Abdul Hadi W. M.
Faktor lain yang tidak kalah penting bagi pesatnya perkembangan agama Islam itu ialah penempatan pusat-pusat lingkaran peradaban di titiga tiga titik yang besat,yaitu Istana, Pesantren dan Pasar. Istana sebagai pusat kekuasaan berperan dibidang politik dan penataan kehidupan sosial. Di sini dengan dukungan ulama yang terlibat langsung dalam birokrasi pemerintahan, hukum Islam dirumuskan dan diterapkan. Di sini pula kitab sejarah ditulis sebagai landasan legitimasi bagi penguasa Muslim. Pesantren berperan di bidang pendidikan, dan merupakan pusat kebudayaan kedua setelah istana. Di sini jaringan-jaringan pengajian agama di lingkungan masyarakat luas dibangun, di kota atau pedesaan, begitu pula tema-tema pengajian. Di sini pula kitab-kitab keagamaan ditulis dan disalin untuk disebarkan.
Peran pesantren, atau dayah dan meunasah di Aceh, surau di Minangkabau, semakin menonjol pada abad ke-18 M di seluruh pelosok Nusantara.Ia sekaligus berperan sebagai pusat kegiatan tariqat sufi. Lembaga yang semula bersifat kedaerahan ini berkembang menjadi lembaga supra-daerah yang kepemimpinan dan peserta didiknya tidak lagi berdasarkan kesukuan. Ia tumbuh menjadi lembaga universal yang menerima guru dan murid tanpa memandang latarbelakang suku dan daerah asal. Pada masa itulah pesantren atau dayah itu mampu membentuk jaringan kepemimpinan intelektual dan penyebaran agama dalam berbagai tingkatan dan antar-daerah (lihat juga Azyumardi Azra (1995:35-6).
Sedangkan pasar berperan di bidang ekonomi dan perdagangan. Pasar merupakan daerah pemukiman para saudagar, kaum terpelajar dan kelas menengah lain, termasuk para perajin, yang berhadapan langsung dengan situasi cultural yang sedang berkembang. Di sini orang dari berbagai etnik dan ras berbeda-beda bertemu dan berinteraksi, dan di sini pula perkembangan bahasa Melayu mengalami dinamika yang menentukan bagi luasnya penyebarannya ke berbagai wilayah Nusantara lain. Di tengah komunitas yang majemuk ini tentu saja terdapat masjid yang merupakan tempat mereka berkumpul dan menghadiri pengajian-pengajian keagamaan. Di sini pula madrasah-madrasah didirikan, dan buku-buku keagamaan didatangkan dari negeri Arab dan Persia, dikirim ke pesantren disalin, disadur atau diterjemahkan agar dapat disebarluaskan. Di sini pula dirancang strategi penyebaran agama mengikuti jaringan-jaringan emporium yang telah mereka bina sejak lama. Tentu saja tiga titik pusat lingkaran peradaban ini saling mendukung satu dengan yang lain, dan saling berinteraksi. Ini tercermin dalam tatanan kota yang dibangun pada zaman kejayaan imperium dan emporium Islam.
Kota-kota Islam di Nusantara dibangun mengikuti model kota di negeri Arab dan Persia. Ia berbeda dengan kota-kota pada zaman Hindu dan kota-kota lama di Eropa. Kota-kota lama di Eropa dibangun dengan menempatkan istana sebagai bagian yang terpisah dari keseluruhan tatanan kehidupan kota. Kota-kota Islam menempatkan istana sebagai bagian integral dari kehidupan kota. Dengan begitu istana tidak terasing dan dapat berinteraksi secara dinamis dengan pusat-pusat peradaban di luarnya seperti lembaga pendidikan dan pasar. Model kota seperti itu memungkinkan istana mempengaruhi kebudayaan kota dengan kuat lewat kehidupan di pesantren dan pusat pemukiman para saudagar, perajin dan cendekiawan yang disebut Pasar atau Bazzar (lihat juga Fylstinsky 1971, melalui Braginsky 1998:9).
Penataan kota seperti itu dan penempatan tiga titik lingkaran pusat peradaban, semakin efektif berfungsi ketika proses islamisasi memasuki tahapan kedua pada waktu implikasi-implikasi rasional dan intelektual, atau implikasi filosofis dari konsep Tauhid yang, mulai dihadirkan. Terlebih-lebih lagi pada saat memasuki tahapan ketiga yang merupakan tahap penyempurnaan dan perluasan. Pada tahapan kedua ajaran Islam mulai diresapi secara lebih mendalam melalui konsep-konsep metafisika, epistemologi dan etika sufi. Pada periode ketika tahapan ini berlangsung, ulama-ulama pribumi semakin banyak yang mengambil alih peranan ulama dari luar dalam kegiatan penyebaran agama dan struktur birokrasi pemerintahan. Mereka juga tampil sebagai cendekiawan yang pandai menyampaikan falsafah Islam melalui tulisan dalam bahasa lokal, seperti Melayu dan Jawa.
Pada masa inilah kegiatan penulisan kitab keagamaan, terutama risalah tasawuf dan suluk, yaitu syair-syair tasawuf, mulai subur. Di Sumatra pada abad ke-16 M kegiatan tersebut tampak pada kegiatan yang dilakukan Hamzah Fansuri dan murid-muridnya seperti Syamsudin al-Sumatrani, Abdul Jamal, Hasan Fansuri dan lain-lain. Karangan-karangan mereka pada umumnya sarat dengan uraian berkenaan doktrin Wahdatal-Wujud yang bercorak filosofis dan intelektual. Sedangkan di Jawa tampak dalam suluk-sulukyang ditulis oleh para wali seperti Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, dan lain-lain. Uraian yang diungkapkan dalam bentuk syair ataut embang suluk di Jawa sangat efektif bagi penyebaran tasawuf, karena puisi bisa dihafal dan dinyanyikan di majlis-majlis atau pengajian-pengajian tariqat. Pada gilirannya ia bukan saja merangsang pemikiran, tetapi mengilhami lahirnya berbagai bentuk seni dalam upaya penyampaiannya.
Salah satu kecenderungan kuat pada tahapan ini ialah cara menafsirkan hukum agama dan sistem kekuasaan sesuai dengan konteks perkembangan masyarakat yang tatanan sosialnya bercorak agraris feodal dan kesukuan, dan menyukai hal-hal yang bersifat magis dan mitos. Teks-teks Jawa yang menggambarkan proses pengislaman penduduk oleh para wali pada abad ke-16 M, dengan jelas memperlihatkan hal ini. Tetapi peringkat ini kemudian dilanjutkan dengan penafsiran metafisika dan psikologi sufi yang bercorak filosofis, dan penafsiran teologi dari para mutakallimun yang bercorak rasional. Setelah itu penulisan historiografi dan penafsiran estetika sufi dilakukan melalui penciptaan karya sastra dan seni Islam yang lain. Maka dasar-dasar tradisi intelektual Islam mulai diletakkan, begitu pula adab dan estetikanya.
