Zaim Uchrowi. Dari republika.co.id
Pernah ke Cangkuang? Desa kecil itu disebut dalam situs wisata Garut, Jawa Barat, sebagai tujuan yang layak dikunjungi. Tak ada ingar-bingar di situ. Sebaliknya yang masih dipunyainya adalah sisa-sisa kedamaian Tanah Sunda.
Pepohonan masih berkerumun di beberapa tempat. Danau dangkal berhias teratai dengan rakit yang menyeberanginya masih menghampar di antara dataran utama dengan bekas pulau di seberangnya. Deretan makam kuno plus rekaan candi baru yang diyakini sebagai rekonstruksi bangunan Abad ke-8 yang berhimpun di bawah pohon-pohon jangkung, juga kampung adat dengan enam rumah, satu mushola, beserta kisah panjangnya masih merupakan daya tarik buat dikunjungi. Bahkan, oleh pengunjung dari Eropa yang setiap bulan selalu ada yang singgah di sana.
Di antara deretan objek tersebut terselip sebuah bangunan mungil dengan lantainya yang adem. Sebuah bangunan yang dimaksudkan sebagai museum penyimpan barang penting peninggalan pendiri kampung adat itu. Kiai Arief Muhammad. Ia salah seorang komandan pasukan Sultan Agung dari Mataram yang menggempur Belanda di Batavia. Kegagalan membuat pasukan itu kemudian tersebar. Kiai Arief dan beberapa rekannya lalu terdampar di Cangkuang. Di situ ia bermukim. Di situ pula ia mengembangkan intelektualitasnya.
Kiai Arief menulis Alquran dan kitab penunjangnya di Cangkuang itu. Ia membuat kertas sendiri dari kulit kayu yang ditumbuk, lalu diratakan dan dihaluskan hingga menjadi lembaran-lembaran tipis. Ia membuat tinta sendiri dari bahan-bahan alam. Ia ajarkan ilmu yang ia miliki pada orang-orang sekitar yang dapat ditemuinya di antara kelebatan belantara wilayah barat Jawa. Ia tahu betapa penting ilmu. Dan ia tahu bahwa salah satu pilar utama ilmu adalah kegiatan membaca. Itu yang pertama diminta Allah SWT melalui Jibril pada Nabi Muhammad SAW. Iqra! Bacalah! Sebuah seruan yang semestinya selalu kita ingat di setiap pertengahan Ramadhan seperti sekarang sebagai tonggak hari peringatan Nuzulul Quran.
Pertumbuhan dunia Islam terkait erat dengan aktivitas membaca. Empat mazhab dari empat imam besar Maliki, Hanafi, Syafii, dan Hambali bertumpu pada kitab-kitab yang mereka tulis. Ulama-ulama besar masa silam menulis ribuan halaman, bahkan ada yang sampai ratusan ribu halaman buku. Ibnu Sina menghabiskan puluhan hari siang dan malam untuk melihat buku-buku perpustakaan seorang Sultan yang baru disembuhkannya.
Ia juga disebut membaca sampai 40 kali sebuah kitab untuk dapat benar-benar tahu sebuah pengertian yang ia merasa belum dipahaminya. Itu yang menjadikannya sebagai salah satu intelektual terbesar sepanjang sejarah peradaban manusia. Ibnu Taimiyah juga seorang pembaca dan penulis yang luar biasa. Namun, kebanyakan orang yang mengagungkannya bukan mengikuti jejaknya, melainkan malah merendahkan pikiran dengan mengutip sepenggal ungkapan Syekh Agung itu yang sebenarnya sangat kontekstual.
Membaca menjadikan diri sebagai manusia aktif dan dinamis dengan mengaktifkan pikiran serta seluruh indera. Membaca mengefektifkan kemampuan diri untuk memilah apa yang terbaik untuk dilihat (juga didengar, untuk dipikirkan, serta untuk ditindaklanjuti dalam langkah. Itulah yang akan dapat membuat diri terus berkembang hingga hari ini kita lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok kita lebih baik dari hari ini.
Membaca akan mengakhiri kecenderungan diri sendiri untuk menjadi pasif dan statis. Sebuah keadaan yang sangat umum ada pada bangsa dan umat ini. Mata kita menjadi mata yang pasif dengan melihat segala hal yang 'kebetulan' ada di depan kita tanpa menyeleksinya, termasuk dengan berjam-jam menonton televisi. Telinga kita menjadi telinga pasif dengan mendengarkan segala yang terdengar tanpa memilah-milahnya.
Dalam mengkaji agama pun begitu. Jamaah akan secara pasif mendengarkan penceramah bicara panjang lebar secara satu arah, padahal Rasul dalam bicara searah tak lebih dari 10 menit. Mata dan telinga kita tidak terlatih memilah-milah hal yang benar-benar pokok, cabang, ranting, daun, bahkan sampah. Apalagi pikiran dan tindakan kita. Maka, kita belum tertransformasi menjadi diri, umat, dan bangsa kuat meskipun sering merasa sudah sangat beragama.
