Abdul Hadi W. M.
Pada pertengahan abad ke-16 M kesusastraan
Melayu mulai menapak perkembangannya yang pesat di wilayah kesultanan Aceh
Darussalam. Pesatnya perkembangan ini merupakan dampak langsung dari pesatnya
perkembangan agama Islam dan kemantapan tradisi intelektualnya. Kecuali itu
munculnya bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan utama antar etnik di Nusantara
di bidang perdagangan, keagamaan, sastra, keilmuan, dan politik, memerikan
dampak tidak kecil bagi perkembangan sastra Melayu serta keluasan penyebarannya
di kepulauan Nusantara.
Di antara tokoh terkemuka yang memawa
sastra Melayu naik ke puncak perkembangannya ialah Hamzah Fansuri dan Bukhari
al-Jauhari. Selain dikenal sebagai sastrawan dan cendekiawan terkemuka,
keduanya dikenal pula sebagai ulama dan ahli tasawuf ( sufi) terpandang pada
zamannya. Mereka melahirkan karya yang hingga kini tetap diapresiasi dan
dipelajari oleh sarjana kebudayaan Melayu.
Dalam karangan ini selain dua tokoh tersebut, alan diuraikan
pengarang-pengarang lain yang semuanya adalah sufi atau ahli tasawuf terkemuka
yang pernah dilahirkan di bumi Nusantara.
Hamzah Fansuri
Syekh Hamzah Fansuri adalah tokoh paling depan yang membawa naik
kesusastraan Melayu ke puncaknya itu. Selain dikenal sebagai ahli tasawuf,
ulama dan cendekiawan, beliau juga
dikenal sebagai seorang pendakwah Islam yang gigih. Beliau juga dapat dipandang
sebagai peletak dasar tradisi ta`wil atau hermeneutika Islam. Sebagai faqir (sufi pengembara) Syekh Hamzah Fansuri telah banyak mengunjungi
negeri Islam di atas angin dan juga berbagai tempat di pelosok Nusantara
seperti Semenanjung, Sumatra dan Jawa.
Riwayat hidupnya tidak diketahui dengan
jelas , karena tidak ada catatan tertulis dijumpai mengenai perjalanan hidupnya
sebagai seorang sufi dan penyair terkemuka. Yang menjadi saksi dari perjalanan
hidupnya ialah syair-syair dan risalah tasawufnya sendiri. Berdasarkan
syair-syairnya itu, dengan menggunakan rujukan dari berbagai sumber yang terkait,
Braginsky (2004) mencoba merekonstruksi perjalan hidupnya sebagai seorang sufi
dan penyair.
Para sarjana memperkirakan dia lahir pada
pertengahan abad ke-16 di Barus, kota pelabuhan antara Sibolga dan Singkil di
pantai timur Sumatra. Selama beberapa abad hingga abad ke-17 M ramai disinggahi
kapal-kapal dagang asing dan sejak lama menjadi salah satu pusat penyebaran dan
pendidikan Islam yang penting di kepulauan Nusantara. Menjelang akhir abad
ke-16 M, pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah gelar Sayyid
al-Mukammil (1589-1604 M) Barus dimasukkan ke dalam wilayah ke kerajaan Aceh
Darussalam. Menurut Ali Hasymi (1984), bersama saudaranya Ali Fansuri, dia
mendirikan sebuah dayah (pesantren) besar di daerah Singkil,
tidak jauh dari tempat kelahirannya. Tahun wafat sang sufi diperkirakan pada
awal aba ke-17, tidak lama sebelum atau bahkan sesudah wafatnya Syamsudin
al-Sumatrani[1].
Hamzah Fansuri mempelajari tasawuf dalam
tariqat Qadiriyah yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jilani. Setelah
mengembara ke berbagai pusat Islam seperti Baghdad, Mekkah, Medinah dan
Yerusalem, dia kembali ke tanah airnya dan mengembangkan ajaran tasawuf
sendiri. Dia juga pernah mengembara ke Iran, Afghanistan, India, Siam,
Semenanjung Malaya, Jawa, Sumbawa dan Kalimantan. Sebagai sufi dia menempuh
jalur pemikiran wujudiyah Ibn `Arabi, Sadrudin al-Qunawi dan Fakhrudin `Iraqi.
Sedangkan karangan-karangan sastranya diilhami terutama oleh karya-karya
Fariduddin al-`Aththar, Jalaluddin al-Rumi dan Abdur Rahman al-Jami. Semua nama
itu merupakan sufi terkemuka Arab dan Persia pada abad ke-13 – 15 M.
Hamzah Fansuri menulis banyak kitab, tetapi
yang dijumpai hingga kini ialah tiga risalah tasawufnya, masing-masing Syarab
al-`Asyiqin (Minuman Orang Berahi), Asrar al-`Arifin (Rahasia Ahli Makrifat)
dan al-Muntahi . Syarab al-Asyiqin dianggap
sebagai risalah tasawuf pertama, dan sekaligus karya ilmiah pertama dalam
bahasa Melayu (al-Attas 1970). Versinya yang lain diberi judul Zinat
al-Muwahhidin (Perhiasan Ahli Tauhid). Di situ dia menguraikan faham tasawufnya
secara mendalam melalui bahasa Melayu yang sangat indah. Bahasa Melayu yang
digunakan Hamzah adalah campuran dialek Pasai dan Barus.
