Abdul Hadi W. M - Facebook note
Sastra Sufi merupakan bagian penting dari keseluruhan khazanah intelektual Islam dan sekaligus merupakan salah satu dari warisan Islam yang relevan hingga kini. Selama beberapa puluh tahun, khususnya di Indonesia, khazanahnya yang kaya itu telah diabaikan oleh kaum terpelajar Muslim dan jarang dijadikan bahan kajian para sarjana. Namun bersamaan dengan tumbuhnya kembali minat terhadap tasawuf sejak awal 1980an , tumbuh pula minat terpelajar Indonesia mengkaji teks-teks tasawuf dan wacana sastra sufi. Sebelumnya, selama lebih kurang tiga dasawarsa sejak awal 1970an, telah muncul kecenderungan sufistik atau kesufian dalam penulisan karya sastra. Ini tampak misalnya dalam karya penulis terkemuka seperti Danarto, Kuntowijoyo, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar, D. Zawawi Imron, Emha Ainun Nadjib dan banyak lagi penulis yang lebih muda dari mereka.
Sudah barang tentu mereka tidak dengan sendirinya dapat disebut sufi seperti Sunan Bonang, Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani, Syekh Yusuf Makassari, Raja Ali Haji dan K. H. Hasan Mustafa. Namun dengan adanya jejak estetika dan pandangan sufi dalam karya mereka menunjukkan bahwa sastra sufi masih wujud dan relevan sebagai sumber rujukan atau ilham penciptaan sastra dalam abad kita.
Secara umum karya penulis sufi mengungkapkan jenis-jenis pengalaman kerohanian seorang sufi dalam perjalanan mereka mencari kebenaran, atau keadaan-keadaan jiwa yang mereka alami dalam menempuh jalan kerohanian di jalan tasawuf atau cinta ilahi. Dalam setiap tahapan perjalanan rohani atau pencariannya itu seorang penulis berikhtiar menafsirkan makna keadaan jiwa dan peristiwa-peristiwa batin yang mereka alami, serta kemudian berusaha mengungkapkan pemahaman dan penafsirannya dalam ungkapan estetik sastra. Ungkapan estetik mereka penuh dengan tamsil dan perumpamaan yang simbolik dan imaginatif.
Secara umum karya penulis sufi mengungkapkan jenis-jenis pengalaman kerohanian seorang sufi dalam perjalanan mereka mencari kebenaran, atau keadaan-keadaan jiwa yang mereka alami dalam menempuh jalan kerohanian di jalan tasawuf atau cinta ilahi. Dalam setiap tahapan perjalanan rohani atau pencariannya itu seorang penulis berikhtiar menafsirkan makna keadaan jiwa dan peristiwa-peristiwa batin yang mereka alami, serta kemudian berusaha mengungkapkan pemahaman dan penafsirannya dalam ungkapan estetik sastra. Ungkapan estetik mereka penuh dengan tamsil dan perumpamaan yang simbolik dan imaginatif.
Tamsil-tamsil atau perumpamaan-perumpamaan yang dijadikan sarana untuk mengungkapkan gagasan atau pengalaman kesufian mereka itu ada yang diambil dari al-Qur`an atau kisah-kisah dalam al-Qur`an, ada yang diambil dari sejarah zaman Islam dan pra-Islam, ada yang diambil dari cerita rakyat, budaya lokal dan peristiwa semasa yang penting. Ada pula yang diangkat dari alam lingkungan sekitarnya dan kehidupan sehari-hari masyarakat. Karena ilham penulisan sastra sufi dan bangunan estetikanya didasarkan pada kandungan falsafah perenial Islam yang universal – terutama gagasan cinta (`isyq danmahabbah), makrifat, iman, penglihatan rohani, hakikat manusia sebagai khalifah Allah di bumi dan hamba-Nya, akibat-akibat buruk cinta berlebihan pada dunia dan gagasan lain – maka tak mengherankan apabila pesan moral dan kerohanian penulis sufi senantiasa relevan dan melampaui zamannya. Kehampaan rohani yang dirasakan manusia modern akibat tekanan peradaban dan kebudayaan material, membuat sastra sufi kian relevan di mata beberapa penulis yang telah karib dengan tasawuf.
Makalah ini bertujuan antara lain membahas kesinambungan sastra sufi Melayu, khususnya kepenyairan Hamzah Fansuri, dalam sastra Indonesia modern. Yang hendak dibahas terutama ialah kesinambungan wawasan estetiknya sebagaimana tampak dalam karya beberapa penulis Indonesia 1930an dan 1970an – dua periode penting dalam sejarah sastra Indonesia modern di mana sastra sufi merupakan bacaan dan rujukan penting sebagian penulis Indonesia terkemuka.