Pada saat tahapan ini berlangsung adalah tasawuf dan karangan-karangan para sufi serta ahli kalam yang paling dominan. Terutama kitab-kitab karangan Mansur al-Hallaj, Bayazid al-Bhistami, Imam al-Ghazali, Ibn 'Arabi, Fariduddin 'Attar, JalaludinRumi, Abdul Karim al-Jili, Jami, dan lain-lain. Sedangkan yang berkenaan dengan ilmu kalam atau teologi, sebagian besarnya adalah yang bersumber dari paham Asy'ariyah dan Maturidiyah. Memasuki abad ke-17 M, fiqih dan usuluddin dari madzab Sunnah wa al-Jamaah, khususnya paham Syafi'i, mulai diiuraikan secara lebih komprehensif dalam kitab-kitab keagamaan Melayu. Melalui pemahaman terhadap kitab-kitab ini maka agama Islam tidak hanya diterima secara formal, tetapi diresapi secara mendalam, serta dijadikan landasan dalam membangun kehidupan sosial, politik dan kebudayaan.
Konsep-konsep dasar Islam seperti Tauhid, yang pada tahapan pertama masih kabur dan tumpang tindih dengan kepercayaan lama, kini diperjelas melalui uraian yang bercorak filosofis dan intelektual oleh wali-wali dan ahli tasawuf. Begitu juga pengertian tentang persamaan derajat manusia, serta pandangan bahwa manusia menjadi mulia disebabkan tingkat keimanan dan ketaqwaannya, serta disebabkan keluhuran akhlaq dan keluasan ilmu yang dikuasainya.
Tahapan kedua dan ketiga itu berlangsung tepat ketika imperium besar di Nusantara, kesultanan Aceh Darussalam, mulai menyongsong puncak kejayaannya sebagai pusat peradaban dan kegiatan perdagangan. Negeri ini telah memiliki perguruan tinggi Islam terkemuka, Jami' al-Bayt al-Rahman, sejak awal abad ke-16 dan berkembang pesat menjelang akhir abad yang sama. Di sinilah kader-kader ulama dan cendikiawan Muslim terkemuka memperoleh pendidikan. Mereka tidak hanya datang dari Sumatra, tetapi juga dari berbagai wilayah lain di AsiaTenggara. Tidaklah mengherankan jika pada abad ke-17 M Aceh tampil sebagai pusat kegiatan penulisan kitab keagamaan dan sastra Melayu.
Tasawuf dan Kebudayaan
Tahapan kedua di kepulauan Melayu telah berlangsung pada akhir abad ke-16 M dan mencapai tahap penyempurnaan pada abad ke-17 M, yaitu terintegrasinya sepenuhnya jati diri Melayu dengan Islam. Islam dengan derasnya meresapi hampir semua sendi dan aspek kehidupan orang Melayu. Bahasa Melayu turut naik pula ke puncak kedudukannya sebagai bahasa ilmu dan keagamaan paling terkemuka di Nusantara. Kesusastraannya mencapai perkembangan yang pesat pula. Wilayah emporiumnya atau kekuatan perdagangan dan jaringan-jaringannya semakin meluas, bersaing dengan bangsa Eropa yang mulai pula memiliki koloni-koloni dagang yang kian lama kian besar. Sebagai sumber satu-satunya pembentuk jati diri dan kesadaran diri, Islam dengan sendirinya dijadikan satu-satunya cermin melihat realitas dan paradigma budaya.
Pemikiran yang melandasi proses islamisasi pada tahapan ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari gelombang pertama ketika Islam hadir sebagai agama kosmopolitan dan egaliter dengan wali-wali dan guru tasawuf sebagai pemeran utama dalam menyampaikan pokok-pokok ajarannya. Kita namakan saja corak pemikiran yang melandasi proses islamisasi pada masa ini sebagai gelombang kedua. Setidak-tidaknya muncul gelombang kedua pemikiran Islam ini diawali dengan hadirnya dua gejala dominan:
(1) Munculnya banyak sekali karangan, baik prosa maupun puisi, berisi renungan-renungan tasawuf yang mendalam tentang masalah ketuhanan dan hubungan manusia dengan Tuhan, serta arti penciptaan dan kedudukan manusia di alam dunia;
(2) Munculnya teori kekuasan yang bertolak dari pendekatan sufistik dan diungkapkan melalui karya sastra (lihat juga Taufik Abdullah 2002). Gejala pertama tampak pada karya Hamzah Fansuri, berupa sejumlah risalah tasawuf yang begitu filosofis dan mendalam, seperti Syarab al-'Asyiqin (Minuman Orang Berahi) dan Asrar al-'Arifin (Rahasia Ahli Makrifat), serta syair-syairnya yang indah dan memikat. Dalam karangan-karangan sufi dari Barus itu derasnya proses islamisasi kebudayaan Melayu tampak bukan saja pada persoalan yang dikemukakan, tetapi juga pada penggunaan bahasanya. Tidak kurang 1200 kata-kata dan ungkapan Arab diserap dan dijadikan perbendaharaan kata-kata Melayu yang serasi dalam syair-syairnya saja.
Gejala kedua tampak pada munculnya kitab ketatanegaraan bercorak sastra, Tajal-Salatin (Mahkota Raja-raja), karangan Bukhari al-Jauha. Buku ini selesai ditulis pada 1603 M menguraikan adab pemerintahan yang ideal menurut Islam. Konsep-konsep dan pemerintahan raja-raja Melayu banyak diturunkan dari kitab ini. Negara tidak lagi dipandang sebagai sekadar refleksi dari kedirian seorang raja, tetapi juga sebagai pranata yang merupakan terwjudnya kesatuan yang harmonis antara raja dan rakyat, makhluq dan Khaliq, yaitu dengan melaksanakan keadilan dalam pemerintahan. Raja yang adil dan dipandang sebagai 'Bayang-bayang Tuhan di muka bumi' (Zill Allah fi al-'ardh), sedang rajay ang zalim dan menurutkan egonya disebut 'Bayang-bayang Iblis di muka bumi'. Konsep tentang tatanan pemerintahan yang ideal menurut Islam juga dipertegas. Yaitu dengan mengukuhkan lembaga yudikatif (qadi) yang berperan merumuskan dan melaksanakan hukum Islam, serta mendampingi raja dalam menjalankan pemerintahan.
