Oleh AHMAD GIBSON AL-BUSTOMI*
SOSOK K.H. Hasan Mustapa (HHM) yang dikenal dengan julukan Begawan Sirna di Rasa menduduki posisi yang dianggap penting dalam khazanah kebudayaan Sunda. Ia bagaikan pelita di atas meja pualam. Semua orang yang melihat atau sempat melihatnya diam mematung seolah tersihir dan silau oleh kilau cahaya yang dipancarkannya. Selanjutnya pujian dan sanjungan pun terucap deras.
"Percintaan" yang terjadi antara budaya(wa)n Sunda dan HHM bagaikan percintaan dua orang muda-mudi di dunia maya, penuh gejolak, dan membara, namun tidak pernah merasakan hangatnya persentuhan. Karya besar HHM bagaikan prasasti yang terbuat dari pualam, berdiri megah dihiasi ribuan permata. Namun, tak pernah seorang pun berani datang untuk menikmati keindahannya karena takut mengotori kesuciannya. Kemegahan yang sepi tanpa gairah.
Keheningan itu bermula sejak tahun 1930, tujuh puluh tiga tahun yang lalu. Tepatnya pada tanggal 13 Januari 1930 saat HHM kembali ke haribaan Ilahi Rabbi. Kini, tujuh puluh tiga tahun telah lewat, waktu seperti dilipat, tanpa cacatan yang berarti. Jejak yang dibuatnya selama delapan puluh tahun berakhir di sisian batu keras yang luas menghampar. Tak seorang yang mampu meneruskan jejaknya di atas kerasnya hamparan batu itu.
Ilustrasi tersebut barangkali terlalu dibesar-besarkan dan berbau pesimistik kalau bukan sinis. Namun, bagi yang berpandangan waskita, keheningan itu tidak mengherankan karena HHM sendiri pernah mengatakan bahwa karya dan pemikirannya baru akan disentuh oleh sejumlah nonoman Sunda jauh setelah HHM tiada. Kini, gairah itu mulai bermunculan walaupun masih seperti angin semilir yang hanya bisa dirasakan oleh yang memerhatikannya.
Memang itu belum cukup untuk mengungkap karya besar putra terbaik dari salah satu komunitas etnik terbesar di Tatar Nusantara ini. Kebesaran HHM memang belum bisa dianggap sebagai milik bangsa Indonesia secara keseluruhan sehingga jarang (untuk tidak mengatakan "tidak ada") yang tertarik untuk meliriknya karena masyarakat Sunda sendiri masih setengah hati untuk mengangkatnya ke permukaan.
Kini, peninggalan HHM tak lebih sekadar menjadi pusaka spiritual yang disimpan di dalam peti-peti keramat oleh pemegangnya, tanpa rasa berdosa bahwa ia telah mengubur pusaka yang semua orang berhak pula untuk mengambil manfaatnya. Padahal, sejumlah orang yang berniat serius untuk mengkaji dan menggali pusaka itu, diliputi kekecewaan karena berakhir dengan tangan hampa setelah kelelahan mencarinya. Bisa dipahami bila orang merasa kesulitan untuk memahami dan mendalami pemikiran dan karya besar HHM, tetapi sulit dimengerti bila mutiara itu hanya disimpan sendiri hanya sebagai pajangan atau kebanggaan pribadi tanpa memberi kesempatan kepada orang lain untuk menggalinya, dengan berbagai alasan.
Dengan kecenderungan profesionalisme dan pemilahan ilmu yang kini terjadi memang menjadi sulit untuk menggali pemikiran dan maha karya HHM karena diperlukan multidisipliner untuk memahami dan menggalinya. Paling tidak dari disiplin sastra Sunda, budaya, agama (khususunya tasawuf dan kalam), dan filsafat. Dengan demikian diperlukan suatu konsorsium yang terdiri dari berbagai ahli dari berbagai latar belakang keahlian dan ilmu tersebut.