Romantisme Sufistik Pujangga Baru
Telah sering dikemukakan bahwa Pujangga Baru sebagai gerakan sastra modern yang muncul pada dasawarsa 1930an dipengaruhi oleh aliran romantisme yang berkembang pada abad ke-19 di Negeri Belanda dan Inggris. Namun para penulis sering mengabaikan hubungan romantisme Inggeris dengan gerakan pemikiran lain yang tumbuh pada waktu itu seperti transendentalisme dan mistisisme. Seperti kaum transendentalis dan mistik, kaum romantik percaya kepada pengaruh alam supernatural terhadap kehidupan manusia, dan berusaha mendapatkan ilham penciptaan dari kekuatan supernatural melalui sarana intuisi dan imaginasi. Ini terlihat dalam gagasan dan karya penyair romantik Inggeris terkemuka seperti Coleridge, Wordsworth, P. B. Shelley dan lain-lain.
Di Indonesia gerakan romantik muncul bersamaan dengan bangkitnya semangat kebangsaan dan hasrat memadukan semangat kebudayaan Barat modern yang individualistis dan semangat kebudayaan Timur yang religius dan spiritualistis. Romantisme modern lantas bertemu dengan tradisi sastra mistik dan sastra sufi yang telah berakar lama dalam budaya masyarakat Nusantara. Bukan pula suatu kebetulan apabila pertemuan Timur Barat tersebut nampak dalam karya dua penulis Pujangga Baru terkemuka, Sanusi Pane dan Amir Hamzah.
Sanusi Pane, penyair kelahiran Muara Sipongi di Sumatera Utara pada tahun 1908, adalah seorang ahli sejarah dan falsafah Timur. Dalam karangan-karangannya ia mengakui bahwa pengaruh romantisme Belanda (Tachtigers) baru terjadi kemudian setelah dia membaca karya-karya Rumi dan ahli-ahli mistik India. Beberapa sajaknya dan wawasan estetik yang melatari sajak-sajaknya, misalnya pendapatnya yang menyatakan bahwa puisi merupakan “Gerakan sukma yang mengalir ke indah kata”, ternyata memiliki hubungan batin yang erat dengan puisi penulis Sufi seperti Jalaluddin Rumi dan Hamzah Fansuri.
Sebagaimana dikatakan Teeuw (1994) pernyataan tersebut merupakan awal dari gerakan sastra yang mengutamakan individualitas dalam penciptaan, suatu pernyataan yang kemudian lebih ditegaskan lagi oleh Chairil Anwar pada tahun 1940an. Namun, Teeuw juga menegaskan bahwa pernyataan semacam itu telah didahului oleh Hamzah Fansuri tiga abad sebelumnya pada abad ke-16 M. Dalam setiap bait penutup ikat-ikatan syairnya Hamzah Fansuri senantiasa menekankan bahwa semua yang diungkapkan dalam syairnya merupakan pengalaman pribadinya. Misalnya sebagaimana dalam beberapa bait penutup sajaknya berikut ini:
Hamzah miskin hina dan karam
Bermain mata dengan Rabb al`alam
Selamnya sangat terlalu karam
Seperti mayat sudah tertanam
(Ikat-ikatan III Ms. Jak. Mal. 83)
Hamzah Fansuri anak dagang
Melenyapkan dirinya tiada sayang
Jika berenang tidak berbatang
Jika berlabuh pada tempat tiada berkarang
(Ikat-ikatan VII Ms. Jak. Mal. 83)
Hamzah `uzlat di dalam tubuh
Ronanya habis sekalian luruh
Zahir dan batin menjadi suluh
Olehnya itu tiada bermusuh
(Ikat-ikatan XVIII Ms. Jak. Mal. 83)
Bagi penulis sufi, puisi merupakan tangga untuk naik menuju pengalaman transendental. Agar tercapai maka peralatan-peralatan dari ungkapan puitik seperti citraan, tamsil dan metafora dijadikan simbol yang memuat gagasan kerohanian melalui cara tertentu, misalnya meletakkan penanda kesufian tertentu seperti ’anak dagang’ atau istilah teknis tasawuf atau agama seperti Rabb al-`Alam dan lain-lain.
