Ilmu dan Tradisi Keilmuan yang Telah Hilang dari Kita

Prof Mulyadhi Kartanegara - dari sabili.co.id

Imam Bukhari dan Muslim menyebutkan sebuah hadits, "Sesungguhnya Allah tidak mengangkat ilmu dengan menghilangkan ilmu di tengah-tengah manusia. Allah menghilangkan ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Ketika tidak ada lagi orang alim, manusia mengangkat pemimpin yang bodoh, mereka ditanya dan menjawab tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan."

Wafatnya seorang ulama adalah kerugian bagi dunia. Dan hari ini, satu per satu ulama Indonesia, telah "pergi". Di luar faktor ini, mandegnya ilmu pengetahuan secara umum juga disebab sekularisasi ilmu dan berkembangnya ilmu yang tidak bermanfaat.

Padahal, kemajuan bangsa tak lepas dari penguasaan ilmu pengetahuan. Konsep ini pasti sudah dipahami oleh pemimpin negeri ini. Anehnya, hingga memasuki momen satu abad kebangkitan bangsa dan 10 tahun reformasi, bangsa Indonesia belum memiliki tradisi ilmu yang tinggi

Dalam sejarah Islam, Khalifah Al-Ma’mun yang memerintah Dinasti Abbasiyyah (813–833 M) di Baghdad misalnya, selain sebagai khalifah, ia juga ilmuwan yang rajin menulis buku, mengadakan diskusi ilmiah per minggu, memimpin seminar dan majelis ilmu. Yang paling fenomenal, ketika ia membangun Bait al-Hikmah sebagai Pusat Riset, Perpustakaan dan Penterjemah atas biaya pemerintah.

Sabili mencoba kembali menggali, tentang cara dan gairah menghidupkan kembali ilmu di tengah-tengah bangsa Indonesia. Dwi Hardianto dan Fotografer Arief Kamaluddin mewawancarai Prof Dr Mulyadhi Kartanegara, salah seorang yang dikenal dengan keahlian Islamisasi ilmu pengetahuan di kantornya, kawasan Grand Wijaya, Jakarta Selatan. Menurutnya, tulang punggung sebuah bangsa atau peradaban, adalah ilmu pengetahuan. Tanpa ilmu, kita hanya menjadi bangsa figuran di panggung peradaban. Berikut petikannya untuk Anda:

Tahun ini genap seabad kebangkitan nasional dan 10 tahun reformasi. Ada catatan tentang kondisi Indonesia?

Sepanjang sejarah peradaban manusia, kemajuan sebuah bangsa tak pernah lepas dari kemajuan dan penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan. Ada korelasi positif antara kemajuan ilmu pengetahuan dengan kemajuan bangsa. Di Indonesia, pembangunan dan apresiasi terhadap ilmu pengetahuan sangat rendah. Masyarakat kita tidak memiliki tradisi ilmiah yang diharapkan bisa memunculkan ilmuwan, pemikir atau tokoh. Jangankan pemikir tingkat dunia, pemikir untuk membangun bangsanya saja masih sangat langka. Ketika penguasaan terhadap ilmu pengetahuan rendah, kita sulit berharap bangsa ini akan besar.

Apa syarat yang harus dipenuhi Indonesia untuk melahirkan ilmuwan?

Upayakan agar masyarakat dan bangsa ini memiliki tradisi ilmiah yang kuat. Hanya dengan tradisi ilmiah saja akan lahir para pemikir dalam masyarakat. Persoalannya, tradisi ilmiah di Indonesia sudah lama sirna. Dulu, pada abad 12–13, bangsa kita pernah mengalami tradisi ilmiah yang kuat. Pada saat itu, bermunculan beberapa pemikir seperti, Empu Tantular, Empu Sedha, Empu Panuluh, Empu Prapanca dan lainnya. Kemudian pada abad 17-18 bermuncul pemikir-pemikir Islam seperti, Hamzah Fansyuri, Nuruddin Arraniri, Syamsuddin Sumatrani, Syeh Nawawi Al-Bantani dan banyak lagi. Bahkan pada abad 19 kita masih memiliki pemikir seperti Hamka. Mereka diakui oleh dunia internasional pada masanya. Tapi belakangan pemikir sekaliber mereka tidak hilang.

