ISLAM DI INDONESIA DAN TRANSFORMASI BUDAYA (4-selesai)

Abdul Hadi W. M.

Kilas Balik dan Tantangan Kini

Sambil menyimpulkan pokok-pokokpikiran yang telah dikemukakan, kini mari kita lihat Islam pada abad ke-20 M. Islam mula-mula berkembang di Pasai, meluas ke Aceh dan Semenanjung Malaya, lantas ke seluruh kepulauan Melayu, Jawa, Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan Nusa Tenggara. Sebagai dampak dari kedatangannya, dan konfrontasinya dengan bangsa Eropa yang datang pada abad ke-17 M sebagai penjajah, terjadilah proses perubahan sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan besar-besaran. Melalui jaringan perdagangan, politik, intelektual, organisasi tariqat, pendidikan, sastra atau literasi, komunikasi antarpenduk kepulauan Nusantara yang multi-etnik lantas menjadi sangat terbuka. Begitu pula interaksi antar etnik yang berbeda-beda itu menjadi kian dinamis. Dengan demikian mobilitas sosial terjadi secara horisontal dan vertikal, suatu hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Para pedagang, muballigh, guru-guru agama, ulama, sufi pengembara (faqir), wali, raja-raja pribumi, pemimpin tariqat, seniman, sastrawan, cendekiawan, tabib, dan lain-lain memainkan peranan dalam transformasi sosial dan budaya masyarakat Nusantara. Pranata-pranata sosial keagamaan dan budaya yang diciptakan oleh komunitas Islam di Nusantara seperti masjid, pesantren atau dayah, organisasi keagamaan, persaudaraan sufi atau tariqat, majlis ta’lim dan pengajian, haji, tradisi penulisan kitab keagamaan dalam bahasa Melayu, dan lain sebagainya ternyata sangat efektif sebagai faktor pendorong bagi terjadinya integrasi bangsa Indonesia. Hanya dalam masa tiga atau empat abad penyebarannya itu, Islam mampu menjadi agama rakyat yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia. Suatu hal yang mencengangkan, seperti dikatakan Schrieke (1955), “Sejak abad ke-16 M praktis kepulauan Nusantara telah diintegrasikan oleh Islam, agama yang relatif baru dan jauh dari wilayah yang selama ini disebut sebagai pusat dunia Islam.”

Sejak kehadirannya itu pula Islam telah memberi dasar-dasar pandangan hidup (way of life) dan gambaran dunia (Weltanschauung) beserta nilai-nilainya yang universal pada banyak kebudayaan lokal. Budaya-budaya lokal yang dirembesi ajaran Islam ini lantas berkembang maju dan mampu menghasilkan tradisi baca-tulis yang dengan itu pemikiran dan mobilitas jiwanya berkembang. Kepada budaya-budaya daerah yang saling terkait dan mempengaruhi satu dengan yang lain itu, Islam juga memberikan dasar-dasar egalitarianisme, rasionalitas, aktivisme, kesalehan sosial, etos dagang dan tradisi intelektual. Tanpa itu transformasi budaya tidak akan terjadi, sebab berkembangnya kebudayaan mengandaikan adanya suasana komunikatif yang terbuka dan pemikiran-pemikiran yang harus saling dikomunikasikan. Islam memberikan semua itu kepada mayoritas etnik-etnik di kepulauan Nusantara.

Meskipun budaya-budaya daerah itu relatif berbeda, dan juga tidak sepenuhnya utuh lagi sekarang sebab kurang dipelihara dan benturannya dengan modernisasi serta globalisasi, namun dalam kenyataan budaya-budaya bentukan Islam masih terus memperlihatkan fungsinya hingga kini. Terutama dalam menepis krisis, mengatasi disharmoni dan kemungkinan chaos yang timbul sebagai dampak negatif dari pembangunan dan penetrasi budaya asing yang dibawa oleh arus globalisasi. Marilah kita renungi secara mendalam: Apabila Islam adalah agama mayoritas penduduk Indonesia, pastilah ia juga merupakan agama yang melandasi mayoritas budaya daerah. Dan apabila “Kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah” seperti tertera dalam UUD 45, maka semestinya sudah sejak awal berdirinya republik ini Islam dijadikan paradigma budaya bagi pembentukan kebudayaan nasional. Namun kenyataan tidak menunjukkan demikian. Kebijakan pemerintah senantiasa mencerminkan upaya untuk mengabaikan kenyataan anthropologis dan kultural yang sangat penting ini. Islam dipandang seolah-olah bukan bagian integral dari kehidupan sosial budaya dan sosial politik bangsa Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam.

