Tentang Tasawuf


Banyak yang mengklaim bahwa tasawuf, atau sufisme, tidak ada dasarnya. Mana dalilnya, katanya. Tanpa dalil, lalu dikatakan bid'ah. Atau bahkan kafir.

Well, kalau ditelaah, dalil atau hukum fiqh, bukan pertimbangan yang paling dasar--kalau tidak mau dikatakan tidak selalu menjadi sudut pandang paling dasar--dalam agama. Ada hukum atau pertimbangan lain yang lebih mendasar dari hukum fiqh atau syari'at, namun 'hukum' ini tidak selalu bisa di-dalil-kan.

Sebagai contoh pertama: aurat pria. Batasan aurat bagi pria adalah semua bagian tubuh antara pusar hingga lutut. Itu wajib ditutup terhadap semua orang yang bukan muhrimnya.

Lalu, syarat sah shalat adalah menutup aurat. Secara fiqh, jika saya shalat hanya mengenakan celana tiga perempat dari pusar sampai lutut dan tak mengenakan baju atasan, shalat saya jelas sah. Tidak ada yang bisa mengganggu gugat hal ini.

Kemudian, saya pergi ke masjid, lalu dan menjadi khatib dan imam shalat Jum'at--dengan pakaian yang sama: celana selutut dan tanpa baju atasan. Sah kah shalat Jum'at saya? Sah, jika hanya fiqh, atau syari'at lahiriah, yang jadi pertimbangannya.

Tapi maukah Anda menjadi ma'mum saya? "Jadi imam kok pakaiannya begitu," Anda akan marah. Tapi kalau saya tanya, coba sebutkan dalilnya, mana riwayat yang melarang seseorang menjadi khatib atau imam jika ia hanya mengenakan celana tiga perempat, Anda tak akan bisa menjawab. Memang tidak ada.

Sah, secara fiqh. Tapi bagaimana mungkin ada seseorang menghadap Allah ta'ala dengan pakaian sedemikian?

Ada hal yang lebih mendasar dalam agama, dari 'sekedar' (dalam tanda kutip) hukum fiqh atau syari'at.

Contoh kedua. Hukum fiqh menyebutkan, pernikahan seorang pria tanpa ada walinya, sah. Wali hanya diwajibkan bagi pihak wanita. Jika Anda seorang mahasiswa yang jatuh cinta pada seorang wanita, Anda boleh mendatangi rumah seorang wanita untuk menemui orangtuanya dan melamarnya. Jika sang Ayah menikahkan Anda dengan putrinya, dan ada saksinya, maka Anda berdua sudah menjadi suami istri yang sah, secara hukum syari'at.

Tapi bagaimana jika Anda adalah seorang ayah atau ibu? Anda sudah membesarkannya, membanting tulang, bersusah payah agar putra Anda berpendidikan sebaik yang ia bisa Anda usahakan. Dan suatu hari, putra Anda datang menemui Anda dengan membawa seorang istri dan dua orang anaknya. Tanpa kabar apapun sebelumnya.

Apakah rumah tangganya batal dan pernikahannya tidak sah? Tidak. Pernikahannya sah. Tapi bagaimana hati Anda sebagai seorang Ayah atau ibunya? Atau, bagaimana perasaan ayah Anda, atau ibu Anda, jika Anda melakukan itu terhadapnya?

Atau, jika Anda seorang istri. Secara fiqh sangat sah jika suami Anda memutuskan untuk menikah lagi tanpa memberi tahu Anda terlebih dahulu. Tapi bagaimana perasaan Anda?

Nah. Itu hanya contoh saja. Selalu ada hal lain yang lebih mendasar dari sekedar hukum syariat atau hukum fiqh. Karena itu, agama tidak identik dengan hukum syariat atau fiqh. Agama bukanlah sekedar hafalan dalil dan hukum fiqh. Agama tidak akan utuh sebagai rahmat, jika hanya diidentikkan dengan sederet dalil dan hafalan hukum fiqh.

Agama sesungguhnya jauh lebih dalam dari itu.

Dan tentu, karena hanya persoalan permukaan, maka perbedaan landasan fiqh maupun madzhab sangat tidak ada gunanya untuk jadi bahan keributan.

: :

Agama, atau ad-Diin, sesungguhnya terdiri dari tiga komponen: Iman, Islam dan Ihsan. 'Iman' terkait dengan cahaya iman dan keyakinan. 'Islam' terkait dengan ibadah formal, hukum syari'at dan fiqh. 'Ihsan' terkait dengan kesempurnaan 'iman' dan 'islam'-nya, sejauh mana seseorang melihat Allah dalam perilakunya, atau dilihat Allah dalam perilakunya, sehingga perbuatannya sesempurna mungkin.

Aspek ihsan inilah yang jauh lebih dalam dari sekedar syariat, yang memagari seseorang untuk shalat sekenanya dengan bertelanjang dada dan bercelana selutut, atau menikah tanpa memberi tahu Ayah atau Ibunya, meski secara hukum syari'at perbuatan itu sah-sah saja.

Dalam tasawuf atau sufisme, ini disebut 'syariat batiniah'. Ada hukum lain yang lebih dalam dari sekedar hukum lahiriyah, yang kadang hukum ini tidak bisa dirumuskan. Ada aspek rasa, adab dan kepatutan yang sangat dominan di sini: sejauh mana Allah akan suka pada perbuatan seseorang.