Kenapa, bukankah Islam sebagai agama mayoritas penduduk negeri ini memiliki tradisi ilmiah kuat?

Betul. Sepanjang sejarah Islam peradaban Islam pernah memiliki ulama, pemikir, ilmuwan dan cendekiawan yang diakui di tingkat dunia. Mereka tidak hanya maju dalam hal ilmu agama tapi juga sains, fisika, matematika, biologi, kedokteran, kimia, astronomi, zoology, botani, psikologi dan lainnya. Faktanya, peradaban Islam memiliki tradisi ilmiah yang tinggi.

Persoalannya, tradisi ilmiah ini diambil-alih barat, kemudian baratlah yang mengembangkan tradisi ilmiah ini, menirukan tradisi Islam. Sedangkan umat Islam justru meninggalakannya dan para pemimpinnya asyik berebut kekuasaan dunia. Akibatnya, pasca kejayaan Islam, Barat berhasil mengambil alih tradisi ilmiah, berhasil melahirkan ribuan pemikir dan ilmuwan. Sedangkan dunia Islam, mengalami kejumudan, stagnan, kehabisan ilmuwan dan pemikir besar.

Hilangnya tradisi ilmiah, apakah bisa diukur dari rendahnya penghargaan terhadap para ilmuwan dan karyanya?

Tepat sekali. Sebagai bandingan. Pada masa kejayaan Islam di mana tradisi ilmiah sangat dijunjung tinggi, para penterjemah saja dibayar dengan emas seberat karya yang dihasilkannya. Misalnya, jika buku yang diterjemahkan beratnya 2 kg, maka ongkos bagi penterjemah juga 2 kg emas. Di Indonesia, para penulis hanya mendapat royalty 10%, itu pun pembayarannya terkadang tidak jelas. Apresiasi kita terhadap para ilmuwan, pemikir dan ilmu pengetahuan memang sangat rendah.

Akibatnya, di negeri ini tidak pernah muncul peneliti yang mumpuni. Profesi sebagai ilmuwan tidak lagi diminati oleh masyarakat. Orangtua di Indonesia lebih menyenangi anaknya menjadi penyanyi dangdut daripada menjadi ilmuwan. Ketika diadakan lomba ilmiah, peminatnya sangat sedikit, sedangkan lomba dangdut dibanjiri peserta.

Faktor lain, yang menyebabkan hilangnya tradisi ilmiah adalah minimnya minat baca. Masyarakat kita belum masuk sebagai masyarakat pembaca. Jika ada buku bagus, hanya beberapa orang saja yang mau membaca apalagi membelinya. Masyarakat kita adalah masyarakat penonton. Jika ada gambar atau visualnya kita berebut menonton. Kita kuat duduk berjam-jam hanya untuk nonton TV.

Contoh negara Islam yang memiliki tradisi ilmiah kuat?
Saat ini ada di Iran, kemudian menyusul Mesir dan Yordania. Di Iran misalnya, perpustakaan sangat luar biasa. Mereka memiliki jutaan judul buku. Sebuah yayasan, beranama Resafi, memiliki 17 perpustakaan yang digabung dalam satu bangunan dengan koleksi judul buku mencapai 2,5 juta. Di luar komplek itu, mereka masih memiliki sekitar 17 perpustakaan lain yang tersebar di seluruh Iran. Jadi, satu yayasan memiliki sekitar 5 juta koleksi judul buku, mulai dari karya klasik zaman Yunani, karya-karya klasik ilmuwan Islam hingga masa modern saat ini.

Di Iran ada banyak yayasan seperti ini. Masing-masing memiliki puluhan perpustakaan dengan koleksi jutaan judul buku. Di sana juga ada perpustakaan khusus Islam, perpustakaan khusus Hadits dengan 40 ribu koleksi hadits, perpustakaan tafsir, perpustakaan sejarah Islam (sekitar 70 ribu judul buku). Ini semua karena peran pemerintah dan para ulama yang sangat perhatian pada dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Bagaimana menjelaskan pentingnya ilmu pengetahuan pada Indonesia, ya?

