir sama. Tanya jawab pun berlangsung hangat diselingi kudapan roti bakar. Biasanya baru pada jam 02.00 dinihari kami pamit.
Entah berapa lama persisnya kami menjalani rutinitas itu, hingga suatu hari, pada hari ulang tahunnya yang ke-58 yang bertepatan dengan HUT Teater Sunda Kiwari ke-24, kami diundang ke Rumentang Siang. Ada acara syukuran yang sederhana. Namun yang selalu saya ingat, malam itu Abah menyebutkan bahwa penulisan sari tilawah Nur Hidayah sudah berhasil diselesaikannya. Genap untuk 30 juz. Tanpa terasa, kami ternyata telah menemaninya untuk menyelesaikan 17 juz sari tilawah tersebut. Setelah itu ia menggarap Nurul Hikmah, bentuk lain dari saritilawah yang disusun dalam bentuk nadzoman/pupujian dan banyak mengadopsi bahasa anak-anak Sunda. Pada 2009 juga telah genap 30 juz. Sungguh dua karya yang paripurna.
Nasihat dari Panjalu
Untuk mengenang kepergian Abah Surya, ada satu informasi yang masih tercatat dalam file komputer saya. Ketika itu menjelang reformasi 1998, Abah berbagi tentang nasehat Embah Panjalu yang diduga kuat sebagai Prabu Hariang Kancana. Nasehat itu terasa masih relevan hingga hari ini.
Pertama-tama, ia mengingatkan kita yang suka bertele-tele dan berputar-putar berebut wacana tanpa kerja nyata. Lila teuing idek liher, katanya. Perdebatan tentang konsep perjuangan selalu kandas dalam diskusi dan seminar. Padahal yang diharapkan adalah siapa yang sebenarnya sudah siap, sayaga-tohaga, untuk berjuang itu. Mengapa tak kunjung dimulai juga. Mengapa tetap tak mau panceg, kukuh lahir batin, menanggung semua resiko sebagai konsekuensi perjuangan.
Lalu dia memberikan sinyal bahwa moal lawas aya nu ngagalaksak. Tak lama lagi akan ada pribadi atau kelompok yang hendak melakukan upaya-upaya destruktif, berusaha menghancurkan kembali pondasi bangsa yang dengan susah-payah didirikan. Sebagai penyangga ibu kota, bukan hal aneh jika Jawa Barat akan dijadikan tempat transit untuk setiap kekuatan yang berniat ‘menggoyang’ Jakarta. Karena itu kondisi yang tampaknya adem ayem seperti sekarang jangan sampai membuat lengah. Sejarah mencatat bahwa wilayah Jabar selalu dijadikan base-camp berbagai kekuatan politik yang hendak eksis di bumi Indonesia. Ancaman huru-hara itu bukan untuk dihindari. Eta kudu ditawa, harus dihadapi dengan empat kekuatan, yaitu:
Pertama, gurat lemah, ikatan keluarga atau etnis. Hal ini berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah (Otda), yang diharapkan bukan merenggangkan ikatan antaretnis tapi justru harus menjadi kekuatan independen yang saling mengisi. Dalam konteks Jawa Barat, pesan gurat lemah diharapkan menjadi spirit integrasi masyarakat Sunda. Otda tidak dijadikan alasan untuk pajauh huma. Namun menjadi modal dalam berkompetisi untuk sebesar-besar kesejahteraan Sunda melalui potensi masing-masing daerah.
Kedua, gurat cai, kejernihan cendekiawan/intelektual. Tak bisa dipungkiri di era politik sekarang, peran dan posisi kecendekiaan kerap dipergunakan untuk mendukung kepentingan sesaat. Angkat bicaranya para pakar dalam berbagai bidang, bukannya menyelesaikan persoalan tetapi malah menambah kusut dan semakin menyulitkan penguraian masalah. Para pakar tampil tak lebih sebagai komentator. Hal ini berkait dengan mental intelektual yang rentan untuk disusupi berbagai interest. Pesan gurat cai menuntut kejernihan dan keikhlasan para cendekiwan dalam memerankan dirinya.
Ketiga, gurat batu, supremasi hukum dan kewibawaan pemerintah/birokrat. Keduanya hanya bisa terwujud jika aparat hukum dan pejabat birokrasi terbebas dari praktek-praktek KKN.