Sejak munculnya Hamzah Fansuri dan Bukhari al-Jauhari, kegiatan penulisan kitab dan sastra bertambah subur di Aceh dan kepulauan Melayu. Penulis-penulis bermunculan. Mereka pada umumnya adalah ulama sufi, ahli hukum dan pemerintahan, serta sastrawan. Yang paling terkemuka antara lain ialah Syamsudin al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, Abdul Jamal, Hasan Fansuri, Abdul Rauf Singkel, Jamaluddin al-Tursani, dan lain-lain. Syamsudin al-Sumatrani (wafat 1630 M) adalah seorang pemikir tasawuf, pemimpin tariqat dan penulis prolifik. Pernah menjabat sebagai mufti kesultanan Aceh. Paham 'martabat tujuh' dalam tasawuf yang sangat popular di Indonesia berasal darinya. Kitab yang ditulisnya tidak kurang tiga puluh buah. Kitab-kitab karangannya antara lain ialah Mir'at al Mu'minin, Jawhar al-Haqa'iq dan Nur al-Daqa'iq.
Ulama lain yang juga produktif ialah Nuruddinal-Raniri. Dia berasal dari Rander, Gujarat. Dia belajar bahasa Melayu di Gujarat dan Mekkah, dan menjadi ulama istana Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani (1637-1641 M). Dia adalah penulis kitab fiqih pertama dalam bahasa Melayu. Karyanya yang terkenal antara lain Bustanal-Salatin (Taman Raja-raja), Sirat al-Mustaqim, Hill al-Zill, Jawhar al-'Ulum, Hujjat al-Siddiq, Tybian fi Ma'rifah al-Adyan, Syaif al-Qulub, Ma' al-Hayat dan lain-lain (Ahmad Daudy 1982). Karya-karya Nuruddin al-Raniri di bidang fiqih, tasawuf dan sejarah merupakan sumber rujukan para ulama Nusantara hingga abad ke-19 M.
Penulis besar lain yang muncul pada akhir abad ke-17 dan sangat berpengaruh ialah Abdul Rauf al-Singkili. Dia hidup pada masa pemerintahan Sultan Tajal-Alam (1641-1683 M). Karyanya yang terkenal ialah Tarjuman al-Mustafid merupakan tafsir al-Qur'an pertama dalam bahasa Melayu. Karyanya tidak kurang dari 27 buah, di antaranya Syair Makrifat, Daqa'i al-Huruf, Mir'at al-Tullab dan Umdat al-Muhtajin ila SulukMaslakul Mufridin. Seperti Syamsudin Pasai dan Nuruddin al-Raniri, dia menulis dalam bahasa Melayu dan Arab. Kitab-kitabnya tentang tasawuf, ilmu syariah dan tafsir al-Qur'an menjadi rujukan utama para ulama dan intelektual Muslim sampai masa yang akhir di seluruh pelosok Nusantara (T. Iskandar 1983). Pengajian-pengajian tariqat di pesantren-pesantren, istana dan daerah pemukiman para saudagar menggunakan risalah-risalah tasawuf Abdul Rauf, di samping kitab-kitab karangan Hamzah Fansuri, Syamsudin al-Sumatrani dan Nuruddin al-Raniri. Terutama sebagai rujukan pemahaman masalah ketuhanan dan pedoman melaksanakan disiplin keruhanian. Sampai sekarang Tariqat Sattariyah banyak menggunakan buku-buku Abdul Rauf dalam praktek zikir, sedang pemahaman mengenai soal wujud berpedoman pada pandangan Hamzah Fansuri dan Syamsudin al-Sumatrani.
Bukti luasnya penyebaran dan pengaruh kitab-kitab Aceh ialah banyaknya salinan naskahnya dibuat oleh penyalin di daerah yang berbeda-beda di kepulauan Nusantara. Salinan dan terjemahan risalah tasawuf Hamzah Fansuri dijumpai dalam bahasa Jawa. Salah satu naskah yang dijumpai ialah koleksi Sultan Banten abad ke-17 M. Risalah-risalah tasawuf Hamzah Fansuri dan Syamsudin al-Sumatrani dijadikan sumber rujukan utama penulis-penulis suluk di Jawa seperti Yasadipura I, Yasadipura II dan Ranggawarsita. Salah satu karya gelombang kedua dari proses islamisasi yang sangat berpengaruh di lingkungan raja-raja Melayu ialah kitab Tajal-Salatin. Naskah Melayunya saja masih disalin pada abad ke-19 M dan berbagai versi terjemahannya dalam bahasa Jawa dijumpai cukup banyak di Museum Sana Budaya Yogya dan Museum Radya Pustaka Solo. Terjemahan atau saduran yang terkenal dalam bahasa Jawa ialah karya Yasadipura I, pujangga kraton Surakarta pada masa pemerintahan Pakubuwana III akhir abad ke-18 M, dengan judul Serat Tajussalatin. Pada abad ke-19 M, di Riau Penyengat, Raja Ali Haji menyusun kitab ketatanegaraan Tsamrat al-Muhimmah, yang merupakan perluasan dari kitab-kitab sejenis yang ditulis di Aceh pada abad ke-17 dan 18 M.
Demikianlah proses islamisasi tahapan kedua itu berlangsung di kepulauan Melayu, dan penyempurnaannya pada tahapan ketiga. Tetapi di Jawa jalannya proses itu berbeda. Di sini proses islamisasi menempuh jalan dan menuju ke dua arah berbeda yang kerap menjadi sumber ketegangan. Yang pertama, di kawasan pesisir seperti Gresik, Tuban, Demak, Cirebon, Banten dan Madura yang sejak abad ke-15 dan 16 M telah menerima Islam dan menjalani tahapan yang relatif mirip dengan di dunia Melayu. Di sini tariqat sufi berkembang pesat sebagai pendukung emporium dan imperium Islam, dan para ulama terlibat langsung dalam birokrasi pemerintahan. Penulisan risalah tasawuf atau suluk berkembang pesat, begitu pula penyaduran hikayat-hikayat Melayu Islam. Arahnya ialah terbentuknya tradisi integratif di mana Islam dijadikan sebagai bagian intrinsik dari kebudayaan masyarakat setempat. Suatu kecenderungan yang juga berlaku di kalangan suku-suku Melayu, Aceh, Gayo, Mandailing, Minangkabau, Palembang, Bugis, Makassar, Banjar, Bima dan lain-lain.
Dalam tradisi integratif ini, secara konseptual Islam dijadikan sebagai landasan kultural. Komunitas etnik pendukungnya dalam mengenal dan memberi makna terhadap segala sesuatu bertolak dari ajaran Islam. Ini tercermin dalam struktur kekuasaan dan sistem pengaturan sosial mereka di mana ulama, cendikiawan dan saudagar kaya menempati strata yang tinggi, mendampingi elit bangsawan. Sedangkan adat istiadat ,tatanan sosial dan bentuk-bentuk ekspresi budaya yang sudah mapan diberi makna baru berdasarkan pandangan hidup (way of life), sistem nilai dan gambaran dunia (Weltanschauung) Islam. Yang kedua, kawasan kraton baru dan sekitarnya di pedalaman yang baru menerima Islam pada abad ke-17 dan 18 M. Di sini adalah tradisi dialog yang ditempuh. Islam sebagai doktrin keagamaan dibedakan dengan Islam sebagai pandangan hidup. Budaya Islam tidak sepenuhnya dijadikan landasan kultural. Kalau di pesantren Islam diterima sebagai pandangan hidup di samping sebagai agama wahyu, di kraton Islam hanya diterima sebagai agama. Tetapi pandangan hidupnya didasarkan pada budaya yang telah lama berkembang sebelum datangnya Islam. Apabila dalam tradisi integratif cara berpikir dan adab yang tidak didasarkan pada Islam dipandang sebagai penyimpangan dan bentuk heterodoksi yang sukar diterima, dalam tradisi dialog hal-hal seperti itu dipandang sebagai kewajaran sejauh selaras dengan nilai-nilai budaya setempat yang telah dirumuskan secara jelas dalam karya-karya sastra yang ditulis di kraton.