Salah satu tema yang disukai penyair Sufi ialah tema ’pencarian hakekat diri yang batin, universal dan tidak berjejak di mana pun selain dalam wujud diri manusia yang terdalam’. Sajak Sanusi Pane ”Mencari” menunjukkan kepada kita bahwa puisi merupakan sarana atau tangga naik menuju pengalaman transendental, walaupun menggunakan ungkapan-ungkapan yang diambil dari perjalanan lahir. Sajak tersebut juga memiliki kaitan dengan tema ’pencarian hakekat diri batin manusia’ yang digemari para penulis Sufi. Sanusi Pane menulis:
Aku mencari
Di kebun India
Aku pesiar
Di taman Yunani
Aku berjalan
Di tanah Roma
Aku mengembara
Di benua Barat
Segala buku
Perpustakaan dunia
Sudah kubaca
Segala filsafat
Sudah kuperiksa
Akhirnya `kusampai
Ke dalam taman
Hati sendiri
Di sana Bahagia
Sudah lama
Menanti daku
(Madah Kelana 45).
Pencarian dalam sajak tersebut tidak berbeda dengan yang diungkapkan Jalaluddin Rumi dalam sebuah sajaknya yang terkenal. Dikatakan dalam sajak itu bahwa Rumi mengembara ke bukitt Qab, mencari di palang saklib dan pagoda-pagoda Buddhis, agar menjumpai hakekat dirinya yang batin dan asal-usul kerohaniannya, namun yang dicari itu dijumpa dalam taman kalbunya sendiri. Citraan simbolik taman yang digunakan Sanusi Pane juga sudah lazim digunakan oleh penulis-penulis Muslim, terutama penulis Sufinya.
Bandingkan pula sajak Sanusi Pane dengan bait syair Hamzah Fansuri berikut ini:
Hamzah Fansuri di dalam Mekkah
Mencari Tuhan di Bait al-Ka`bah
Di Barus ke Quds terlalu payah
Akhirnya dapat di dalam rumah
(Ikat-ikatan XXI Ms. Leiden Cod. Or. 2016)
Gema puisi sufi Melayu tidak hanya tampak dalam wawasan estetik tetapi juga dalam puitika atau sistem persajakan. Salah satu sajak Sanusi Pane yang terkenal ”Dibawa Gelombang” (Madah Kelana 16) memperlihatkan keterikatan penulis Pujangga Baru pada sistem persajakan klasik Melayu:
Alun membawa bidukku pelahan
Dalam kesunyian malam waktu
Tidak berpawang tidak berkawan
Entah ke mana aku tak tahu
Jauh di atas bintang kemilau
Seperti sudah berabad-abad
Dengan damai mereka meninjau
Kehidupan bumi yang kecil amat
Aku bernyanyi dengan suara
Seperti bisikan angin di daun
Suaraku hilang dalam udara
Dalam laut yang beralun-alun
Alun membawa bidukku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu
Tidak berpawang tidak berkawan
Entah ke mana aku tak tahu
Walaupun pola sajak yang digunakan dalam ”Dibawa Gelombang” ialah a.b.a.b. sebagaimana lazim dalam pantun, namun sajak tersebut lebih mirip syair. Selain tidak tersirat adanya sampiran dan isi atau pembayang dan maksud pada setiap baitnya, seperti halnya syair pada umumnya sajak ”Dibawa Gelombang” berkecenderungan naratif, menceritakan bukan sekedar melukiskan sesuatu. Ceritera yang disajikan adalah serupa dengan ceritera dalam syair-syair sufi berupa pengalaman atau perjalanan rohani penyair dan keadaan jiwa yang dialaminya dalam perjalanan mencapai unio-mystica (persatuan mistik) dengan jiwa alam semesta, yang tak lain adalah keluasan tak bertepi.
Hubungan sajak tersebut dengan syair-syair Hamzah Fansuri dapat dilihat pula pada motif penggunaan tamsil laut dan perahu. Di antara sajak Hamzah Fansuri yang dapat dirujuk ialah bait-bait dalam ikat-ikatan XVIII Ms. Jak. Mal. 83:
Jika hendak engkau menjeling sawang
Ingat-ingat akan ujung karang
Jabat kemudi jangan kaumamang
Supaya betul ke bandar datang
Anak mu`alim tahu akan jalan
Da’im (senantiasa) berlayar di laut nyaman
Markabmu (geladak kapal) tiada berpapan
Olehnya itu tiada berlawan
Indah-indahkan Abu al-Qasim (Nabi Muhammad s.a.w.)