Keempat, gurat langit, kehendak Yang Kuasa. Kita boleh berharap, pemimpin bisa saja berkeinginan, tapi jika Tuhan berkehendak lain, maka harapan itu tak akan pernah terwujud. Nasihat terakhir ini menuntun kita agar selalu menyelaraskan harapan dan cita-cita dengan garis Tuhan yang kita imani. Pesan ini juga mengingatkan bahwa apa pun upaya kita dalam membangun bangsa, harus senantiasa menyertakan dan memperhitungkan faktor Ilahiyah dalam setiap langkah.
Empat hal itu rupanya menjadi acuan pula bagi Abah Surya dalam karya-karyanya. Misalnya, untuk memperkuat konsep Otda, ia melemparkan gagasan mengenai Desa Budaya. Tentang gurat cai, ia selalu mewanti-wanti agar para intelektual konsisten berkarya dan tidak menjadi alat kepentingan sesaat. Kepada salah seorang anaknya, menjelang wafat ia mengingatkan agar selalu istikomah dalam keislaman dan kesundaan. Dalam Sunda yang dibalut Islam itulah Abah Surya ingin dikenang dan ditempatkan.
Wilujeng angkat guru, semoga Allah Swt menerima semua amal kebaikan dan mengampuni segala kesalahan. Amien.
Al Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda dalam bentuk pupuh dan nadoman. Dibaca dengan cara dilantunkan, dan ditampilkan dalam bentuk tembang Sunda Cianjuran. Tujuannya agar kandungan ayat suci Al Qur’an lebih mudah dipahami oleh masyarakat Sunda.
Suara kecapi suling dan lantunan tembang Sunda Cianjuran terdengar mengalun dari ruang kerja H.R. Hidayat Suryalaga di rumahnya di kawasan Sukaasih, Ujungberung, Bandung. Sepintas tidak ada yang berbeda dengan tembang Sunda Cianjuran umumnya. Namun jika diperhatikan lebih seksama, akan tampak sekali perbedaannya. Lirik-lirik yang ditembangkannya diambil dari terjemahan Al Qur’an yang digubah ke dalam bentuk pupuh(dangding) seperti yang biasa dibawakan dalam tembang Sunda Cianjuran.
Inilah tembang Sunda Nur Hidayahan yang diambil dari Saritilawah Nur Hidayah (SN), buah karya Drs. H. R. Hidayat Suryalaga, seorang sastrawan dan budayawan Sunda. SN adalah sebuah terjemahan Al Qur’an berbahasa Sunda dengan menggunakan pupuh sebagai mediumnya. Selain SN, Hidayat pun membuat Nurul Hikmah, berupa terjemahan Al Qur’an dalam bentuk nadoman.
Saat ini, Saritilawah Nur Hidayah yang lengkap sudah dibukukan sebanyak 3 jilid. Masing-masing jilid memuat 10 Juz Al Qur’an. Sebelumnya, tahun 1994, ketika SN baru selesai juz I, Juz II dan Juz XXX (Juz ‘Amma), pernah diterbitkan secara terpisah, satu buku memuat satu Juz saritilwah. Selain dalam bentuk buku, SN pun kini dibuat dan diedarkan dalam bentuk CD. Sementara nadoman Nurul Hikmah hingga kini masih dicetak dalam beberapa edisi terbatas.
Walau jumlahnya masih terbatas, tapi berkat kerja keras Hidayat bersama Yayasan Nur Hidayah yang dibentuknya, keduanya sudah menyebar di kalangan masyarakat Sunda. Termasuk di beberapa pesantren yang ada di Jawa Barat.
Seperti yang tampak pada bukunya, SN sudah memperoleh rekomendasi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kotamadya DT. II Bandung (surat rekomendasi nomor 23/MUI/B/II/1994) dan MUI Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, (surat rekomendasi nomor 57/1/MUI-JB/IV/1994). Selain itu, mendapat dukungan pula dari Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Barat, dan Departemen Agama Provinsi Jawa Barat.