Upaya untuk meminggirkan dan menghalau Islam dalam proses transformasi budaya bangsa, tercermin dalam kebijakan pendidikan kita. Sistem pendidikan kita tidak lebih adalah lanjutan sistem pendidikan kolonial. Ilmu-ilmu yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan ini adalah hasil rekontruksi pemerintah kolonial. Ia diolah oleh kaum orientalis yang tidak sedikit di antaranya adalah misionaris Kristen. Di dalamnya, Islam dan peradabannya, seperti tampak dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang diajarkan, secara sistematis ditendang keluar agar tidak pernah diketahui oleh kaum terpelajar kita. Dari lembaga pendidikan seperti itulah lahir kaum terpelajar yang asing terhadap kebudayaan bangsanya dan Islam, agama yang dianut sebagian terbesar penduduk tanah airnya termasuk dirinya. Yang diketahui dari Islam adalah fenomena-fenomena permukaannya saja. Islam hanya dikenal sebagai doktrin teologi, bukan sumber kebudayaan dan peradaban. Apa saja yang terkait dengan Islam, kecuali peribadatannya, akan tidak diacuhkannya bahkan dicibirnya sebagai buah dari sebuah peradaban besar yang tangguh menghadapi tantangan berbagai zaman.

Oleh karena itu, sejak awal abad ke-20 hingga kini, kata Jansen (1983), medan perang sesungguhnya bagi Islam ialah bangku sekolah dan lembaga pendidikan. Ini disadari benar-benar sejak awal oleh para pemimpin Islam, khususnya para pelopor gerakan pembaruan (tajdid) seperti Muhammadiyah. Adalah berkat lahirnya gerakan-gerakan pembaruan dengan berbagai organisasi sosial keagamaan dan lembaga-lembaga pendidikannya, kaum terpelajar dan masyarakat Indonesia mengenal kembali Islam, bukan hanya sebagai doktrin keagamaan dan sistem peribadatan. Tetapi juga sebagai landasan peradaban dan sumber ilham kebudayaan.

Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang didirikan oleh gerakan pembaruan itu, terutama Muhammadiyah mampu memanfaatkan sistem pendidikan modern dengan memasukkan nilai-nilai Islam ke dalamnya. Dengan hadirnya lembaga pendidikan semacam ini, terutama setelah kemerdekaan, kaum terpelajar Islam diselamatkan dari bahaya pendidikan modern yang ingin mencerabut generasi muda dari akar budaya bangsanya. Karena itu, kata Jansen lagi, karena hadirnya Muhammadiyah maka kita mempunyai jawaban budaya Islam Indonesia sesungguhnya pada abad ke-20.
Bercermin pada ikhtiar yang dilakukan Muhammadiyah, organisasi-organisasi keagamaan lain berlomba-lomba mendirikan lembaga pendidikan serupa, terutama sejak dekade 1970an. Pada masa ini pula pesantren, lembaga pendidikan tradisional yang biasanya dikaitkan dengan Islam tradisionalis seperti NU, mengalami revitalisasi dan berkembang pesat. Minat masyarakat mengirim anaknya ke pesantren dari waktu ke watu tambah meningkat. Lantas kita menyaksikan bukan hanya kiyai-kiyai NU dan Islam tradisionalis lain yang berlomba-lomba mendirikan pesantren, tetapi juga organisasi-organisasi dan yayasan-yayasan Islam yang tergolong modernis. Sekali lagi, walaupun pada saat itu secara politik Islam terpinggirkan oleh kebijakan floating mass Orde Baru, Islam tetap menunjukkan dirinya bukan sebagai agama yang mandeg serta tidak tanggap akan perubahan dan tantangan. Hasil dari upaya-upaya yang gigih dan ulet itu di bidang pendidikan dan kebudayaan tentu saja bisa diperdebatkan.