Di dalam markab da’im ia qa`im (mendirikan salat)
Lagi tukang (piawai) lagi ia mu`alim
Ke bandar tauhid markabnya salim (selamat)
Bait syair Hamzah Fansuri lain yang menggunakan tamsil laut dan mengandung gagasan tentang fana’ atau persatuan mistik menurut pandangan sufi ialah bait dalam ikat-ikatan XXIII Ms. Jak. Mal. 83:
Di laut `ulya (maha tinggi) yogya berhanyut
Dengan hidup suwari (khayali) jangan berkabut
Katakan Ana al-Haqq jangan kautakut
Itulah ombak kembali ke laut
Laut `ulya yang dimaksud dalam sajak tersebut ialah lautan wujud atau kewujudan yang tinggi, yaitu alam ketuhanan (`alam lahut). Di sini hakekat atau asal-usul kerohanian diri manusia yang sebenarnya. Untuk mencapai hakekat tersebut manusia tidak boleh dikacaukan oleh kehidupan serba duniawi (hedonisme material) yang bersifat khayali, karena kesenangan yang didapatkan bersifat sementara dan cepat berlalu. Dalam dua bait berikutnya tergambar gagasan sufi tentang unio-mystica, yaitu persatuan kembali diri (secara batin) dengan hakekat atau asal-usul kejadiannya, yaitu sebagai sarana kreativitas Tuhan.
Kesinambungan Estetika Sufi
Kesinambungan estetika sufi Melayu lebih ketara lagi dalam sajak-sajak Amir Hamzah. Bahkan melalui sajak-sajaknya seorang penafsir dapat menemukan rujukan tentang bangunan estetika sufistik modern. Sebagaimana telah sering dilukiskan dalam buku-buku sufi, estetika sufi berkaitan dengan ajaran ahli tasawuf tentang tatanan berperingkat wujud dari yang tertinggi sampai terendah, yaitu dari alam lahut (alam ketuhanan) yang bersifat tanzih (trasendental), lantas alam jabarut dan alam malakut(kerohanian) yang merupakan perantara alam atas dan alam bawah, hingga alam nasut(alam kemanusiaan, dunia jasmani) atau alam syahadah (alam inderawi). Namun apabila metafisika atau ontologi menekankan pada tatanan alam kewujudan yang di atas, serta hakekat dan isyarat kehadirannya di alam yang lebih rendah; maka estetika menekankan pembicaraan pada tatanan alam zhahir yang lebih rendah sebagai ide-ide citraan atau bentuk-bentuk simbolik dari alam kewujudan di atasnya yang bersifat batin dan tanzih.
Dengan demikian estetika sufi sebenarnya merupakan sistem pengetahuan bagaimana menjadikan fenomena-fenomena alam kemanusiaan dan inderawi sebagai tangga naik menuju alam kewujudan yang lebih tinggi. Agar bisa dijadikan sarana atau tangga naik, maka fenomena-fenomena kehidupan atau alam itu mestilah diubahsuai menjadi ide-ide citraan yang simbolik. Dengan cara demikian maka ide-ide citraan itu akan menjelma ungkapan estetik yang berperanan membawa kita pergi dari alam dunia ke alam rohani. Yang dikemukakan para penyair sufi sebenarnya ialah perjalanan batin mereka menuju alam hakekat. Karena perjalanan tersebut perjalanan naik dari alam bawah menuju alam atas, atau dari alam zahir menuju alam batin, maka ia sering sering diungkapkan sebagai perjalanan dari tempat yang rendah menuju tempat yang tinggi (puncak bukit atau gunung) atau dinyatakan secara simbolik dalam ungkapan penyelaman ke dalam lautan maha dalam.
Sebagaimana telah sering dilukiskan, di antara sajak-sajak Amir Hamzah yang ketara ciri sufistiknya ialah ”Berdiri Aku”. Namun karena telah sering dibicarakan saya ingin menunjukkan sajaknya yang lain, yaitu ”Hanya Satu”. Dalam sajak ini perjalanan naik ke alam rohani digambarkan dengan naiknya Nabi Nuh a.s. ke dalam kapal yang dibuat atas perintah Tuhan untuk menyelamatkan kaum beriman, jadi kapal dilambangkan sebagai keimanan yang dapat menyelamatkan manusia di tengah bencana dan malapetaka.
Penyair juga menggunakan tamsil-tamsil dari al-Qur`an, yaitu kisah Nabi Ibrahim a.s. dengan dua putranya tercinta yang berbeda ibu, yaitu Nabi Ismail a.s. dan Nabi Ishaq a.s. yang masing-masing menurunkan Nabi Muhammad s.a.w. dan Nabi Isa a.s.