Terciptanya SN, berawal dari kegelisahan Hidayat ketika ingin mendalami isi kandungan Al Qur’an. Sebagai seseorang yang tidak mengenyam pendidikan di pesantren, Hidayat berusaha memahami isi kandungan Al Qur’an melalui tafsir dan terjemahan Al Qur’an. Namun setelah dibacanya tafsir tersebut dia merasa ada sesuatu yang kaku dalam bahasa yang digunakan dalam tafsir tersebut. Setelah dianalisis, salah satunya karena stuktur kalimat yang digunakan dalam kebanyakan tafsir Al Qur’an lebih banyak menggunakan pola Menerangkan-Diterangkan (MD). Sedangkan dalam gramatika bahasa Sunda pola dasarnya Diterangkan-Menerangkan (DM).
Ketika menjadi dosen di Jurusan Bahasa dan Sastra Sunda UNPAD, Hidayat menemukan fakta bahwa sebagian besar mahasiswanya tidak suka membaca tafsir terjemahan Al Qur’an. Padahal sebagian besar dari mereka sudah khatam membaca Al Qur’an. Hal yang sama didapatinya ketika suatu kali Hidayat diminta untuk memberikan pembekalan tentang budaya Sunda kepada para calon da’i. Pemahaman mereka terhadap Al Qur’an tidak begitu mendalam. Mereka hanya memahami sebagian saja dari Al Qur’an.
Ia pun terinspirasi setelah membaca buku ‘Membumikan Al Qur’an’ karya Quraish Sihab, yang menyebutkan bahwa hanya 500 ayat Al Qur’an yang menjadi bahan analisa di perguruan tinggi Islam. Dalam hatinya ia bertanya, ke mama yang 6100 ayat lagi?
Dari sinilah kemudian timbul keinginannya untuk mencari cara agar Al Qur’an bisa lebih dekat dengan masyarakat pembacanya. Sebagai orang yang peduli terhadap budaya Sunda, terpikirlah untuk membuat terjemahan Al Qur’an dengan memanfaatkan potensi seni budaya yang digemari oleh masyarakat Sunda. Salah satunya tembang Cianjuran.
Dipilihnya bahasa Sunda dalam terjemahan ini alasannya selain lebih mudah dimengerti, juga karena bahasa ini lebih mewadahi asfek rasa Al Qur’an. Adapun pupuh, sudah dikenal luas oleh masyarkat Sunda. Lirik-lirik (rumpaka) pupuh inilah yang biasa digunakan dalam tembang Cianjuran.
Pupuh ialah sejenis puisi yang terikat oleh aturan baku mengenai melodi, khususnya yang menyangkut jumlah suku kata pada tiap larik, jumlah larik pada tiap bait serta variasi rima akhir. Dibaca dangan cara disenandungkan. Dalam tradisi sastra Sunda pupuh adalah bentuk puisi lama yang berasal dari pengaruh budaya Jawa.
Ada 17 pupuh yang dikenal oleh masyarakat Sunda. Dari ketujuh belas pupuh tersebut, ada 4 yang lebih populer di masyarakat. Yaitu Kinanti, Sinom, Asmarandana dan Dangdanggula(KSAD). Empat pupuh inilah yang dipakai Hidayat dalam mengkonversi terjemah Al Qur’an ke dalam SN.
Menurut Hidayat, filosofi tembang Sunda Cianjuran baik alat musik maupun susunan lagunya mempunyai nilai yang sangat tinggi. Sehingga sangat cocok untuk mengekspresikan rasa religiusitas yang islami. SN memberikan warna yang baru pula bagi seni tembang Cianjuran
“Selain untuk dakwah, pada wilayah seni pun Nur Hidayah memperkaya lirik tembang Sunda dengan memperluas wilayah tematisnya, dari yang sifatnya kontemplatif nostalgik ke wilayah yang lebih bersifat kontemplatif religius Islamik,” kata lelaki kelahiran Banjarsari, Ciamis, 16 Januari 1941 ini.
Dalam perkembangan tafsir Al Qur’an berbahasa Sunda khususnya yang dibuat dalam bentuk dangding, SN bukanlah yang pertama. Sebelumnya, Haji Hasan Moestapa, sastrawan Sunda dan ahli tasawuf, pada tahun 1920 sudah membuat tafsir Al Qur’an dalam bentuk dangding. Namun dia tidak menulis tafsir yang lengkap, hanya 105 ayat yang menurutnya cocok untuk orang Sunda.