Untuk mengetahui seberapa besar peranan ulama dan sufi dalam proses transformasi budaya masyarakat Nusantara ini, cukuplah di sini diberi contoh pengaruh konsep 'dagang' dan 'faqir' yang mula sekali diuraikan panjang lebar oleh Hamzah Fansuri, baik dalam syair-syairnya maupun dalam risalah tasawufnya seperti Syarabal-'Asyiqin, Asrar al-'Arifin dan al-Muntahi. Hamzah Fansuri menggambarkan manusia sebagai 'dagang'. Kata-kata dagang adalah terjemahan dari kata-kata Arab gharib (orang asing). Kata-kata ini terdapat dalam sebuah hadis yang bunyinya, "Kun fial-dunya ka'annaka gharibun aw 'abiru sablin wa 'udhdha nafsahumin ashabi al-qubur" ("Jadilah orang asing di dunia ini, singgahlah sementara dalam perjalananmu, dan ingatlah akan azhab kubur.").
Penerjemahan kata-kata gharib menjadi 'dagang', yang dalam bahasa Melayu berarti orang yang merantau ke negeri asing untuk berniaga, terkait dengan sejarah masuk dan berkembangnya agama Islam di kepulauan Nusantara. Agama ini mula-mula masuk bersama kehadiran pedagang-pedagang Arab, Persia dan Turki. Hamzah Fansuri juga menghubungkan makna spiritual 'dagang' dengan konsep faqir (kefakiran) dalam tasawuf, sekaligus dengan ethos atau budaya dagang yang mendorong pesatnya perkembangan agama Islam. Dalam pandangan Islam, walaupun dunia ini merupakan tempat sementara bagi manusia, namun ia tidak boleh disia-siakan. Justru di dunia inilah ia harus mengumpulkan bekal yang cukup untuk dibawa pulang ke kampung halamannya yang abadi di akhirat nanti. Bekal yang dimaksud ialah amal ibadah dan amal saleh. Dalam syairnya Hamzah Fansuri menulis:
Hadis ini daripada Nabi al-Habib
Qala kun fi al-dunya ka'annaka gharib
Barang siapa da'im kepada dunia qarib
Manakan dapat menjadi habib
Dalam syairnya yang lain Hamzah Fansuri menyatakan:
Hidup dalam dunia upama dagang
Datang musimkita 'kan pulang
La tasta'khirunasa'atan lagi kan datang
Mencari ma'rifat Allah jangan alang-alang
Arti dari petikan ayat "La tasta'khiruna sa'atan" (Q 34:30) ialah tidak dapat ditunda waktunya. Dilihat dari sudut agama anak dagang diberi arti positif oleh penyair. Ia adalah orang sadar bahwa kehidupan yang benar hanya bersama Tuhan, dalam keimanan terhadap-Nya sebagai hakikat wujud tertinggi dalam sama dengan gagasan dagang adalah gagasan faqir. Dalam tasawuf ia diartikan sebagai pribadi yang tidak lagi terpaut pada dunia. Keterpautannya semata-mata pada Tuhan.
Sejalan dengan pengertian ini Hamzah Fansuri mengemukakan contoh faqir sejati ialah Nabi Muhammad s.a. w. Katanya: "Rasul Allah itulah yang tiada berlawan/ Meninggalkan tha'am (tamak) sungguh pun makan/ 'Uzlat dan tunggal di dalam kawan/ Olehnya duduk waktu berjalan". Dikatakan bahwa walau Nabi gemar beruzlat dan hidup zuhud, tetapi beliau tidak meninggalkan kewajibannya dalam kegiatan sosial. "Olehnya duduk waktu berjalan" bermakna, walaupun hatinya terpaut pada Tuhan, namun beliau tetap aktif menjalankan tugasnya sebagai khalifah-Nya dalam membangun dunia. Kata 'duduk' berarti keyakinannya kepada Allah s.w.t sangat teguh. Karena itu pengertian faqir yang sebenarnya tidak sama dengan asketisme pasif, apalagi dengan eskapisme.
Konsep kefakiran juga mencerminkan semangat sosialisme religius yang diajarkan Islam, dan dijadikan landasan perjuangan Syarikat Islam (SI), yang berdiri pada tahun 1905. SI merupakan gerakan kebangsaan paling awal dalam sejarah Indonesia modern, yang didirikan oleh para pemimpin tariqat dan terpelajar Islam. Ditelusuri ke belakang sejarahnya ia merupakan lanjutan dari gerakan-gerakan keagamaan yang berjuang keras menentang penjajahan. Ide-ide dari gerakan ini yang memberi corak khusus pada nasionalisme Indonesia, yaitu seperti dikatakan Sukarno, Muhammad Hatta dan Ruslan Abdulgani sebagai "Anti campur tangan asing dalam politik, anti dominasi asing dalam bidang ekonomi, dan menjunjung tinggi kepribadian bangsa dalam budaya" (Ruslan Abdulgani 1987).
Nasionalisme yang dibawa oleh kaum kolonial ialah nasionalisme imperialistis, kapitalistis dan chauvinistis. Tujuannya untuk mengusai ekonomi dan perdagangan, mencampuri politik dan menghancurkan kebudayaan bangsa yang dijajahnya.