Mengorek mutiara yang dipendam
Dari pengamatan penulis baru terdapat beberapa tulisan yang mengkaji "pemikiran" (selain sejarah, antologi karya, biografi HHM, ataupun deskripsi tipologi karya HHM) beberapa dalam bentuk penelitian skripsi dan dua tulisan dalam bentuk penelitian Tesis. Pertama yang ditulis Jajang Jahroni, dengan judul "Haji Hasan Mustapa (1852-1930) as The Great Sundanese Mystic" (Haji Hasan Mustapa (1852-1930) Seorang Sufi Besar Sunda), sebuah penelitian tentang karakteristik dan tipologi pemikiran tasawuf K.H. Hasan Mustapa sebagai salah seorang tokoh sufi Sunda. Tulisan ini merupakan tugas akhir studinya di Belanda untuk mendapat gelar M.A. Jajang adalah seorang Dosen Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Jakarta. Kedua dengan judul "Eksistensi Manusia Menurut K.H. Hasan Mustapa (1852-1930)" yang di-tulis Ahmad Gibson Al-Bustomi yang juga dalam bentuk penelitian tesis dalam konsentrasi akidah dan pemikiran Islam di program pascasarjana IAIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Jajang menjelaskan bahwa pemikiran tasawuf HHM dipengaruhi oleh empat sufi besar, antara lain: Syaikh Muhyi al-Din ibn 'Arabi melalui kitab al-Futuhat al-Makiyya dan 'Abd al-Karim al-Jilli melalui kitab al-Insan al-Kamil fi Ma'rifat al-Awakhir wa al-Awa'il. Pengaruh kedua sufi ini terutama pada pandangan teosofinya, yang berpijak pada teori metafisika wihdatul wujud. Secara khusus pengaruh al-Jilli, sebenarnya, sangat tampak pada kesamaan antara fase-fase atau maqomat yang diadopsi HHM yang tertuang dalam "Sasaka di Kaislaman" hanya berbeda dalam perumusan argumen dan pemaparannya. Dua sufi lainnya yang berpengaruh pada pandangan ketasawufan HHM dalam dari al-Ghazali melalui kitab Ihya 'Ulum al-Din yang berusaha untuk menghubungkan antara syariat dan thariqat. Ibn Fadlillah al-Burhanpuri perumus awal
Sementara itu dalam tesis yang berjudul "Eksistensi Manusia Menurut K.H. Hasan Mustapa (1852-1930)" dengan menggunakan pendekatan filsafat Eksistensialisme, Gibson berusaha membedah pemikiran HHM tentang eksistensi manusia. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa inti pemikiran HHM khususnya tentang manusia dan eksistensi manusia terangkum dalam dua naskah besarnya, yaitu naskah Gelaran Sasaka di Kaislaman dan naskah (Ajip Rosidi menyebutnya sebagai catatan ringkas) Martabat Tujuh. Pemikiran-pemikiran HHM yang terinci dalam ribuan Dangding tersebut bila dikerucutkan dalam tema sentral eksistensi manusia, terangkum dalam dua naskah besar tersebut.
Bila menggunakan perspektif filsafat Eksistensialisme Gelaran Sasaka di Kaislaman merupakan naskah yang menjelaskan fase-fase aktualisasi eksistensi seorang manusia yang berhadapan dengan sejumlah norma-norma sosial yang oleh individu manusia pada umumnya disikapi (secara sadar) dan secara faktual (di luar kesadaran sadar) merupakan unsur yang mengancam eksistensi dan otonomi individu. Dalam naskah tersebut HHM menegaskan bahwa justru tekanan-tekanan norma sosial (agama) tersebut secara eksistensial merupakan unsur dialektis yang menjadi potensi pendorong dan dinamisator bagi munculnya proses penyadaran eksistensi manusia. Gelaran Sasaka di Kaislaman sebagai fase aktualisasi eksistensi manusia diawali oleh fase atau maqomat Islam hingga Kurbah. Maqomat Islam sebagai maqomat awal hingga maqomat Sahadah, digambarkan HHM sebagai maqomat yang sarat dengan sikap "menyebelah" dari individu manusia dalam memandang apa pun, baik diri maupun sesuatu di luar diri dan mulai maqomat
SOSOK K.H. Hasan Mustapa (HHM) yang dikenal dengan julukan Begawan Sirna di Rasa menduduki posisi yang dianggap penting dalam khazanah kebudayaan Sunda. Ia bagaikan pelita di atas meja pualam. Semua orang yang melihat atau sempat melihatnya diam mematung seolah tersihir dan silau oleh kilau cahaya yang dipancarkannya. Selanjutnya pujian dan sanjungan pun terucap deras.