Terapung naik jung bertudung
Tempat berteduh nuh kekasihmu
Bebas lepas lelang lapang
Di tengah gelisah, swara sentosa
Bersemayam sempana di jemala gembala
Juriat julita bapaku ibrahim
Keturunan intan dua cahaya
Pancaran putera berlainan bunda
Kini kami bertikai pangkai
Di antara dua, mana mutiara
Jauhari ahli lalai menilai
Lengah lengang melewat abad
Aduh kekasihku
Padaku semua tiada berguna
Hanya satu kutunggu hasrat
Merasa dikau dekat rapat
Serupa musa di puncak tursina
(Nyanyi Sunyi 4-5)
Ungkapan berkenaan pertikaian dua umat beragama pengikut Nabi Isa a.s. dan Nabi Muhammad s.a.w., sebenarnya memiliki konteks sejarah yang jelas. Pada masa Amir Hamzah benih persengketaan Islam dan Kristen memang sudah mulai terasa, hal yang kembali diungkapkan oleh Umar Kayam dalam novelnya Para Priyayi yang tempat ceritera berlangsung antara lain ialah Solo pada tahun 1930an tempat Amir Hamzah belajar pada waktu muda.
Tiga abad sebelumnya Hamzah Fansuri menulis sajak menggunakan tamsil yang sama, khususnya mengenai pengalaman mistikal yang dijumpai Nabi Musa a.s. di puncak Bukit Sinai atau Tursina:
Kunhi-Nya itu bukannya diya’ (cahaya zahir)
Jangan kauantarkan di atas Tursina
Sungguhpun Musa di sana liqa’ (berjumpa dengan-Nya)
Bukan bukit itu tempatnya lena
(Ikat-ikatan XIII Ms. Jak. Mal. 83)
Penyair menyatakan di situ bahwa walaupun Nabi Musa a.s. dapat berjumpa dengan-Nya di Tursina, yaitu dengan mendengar suara-Nya, namun perjumpaan sebenarnya dengan Tuhan terjadi dalam kalbu atau penglihatan rohaninya karena telah mencapai makrifat dan memperoleh kasyf (penyingkapan rohani). Bukit Sinai, walaupun dialami secara jasmani, tetap merupakan tamsil dan misal dari pencapaian rohaninya yang tinggi di jalan tauhid dan makrifat, atau semata-mata sarana bagi perjumpaannya. Dari kisah Nabi Musa a.s. ini penulis-penulis sufi mengambil tamsil puncak bukit atau gunung sebagai maqam tertinggi dalam tasawuf, yaitu qurb atau kedekatan diri seseorang secara batin dengan Tuhannya.
Bahwa Amir Hamzah sangat dekat dengan tradisi sastra sufi Melayu, dan juga Jawa, dapat dilihat pada sajaknya ”Sebab Dikau” yang menggunakan tamsil wayang. Pada abad ke-16 M di Jawa Sunan Bonang telah menggunakan tamsil wayang secara intensif dalam Suluk Wujil, begitu pula pada abad ke-17 M seorang murid Hamzah Fansuri bernama Abdul Jamal dalam syair tasawufnya. Dalam syairnya itu Abdul Jamal menulis:
Wahdat itulah bernama bayang-bayang
Di sana nyata wayang dan dalang
Muhit-nya lengkap pada sekalian padang
Musyahadah di sana jangan kepalang
(Doorenbos 1933:71)
Bandingkan sajak tersebut dengan puisi Amir Hamzah ”Sebab Dikau” berikut ini:
Maka merupa di datar layar
Wayang warna menayang rasa
Kalbu rindu turut menurut
Dua sukma esa – mesra –
Aku boneka engkau boneka
Penghibur dalang mengatur tembang
Di layar kembang bertukar pandang
Hanya selagu, sepajang dendang
Golek gemilang ditukarnya pula
Aku engkau di kotak terletak
Aku boneka engkau boneka
Penyenang dalang mengarang sajak
(Nyanyi Sunyi 14)
Teeuw (1979:99) hanya mengatakan bahwa sajak itu mengungkapkan hubungan manusia dengan Tuhan, dan A. H. Johns (1964) hanya mengatakan bahwa pengaruh kebudayaan Jawa sangat jelas dalam sajak tersebut. Namun dengan membandingkan sajak tersebut dengan syair Abdul Jamal, menjadi lebih jelas lagi hubungan Amir Hamzah dengan tradisi sastra sufi Melayu dan bukan hanya dengan tradisi sastra Jawa. Bahkan juga dengan tradisi sastra sufi Arab dan Persia yang tidak jarang menggunaan ide-ide citraan wayang dalam sajak-sajak mereka sebagaimana nampak dalam karya Umar Khayyam, Ibn Farid, Fariduddin `Attar dan Jalaluddin Rumi.