Semangat sosialisme religius dari konsep faqir itu dikemukakan oleh Ibn Abu'Ishaq al-Kalabadhi, sufi abad ke-11 M, yang mengatakan "Kefakiran berarti tidak sesuatu pun dirasakan sebagai milikmu, atau jika memang kau memiliki kekayaan, jangan anggap itu milikmu. Ini sejalan dengan firman Tuhan dalam al-Qur'an: Sedangkan mereka itu mengutamakan kepentingan orang banyak, dibanding kepentingan mereka sendiri, sekali pun mereka berada dalam kesukaran'" (Arberry 1976:118). Syekh Ruwaym mengatakan, "Ciri faqir sejati ialah hatinya terlindung dari kepentingan diri dan jiwanya terjaga dari kecemaran serta tetap melaksanakan kewajiban agama dan kemanusiaan." (Nicholson 1982:43). (bersambung)
Sumber: Facebook Notes
Faktor lain yang tidak kalah penting bagi pesatnya perkembangan agama Islam itu ialah penempatan pusat-pusat lingkaran peradaban di titiga tiga titik yang besat,yaitu Istana, Pesantren dan Pasar. Istana sebagai pusat kekuasaan berperan dibidang politik dan penataan kehidupan sosial. Di sini dengan dukungan ulama yang terlibat langsung dalam birokrasi pemerintahan, hukum Islam dirumuskan dan diterapkan. Di sini pula kitab sejarah ditulis sebagai landasan legitimasi bagi penguasa Muslim. Pesantren berperan di bidang pendidikan, dan merupakan pusat kebudayaan kedua setelah istana. Di sini jaringan-jaringan pengajian agama di lingkungan masyarakat luas dibangun, di kota atau pedesaan, begitu pula tema-tema pengajian. Di sini pula kitab-kitab keagamaan ditulis dan disalin untuk disebarkan.
Peran pesantren, atau dayah dan meunasah di Aceh, surau di Minangkabau, semakin menonjol pada abad ke-18 M di seluruh pelosok Nusantara.Ia sekaligus berperan sebagai pusat kegiatan tariqat sufi. Lembaga yang semula bersifat kedaerahan ini berkembang menjadi lembaga supra-daerah yang kepemimpinan dan peserta didiknya tidak lagi berdasarkan kesukuan. Ia tumbuh menjadi lembaga universal yang menerima guru dan murid tanpa memandang latarbelakang suku dan daerah asal. Pada masa itulah pesantren atau dayah itu mampu membentuk jaringan kepemimpinan intelektual dan penyebaran agama dalam berbagai tingkatan dan antar-daerah (lihat juga Azyumardi Azra (1995:35-6).
Sedangkan pasar berperan di bidang ekonomi dan perdagangan. Pasar merupakan daerah pemukiman para saudagar, kaum terpelajar dan kelas menengah lain, termasuk para perajin, yang berhadapan langsung dengan situasi cultural yang sedang berkembang. Di sini orang dari berbagai etnik dan ras berbeda-beda bertemu dan berinteraksi, dan di sini pula perkembangan bahasa Melayu mengalami dinamika yang menentukan bagi luasnya penyebarannya ke berbagai wilayah Nusantara lain. Di tengah komunitas yang majemuk ini tentu saja terdapat masjid yang merupakan tempat mereka berkumpul dan menghadiri pengajian-pengajian keagamaan. Di sini pula madrasah-madrasah didirikan, dan buku-buku keagamaan didatangkan dari negeri Arab dan Persia, dikirim ke pesantren disalin, disadur atau diterjemahkan agar dapat disebarluaskan. Di sini pula dirancang strategi penyebaran agama mengikuti jaringan-jaringan emporium yang telah mereka bina sejak lama. Tentu saja tiga titik pusat lingkaran peradaban ini saling mendukung satu dengan yang lain, dan saling berinteraksi. Ini tercermin dalam tatanan kota yang dibangun pada zaman kejayaan imperium dan emporium Islam.
Kota-kota Islam di Nusantara dibangun mengikuti model kota di negeri Arab dan Persia. Ia berbeda dengan kota-kota pada zaman Hindu dan kota-kota lama di Eropa. Kota-kota lama di Eropa dibangun dengan menempatkan istana sebagai bagian yang terpisah dari keseluruhan tatanan kehidupan kota. Kota-kota Islam menempatkan istana sebagai bagian integral dari kehidupan kota. Dengan begitu istana tidak terasing dan dapat berinteraksi secara dinamis dengan pusat-pusat peradaban di luarnya seperti lembaga pendidikan dan pasar. Model kota seperti itu memungkinkan istana mempengaruhi kebudayaan kota dengan kuat lewat kehidupan di pesantren dan pusat pemukiman para saudagar, perajin dan cendekiawan yang disebut Pasar atau Bazzar (lihat juga Fylstinsky 1971, melalui Braginsky 1998:9).
Penataan kota seperti itu dan penempatan tiga titik lingkaran pusat peradaban, semakin efektif berfungsi ketika proses islamisasi memasuki tahapan kedua pada waktu implikasi-implikasi rasional dan intelektual, atau implikasi filosofis dari konsep Tauhid yang, mulai dihadirkan. Terlebih-lebih lagi pada saat memasuki tahapan ketiga yang merupakan tahap penyempurnaan dan perluasan. Pada tahapan kedua ajaran Islam mulai diresapi secara lebih mendalam melalui konsep-konsep metafisika, epistemologi dan etika sufi. Pada periode ketika tahapan ini berlangsung, ulama-ulama pribumi semakin banyak yang mengambil alih peranan ulama dari luar dalam kegiatan penyebaran agama dan struktur birokrasi pemerintahan. Mereka juga tampil sebagai cendekiawan yang pandai menyampaikan falsafah Islam melalui tulisan dalam bahasa lokal, seperti Melayu dan Jawa.
Pada masa inilah kegiatan penulisan kitab keagamaan, terutama risalah tasawuf dan suluk, yaitu syair-syair tasawuf, mulai subur. Di Sumatra pada abad ke-16 M kegiatan tersebut tampak pada kegiatan yang dilakukan Hamzah Fansuri dan murid-muridnya seperti Syamsudin al-Sumatrani, Abdul Jamal, Hasan Fansuri dan lain-lain. Karangan-karangan mereka pada umumnya sarat dengan uraian berkenaan doktrin Wahdatal-Wujud yang bercorak filosofis dan intelektual. Sedangkan di Jawa tampak dalam suluk-sulukyang ditulis oleh para wali seperti Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, dan lain-lain. Uraian yang diungkapkan dalam bentuk syair ataut embang suluk di Jawa sangat efektif bagi penyebaran tasawuf, karena puisi bisa dihafal dan dinyanyikan di majlis-majlis atau pengajian-pengajian tariqat. Pada gilirannya ia bukan saja merangsang pemikiran, tetapi mengilhami lahirnya berbagai bentuk seni dalam upaya penyampaiannya.
Salah satu kecenderungan kuat pada tahapan ini ialah cara menafsirkan hukum agama dan sistem kekuasaan sesuai dengan konteks perkembangan masyarakat yang tatanan sosialnya bercorak agraris feodal dan kesukuan, dan menyukai hal-hal yang bersifat magis dan mitos. Teks-teks Jawa yang menggambarkan proses pengislaman penduduk oleh para wali pada abad ke-16 M, dengan jelas memperlihatkan hal ini. Tetapi peringkat ini kemudian dilanjutkan dengan penafsiran metafisika dan psikologi sufi yang bercorak filosofis, dan penafsiran teologi dari para mutakallimun yang bercorak rasional. Setelah itu penulisan historiografi dan penafsiran estetika sufi dilakukan melalui penciptaan karya sastra dan seni Islam yang lain. Maka dasar-dasar tradisi intelektual Islam mulai diletakkan, begitu pula adab dan estetikanya.