Semua orang, khususnya budayawan Sunda mengenal kebesaran HHM, namun sulit untuk dipastikan berapa banyak yang sempat dan memberanikan diri untuk menyentuhnya, untuk "sekadar" merasakan hangat nyala api karya dan pemikirannya. Jarang sekali yang punya keberanian untuk mendekati dan menyentuhnya, takut tangannya terbakar lidah api dan menghanguskan tubuhnya. Khawatir katulah dengan perkataan Wangsaatmadja, "Anu maos ieu salancar teu tanggel kadongkapan pimamalaeunana."
Perkataan itu tidak terlalu salah, bahkan sangat benar karena hanya orang yang punya keberanian dan bekal yang cukup yang akan selamat dan mendapatkan mutiara dari pelayaran mengarungi lautan karya dan pemikiran seorang begawan sekelas HHM yang sarat dengan gejolak."Percintaan" yang terjadi antara budaya(wa)n Sunda dan HHM bagaikan percintaan dua orang muda-mudi di dunia maya, penuh gejolak, dan membara, namun tidak pernah merasakan hangatnya persentuhan. Karya besar HHM bagaikan prasasti yang terbuat dari pualam, berdiri megah dihiasi ribuan permata. Namun, tak pernah seorang pun berani datang untuk menikmati keindahannya karena takut mengotori kesuciannya. Kemegahan yang sepi tanpa gairah.
Keheningan itu bermula sejak tahun 1930, tujuh puluh tiga tahun yang lalu. Tepatnya pada tanggal 13 Januari 1930 saat HHM kembali ke haribaan Ilahi Rabbi. Kini, tujuh puluh tiga tahun telah lewat, waktu seperti dilipat, tanpa cacatan yang berarti. Jejak yang dibuatnya selama delapan puluh tahun berakhir di sisian batu keras yang luas menghampar. Tak seorang yang mampu meneruskan jejaknya di atas kerasnya hamparan batu itu.
Ilustrasi tersebut barangkali terlalu dibesar-besarkan dan berbau pesimistik kalau bukan sinis. Namun, bagi yang berpandangan waskita, keheningan itu tidak mengherankan karena HHM sendiri pernah mengatakan bahwa karya dan pemikirannya baru akan disentuh oleh sejumlah nonoman Sunda jauh setelah HHM tiada. Kini, gairah itu mulai bermunculan walaupun masih seperti angin semilir yang hanya bisa dirasakan oleh yang memerhatikannya.
Memang itu belum cukup untuk mengungkap karya besar putra terbaik dari salah satu komunitas etnik terbesar di Tatar Nusantara ini. Kebesaran HHM memang belum bisa dianggap sebagai milik bangsa Indonesia secara keseluruhan sehingga jarang (untuk tidak mengatakan "tidak ada") yang tertarik untuk meliriknya karena masyarakat Sunda sendiri masih setengah hati untuk mengangkatnya ke permukaan.