Kemudian pada tahun 1940-an, Bupati Bandung R.A.A. Wiranatakoesoemah V, juga menulis tafsir Surat Al-Baqarah dalam bentuk dangding. Fakta ini pula yang menginspirasi Hidayat membuat SN yang lebih lengkap dari tafsir sebelumnya dalam bentuk serupa.
Seperti diakui oleh penulisnya, SN tidak diterjemahkan langsung dari Al Qur’an yang berbahasa Arab. Namun dia mengkonversi dari terjemahan yang sudah ada. Beberapa tafsir dan terjemahan Al Qur’an dipelajarinya dengan seksama. Yang pertama dia mendalami tafsir Al Qur’an yang dikeluarkan oleh Departemen Agama. Kemudian beberapa tafsir lainnya termasuk tafsir dalam bahasa Sunda seperti Tafsir Rahmat Basa Sunda (H. Oemar Bakry, Angkasa, Bandung, 1983), Ayat Suci Lenyepaneun (Moh. E. Hasyim, Pustaka, Bandung, 1998), dan lain-lain.
Sebagai bentuk sosialisasi, tahun 1996, SN untuk kali pertama disiarkan di radio Antasalam, sebuah radio swasta di Bandung yang memiliki segmen pendengar dari kalangan muslim. Masyarakat menanggapi secara positif. Bisa dikatakan tidak ada resistensi sama sekali dari kalangan umat Islam. Yang menarik, penolakan justru berasal dari kalangan non Islam yang menggunakan cara-cara yang sama (menggunakan media tembang Cianjuran untuk menyampaikan dakwah) seperti yang dilakukan oleh HS.
Tahun 2000 SN ditayangkan di TVRI Bandung (sekarang TVRI Jabar Banten) selama sebualan penuh selama bulan Ramadhan. Tahun 2001 RRI Bandung pun menyiarkannya setiap malam pada pukul 23.30-24.00 WIB. Selain diperkenalkan melalui media massa, SN pun diperkenalkan di sekolah-sekolah. Kerap pula ditampilkan sebagai pembuka pada acara-acara resmi kegamaan atau yang berkaitan dangan kebudayaan Sunda baik di lingkungan pemerintah, sekolah, dll.
Dalam mensosialisasikan karyanya, Hidayat tidak sendirian. Sebelumnya, tahun 1996, ia pernah membentuk sebuah komunitas pengajian di kediamannya. Bagi Hidayat tidak terlalu sulit untuk mengumpulkan orang-orang untuk berkumpul di rumahnya. Sebagai seorang yang peduli terhadap budaya Sunda, ia dikenal memiliki wawasan yang luas tentang budaya Sunda. Dia banyak bersentuhan dengan berbagai kalangan masyarakat Sunda. Termasuk dengan awak Galih Pakuan, sebuah komunitas pengagum Haji Hasan Mustappa. Tak heran jika banyak orang bertandang ke rumahnya untuk belajar tentang kesundaan. Termasuk dari kalangan generasi muda.
Hidayat mendirikan pengajian yang oleh anggotanya biasa disebut “majelis malem reboan” (karena dilaksanakan setiap rabu malam). Ini adalah awal Hidayat mensosialisasikan SN. Anggotanya sebagian besar terdiri dari anak-anak muda. Jumlahnya tidak banyak. Hanya sekitar 10 sampai 15 orang. Sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa dari UNPAD Jurusan Bahasa dan Sastra Sunda dan IAIN (sekarang UIN) Sunan Gunung Djati yang tertarik mempelajari kebudayaan Sunda.
Bentuk pengajiannya agak unik. Berbeda dengan pengajian pada umumnya. Diawali dengan pembacaan ayat suci Al-Qur'an oleh seorang anggota pengajian yang fasih membaca Al Qur’an. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan saritilawah yang biasa dibacakan oleh masyarakat umum. Untuk sesi ini biasanya diwakili oleh mahasiswa dari IAIN. Baru kemudian giliran anggota yang lain mahasiswa dari UNPAD yang menembangkan Saritilawah Nur Hidayah dengan diiringi musik kacapi-suling.
Setelah selesai satu ayat, lalu diadakan pembahasan setelah salah seorang peserta yang menguasai tafsir Al Qur’an memaparkan kandungan ayat tersebut. Yang menarik, dalam sesi ini, Hidayat melengkapi penjelasan ayat yang sedang dibahas dengan merujuk kepada khazanah budaya Sunda sebagai bahan perbandingan.