Pada saat tahapan ini berlangsung adalah tasawuf dan karangan-karangan para sufi serta ahli kalam yang paling dominan. Terutama kitab-kitab karangan Mansur al-Hallaj, Bayazid al-Bhistami, Imam al-Ghazali, Ibn 'Arabi, Fariduddin 'Attar, JalaludinRumi, Abdul Karim al-Jili, Jami, dan lain-lain. Sedangkan yang berkenaan dengan ilmu kalam atau teologi, sebagian besarnya adalah yang bersumber dari paham Asy'ariyah dan Maturidiyah. Memasuki abad ke-17 M, fiqih dan usuluddin dari madzab Sunnah wa al-Jamaah, khususnya paham Syafi'i, mulai diiuraikan secara lebih komprehensif dalam kitab-kitab keagamaan Melayu. Melalui pemahaman terhadap kitab-kitab ini maka agama Islam tidak hanya diterima secara formal, tetapi diresapi secara mendalam, serta dijadikan landasan dalam membangun kehidupan sosial, politik dan kebudayaan.
Konsep-konsep dasar Islam seperti Tauhid, yang pada tahapan pertama masih kabur dan tumpang tindih dengan kepercayaan lama, kini diperjelas melalui uraian yang bercorak filosofis dan intelektual oleh wali-wali dan ahli tasawuf. Begitu juga pengertian tentang persamaan derajat manusia, serta pandangan bahwa manusia menjadi mulia disebabkan tingkat keimanan dan ketaqwaannya, serta disebabkan keluhuran akhlaq dan keluasan ilmu yang dikuasainya.
Tahapan kedua dan ketiga itu berlangsung tepat ketika imperium besar di Nusantara, kesultanan Aceh Darussalam, mulai menyongsong puncak kejayaannya sebagai pusat peradaban dan kegiatan perdagangan. Negeri ini telah memiliki perguruan tinggi Islam terkemuka, Jami' al-Bayt al-Rahman, sejak awal abad ke-16 dan berkembang pesat menjelang akhir abad yang sama. Di sinilah kader-kader ulama dan cendikiawan Muslim terkemuka memperoleh pendidikan. Mereka tidak hanya datang dari Sumatra, tetapi juga dari berbagai wilayah lain di AsiaTenggara. Tidaklah mengherankan jika pada abad ke-17 M Aceh tampil sebagai pusat kegiatan penulisan kitab keagamaan dan sastra Melayu.
Tasawuf dan Kebudayaan
Tahapan kedua di kepulauan Melayu telah berlangsung pada akhir abad ke-16 M dan mencapai tahap penyempurnaan pada abad ke-17 M, yaitu terintegrasinya sepenuhnya jati diri Melayu dengan Islam. Islam dengan derasnya meresapi hampir semua sendi dan aspek kehidupan orang Melayu. Bahasa Melayu turut naik pula ke puncak kedudukannya sebagai bahasa ilmu dan keagamaan paling terkemuka di Nusantara. Kesusastraannya mencapai perkembangan yang pesat pula. Wilayah emporiumnya atau kekuatan perdagangan dan jaringan-jaringannya semakin meluas, bersaing dengan bangsa Eropa yang mulai pula memiliki koloni-koloni dagang yang kian lama kian besar. Sebagai sumber satu-satunya pembentuk jati diri dan kesadaran diri, Islam dengan sendirinya dijadikan satu-satunya cermin melihat realitas dan paradigma budaya.
Pemikiran yang melandasi proses islamisasi pada tahapan ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari gelombang pertama ketika Islam hadir sebagai agama kosmopolitan dan egaliter dengan wali-wali dan guru tasawuf sebagai pemeran utama dalam menyampaikan pokok-pokok ajarannya. Kita namakan saja corak pemikiran yang melandasi proses islamisasi pada masa ini sebagai gelombang kedua. Setidak-tidaknya muncul gelombang kedua pemikiran Islam ini diawali dengan hadirnya dua gejala dominan:
(1) Munculnya banyak sekali karangan, baik prosa maupun puisi, berisi renungan-renungan tasawuf yang mendalam tentang masalah ketuhanan dan hubungan manusia dengan Tuhan, serta arti penciptaan dan kedudukan manusia di alam dunia;
(2) Munculnya teori kekuasan yang bertolak dari pendekatan sufistik dan diungkapkan melalui karya sastra (lihat juga Taufik Abdullah 2002). Gejala pertama tampak pada karya Hamzah Fansuri, berupa sejumlah risalah tasawuf yang begitu filosofis dan mendalam, seperti Syarab al-'Asyiqin (Minuman Orang Berahi) dan Asrar al-'Arifin (Rahasia Ahli Makrifat), serta syair-syairnya yang indah dan memikat. Dalam karangan-karangan sufi dari Barus itu derasnya proses islamisasi kebudayaan Melayu tampak bukan saja pada persoalan yang dikemukakan, tetapi juga pada penggunaan bahasanya. Tidak kurang 1200 kata-kata dan ungkapan Arab diserap dan dijadikan perbendaharaan kata-kata Melayu yang serasi dalam syair-syairnya saja.
Gejala kedua tampak pada munculnya kitab ketatanegaraan bercorak sastra, Tajal-Salatin (Mahkota Raja-raja), karangan Bukhari al-Jauha. Buku ini selesai ditulis pada 1603 M menguraikan adab pemerintahan yang ideal menurut Islam. Konsep-konsep dan pemerintahan raja-raja Melayu banyak diturunkan dari kitab ini. Negara tidak lagi dipandang sebagai sekadar refleksi dari kedirian seorang raja, tetapi juga sebagai pranata yang merupakan terwjudnya kesatuan yang harmonis antara raja dan rakyat, makhluq dan Khaliq, yaitu dengan melaksanakan keadilan dalam pemerintahan. Raja yang adil dan dipandang sebagai 'Bayang-bayang Tuhan di muka bumi' (Zill Allah fi al-'ardh), sedang rajay ang zalim dan menurutkan egonya disebut 'Bayang-bayang Iblis di muka bumi'. Konsep tentang tatanan pemerintahan yang ideal menurut Islam juga dipertegas. Yaitu dengan mengukuhkan lembaga yudikatif (qadi) yang berperan merumuskan dan melaksanakan hukum Islam, serta mendampingi raja dalam menjalankan pemerintahan.