Ada korelasi positif antara kemajuan ilmu pengetahuan dengan kemajuan bangsa. Karena itu, pemerintah harus meningkatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan sains. Penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan science merupakan syarat bagi kebanggaan sebagai bangsa. Kita sudah bangga sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, tapi jika tidak diimbangi dengan kemajuan substansi dan kualitasnya, tak ada artinya. Kualitas terpenting bagi penduduk negeri ini adalah kualitas intelektualnya. Ini yang seharus diperjuangkan pertama kali oleh pemimpin negeri ini.

Siapa yang seharusnya berperan mengembangkan?
Jika kita belajar dari tradisi ilmiah Islam, yang berperan paling utama adalah pemerintah, raja, khalifah, amir atau presiden. Khalifah al-Ma’mun yang memerintah Dinasti Abbasiyyah (813–833 M) di Baghdad misalnya. Selain sebagai khalifah, ia juga seorang ilmuwan yang rutin menulis buku, menyelenggarakan diskusi ilmiah per minggu, memimpin sendiri seminar dan kajian keilmuwan. Ini semua ia lakukan karena kecintaannya pada ilmu pengetahuan.

Demikian juga pada saat Khalifah Muzammil Muluk berkuasa. Melalui tangan perdana menterinya, ia mendirikan Universitas Nizamiyah di semua kota besar dunia Islam saat itu. Biaya pembangunan dan operasional semua universitas, 100% berasal dari negara melalui program wakaf atau Baitul Mall. Bahkan, pada masa pemerintahan Khalifah Hulagu Khan, ia membangun observatorium di Kota Baghdad. Dari sinilah penelitian astronomi berkembang pesat.

Contoh lain, pada masa pemerintahan Kekhilafaan Abbasiyah di bawah Khalifah Al-Mustansir di Badhdad, sang khalifah mendirikan Madrasah (Universitas) Mustansir Syariah dan perpustakaan tahun 1227 M. Perpustakaan ini merupakan perpustakaan terlengkap saat itu. Hampir tiap hari, khalifah mengunjungi universistas untuk mengikuti kajian keilmuwan. Ia juga mendirikan tower, untuk melihat semua aktivitas perkuliahan dan menciptakan teknologi yang bisa mendengar semua kajian ilmu di universitas.

Bagaimana di Indonesia?
Pejabat-pejabat kita memang datang ke seminar tapi hanya sekadar membuka acara kemudian pergi. Sehingga pemimpin bangsa ini tidak mengambil manfaat dari kajian ilmiah itu. Mereka melakukannya bukan atas dasar kecintaannya pada ilmu. Tapi hanya sekadar memenuhi undangan acara. Saya ingin memberi pesan pada pemerintah, presiden, gubernur, walikota atau bupati untuk memprioritaskan pembangunan pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Tapi gejala menunjukkan bahwa masyarakat kita sangat meterialistis. Bagaimana caranya membalikkan arah pendulum?

Perlu peran pemerintah. Sekarang problemnya apa sih? Misal, nggak ada buku, atau buku mahal. Seharusnya, pemerintah menyediakan perpustakaan umum di tingkat kabupaten dan kota di seluruh Indonesia dengan koleksi selengkap mungkin. Bagi saya bukan hanya sekadar itu, karena pengaruh materialisme ini sangat besar. Yang sangat berperan adalah ilmu yang dipelajari oleh masyarakat kita. Ternyata, secara umum ilmu yang dipelajari di negeri ini adalah ilmu yang bukan memerangi materialisme tapi memperkuat materialisme. Kenapa? Karena ilmu yang diajarkan di negeri ini, dari TK sampai perguruan tinggi adalah ilmu yang sudah disekulerkan dan diekspor dari Barat. Akibatnya, kita tidak bisa melawan materialisme sebagai produk dari sistem pendidikan dan budaya Barat.

Apakah tradisi ilmiah Islam bisa mengatasi hal ini?

Di sinilah peranan tradisi ilmiah Islam. Jika kita pelajari dari buku-buku klasik seperti, Ikhwanu Safa, Ibnu Sina dan buku-buku klasik karya pemikir Islam lainnya, tidak kalah hebatnya dalam menjelaskan fenomena alam. Tapi, para pemikir Islam ini, setelah menjelaskan secara sistematis dan ilmiah, meraka selalu mengaitkan dengan kebijaksanaan Allah SWT atas terjadinya sebuah fenomena alam.