Kini, peninggalan HHM tak lebih sekadar menjadi pusaka spiritual yang disimpan di dalam peti-peti keramat oleh pemegangnya, tanpa rasa berdosa bahwa ia telah mengubur pusaka yang semua orang berhak pula untuk mengambil manfaatnya. Padahal, sejumlah orang yang berniat serius untuk mengkaji dan menggali pusaka itu, diliputi kekecewaan karena berakhir dengan tangan hampa setelah kelelahan mencarinya. Bisa dipahami bila orang merasa kesulitan untuk memahami dan mendalami pemikiran dan karya besar HHM, tetapi sulit dimengerti bila mutiara itu hanya disimpan sendiri hanya sebagai pajangan atau kebanggaan pribadi tanpa memberi kesempatan kepada orang lain untuk menggalinya, dengan berbagai alasan.
Dengan kecenderungan profesionalisme dan pemilahan ilmu yang kini terjadi memang menjadi sulit untuk menggali pemikiran dan maha karya HHM karena diperlukan multidisipliner untuk memahami dan menggalinya. Paling tidak dari disiplin sastra Sunda, budaya, agama (khususunya tasawuf dan kalam), dan filsafat. Dengan demikian diperlukan suatu konsorsium yang terdiri dari berbagai ahli dari berbagai latar belakang keahlian dan ilmu tersebut.
Dari pengamatan penulis baru terdapat beberapa tulisan yang mengkaji "pemikiran" (selain sejarah, antologi karya, biografi HHM, ataupun deskripsi tipologi karya HHM) beberapa dalam bentuk penelitian skripsi dan dua tulisan dalam bentuk penelitian Tesis. Pertama yang ditulis Jajang Jahroni, dengan judul "Haji Hasan Mustapa (1852-1930) as The Great Sundanese Mystic" (Haji Hasan Mustapa (1852-1930) Seorang Sufi Besar Sunda), sebuah penelitian tentang karakteristik dan tipologi pemikiran tasawuf K.H. Hasan Mustapa sebagai salah seorang tokoh sufi Sunda. Tulisan ini merupakan tugas akhir studinya di Belanda untuk mendapat gelar M.A. Jajang adalah seorang Dosen Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Jakarta. Kedua dengan judul "Eksistensi Manusia Menurut K.H. Hasan Mustapa (1852-1930)" yang di-tulis Ahmad Gibson Al-Bustomi yang juga dalam bentuk penelitian tesis dalam konsentrasi akidah dan pemikiran Islam di program pascasarjana IAIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Jajang menjelaskan bahwa pemikiran tasawuf HHM dipengaruhi oleh empat sufi besar, antara lain: Syaikh Muhyi al-Din ibn 'Arabi melalui kitab al-Futuhat al-Makiyya dan 'Abd al-Karim al-Jilli melalui kitab al-Insan al-Kamil fi Ma'rifat al-Awakhir wa al-Awa'il. Pengaruh kedua sufi ini terutama pada pandangan teosofinya, yang berpijak pada teori metafisika wihdatul wujud. Secara khusus pengaruh al-Jilli, sebenarnya, sangat tampak pada kesamaan antara fase-fase atau maqomat yang diadopsi HHM yang tertuang dalam "Sasaka di Kaislaman" hanya berbeda dalam perumusan argumen dan pemaparannya. Dua sufi lainnya yang berpengaruh pada pandangan ketasawufan HHM dalam dari al-Ghazali melalui kitab Ihya 'Ulum al-Din yang berusaha untuk menghubungkan antara syariat dan thariqat. Ibn Fadlillah al-Burhanpuri perumus awal
konsep Martabat Tujuh, yang menulis al-Tuhfa al-Mursala ila al-Ruh al-Nabi. Jajang menjelaskan bahwa HHM telah berhasil merelasikan antara tradisi mistik lokal Jawa-Sunda dan tradisi tasawuf klasik Islam. Hal tersebut, katanya, tampak dalam membandingkan antara term-term kosmologi Jawa-Sunda baik dalam mitologi maupun pewayangan dengan term-term yang dikenal dalam tasawuf.