Pada dasawarsa 1980an kita menyaksikan proses reislamisasi melanda kampus-kampus universitas negeri. Kaum muda Islam tidak puas dengan mata pelajaran sekular yang diberikan di ruang-ruang kuliah. Mereka mendirikan masjid-masjid kampus, kelompok-kelompok pengajian, studi pemikiran keagamaan dan kebudayaan Islam, menyelenggarakan berbagai pentas seni, sanggar seni dan lain sebagainya. Begitulah generasi muda 1970an itu tampil sebagai agen baru dari transfromasi budaya Islam untuk memenuhi panggilan sejarah. Tanpa kehadiran mereka, yang pada umumnya adalah aktivis organisasi pelajar, pemuda dan mahasiswa seperti HMI, PII, PMII, IMM, GP Ansor, GPII, Pemuda Muhammadiyah, IPNU, dan belakangan KAMMI, PKS dan lain-lain, bagaimana mungkin muncul tokoh-tokoh seperti Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Amin Rais, M. Syafii Maarif, dan lain-lain yang telah memainkan peranan penting dalam gerakan reformasi pada tahun 1998? Di bidang sastra dan seni kita temukan pula padanannya. Pelopor kebangkitan seni Islam pada tahun 1960an dan 1970an adalah seniman-seniman yang ketika itu masih mahasiswa dan aktivis organisasi kemahasiswaan. Sebut saja misalnya Kuntowijoyo, Taufiq Ismail, Amri Yahya, A. D. Pirous, Arifien C. Noer, M. Fudoli Zaini, dan masih banyak lagi jika hendak disebutkan. Tanpa kepeloporan mereka, kita tidak akan pernah menyaksikan suburnya perkembangan seni dan sastra Islam pada tahun 1980an dan 1990an.

Telah disebutkan bahwa kehadiran Islam melalui kegiatan penulisan kitab pada abad ke-16 dan 17 M, telah menjadikan wilayah pemakaian bahasa Melayu menjadi begitu luasnya. Dengan itu bahasa Melayu berkembang menjadi bahasa pergaulan utama antar etnik yang berbeda-beda di kepulauan Nusantara dalam bidang perdagangan, politik, intelektual dan keagamaan. Ini memperkokoh alasan mengapa bahasa Melayu yang dipilih menjadi bahasa persatuan bangsa Indonesia oleh para pencetus Sumpah Pemuda 1928. Bukan bahasa Jawa atau Bugis atau Batak. Begitulah keadaan dan kenyataan yang sebenarnya: Islam telah memberikan monumen besar yang tidak kalah penting dibanding Borodubur dan Wayang Kulit. Monumen itu ialah Bahasa Indonesia. Bukan Borobudur atau Wayang Kulit yang mampu menjadi media pemersatu bangsa, tetapi Bahasa Indonesia. Ini tidak berarti Borobudur dan Wayang Kulit tidak penting. Apalagi jika kita ingat bahwa wayang kulit dapat mencapai puncak perkembangannya sebagai seni adiluhung disebabkan kreativitas para wali, bukan para mpu dari Majapahit.

Di samping itu Islam juga berulang kali, dan dalam waktu yang panjang, menjadi pelopor perlawanan terhadap penetrasi dan dominasi kolonialisme. Dengan demikian Islam tidak hanya memberikan dasar-dasar integratif bagi bangsa Indonesia, tetapi juga ikut memberi corak dan landasan yang kokoh bagi nasionalisme Indonesia pada abad ke-20. Perang panjang berkesinambungan yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan Islam telah melahirkan apa yang disebut sebagai proto-nasionalisme. Tetapi sayang, dua bentuk nasionalisme yang dikembangkan sesudah kemerdekaan oleh dua rezim yang berkuasa--rezim Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru--sama ahistorisnya dan sama tidak ramahnya kepada Islam.