Dalam buku Ikhwanu Safa disebutkan, tidak semua hewan memiliki panca indra lengkap. Ada hewan yang hidup di bawah tanah dan tidak pernah naik ke permukaan bumi, maka atas kebijaksanaan Ilahi memutuskan untuk tidak menciptakan mata bagi hewan ini. Jika ada mata, mata itu juga tidak digunakan dan justru bisa kelilipan dan menjadi sumber penderitaan bagi hewan ini. Yang menarik, ada kalimat “kebijaksanaan Iliahi” Tradisi ilmiah Barat, tidak pernah mengutip kata atau kalimat yang menyebut nama Tuhan.

Contoh lain, dalam buku yang sama ketika membahas masalah atmosfir bumi disebutkan, batas atmosfir bumi, orbit oksigen tingginya kira-kira antara 10-15 km. Di sini terjadi kilat, halilintar, pembentukan awan dan hujan. Dengan penjelasan ilmiah yang rinci dan sistematis, buku ini menjelaskan fenomena alam. Kemudian ditulis, karena “hikmah Ilahilah” orbit itu berada dalam ketinggian itu. Jika orbit itu turun beberapa kilometer saja, halilintar itu bisa membuat penghuni dunia menjadi tuli dan kilatnya bisa membakar apa saja yang ada dipermukaan bumi. Karena “kebijaksanaan Ilahi” juga kilat dan halilintar itu turun ke bumi ketika Allah mengazab suatu kaum yang menentang ajaran rasul dan nabi.

Apakah mengkaitkan fenomena alam atau sosial dengan campur tangan Allah SWT bisa memerangi budaya materialisme?

Inilah yang disebut Islamic Science. Sambil menerangkan fenomena alam atau sosial secara ilmiah dan sistematis, tapi para ilmuwan Islam tidak melupakan kekuasaan Allah SWT. Ilmu pengetahuan seperti inilah yang bisa memerangi kecenderungan materialisme dalam masyarakat, khususnya jika materialisme itu menyebabkan orang tidak peduli dengan ilmu pengetahuan. Karena ilmu bersifat spiritual. Ilmu itu bukan benda (materi) tapi pengetahuan tentang benda yang terletak di dalam pikiran kita. Masyarakat yang materialistis, tidak akan tertarik dengan yang spiritualisme. Masyarakat yang materialistis cenderung memenuhi kebutuhan fisik dan memperbesar nafsunya saja.

Akhirnya kita hanya menjadi bangsa konsumen?

Iya, nggak ada penciptaan dan kreativitas. Padahal, Allah SWT memberikan potensi pada kita sangat liuar biasa. Mulai dari potensi fisik, mental, spiritual, emosional, intelektual dan moral. Tapi berapa dari potensi itu yang kita aktualkan. Semua orang punya potensi-potensi itu, tapi kita tidak pernah memanfaatkan dan mempedulikanya. Jadi, jika bangsa ini mengabaikan perkembangan dan pencarian Ilmu pengetahuan, tunggu saja ajalnya.

Kita sudah masuk dalam kategori ini?
Lihat saja fakta-faktanya di sekitar Anda. Kenapa terjadi segala bentuk perusakan dan kerusakan di dalam masyarakat? Karena yang dipikirkan oleh masyarakat hanya urusan perut. Memang tidak semua orang seperti ini, tapi gejala umum menunjukkan kecendrungan yang sangat materialistik.

Tapi, kebutuhan hati, spiritual, ilmu pengetahuan, agama dan intelektual, sangat kurang dan cenderung diabaikan. Ini semua terlihat dari motivasi masyarakat kita dalam mencari ilmu. Sebagian besar didasari untuk memperoleh pekerjaan bergengsi, banyak duitnya, agar bisa makan enak, punya rumah, mobil dan kebutuhan fisik lain. Tanpa memikirkan pentingnya ilmu pengetahuan, intelektual dan agama.

Dalam tradisi ilmiah Islam, motivasi mencari ilmu untuk apa?