Sejak munculnya Hamzah Fansuri dan Bukhari al-Jauhari, kegiatan penulisan kitab dan sastra bertambah subur di Aceh dan kepulauan Melayu. Penulis-penulis bermunculan. Mereka pada umumnya adalah ulama sufi, ahli hukum dan pemerintahan, serta sastrawan. Yang paling terkemuka antara lain ialah Syamsudin al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, Abdul Jamal, Hasan Fansuri, Abdul Rauf Singkel, Jamaluddin al-Tursani, dan lain-lain. Syamsudin al-Sumatrani (wafat 1630 M) adalah seorang pemikir tasawuf, pemimpin tariqat dan penulis prolifik. Pernah menjabat sebagai mufti kesultanan Aceh. Paham 'martabat tujuh' dalam tasawuf yang sangat popular di Indonesia berasal darinya. Kitab yang ditulisnya tidak kurang tiga puluh buah. Kitab-kitab karangannya antara lain ialah Mir'at al Mu'minin, Jawhar al-Haqa'iq dan Nur al-Daqa'iq.
Ulama lain yang juga produktif ialah Nuruddinal-Raniri. Dia berasal dari Rander, Gujarat. Dia belajar bahasa Melayu di Gujarat dan Mekkah, dan menjadi ulama istana Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani (1637-1641 M). Dia adalah penulis kitab fiqih pertama dalam bahasa Melayu. Karyanya yang terkenal antara lain Bustanal-Salatin (Taman Raja-raja), Sirat al-Mustaqim, Hill al-Zill, Jawhar al-'Ulum, Hujjat al-Siddiq, Tybian fi Ma'rifah al-Adyan, Syaif al-Qulub, Ma' al-Hayat dan lain-lain (Ahmad Daudy 1982). Karya-karya Nuruddin al-Raniri di bidang fiqih, tasawuf dan sejarah merupakan sumber rujukan para ulama Nusantara hingga abad ke-19 M.
Penulis besar lain yang muncul pada akhir abad ke-17 dan sangat berpengaruh ialah Abdul Rauf al-Singkili. Dia hidup pada masa pemerintahan Sultan Tajal-Alam (1641-1683 M). Karyanya yang terkenal ialah Tarjuman al-Mustafid merupakan tafsir al-Qur'an pertama dalam bahasa Melayu. Karyanya tidak kurang dari 27 buah, di antaranya Syair Makrifat, Daqa'i al-Huruf, Mir'at al-Tullab dan Umdat al-Muhtajin ila SulukMaslakul Mufridin. Seperti Syamsudin Pasai dan Nuruddin al-Raniri, dia menulis dalam bahasa Melayu dan Arab. Kitab-kitabnya tentang tasawuf, ilmu syariah dan tafsir al-Qur'an menjadi rujukan utama para ulama dan intelektual Muslim sampai masa yang akhir di seluruh pelosok Nusantara (T. Iskandar 1983). Pengajian-pengajian tariqat di pesantren-pesantren, istana dan daerah pemukiman para saudagar menggunakan risalah-risalah tasawuf Abdul Rauf, di samping kitab-kitab karangan Hamzah Fansuri, Syamsudin al-Sumatrani dan Nuruddin al-Raniri. Terutama sebagai rujukan pemahaman masalah ketuhanan dan pedoman melaksanakan disiplin keruhanian. Sampai sekarang Tariqat Sattariyah banyak menggunakan buku-buku Abdul Rauf dalam praktek zikir, sedang pemahaman mengenai soal wujud berpedoman pada pandangan Hamzah Fansuri dan Syamsudin al-Sumatrani.
Bukti luasnya penyebaran dan pengaruh kitab-kitab Aceh ialah banyaknya salinan naskahnya dibuat oleh penyalin di daerah yang berbeda-beda di kepulauan Nusantara. Salinan dan terjemahan risalah tasawuf Hamzah Fansuri dijumpai dalam bahasa Jawa. Salah satu naskah yang dijumpai ialah koleksi Sultan Banten abad ke-17 M. Risalah-risalah tasawuf Hamzah Fansuri dan Syamsudin al-Sumatrani dijadikan sumber rujukan utama penulis-penulis suluk di Jawa seperti Yasadipura I, Yasadipura II dan Ranggawarsita. Salah satu karya gelombang kedua dari proses islamisasi yang sangat berpengaruh di lingkungan raja-raja Melayu ialah kitab Tajal-Salatin. Naskah Melayunya saja masih disalin pada abad ke-19 M dan berbagai versi terjemahannya dalam bahasa Jawa dijumpai cukup banyak di Museum Sana Budaya Yogya dan Museum Radya Pustaka Solo. Terjemahan atau saduran yang terkenal dalam bahasa Jawa ialah karya Yasadipura I, pujangga kraton Surakarta pada masa pemerintahan Pakubuwana III akhir abad ke-18 M, dengan judul Serat Tajussalatin. Pada abad ke-19 M, di Riau Penyengat, Raja Ali Haji menyusun kitab ketatanegaraan Tsamrat al-Muhimmah, yang merupakan perluasan dari kitab-kitab sejenis yang ditulis di Aceh pada abad ke-17 dan 18 M.
Demikianlah proses islamisasi tahapan kedua itu berlangsung di kepulauan Melayu, dan penyempurnaannya pada tahapan ketiga. Tetapi di Jawa jalannya proses itu berbeda. Di sini proses islamisasi menempuh jalan dan menuju ke dua arah berbeda yang kerap menjadi sumber ketegangan. Yang pertama, di kawasan pesisir seperti Gresik, Tuban, Demak, Cirebon, Banten dan Madura yang sejak abad ke-15 dan 16 M telah menerima Islam dan menjalani tahapan yang relatif mirip dengan di dunia Melayu. Di sini tariqat sufi berkembang pesat sebagai pendukung emporium dan imperium Islam, dan para ulama terlibat langsung dalam birokrasi pemerintahan. Penulisan risalah tasawuf atau suluk berkembang pesat, begitu pula penyaduran hikayat-hikayat Melayu Islam. Arahnya ialah terbentuknya tradisi integratif di mana Islam dijadikan sebagai bagian intrinsik dari kebudayaan masyarakat setempat. Suatu kecenderungan yang juga berlaku di kalangan suku-suku Melayu, Aceh, Gayo, Mandailing, Minangkabau, Palembang, Bugis, Makassar, Banjar, Bima dan lain-lain.
Dalam tradisi integratif ini, secara konseptual Islam dijadikan sebagai landasan kultural. Komunitas etnik pendukungnya dalam mengenal dan memberi makna terhadap segala sesuatu bertolak dari ajaran Islam. Ini tercermin dalam struktur kekuasaan dan sistem pengaturan sosial mereka di mana ulama, cendikiawan dan saudagar kaya menempati strata yang tinggi, mendampingi elit bangsawan. Sedangkan adat istiadat ,tatanan sosial dan bentuk-bentuk ekspresi budaya yang sudah mapan diberi makna baru berdasarkan pandangan hidup (way of life), sistem nilai dan gambaran dunia (Weltanschauung) Islam. Yang kedua, kawasan kraton baru dan sekitarnya di pedalaman yang baru menerima Islam pada abad ke-17 dan 18 M. Di sini adalah tradisi dialog yang ditempuh. Islam sebagai doktrin keagamaan dibedakan dengan Islam sebagai pandangan hidup. Budaya Islam tidak sepenuhnya dijadikan landasan kultural. Kalau di pesantren Islam diterima sebagai pandangan hidup di samping sebagai agama wahyu, di kraton Islam hanya diterima sebagai agama. Tetapi pandangan hidupnya didasarkan pada budaya yang telah lama berkembang sebelum datangnya Islam. Apabila dalam tradisi integratif cara berpikir dan adab yang tidak didasarkan pada Islam dipandang sebagai penyimpangan dan bentuk heterodoksi yang sukar diterima, dalam tradisi dialog hal-hal seperti itu dipandang sebagai kewajaran sejauh selaras dengan nilai-nilai budaya setempat yang telah dirumuskan secara jelas dalam karya-karya sastra yang ditulis di kraton.