Dalam salah satu ruba’inya misalnya Umar Khayyam menulis seperti berikut:
Kita adalah wayang dan langit dalangnya
Ini bukan kiasan tetapi kenyataan
Sesaat kita diberi peran di layar ini
Lalu kembali ke kotak satu persatu dan dilupakan
(Abdul Hadi W. M. 1999:150)
Pendakian dan Transformasi Diri
Telah dikemukakan bahwa salah satu tema penting sastra sufi ialah pengenalan diri, yaitu ruhaniah atau diri hakiki, di jalan cinta ilahi (`isyq). Karena pencarian tersebut bersifat vertikal, ia sering digambarkan dengan perjalanan mendaki dan penerbangan ke puncak gunung atau bukit, seperti penerbangan burung-burung dalam Mantiq al-Thayr karya Fariduddin al-`Attar. Di situ burung-burung, yang merupakan tamsil kalbu atau jiwa manusia yang merindukan Yang Haqq, melakukan penerbangan ke puncak bukit Qaf – tempat Simurgh, raja diraja burung bersemayam, yang merupakan lambang hakekat ketuhanan dan sekaligus lambang hakekat diri manusia. Pendakian ke atas gunung atau bukit juga menemukan perumpamaan dalam kisah nabi-nabi. Misalnya Nabi Nuh a.s. setelah melakukan pelayaran panjang tak tahu tujuan dengan bahteranya, pada akhirnya tiba dengan selamat di atas bukit Ararat; Nabi Musa a.s. mendengar seruan Tuhan di puncak Tursina.
Tidak jarang perjalanan naik perjalanan naik atau penerbangan ke puncak bukit dipadankan dengan gejala-gejala alam pada saatnya terjadinya perubahan, misalnya perubahan waktu dari siang ke malam hari. Di sini angin, hujan, perubahan cuaca dan udara dan munculnya bintang-bintang, berperan sebagai sarana untuk melukiskan keadaan jiwa atau rohani penulis dalam menempuh perjalanan kerohanian.
Di sini dapat diambil contoh sajak Amir Hamzah ”Berdiri Aku”. Dalam sajak itu pencapaian rohani dan keadaan jiwa dalam perjalanannya menuju alam transenden digambarkan melalui citraan ide ((idea image) seperti camar yang melayang ”menepis buih” (mungkin maksudnya melepaskan diri dari yang zahir atau yang formal), pohon bakau yang ”mengurai puncak”, ”ubur terkembang” (setelah berjulang datang); angin yang ”memuncak sunyi” dan seterusnya. Inilah keadaan leka, hapus atau fana’ dalam lukisan puisi, suatu tahapan yang dalam tasawuf sering dikatakan terjadi setelah tahapan kemabukan mistikal dan ketakjuban pada keindahan ilahi. Maka selain keindahan (jamal) atau keelokan, gagasan tentang ketakjuban (haybah, ajib) merupakan hal penting dalam estetika sufi. Hanya melalui tahapan-tahapan kerohanian (maqam) semacam itu dapat mengenal dirinya atau tempat dirinya dalam dunia ciptaan, dan hanya setelah melalui tahapan-tahapan tersebut seseorang dapat melakukan transformasi diri.
Demikianlah, seperti elang yang leka setelah dimabuk warna berarak-arak (yakni mabuk dalam rasa takjub menyaksikan keindahan Yang Maha Indah), seseorang mengalami transformasi diri. Oleh Amir Hamzah dilukiskan sebagai jiwa yang dirasuk kerinduan mendalam:
Dalam rupa maha sempurna
Rindu sendu mengharu kalbu
Ingin datang merasa sentosa
Mencecap hidup bertentu tuju
Dalam ‘Syair Burung Pingai ‘ (Ikat-ikatan XIV Ms. Jak. Mal. 83) Hamzah Fansuri melukiskan bentuk transformasi diri yang dicapai oleh seorang yang menempuh jalan kerohanian, sebagai berikut:
Sufinya bukannya kain
Fi al-Makkah da’im bermain
`Ilmunya zahir dan batin
Menyembah Allah terlalu rajin
...