Untuk mencari kebenaran. Jika sudah memperoleh kebenaran, maka hasil pemikiran dan penelitiannya akan menjadi sandaran atau pelita dan memberi petunjuk bagi kehidupan. Ini tujuan atau motifasi mencari Ilmu dalam tradisi ilmiah Islam. Jadi, ilmu itu harus benar, karena akan menjadi sandaran hidup. Tidak saja bagi sang penemu, tapi juga orang lain, bangsanya bahkan bisa menjadi sandaran peradaban dunia.

Kenapa penelitian di Indonesia tidak maju?

Penelitian akan berjalan baik, jika orang-orangnya mencintai kebenaran. Karena ingin mencari kebenaran, makanya ia melakukan penelitian dengan mempertanyakan; apakah masih ada keraguan yang ditinggalkan dari sebuah persoalan? Jika ada keraguan harus dicari sampai ketemu jawaban. Contoh, Imam al Ghazali. Ketika berumur 30-an tahun, ia belum meyakini apapun yang telah diterima dari guru-gurunya. Sampai timbul keraguan dan skeptisme. Akhirnya, ia melakukan pencarian, membaca, mengkaji, melakukan riset hingga akhirnya menulis 480 kitab.

Di Indonesia, saya ragu ada peneliti yang memang berorientasi mencari kebenaran. Peneliti kita cenderung latah dan mengada-ada, hanya mengikuti tren. Ada masalah feminisme dan pluralisme ikut ramai-ramai melakukan penelitian dan kajian-kajian tentang hal ini. Karena memang disokong dana besar dari Barat. Tapi, masalah yang lebih fundamental seperti, spiritualitas, ekologi, nilai-nilai agama dan lainnya tidak pernah disentuh.

Apa efeknya jika bangsa kita mengabaiakan ilmu pengetahuan?
Secara global, kita tidak akan mundur dan tidak juga maju, stagnan. Kondisinya akan begini-begini saja. Tapi jangan salah. Jika kita mendaki kemudian berhenti, itu bukan berhasil. Karena yang lain akan menyusul dan terus naik. Meski tak kelihatan mundur, tapi pada hakikatnya kita ketinggalan dan makin menjauh. Contoh, tahun 1970-1980-an mahasiswa Malaysia dan Singapura berbondong-bondong belajar ke Indonesia. Tapi sekarang, mereka tidak mau datang ke Indonesia, justru mahasiswa kita yang belajar ke sana.

Jika ini terjadi terus-menerus, akhirnya bangsa kita menjadi bangsa yang terbelakang. Keterbelakangan ini bukan karena kita mundur, tapi karena kita ditinggalkan oleh bangsa lain yang mengalami lompatan kemajuan karena penguasannya terhadap ilmu pengetahuan dan sains. Taiwan, Korea Selatan, Singapura, Malaysia dan Jepang, bisa menjadi negara maju karena apa? Karena ilmu pengetahuan, bukan karena sumber daya alamnya.

Contoh bangsa yang maju karena ipteknya?

Jepang. Paska bom atom yang menghancurkan negeri ini. Jepang membuat program Restorasi Meiji. Program utamanya: Pertama, menerjemahkan semua buku yang ada di dunia, termasuk buku-buktu Sains Islam ke dalam bahasa Jepang. Kedua, mengumpulkan guru, dosen, peneliti dan ilmuwan di seluruh Jepang yang masih tersisa untuk disekolahkan lagi keluar negeri. Ketiga, menggalakkan pendidikan murah bagi seluruh rakyat Jepang. Setelah ini berjalan dan mulai menghasilkan SDM yang cukup handal, Jepang mulai membangun ekonomi dengan kemampuan sendiri. Hasilnya, kini Jepang diakui dunia.

Dalam jangka panjang mengabaikan ilmu pengetahuan, bangsa kita bisa hancur, ya?

Tidak sedrastis itu. Yang jelas, bangsa yang mengabaikan ilmu pengetahuan pasti menjadi negara tertinggal dan terbelakang dari sudut pandang intelektualnya. Mungkin secara ekonomi dan pembangunan fisik tidak terlihat, tapi dari sisi penciptaan, penemuan dan kreativitas kita sangat tertinggal. Padahal, penciptaan dan kreativitas inilah yang memungkinkan sebuah bangsa mengalami kemajuan peradaban.