Pada awalnya, di masa Rasulullah, ketiga aspek ini menyatu, utuh, tidak terpisah-pisah dalam satu label yang dibawa Beliau saw: Diin Al-Islam; agama keberserahdirian (bukan sekedar 'pasrah') pada Allah.

Lama kelamaan, karena terkait studi dan budaya, ketiga aspek ini terpisah satu sama lain. Sayangnya, kebanyakan penganutnya bahkan lupa bahwa Diin Al-Islam tadinya terdiri dari tiga aspek yang menyatu utuh.

Belakangan, di usia-usia termuda peradaban, muncullah golongan yang bersikukuh bahwa Ad-Diin Al-Islam sesungguhnya hanya terkait ibadah, syariat lahiriah dan ilmu fiqh saja. Dua aspek lainnya, (cahaya) Iman dan Ihsan, yang tadinya menyatu, tidak lagi dilihat sebagai bagian dari agama Islam. Dan golongan yang masih memegang teguh dua aspek itu 'dikeluarkan' dari bendera Islam, dan diberi label sufi atau tasawuf, agar benar-benar terpisah dari 'Islam'.

'Sayangnya' (dalam tanda kutip), golongan yang masih memelihara aspek ihsan dalam dirinya tentu berkembang menjadi golongan yang toleran, penuh pemakluman, lembut, dan tidak menyukai keributan, sehingga cenderung diam dengan labelisasi ini. Mereka tentu masih merasa ber-Islam secara utuh dengan tiga aspeknya, sementara oleh golongan lain mereka justru dikatakan sebagai kaum yang bukan Islam lagi. [*]

Sebaliknya, Golongan yang tumbuh tanpa aspek ke-ihsan-an (baca: tanpa mempertimbangkan faktor-faktor selain hukum fiqh dan syariat dalam dua contoh di atas), tentu saja kemudian tumbuh menjadi golongan yang keras, penuh penghakiman, dan tidak lentur menyikapi perbedaan. Padahal, perbedaan diantara umat manusia adalah sebuah keniscayaan yang sudah Allah tetapkan.

"Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.

Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.

Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu."

(Q. S. [5] : 48).

: :

[*] Ada memang, sebagian kecil golongan yang mengaku tasawuf dan sufi, tapi justru meninggalkan aspek syari'at lahiriyah sama sekali. Tidak shalat lagi, misalnya. Tapi ini hanya sebagian kecil yang terlepas dari gagasan inti agama, dan tidak bisa digeneralisasikan.

~~~  ~~~  ~~~  ~~~  ~~~  ~~~  ~~~

>> Pertanyaan tentang iman, islam, ihsan : apakah ketiganya adalah tingkatan yg melalui proses dan berjenjang? Semisal ada ungkapan : si A muslim tapi belum mukmin, apa benar demikian?

++ kalau kita perhatikan al quran surat 49 : 14, dengan teks arabnya, di sana dikatakan bahwa orang yang ber-islam (bersyahadat) tidak otomatis menjadi beriman.

"katakanlah, kamu ber-islam, tapi iman belum masuk ke dalam hatimu."

Pada tahapan syahadat dan berislam menjadi beriman, itu sekuensial. Belum tentu semua yang berislam otomatis beriman.

Tapi setelah itu, aspeknya bisa dilakukan paralel.

>> Apakah ketiganya adalah maqam yg butuh pengalaman dan pembelajaran rohani agar mencakup ketiganya?

++ Semua hal butuh ilmu dan pembelajaran agar kita paham apa yang kita perbuat

Tapi agama adalah hal yang bisa kita lakukan, kita mulai, saat ini juga, dengan apapun yang ada di tangan, dengan apapun yang kita pahami. Tidak perlu menunggu maqam tertentu atau sekolah agama sampai s3, atau menunggu gelar ulama.

Allah menjadikan agama itu mudah.

>> Tentang adanya garis demarkasi antara fiqh dan tasawuf

Imam Maliki berkata : Barangsiapa mempelajari/­mengamalkan tasawuf tanpa fiqih maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fiqih tanpa tasawuf dia tersesat, dan siapa yang mempelajari tasawuf dengan disertai fiqih dia meraih kebenaran.

Kabarnya ulama2 fiqh terdahulu, adalah pakar2 tasawuf. Sebaliknya yg dikenal ummat sbg 'icon' tasawuf pun paham benar masalah fiqh. Sesungguhnya mereka tdk merendahkan satu dg yg lainnya, namun beratus tahun kemudian, kita kemudian pasang batasan yg jelas bgt di antara keduanya.

++ Yang benar adalah ketika amal dan ibadah dikerjakan dengan memiliki 'jiwa', terpahami dan bukan sekedar ritual atau mencari pahala.

Artinya, jasad dan jiwa amal menyatu: secara lahiriah amal benar menurut hukum fiqh dan syariat lahiriah, dan secara batin pun amal tersebut ihsan. Artinya, kalo menurut imam maliki di atas, fiqh dan tasawuf dikerjakan dua-duanya, menyatu.

Jadi stepnya:
1. syariat,
2. Syariat + thariqat,
3. Syariat + thariqat + hakikat,
4. Syariat + thariqat + hakikat + ma'rifat.

Urutan "syariat-thariqat-hakikat-ma'rifat" bukan berarti masuk satu step lalu meninggalkan sebelumnya. Step berikut justru merupakan tambahan bagi step sebelumnya.

Urutan itu adalah urutan layer agama, dari layer terluar ke layer terdalam.