Dari komunitas inilah kemudian SN diperkenalkan kepada masyarakat. Tidak hanya itu, Hidayat pun mengajak beberapa seniman tembang Sunda baik secara personal maupun kelompok untuk mensosialisasikan SN. Diantaranya seniman Yus Wiradiredja dan Tati Saleh (alm). Bersama kelompoknya kedua seniman ini membawakan SN untuk pertama kalinya di stasiun TVRI Bandung selama sebulan penuh pada bulan Ramadhan tahun 2000.
Walau pengajian itu sekarang sudah tidak ada lagi, bukan berarti SN berhenti sampai di situ. SN terus berusaha diperkenalkan. Saat ini SN ditayangkan di Bandung TV, sebuah televisi lokal di Bandung. Adalah Dian Hendrayana, wartawan, pengarang Sunda yang juga mendalami tembang Cianjuran yang mengusahakan ditampilkannya SN di Bandung TV. Ketika menjadi mahasiswa di UNPAD, Dian ikut dalam pengajian Nurhidayahan, dan kini bekerja di Bandung TV.
Menurut Dian, di kalangan seniman tembang Sunda, SN sangat digemari. Mereka tertarik membawakan SN karena lirik-liriknya yang bersumber dari Al Qur’an.
“Sejak tahun kedua Bandung TV berdiri, kami menayangkan SN, terutama pada saat bulan Ramadhan. Namun di luar bulan Ramadhan pun kami terus menayangkannya. Ratingnya cukup bagus,” tutur Dian.
SN mulai dikerjakan Hidayat sejak tahun 1981 dan selesai tahun 1998. Awalnya Hidayat hanya menerjemahkan Juz XXX/Juz ‘Amma. Baru kemudian Juz I dan Juz II. Dan baru selesai seluruhnya (30 Juz) pada bulan Mei 1998. Pekerjaan ini dikerjakan disela-sela kesibukannya menjalankan rutinitas lainnya sebagai dosen dan seniman. Khusus untuk Juz XXVII dan Juz XXVIII diselesaikannya pada bulan April hingga Mei 1998 di Madinah al Munawwaroh dan Mekah al Mukaromah pada saat menjalankan ibadah haji.
Sebagai perbandingan, SN yang diambil Al Qur’an Surat Ar- Rum, Ayat 41dan 42 seperti berikut ini:
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan meraka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (41) Katakanlah: “Adakan perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-oang yang dahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (42) (Sumber Tafsir Al Qur’an DEPAG)
Dalam Saritilawah Nur Hidayah ditulis seperti ini:
Bismillahirrohmanirrohim
Ka Alloh abdi nyalindung, tina panggodana setan.
Kalayan asma Nu Agung, Alloh Anu welas Asih, –Alloh–
Pupuh Asmarandana
Karuksakan anu Dilantarankeun ku Pagawean Manusa
(Keruksakan yang Disebabkan Ulah Manusia)
XXI/:30/41
Geus kasaksi geus kabukti, enggeus nembrak karuksakan, bancang pakewuh katembong, ruksak di laut di darat, lantaran gawe manusa, ngaruksak terus ngaraksuk, leungeunna nu ngagalaksak.
(Telah tampak telah terbukti, tampak jelas kerusakan, huru hara terlihat, rusak di laut di darat, karena perbutan manusia, merusak terus merasuk, tangannya yang membuat kerusakan)
XXI/:30/41
Kitu kersana Ilahi, kersaning Alloh Ta’ala, karasa akibatna teh, sabagian balukarna, panggawena manusa, sok sugan jadi pituduh, mulang ka jalan utama.
(Begitulah kehendak Tuhan, kehendak Allah Ta’ala, terasa akibatnya, sebagian akibatnya, ulah manusia, mudah-mudahan jadi petunjuk, kembali ke jalan yang benar)
XXI/:30/42
Bejaan bere pepeling, “Bral andika geura nyaba, ngumbara tong ngotok ngowo, lumampah salatar jagat, bari hempek titenan, kaayaan unggal lembur, unggal tempat nu kasaba.