Membaca akan mengubah keadaan itu. Maka, ajaran pertama agama adalah seruan membaca. Tak harus kita ke Cangkuang untuk tahu betapa berharga membaca bagi diri sendiri dan peradaban manusia. Cukuplah kita membuka Alquran dan menyimak firman pertama yang diturunkan pada manusia ini.***
Pernah ke Cangkuang? Desa kecil itu disebut dalam situs wisata Garut, Jawa Barat, sebagai tujuan yang layak dikunjungi. Tak ada ingar-bingar di situ. Sebaliknya yang masih dipunyainya adalah sisa-sisa kedamaian Tanah Sunda.
Pepohonan masih berkerumun di beberapa tempat. Danau dangkal berhias teratai dengan rakit yang menyeberanginya masih menghampar di antara dataran utama dengan bekas pulau di seberangnya. Deretan makam kuno plus rekaan candi baru yang diyakini sebagai rekonstruksi bangunan Abad ke-8 yang berhimpun di bawah pohon-pohon jangkung, juga kampung adat dengan enam rumah, satu mushola, beserta kisah panjangnya masih merupakan daya tarik buat dikunjungi. Bahkan, oleh pengunjung dari Eropa yang setiap bulan selalu ada yang singgah di sana.
Di antara deretan objek tersebut terselip sebuah bangunan mungil dengan lantainya yang adem. Sebuah bangunan yang dimaksudkan sebagai museum penyimpan barang penting peninggalan pendiri kampung adat itu. Kiai Arief Muhammad. Ia salah seorang komandan pasukan Sultan Agung dari Mataram yang menggempur Belanda di Batavia. Kegagalan membuat pasukan itu kemudian tersebar. Kiai Arief dan beberapa rekannya lalu terdampar di Cangkuang. Di situ ia bermukim. Di situ pula ia mengembangkan intelektualitasnya.
Kiai Arief menulis Alquran dan kitab penunjangnya di Cangkuang itu. Ia membuat kertas sendiri dari kulit kayu yang ditumbuk, lalu diratakan dan dihaluskan hingga menjadi lembaran-lembaran tipis. Ia membuat tinta sendiri dari bahan-bahan alam. Ia ajarkan ilmu yang ia miliki pada orang-orang sekitar yang dapat ditemuinya di antara kelebatan belantara wilayah barat Jawa. Ia tahu betapa penting ilmu. Dan ia tahu bahwa salah satu pilar utama ilmu adalah kegiatan membaca. Itu yang pertama diminta Allah SWT melalui Jibril pada Nabi Muhammad SAW. Iqra! Bacalah! Sebuah seruan yang semestinya selalu kita ingat di setiap pertengahan Ramadhan seperti sekarang sebagai tonggak hari peringatan Nuzulul Quran.
Pertumbuhan dunia Islam terkait erat dengan aktivitas membaca. Empat mazhab dari empat imam besar Maliki, Hanafi, Syafii, dan Hambali bertumpu pada kitab-kitab yang mereka tulis. Ulama-ulama besar masa silam menulis ribuan halaman, bahkan ada yang sampai ratusan ribu halaman buku. Ibnu Sina menghabiskan puluhan hari siang dan malam untuk melihat buku-buku perpustakaan seorang Sultan yang baru disembuhkannya.
Ia juga disebut membaca sampai 40 kali sebuah kitab untuk dapat benar-benar tahu sebuah pengertian yang ia merasa belum dipahaminya. Itu yang menjadikannya sebagai salah satu intelektual terbesar sepanjang sejarah peradaban manusia. Ibnu Taimiyah juga seorang pembaca dan penulis yang luar biasa. Namun, kebanyakan orang yang mengagungkannya bukan mengikuti jejaknya, melainkan malah merendahkan pikiran dengan mengutip sepenggal ungkapan Syekh Agung itu yang sebenarnya sangat kontekstual.
Membaca menjadikan diri sebagai manusia aktif dan dinamis dengan mengaktifkan pikiran serta seluruh indera. Membaca mengefektifkan kemampuan diri untuk memilah apa yang terbaik untuk dilihat (juga didengar, untuk dipikirkan, serta untuk ditindaklanjuti dalam langkah. Itulah yang akan dapat membuat diri terus berkembang hingga hari ini kita lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok kita lebih baik dari hari ini.
Membaca akan mengakhiri kecenderungan diri sendiri untuk menjadi pasif dan statis. Sebuah keadaan yang sangat umum ada pada bangsa dan umat ini. Mata kita menjadi mata yang pasif dengan melihat segala hal yang 'kebetulan' ada di depan kita tanpa menyeleksinya, termasuk dengan berjam-jam menonton televisi. Telinga kita menjadi telinga pasif dengan mendengarkan segala yang terdengar tanpa memilah-milahnya.
Dalam mengkaji agama pun begitu. Jamaah akan secara pasif mendengarkan penceramah bicara panjang lebar secara satu arah, padahal Rasul dalam bicara searah tak lebih dari 10 menit. Mata dan telinga kita tidak terlatih memilah-milah hal yang benar-benar pokok, cabang, ranting, daun, bahkan sampah. Apalagi pikiran dan tindakan kita. Maka, kita belum tertransformasi menjadi diri, umat, dan bangsa kuat meskipun sering merasa sudah sangat beragama.
Membaca akan mengubah keadaan itu. Maka, ajaran pertama agama adalah seruan membaca. Tak harus kita ke Cangkuang untuk tahu betapa berharga membaca bagi diri sendiri dan peradaban manusia. Cukuplah kita membuka Alquran dan menyimak firman pertama yang diturunkan pada manusia ini.***