Suluhnya terlalu terang
Harinya tiada berpetang
Jalannya terlalu henang
Barang mendapat dia terlalu menang
Pada akhir buku Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung) Fariduddin al-`Attar menggambarkan lebih kurang keadaan burung-burung yang telah mencapai tujuan perjalanannya menjumpai Smurgh, sebagai berikut:
Melalui kesukaran dan kehinaan jiwa burung-burung itu menyusut
Ke dalam kefanaan, sedangkan tubuh mereka menjadi debu.
Setelah dimurnikan mereka menerima hidup bari dari Cahaya Hadirat-Nya.
Laku dan diam mereka di masa lalu enyah dan lenyap dari lubuk
dada mereka.
Matahari Kehampiran bersinar terang dari diri mereka, jiwa mereka
diterangi oleh cahayanya.
Dalam pantulan wajah tigapuluh burung (si-murgh) dunia, mereka
lantas menyaksikan wajah Simurgh
Jika mereka memandang, itulah Simurgh: Tak diragukan Simurgh
adalah tiga puluh (si-murgh) burung
Semua bingung penuh takjub, tak tahu siapa diri mereka sebenarnya
Mereka memandang diri mereka tak lain adalah Simurgh.
Citraan ide bercorak sufistik yang menggambarkan pendakian rohani ke puncak hakekat diri juga tampak dalam beberapa sajak Sutardji Calzoum Bachri. Misalnya dalam sajak ”Para Peminum”:
di puncak gunung mabuk
mereka berhasil memetik bulan
mereka menyimpan bulan
dan bulan menyimpan mereka
di puncak
semuanya diam dan tersimpan
(Kapak 14)
Nada sufistik juga ketara dalam sajaknya yang lain ”Silakan Judul” (Kapak 17):
di atas anggur
di bawah anggur
gugur waktu
rindu rindu
di atas langit
di bawah langit
janji puncak
tak menunggu
di atas bibir
di bawah bibir
kamus tak sanggup
mengucapku
Hakekat diri manusia, menurut penyair, tidak dapat difahami hanya dengan bersandar pada ilmu-ilmu formal, juga tidak hanya melalui jalan rasional yang diumpamakan sebagai ”kamus”. Namun sajak Sutardji Calzoum Bachri yang paling menarik dalam kaitan ini ialah sajak ”Sampai”.
Rumi menari bersama Dia
tapi kini di mana Rumi
Hamzah jumpa Dia di rumah
tapi kini di mana Fansuri
Tardji menggapai Dia di puncak
tapi kini di mana Tardji
kami tak di mana mana
kami mengatas meninggi
kami dekat
Kalau kalian mabuk Tuhan
kami mabuk sama kalian
kalau kalian rindu Dia
rindu kalian bersama kami
kalau kembali ke rumah Diri
kalian kembali ke rumah kami
sampai kalian ke puncak nurani
kalian pun sampai sebatas kami
Dalam prosa gagasan sastra sufistik tampak dalam cerpen-cerpen Danarto (dalam antologi seperti Godlob, Adam Makrifat, Berhala, Gergazi dan Setangkai Melati di Sayap Jibril) dan M. Fudoli Zaini (dalam antologi Arafah, Batu Setan dan Potret Manusia), serta dalam novel Kuntowijoyo (Khotbah di Atas Bukit) dan Danarto (Asmaraloka). Namun karena keterbatasan ruang dan waktu, di sini hanya akan dikemukakan estetika sufistik yang diterapkan Kuntowijoyo dalam novel Khotbah di Atas Bukit. Perjalanan mencari hakekat hidup dalam novel ini digambarkan dengan perjalanan tokoh protagonis Barman ke tempat peristirahatan di lereng bukit, dan perjumpaan dengan tokoh antagonis Humam, yang tak lain adalah kembaran dirinya.
Pada mulanya Barman berniat menghabiskan masa tuanya dengan beristirahat di sebuah vila di lereng gunung. Dia pergi ditemani seorang wanita muda cantik, Poppy. Namun suatu peristiwa terjadi secara tak disangka-sangka dan merubah jalan hidupnya. Ketika dia berjalan-jalan di gunung, membersihkan badan di sungai yang jernih, tiba-tiba dia berjumpa seorang lelaki bernama Humam. Humam, yang tidak lain adalah kembaran dirinya, muncul sebagai seorang guru kerohanian yang wejangan-wejangannya tentang hidup sangat menarik perhatian Barman. Barman yang semula hidup dalam gelimang hedonisme material, kini tenggelam dalam spiritualitas. Ini membuat Poppy putus asa dan akhirnya mereka berpisah. Barman sendiri pada akhirnya jatuh ke dalam jurang bersama kuda putih yang ditungganginya.