Bukan hanya itu, dua bentuk nasionalisme tersebut dalam perkembangannya ternyata melenceng dari cita-cita nasionalisme yang sebenarnya. Yang pertama melahirkan nasionalisme politik, bukan nasionalisme kultural sebagaimana dikehendaki oleh Sumpah Pemuda dan Mukadimah UUD 45. Walaupun ciri-cirinya diadopsi dari proto-nasionalisme Islam, namun nasionalisme ala Demokrasi Terpimpin sepenuhnya nasionalisme politik. Bahkan dalam perkembangannya kemudian ternyata memperlihatkan kecenderungan phobi terhadap Islam. Inilah yang diperlihatkan rezim Demokrasi Terpimpin (1959-1965) yang mengagung-agungkan Nasakom itu. Sebuah nasionalisme yang sangat condong kepada komunisme dan kian tergantung juga pada dominasi asing, yaitu Moskow dan Beijing. Karena itu tidak mengherankan jika nasionalisme seperti ini cepat ambruk, sebab memang tidak berakar dalam cita-cita dan jiwa kebudayaan bangsa Indonesia.

Sejak tampuk pemerintahan berada di tangan rezim Orde Baru, paradigma kultural UUD 45 bahwa “Kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah” semakin tidak menentu arahnya. Pancasila yang seharusnya dijadikan paradigma kultural, tidak diberi makna kultural dalam konteks yang sejalan dengan kenyataan anthropologis dan kultural bangsa Indonesia yang “bhinneka tunggal ika”. Sebagai asas tunggal, Pancasila dijadikan sebagai sarana penyeragaman budaya yang bertentangan dengan kemajemukan yang ada. Penguasaan makna dalam menafsirkan sila-silanya, serta penyimpangan terhadap dua tujuan didirikannya NKRI (yaitu ‘meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mencerdaskan kehidupan bangsa’) seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 45, telah membuat Pancasila semakin menjadi utopia.

Dengan hadirnya Orde Baru kita menyaksikan lahirnya sebuah nasionalisme baru yang mencengangkan dan membuat bangsa ini semakin jauh meninggalkan cita-cita nasionalisme yang awal. Nasionalisme Orde Baru ialah nasionalisme ekonomi dan bukan nasionalisme kultural. Yang penting hanya bagaimana mempertahankan keutuhan wilayah dan keamanan negara yang luas ini agar di atasnya pembangunan ekonomi bisa dijalankan dengan tertib dan aman, serta investasi asing datang dengan deras. Tujuan lain didirikannya NKRI seperti telah disebutkan (yaitu ‘meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mencerdaskan kehidupan bangsa’) semakin dilupakan. Kecuali itu nasionalisme seperti ini hanya menciptakan ketergantungan yang kian besar kepada negara asing. Tentu saja agen-agen asing dan kebudayaan asing itu bukan hanya para tehnokrat dan ekonom. Juga bukan hanya birokrat dan sebagian besar LSM yang memperoleh dana dari luar. Tetapi juga universitas, kebanyakan mass media, pengamat politik, cendekiawan, budayawan, kaum terpelajar, bisnismen, dan lain sebagainya. Alasannya, sebagai paradigma kultural Pancasila harus mengatasi semua agama dan budaya daerah. Karena harus mengatasi semua agama dan budaya daerah, ia harus mengambil sumber rujukan dari tempat lain yang asing.