(Berilah nasihat, “Berangkatlah engkau , berkelana jangan diam saja, berjalanlah di muka bumi, sambil mengamati, keadaan setiap kampung, setiap tempat yang dilalui)
57/XXI/:30/42
Pek titenan masing sidik, perhatikeun enya-enya, nu kasaksen nu katembong, kuma kajadianana, jelema nu baheula, nu ngalawan ka Anu Agung, anu nyembah ka berhala.
(Perhatikanlah dengan teliti, perhatikan dengan sungguh-sungguh, yang tampak dan terlihat, bagaimana kejadiannya, orang-orang terdahulu, yang melawan Allah Yang Agung, yang menyembah berhala)
Shodaqollohul Adzim
Maha Pinuji Ilahi, moal lepat pidawuh-Na. –Alloh–
Maha terpuji Allah, firman-Nya tidak akan salah. –Allah–
Setelah SN selesai ditulis, tahun 1999 Hidayat kemudian menulis Nurul Hikmah (NH). NH adalah terjemahan Al Qur’an dalam bentuk nadoman. Hingga kini sudah tercipta lebih dari 6500 bait nadoman. Berbeda deangan SN, NH dibuat untuk segmen kalangan anak-anak dan remaja. Jika SN memerlukan kemampuan khusus dalam menembangkannya, karena dibuat dalam bentuk pupuh, maka NH dapat dilantunkan secara bebas, karena NH dibuat dalam bentuk nadoman yang biasa dilantunkan di masjid atau pesantren. Dari bahasa yang digunakan NH lebih menggunakan bahasa yang populer. Isinya pun bersipat kontekstual, Hidayat memasukan ilustrasi- ilustrasi dalam kehidupan sehari-hari. Tujuannya agar bisa diminati oleh anak-anak sebagai generasi penerus Islam.
Sebagai contoh, Nadoman Nurul Hikmah yang diambil dari Al Qur’a,n Juz XXI Surat Ar Rum ayat 22:
Nyanggakeun ieu nadoman,
Sumberna tina Al Qur’an,
Ar-Rum nu jadi suratna,
Ayat dua puluh dua.
(Kami persembahkan nadoman ini,
Sumbernya dari Al Qur’an,
Surat Ar-Rum,
Ayat dua puluh dua.)
Ieu ayat penting pisan,
Eusina kedah lenyapan,
Seueur anu jadi tanda,
Agungna Alloh Ta’ala
(Ayat ini penting sekali,
Isinya harus diresapi,
Banyak sekali tanda,
Keagungan Allah Ta’ala)
Saamparna jagat raya,
Salegana alam dunya,
Bumi langit sagebarna,
Ciptaan Alloh Nu Esa,
(Sehamparan jagat raya,
Seluasnya alam dunia,
Seisi bumi dan langit,
Ciptaan Allah Yang Esa)
Lajeng tengetan manusa,
Mangrupa-rupa bangsana,
Bareda warna kulitna,
Ciptaan Maha Kawasa.
....
(Lalu perhatikan wahai manusia,
Berbagai macam suku bangsanya,
Berbeda warna kulitnya,
Ciptaan Yang Maha Kuasa)
....
Menurut Ade Tajudin Nawawi, sekretaris I Dewan Dakwah Islam Indonesia, kehadiran SN dan NH patut disambut dengan baik oleh masyarakat sunda. SN dan NH bisa menjadi alternatif bagi masyarakat Sunda dalam memahai isi kandungan ayat suci Al Qur’an. Selain itu, masyarakat pun bisa belajar bahasa Sunda yang baik dan indah dari karya ini.
“Ini adalah sebuah refleksi dari kegelisahan seorang sastrawan sunda terhadap kenyataan di masyarakat Sunda dalam beragama,” demikian penilaian Ade terhadap karya Hidayat Suryalaga.
Hidayat berharap karyanya ini bisa tersebar luas di masyarakat. Sebagai penulis dia sudah menyelesaikan tugasnya dengan baik. Tinggal bagaimana masyarakat Sunda mengapresiasinya. Pemerintah dan tokoh agama pun diharapkan bisa memberi dukungan lebih besar lagi guna tercapainya dakwah menggunakan seni budaya ini.
Guru Para “Mualaf” Sunda
Pikiran Rakyat, 31 Desember 2010. dari sunangunungdjati.com
Haji Raden Hidayat Suryalaga, di dunia maya populer sebagai Abah Surya, adalah guru bagi para pemula yang “mencari” Sunda. Lahir di Ciamis, 16 Januari 1941, ia wafat dipanggil Sang Khaliq pada Sabtu, 25 Desember 2010.