Pemakaian simbol-simbol sufistik seperti pendakian ke gunung untuk menggambarkan perjalanan rohani mencari hakekat diri; penyucian diri di sungai yang airnya jernih sambil merenung dan menghanyutkan diri dalam keheningan air sungai; perjumpaan dengan Humam yang tak lain adalah alter-ego nya, atau sisi kerohanian dari kehidupan pribadinya; serta kematiannya setelah kuda putih yang ditungganginya jatuh ke dalam jurang dan lain-lain – semua itu menunjukkan estetika sufi dapat ditransformasikan menjadi berbagai bentuk pengucapan modern.
Pertemuan dua tokoh kembar Barman dan Humam di hutan dekat sungai di lereng gunung, dapat dirujuk pada kisah perjumpaan Iskandar Zulkarnaen dan Khaidir dalamHikayat Iskandar Zulkarnaen; juga dengan pertemuan Bima dengan Dewa Ruci dalam alegori mistikal Jawa terkenal Serat Dewa Ruci. Bedanya dalam Hikayat Iskandar Zukarnaen dan Serat Dewa Ruci perjalanan mencari hakekat diri dan makrifat (dilambangkan dengan air hayat atau ma`al-hayat) digambarkan melalui perjalanan ke dalam lautan wujud. Di dalam lautan wujud dirinya itulah Bima berjumpa Dewa Ruci, makhluk kerdil yang menyerupai dirinya. Walaupun secara jasmani Dewa Ruci kelihatan kecil, namun Bima yang bertubuh besar dapat masuk ke dalam diri Dewa Ruci melalui telinganya. Ini melambangkan luluhnya diri jasmani dalam diri rohani. Pengalaman serupa dialami Barman setelah berjumpa Humam.
Bahan Bacaan
A.E. I. Falconar (1991). Sufi Literature and the Journey to Immortality. Delhi: Motilal
Banardssidass Publishers PVT. LTD.
Abdul Hadi W. M. (1999) Kembali ke Akar Kembali ke Sumber. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
--------------------- (1996) Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-
karya Hamzah Fansuri. Disertasi Ph. D. Universiti Sains Malaysia, P. Pinang,
Malaysia.
Amir Hamzah (1969). Buah Rindu. Jakarta: PT. Dian Rakyat.
----------------- (1978). Nyanyi Sunyi. Jakarta: PT. Dian Rakyat
V. I. Braginsky (1993), Tasawuf dan Sastera Melayu: Kajian dan Teks-teks. Jakarta:
Rijkuniversiteit Leiden.
----------------- (1998). Yang Indah, Berfaedah dan Kamal.: Sejarah Sastra Melayu Dalam
Abad 7-19. Jakarta: INIS.
E. G. A. Browne (1928-30). A Literary History of Persia. Vol. II. Cambridge:
Cambridge University Press.
Johann Doorenbos (1933). De Geschriften vam Hamzah Pansoeri. Leiden: NV VH
Batteljes & Terpstra.
Kuntowijoyo (1976). Khotbah Di Atas Bukit. Jakarta: Pustaka Jaya.
Th. G. Pigeaud (1967-80). Literature of Java, Catalogue Raisonne of Javanese
Manuscripts in the Library of the University of Leiden and Other Public Collections in the Netherlands. 4 vols. The Hague: Martinus Nijhoff.
Purbatjaraka, R. M. Ng. (19931). “De geheime leer van Soenan Bonang
(Soeloek Woedjil)”. Jawa 18: 145-81.
Md. Salleh Yaapar (1993). Mysticism and Poetry: A Hermeneutical Readings of the
Poems of Amir Hamzah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Sanusi Pane (1932). Madah Kelana. Jakarta: Balai Pustaka.
Sutardji Calzoum Bachri (1979). O, Amuk, Kapak. Jakarta: Sinar Harapan.
Annemarie Schimmel (1981). Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill: The
University of North Carolina Press.
A.Teeuw (1979). Modern Indonesian Literature. 2 vols. Leiden: Martinus Nijhoff.
---------- (1994). Indonesia: Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Javad Nurbakhs (1984). Sufi Symbolism. Vol. 1. London: Khaniqah-I Nikmatullah
Publications.
![]() |
Perahu Jawa abad ke-18 M. |