Kekuatan Islam lantas digenjot. Yang paling mencolok lagi, Islam tidak boleh dan tidak dipernenankan memberikan makna kepada dirinya dengan leluasa, apalagi kepada yang lain. Anehnya justru ‘yang lain’ yang paling berhak, paling leluasa dan paling punya wewenang untuk memberi makna kepada Islam, makna apa saja sesuka mereka. Inilah ironinya. Jadilah agen-agen asing itu sebagai penguasa makna yang berlagak demokrat dan pembela kebebasan berekspresi. Jadilah ia tanpa malu sebagai polisi yang tugas utamanya menjadi satpam pemikiran Islam. Sungguh ironis, karena hal ini tidak akan terjadi terhadap Buddhisme di Thailand atau Katholik di Filipina. Tetapi kian Islam dipinggirkan dan dirintangi, kian pula ia memperlihatkan keberadaan yang sebenarnya. Pintu depan ditutup, lewat pintu belakang ia masuk, diam-diam tanpa terdeteksi. Pintu belakang dan pintu depan ditutup, melalui lubang peranginan dan lantai ia menerobos masuk. Orde Baru menutup pintu bagi Islam pada awal 1970an, tetapi membukanya lebar-lebar pada tahun 1990. Ini sebenarnya merupakan pelajaran yang sangat berharga.

Kini mari kita lihat ke tempat lain. Partai-partai politik yang mengaku sekular boleh bangga akan kemenangannya dalam Pemilu, curang atau pun jurdil tidak peduli. Tetapi tetap saja untuk memperoleh kemenangan itu mereka harus mencarid ukungan dari umat Islam. Untuk itu mereka merasa perlu mengusung jargon-jargon dan simbol-simbol Islam dalam kegiatan kampanye mereka, seperti pasukan Napoleon ketika memasuki Mesir untuk menaklukkan negeri itu dan bangsanya yang telah lama beradab itu namun disangkanya belum beradab. Ini menunjukkan betapa signifikannya Islam sebagai sumber legitimasi kekuasaan politik dan paradigma budaya. Jika demikian halnya, lantas di manakah letak kesalahannya sehingga Islam harus dipinggirkan dan kontribusinya dianggap tidak ada bagi bangsa ini? Bukankah Festival Istiqlal I 1991 dan Festival Istiqlal II 1995 telah memberi pengetahuan kepada kita bahwa Islam merupakan kekuatan yang masih kreatif dan dominan di bidang kebudayaan? Tentu contoh lain masih banyak diberikan. Tetapi itu kami kira sudah cukup.

Sebagai penutup izinkanlah sekali lagi saya mengutip Gellner, yang mengatakan dari peradaban yang mengenal budaya baca tulis (literacy) sejak lama, kelihatannya hanya Islam yang dapat mempertahankan keimanan pra-industrialnya. Sebab Islam memiliki tradisi besar dan tradisi kecil yang bisa dipertahankan dan diperbarui, sebagai kelanjutan dari dialog lama antara rasionalitas dan mitos, adab dan barbarisme, tertib sosial dan anarki, ortodoksi dan liberalisme.


Senarai Rujukan.

Abdul Hadi W. M. (2000). Tasawuf  Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Hamzah Fansur. Jakarta: Paramadina.

——————— (2003). “Taj al-Salatin: Adab Pemerintahan Dari Nanggroe Aceh Darussalam”. Dalam Adab dan Adat: Refleksi Sastra Nusantara. Penyelenggara

Abdul Hadi W. M., Edwar Djamaris dan Amran Tasai. Jakarta: Pusat Bahasa.

——————— (2005). “Aceh dan Kesusastraan Melayu”. Dalam Aceh Kembali Ke Masa Depan. Ed. Sardono W. Kusuma. Jakarta: Institut Kesenian Jakarta.

Al-Attas, S. M. Naquib (1970). The Mysticism of  Hamzah Fansuri. Kuala Lumpur: Universiti Malaya Press.

————————— (1972). Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of Malaysia Indonesian Archipelago. Kuala Lumpur: Universiti Malaya Press.

Azyumardi Azra(1999). Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Jakarta: Rosda.

Braginsky, V. I. (1998). Yang Indah, Yang Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu Dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS.