Bila menggunakan perspektif filsafat Eksistensialisme Gelaran Sasaka di Kaislaman merupakan naskah yang menjelaskan fase-fase aktualisasi eksistensi seorang manusia yang berhadapan dengan sejumlah norma-norma sosial yang oleh individu manusia pada umumnya disikapi (secara sadar) dan secara faktual (di luar kesadaran sadar) merupakan unsur yang mengancam eksistensi dan otonomi individu. Dalam naskah tersebut HHM menegaskan bahwa justru tekanan-tekanan norma sosial (agama) tersebut secara eksistensial merupakan unsur dialektis yang menjadi potensi pendorong dan dinamisator bagi munculnya proses penyadaran eksistensi manusia. Gelaran Sasaka di Kaislaman sebagai fase aktualisasi eksistensi manusia diawali oleh fase atau maqomat Islam hingga Kurbah. Maqomat Islam sebagai maqomat awal hingga maqomat Sahadah, digambarkan HHM sebagai maqomat yang sarat dengan sikap "menyebelah" dari individu manusia dalam memandang apa pun, baik diri maupun sesuatu di luar diri dan mulai maqomat
Sidiqiah hingga Kurbah sikap-sikap menyebelah tersebut secara bertahap hilang dari cara pandang individu manusia. HHM melihat bahwa pada gelaran inilah sikap dan cara pandang keberagamaan manusia lahir dalam pengertian yang sesungguhnya.
Naskah Martabat Tujuh-nya HHM menjelaskan fase lanjutan dari fase-fase yang dilalui dalam Gelaran Sasaka di Kaislaman. Suatu fase puncak dalam sikap dan cara pandang keagamaan yang berakhir pada maqomat Insan Kamil. Maqom yang tidak lagi melihat perbedaan dan pertentangan dalam kehidupan di dunia sebagai kenyataan hakikiah. Perbedaan-perbedaan dan pertentangan tersebut tak lebih disebabkan oleh cara pandang manusia yang memiliki kecenderungan menyebelah dan mengutub. Cara pandang yang
terlahir dari sikap yang membedakan secara radikal sifat-sifat Jamal dan Jalal Tuhan yang termanifestasi dalam keragaman alam makhluknya. Individu manusia yang telah sampai pada maqom Insan Kamil, memandang bahwa keragaman tersebut tak lebih dari manifestasi dari sifat Jamal dan Jalal Tuhan yang merupakan derivasi (tajalli) dari sifat Kamal atau Kemahasempurnaan Tuhan.
Dari kedua tulisan tersebut tampak dan dapat dimaklumi betapa pemikiran HHM dipijakkan di atas dasar-dasar teori besar, khususnya teori teosofi yang dalam dunia pesantren sekalipun dianggap sebagai teori yang tidak bisa dipelajari secara mudah.
Dengan demikian, wajarlah bila ditemukan kesulitan yang tidak kecil dalam memahami dan mendalami pemikiran dan karya besar HHM karena diperlukan sejumlah disiplin yang memadai, khususnya dalam bidang sastra Sunda, budaya, agama (khususunya tasawuf dan kalam), dan filsafat.
Tampaknya persoalan yang terjadi bukan hanya dalam mengkaji dan mendalami karya dan pemikiran HHM, tetapi juga dalam mengkaji budaya Sunda karena bila benar bahwa HHM merupakan representasi ideal budayawan dan pencetus konsep ideal manusia Sunda, maka untuk mengkaji persoalan kesundaan, persiapan dan bekal yang harus disiapkan dan dimiliki kurang lebih sama. Oleh karena itu, keberadaan konsorsium sebagai alat dan sistem kajian untuk mengorek mutiara dari khazanah budaya Sunda yang dipendam dan terpendam menjadi prasyarat yang mutlak adanya.***
*) Penulis: Ketua Jurusan Aqidah Filsafat, Dosen Teologi dan Filsafat di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Gunung Djati Bandung.