Banyak yang kaget dengan kepergiannya yang tiba-tiba itu. Rabu ia masih diskusi Pikiran Rakyat. Esoknya ia memberikan paparan mengenai Sunda di depan jajaran pengurus besar Paguyuban Pasundan. Tak ada yang menduga kalau Abah Surya mengidap gangguan liver yang cukup akut. Ia seperti sakit biasa-biasa saja lazimnya orang tua, batuk. Rupanya ia tak ingin mengecewakan setiap pihak yang mengundangnya untuk berceramah tentang Sunda.
Bagi nonoman Sunda yang ingin mengenal budayanya, nama Abah Surya akan menjadi referensi di urutan teratas. Selaku guru, ia akan menerima setiap murid dengan senyum khasnya dan keramahan yang membuat setiap orang cepat merasa akrab. Rumahnya di Suka Asih Atas membuat para tetamu segera merasa at home.
Sepanjang percakapan tentang tema yang beragam, hampir tak pernah terlontar kata makian atau panyawad kepada seseorang. Ia menjaga betul sosok setiap tokoh Sunda di mata para pemula. Sekalipun ada tamu yang mengadukan perilaku seorang tokoh yang kurang berkenan, Abah Surya akan segera ngalelempeng, ia melihat si tokoh dari sudut pandang yang lain. Ia tidak ingin mewariskan kebencian kepada siapapun.
Awal 1996, ketika kuliah di IAIN, saya mendapat rekomendasi untuk sowan kepadanya. Saya pun mulai bertanya segala hal terkait Sunda. Karena tidak ingin menikmati sendiri keasyikan diskusi dengannya, saya ajak Bambang Q Anees, Ahmad Gibson, dan lain-lain. Saat itu Abah Surya sudah menyelesaikan 13 juz saritilawah Nurhidayah. Ia agak gamang untuk melanjutkan karena ada kritik yang menggugat kapasitasnya sebagai penafsir Al-Qur’an. Kami selalu mendorongnya untuk terus melanjutkan karya besar itu, tanpa menghiraukan bermacam kritik.
Setiap Rabu malam, kami datang ke Suka Asih sekira jam 20.00 WIB. Saya biasanya kebagian tugas membacakan ayat Al-Quran yang akan dibahas. Seorang kawan kemudian membaca terjemahannya. Lalu denting kecapi dan jerit seruling mengiringi tembang sari tilawahnya. Dan dimulailah diskusi pada malam itu. Kami yang dari IAIN akan diminta menjelaskan kandungan ayat yang merujuk kitab tafsir atau hadits. Abah kemudian memberikan paparan terhadap masalah itu dari referensi ke-Sunda-an, ada kalanya dari buku tertentu atau dari respons sejumlah tokoh terhadap masalah yang hampir sama. Tanya jawab pun berlangsung hangat diselingi kudapan roti bakar. Biasanya baru pada jam 02.00 dinihari kami pamit.
Entah berapa lama persisnya kami menjalani rutinitas itu, hingga suatu hari, pada hari ulang tahunnya yang ke-58 yang bertepatan dengan HUT Teater Sunda Kiwari ke-24, kami diundang ke Rumentang Siang. Ada acara syukuran yang sederhana. Namun yang selalu saya ingat, malam itu Abah menyebutkan bahwa penulisan sari tilawah Nur Hidayah sudah berhasil diselesaikannya. Genap untuk 30 juz. Tanpa terasa, kami ternyata telah menemaninya untuk menyelesaikan 17 juz sari tilawah tersebut. Setelah itu ia menggarap Nurul Hikmah, bentuk lain dari saritilawah yang disusun dalam bentuk nadzoman/pupujian dan banyak mengadopsi bahasa anak-anak Sunda. Pada 2009 juga telah genap 30 juz. Sungguh dua karya yang paripurna.
Nasihat dari Panjalu
Untuk mengenang kepergian Abah Surya, ada satu informasi yang masih tercatat dalam file komputer saya. Ketika itu menjelang reformasi 1998, Abah berbagi tentang nasehat Embah Panjalu yang diduga kuat sebagai Prabu Hariang Kancana. Nasehat itu terasa masih relevan hingga hari ini.