——————— (2004). Satukan Hangat dan Dingin: Kehidupan Hamzah Fansuri, Pemikir dan Penyair Sufi Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Drewes, G. W. J. (1978). An Early Javanese Code of Muslim Ethics. The Hague: Martinus Nijhoff.

Gellner, Ernest (1992). Posmodernism, Reason and Religion. London and New York: Routledge.

Gibb, H. R. (1957). Ibn Batuta: Travels in Asia and Africa 1325-1354. London: Routledge & Kegan Paul.

Hasan Muarif Ambary (1998). Menemukan Peradaban: Arkeologi dan Islam di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Ibrahim Alfian (2005). “Refleksi Gempa-Tsunami: Kegemilangan Dalam Sejarah Aceh”. Dalam Aceh Kembali ke Masa Depan. Ed. Sardono W. Kusuma. Jakarta: Institut Kesenian Jakarta.

Iskandar, Teuku (1987). “Shamsuddin as-Sumaterani Tokoh Wujudiyah”. Dalam Tokoh-tokoh Sastera Melayu. Ed. Mohamad Daud Mohamad. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Ismail Hamid (1983). Kesusastraan Melayu Lama dari Warisan Peradaban Islam. Petaling Jaya, Selangor: Fajar Bakti Sdn. Bhd.

Ismail R. Faruqi (1992). Atlas Kebudayaan Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Jansen, G. H. (1983). Islam Militan. Terj. Armahedi Mahzar. Bandung: Pustaka.

John, A. H. (1961). ”Sufism as a Category in Indonesian Literature and History”. JSAH 2, July: 10-23.

Kern, H. (1917). Versperichegeschifter VI. The Hague: Martinus Nijhoff.

Muhammad Hatta (1979). Bung Hatta Berpidato, Bung Hatta Menulis. Jakarta: Mutiara.

Nicholson, R. A. (1982). The Kashf al-Mahjub: The Oldest Persian Treatise on Sufism by Ali Uthman al-Hujwiri. New Delhi: Taj Company.

Noordyn (1972). Islamisasi Makassar. Jakarta: Bhratara.

Nurcholis Madjid (1987). Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.

Oman Fathurrahman (2005). “Naskah dan Rekonstruksi Sejarah Islam Lokal: Contoh Kasus dari Minangkabau”. Dalam Mimbar Vol. 22. No. 3:260-8.

Ricklefs, M.C. (1993). A History of  Modern Indonesia since c. 1300. London: Macmillan.

Ruslan Abdulgani (1995). Problem Nasionalisme, Regionalisme dan Keamanan di Asia Tenggara. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Schrieke, B. (1955). Indonesian Sosilogical Studies. The Hague & Bandung: VanHoeve.

Sidiq Fadil (1990). “Pengislaman Dunia Melayu: Transformasi Kemanusiaan dan Revolusi Kebudayaan”. Dalam Dewan Budaya 12 Bil 11, November.

Taufik Abdullah (1988). “Ke Arah Perencanaan Strategi Kultural Pembinaan Umat”. Dalam Pak Natsir 80 Tahun. Ed. H. Endang Saifuddin Anshari dan M. Amien Rais. Jakarta: Media Dakwah.

—————— (2002). “Pemikiran Islam di Nusantara Dalam Perspektif Sejarah”. Makalah diskusi peluncuran buku Ensiklopedi Tematos Dunia Islam. Jakarta 5 September.

Tirmingham, J.S. (1972). The Sufi Orders in Islam. Oxford: Oxford University Press.

Uka Tjandrasasmita (1975). Sejarah Nasional Indonesia III: Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Winstedt, R. O. (1961). A History of  Classical Malay Literature. Kuala Lumpu: Oxford University Press.

Wolters, O. W. (1970). The Fall of  Sriwijaya in Malay History. Ithaca, New York: Cornell University.


Masjid Riau Penyengat. Di pulau kecil ini sastrawan besar Melayu Raja Ali Haji menulis karya-karyanya seperti Tuhfat al-Nafis, Bustanul Katibin dan lain sebagainya.