Untuk mengetahui seberapa besar peranan ulama dan sufi dalam proses transformasi budaya masyarakat Nusantara ini, cukuplah di sini diberi contoh pengaruh konsep 'dagang' dan 'faqir' yang mula sekali diuraikan panjang lebar oleh Hamzah Fansuri, baik dalam syair-syairnya maupun dalam risalah tasawufnya seperti Syarabal-'Asyiqin, Asrar al-'Arifin dan al-Muntahi. Hamzah Fansuri menggambarkan manusia sebagai 'dagang'. Kata-kata dagang adalah terjemahan dari kata-kata Arab gharib (orang asing). Kata-kata ini terdapat dalam sebuah hadis yang bunyinya, "Kun fial-dunya ka'annaka gharibun aw 'abiru sablin wa 'udhdha nafsahumin ashabi al-qubur" ("Jadilah orang asing di dunia ini, singgahlah sementara dalam perjalananmu, dan ingatlah akan azhab kubur.").
Penerjemahan kata-kata gharib menjadi 'dagang', yang dalam bahasa Melayu berarti orang yang merantau ke negeri asing untuk berniaga, terkait dengan sejarah masuk dan berkembangnya agama Islam di kepulauan Nusantara. Agama ini mula-mula masuk bersama kehadiran pedagang-pedagang Arab, Persia dan Turki. Hamzah Fansuri juga menghubungkan makna spiritual 'dagang' dengan konsep faqir (kefakiran) dalam tasawuf, sekaligus dengan ethos atau budaya dagang yang mendorong pesatnya perkembangan agama Islam. Dalam pandangan Islam, walaupun dunia ini merupakan tempat sementara bagi manusia, namun ia tidak boleh disia-siakan. Justru di dunia inilah ia harus mengumpulkan bekal yang cukup untuk dibawa pulang ke kampung halamannya yang abadi di akhirat nanti. Bekal yang dimaksud ialah amal ibadah dan amal saleh. Dalam syairnya Hamzah Fansuri menulis:
Hadis ini daripada Nabi al-Habib
Qala kun fi al-dunya ka'annaka gharib
Barang siapa da'im kepada dunia qarib
Manakan dapat menjadi habib
Dalam syairnya yang lain Hamzah Fansuri menyatakan:
Hidup dalam dunia upama dagang
Datang musimkita 'kan pulang
La tasta'khirunasa'atan lagi kan datang
Mencari ma'rifat Allah jangan alang-alang
Arti dari petikan ayat "La tasta'khiruna sa'atan" (Q 34:30) ialah tidak dapat ditunda waktunya. Dilihat dari sudut agama anak dagang diberi arti positif oleh penyair. Ia adalah orang sadar bahwa kehidupan yang benar hanya bersama Tuhan, dalam keimanan terhadap-Nya sebagai hakikat wujud tertinggi dalam sama dengan gagasan dagang adalah gagasan faqir. Dalam tasawuf ia diartikan sebagai pribadi yang tidak lagi terpaut pada dunia. Keterpautannya semata-mata pada Tuhan.
Sejalan dengan pengertian ini Hamzah Fansuri mengemukakan contoh faqir sejati ialah Nabi Muhammad s.a. w. Katanya: "Rasul Allah itulah yang tiada berlawan/ Meninggalkan tha'am (tamak) sungguh pun makan/ 'Uzlat dan tunggal di dalam kawan/ Olehnya duduk waktu berjalan". Dikatakan bahwa walau Nabi gemar beruzlat dan hidup zuhud, tetapi beliau tidak meninggalkan kewajibannya dalam kegiatan sosial. "Olehnya duduk waktu berjalan" bermakna, walaupun hatinya terpaut pada Tuhan, namun beliau tetap aktif menjalankan tugasnya sebagai khalifah-Nya dalam membangun dunia. Kata 'duduk' berarti keyakinannya kepada Allah s.w.t sangat teguh. Karena itu pengertian faqir yang sebenarnya tidak sama dengan asketisme pasif, apalagi dengan eskapisme.
Konsep kefakiran juga mencerminkan semangat sosialisme religius yang diajarkan Islam, dan dijadikan landasan perjuangan Syarikat Islam (SI), yang berdiri pada tahun 1905. SI merupakan gerakan kebangsaan paling awal dalam sejarah Indonesia modern, yang didirikan oleh para pemimpin tariqat dan terpelajar Islam. Ditelusuri ke belakang sejarahnya ia merupakan lanjutan dari gerakan-gerakan keagamaan yang berjuang keras menentang penjajahan. Ide-ide dari gerakan ini yang memberi corak khusus pada nasionalisme Indonesia, yaitu seperti dikatakan Sukarno, Muhammad Hatta dan Ruslan Abdulgani sebagai "Anti campur tangan asing dalam politik, anti dominasi asing dalam bidang ekonomi, dan menjunjung tinggi kepribadian bangsa dalam budaya" (Ruslan Abdulgani 1987).
Nasionalisme yang dibawa oleh kaum kolonial ialah nasionalisme imperialistis, kapitalistis dan chauvinistis. Tujuannya untuk mengusai ekonomi dan perdagangan, mencampuri politik dan menghancurkan kebudayaan bangsa yang dijajahnya.
Semangat sosialisme religius dari konsep faqir itu dikemukakan oleh Ibn Abu'Ishaq al-Kalabadhi, sufi abad ke-11 M, yang mengatakan "Kefakiran berarti tidak sesuatu pun dirasakan sebagai milikmu, atau jika memang kau memiliki kekayaan, jangan anggap itu milikmu. Ini sejalan dengan firman Tuhan dalam al-Qur'an: Sedangkan mereka itu mengutamakan kepentingan orang banyak, dibanding kepentingan mereka sendiri, sekali pun mereka berada dalam kesukaran'" (Arberry 1976:118). Syekh Ruwaym mengatakan, "Ciri faqir sejati ialah hatinya terlindung dari kepentingan diri dan jiwanya terjaga dari kecemaran serta tetap melaksanakan kewajiban agama dan kemanusiaan." (Nicholson 1982:43). (bersambung)
Sumber: Facebook Notes