Pertama-tama, ia mengingatkan kita yang suka bertele-tele dan berputar-putar berebut wacana tanpa kerja nyata. Lila teuing idek liher, katanya. Perdebatan tentang konsep perjuangan selalu kandas dalam diskusi dan seminar. Padahal yang diharapkan adalah siapa yang sebenarnya sudah siap, sayaga-tohaga, untuk berjuang itu. Mengapa tak kunjung dimulai juga. Mengapa tetap tak mau panceg, kukuh lahir batin, menanggung semua resiko sebagai konsekuensi perjuangan.
Lalu dia memberikan sinyal bahwa moal lawas aya nu ngagalaksak. Tak lama lagi akan ada pribadi atau kelompok yang hendak melakukan upaya-upaya destruktif, berusaha menghancurkan kembali pondasi bangsa yang dengan susah-payah didirikan. Sebagai penyangga ibu kota, bukan hal aneh jika Jawa Barat akan dijadikan tempat transit untuk setiap kekuatan yang berniat ‘menggoyang’ Jakarta. Karena itu kondisi yang tampaknya adem ayem seperti sekarang jangan sampai membuat lengah. Sejarah mencatat bahwa wilayah Jabar selalu dijadikan base-camp berbagai kekuatan politik yang hendak eksis di bumi Indonesia. Ancaman huru-hara itu bukan untuk dihindari. Eta kudu ditawa, harus dihadapi dengan empat kekuatan, yaitu:
Pertama, gurat lemah, ikatan keluarga atau etnis. Hal ini berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah (Otda), yang diharapkan bukan merenggangkan ikatan antaretnis tapi justru harus menjadi kekuatan independen yang saling mengisi. Dalam konteks Jawa Barat, pesan gurat lemah diharapkan menjadi spirit integrasi masyarakat Sunda. Otda tidak dijadikan alasan untuk pajauh huma. Namun menjadi modal dalam berkompetisi untuk sebesar-besar kesejahteraan Sunda melalui potensi masing-masing daerah.
Kedua, gurat cai, kejernihan cendekiawan/intelektual. Tak bisa dipungkiri di era politik sekarang, peran dan posisi kecendekiaan kerap dipergunakan untuk mendukung kepentingan sesaat. Angkat bicaranya para pakar dalam berbagai bidang, bukannya menyelesaikan persoalan tetapi malah menambah kusut dan semakin menyulitkan penguraian masalah. Para pakar tampil tak lebih sebagai komentator. Hal ini berkait dengan mental intelektual yang rentan untuk disusupi berbagai interest. Pesan gurat cai menuntut kejernihan dan keikhlasan para cendekiwan dalam memerankan dirinya.
Ketiga, gurat batu, supremasi hukum dan kewibawaan pemerintah/birokrat. Keduanya hanya bisa terwujud jika aparat hukum dan pejabat birokrasi terbebas dari praktek-praktek KKN.
Keempat, gurat langit, kehendak Yang Kuasa. Kita boleh berharap, pemimpin bisa saja berkeinginan, tapi jika Tuhan berkehendak lain, maka harapan itu tak akan pernah terwujud. Nasihat terakhir ini menuntun kita agar selalu menyelaraskan harapan dan cita-cita dengan garis Tuhan yang kita imani. Pesan ini juga mengingatkan bahwa apa pun upaya kita dalam membangun bangsa, harus senantiasa menyertakan dan memperhitungkan faktor Ilahiyah dalam setiap langkah.
Empat hal itu rupanya menjadi acuan pula bagi Abah Surya dalam karya-karyanya. Misalnya, untuk memperkuat konsep Otda, ia melemparkan gagasan mengenai Desa Budaya. Tentang gurat cai, ia selalu mewanti-wanti agar para intelektual konsisten berkarya dan tidak menjadi alat kepentingan sesaat. Kepada salah seorang anaknya, menjelang wafat ia mengingatkan agar selalu istikomah dalam keislaman dan kesundaan. Dalam Sunda yang dibalut Islam itulah Abah Surya ingin dikenang dan ditempatkan.
Wilujeng angkat guru, semoga Allah Swt menerima semua amal kebaikan dan mengampuni segala kesalahan. Amien.