Sebagai penyair dia sangat prolifik. Hampir
semua syairnya itu berkenaan dengan pengalaman kesufian. Ikat-ikatan syairnya
yang dijumpai tidak kurang dari 32 ikat-ikatan atau untaian[2]. Syair-syairnya
dianggap sebagai ’syair Melayu’ pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu, yaitu sajak empat baris
dengan pola bunyi akhir AAAA pada setiap barisnya (al-Attas 1968; Braginsky
1991 dan 1992). Syamsudin al-Sumatrani (w. 1630 M) menyebut sajak-sajak
tersebut sebagai ruba’i , yaitu sajak empat baris dalam dua misra ’ (Ali Hasymi 1975). Bersama
murid-muridnya seperti Syamsudin al-Sumatrani, Abdul Jamal, Hasan Fansuri,
Syaiful Rizal, Burhanuddin dan lain-lain, dia adalah penyebar gigih faham
Wahdat al-wujud (‘kesatuan transenden wujud), atau biasa disebut faham wujudiyah.
Sebagai penutup pembicaraan tentang tokoh ini saya kutip syairnya yang
indah:
Subhan Allah terlalu kamil
Menjadikan insan alim dan jahil
Dengan hamba-Nya da’im Ia washil
Itulah mahbub yang bernama adil
Mahbubmu itu tiada berlawan
Lagi alim lagi bangsawan
Kasihnya banyak lagi gunawan
Olehnya itu beta tertawan
Bersunting bunga lagi bermalai
Kainnya warna berbagai-bagai
ahu ber(sem)bunyi di dalam sakai (=makhluq)
Olehnya itu orang terlalai
Ingat-ingat kau lalu lalang
Berlekas-lekas jangan kau mamang
Suluh Muhammad yogya kaupasang
Supaya salim jalanmu datang
Rumahnya `ali berpatam birai
Lakunya bijak sempurna bisai
Tudungnya halus terlalu pingai
Da’im ber(sem)bunyi di balik tirai
Jika sungguh kau `ashiq dan mabuk
Memakai khandi pergi menjaluk
Ke dalam pagar yogya kaumasuk
Barang ghayr (=yang selain) Allah sekalian
kau amuk
(Ikat-ikatan II, Ibid)
Gambaran perjalanan naik dari tempat rendah
ke tempat tinggi untuk melukiskan perjalanan ruhani sufi dari nafsu rendah
menuju Diri Hakiki ini sesuai dengan gambaran tentang tatanan wujud dalam
ontologi sufi. Tatanan tersebut dari bawah ke atas ialah: Pertama, alam nasut
(alam jasmani, disebut juga alam al-mulk, alam syahadah ); kedua, alam malakut
(alam kejiwaan, psyche, disebut juga alam misal; ketiga, alam jabarut (alam
ruhani); dan keempat alam lahut (alam ketuhanan) (Md. Salleh Yaapar 2002:83). Seseorang
yang mengenal tatanan alam yang sedemikian itu akan dapat menyempurnakan
dirinya secara maksimal dan berpeluang pula mengenal hakikat dirinya.
Bukhari al-Jauhari dan Taj al-Salatin
Kitab ini selesai ditulis pada tahun 1603
di Aceh Darussalam dan merupakan satu-satunya karangan Bukhari al-Jauhari yang
dijumpai sampai saat ini. Ketika itu kesultanan Aceh masih berada di bawah
pemerintahan Sultan Alauddin Ri`aayat Syah gelar Sayyid al-Mukammil (1590-1604
M), kakek Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Sebagai karya sastra kitab ini
digolongkan ke dalam buku adab, yaitu buku yang membicarakan masalah etika,
politik dan pemerintahan. Uraian tentang masalah-masalah tersebut dijelaskan
melalui kisah-kisah yang menarik, diambil dari berbagai sumber dan kemudian
digubah kembali oleh pengarangnya,
Di antara kitab-kitab yang dijadikan bahan
rujukan ialah (1) Syiar al-Mulk atau Siyasat-namah (Kitab Politik) karangan
Nizam al-Mulk yang ditulis antara tahun 1092-1106 M; (2) Asrar-namah (Kitab
Rahasia Kehidupan) karya Fariduddin `Attar (1188); (3) Akhlaq al-Muhsini karya
Husain Wa`iz Kasyifi (1494); (4) Kisah-kisah Arab dan Persia seperti Layla dan Majenun, Khusraw dan Sirin, Yusuf
dan Zulaikha, Mahmud dan Ayaz, dan banyak lagi; (5) Kitab Jami’ al-Thawarikh (Kitab Sejarah Dunia)
yang ditulis untuk Sultan Mughal di Delhi yaitu Humayun (1535-1556); dan
lain-lain. Gagasan dan kisah-kisah yang dikandung dalam buku ini memberi
pengaruh besar terhadap pemikiran politik dan tradisi intelektual Melayu.
Bab-bab yang ada di dalamnya, yaitu gagasan dan pokok pembahasannya selalu
ditopang oleh ayat-ayat al-Qur`an dan Hadis yang relevan. Begitu pula
kisah-kisah yang digunakan sebagian berasal dari buku-buku sejarah, di samping
dari cerita rakyat yang terdapat dalam buku seperti Alf Laylah wa Laylah
(Seribu Satu Malam) dan lain-lain. Makna yang tersirat dalam kisah-kisah itu
dapat dirujuk pada ayat-ayat al-Qur`an dan Hadis yang dikutip.
Tema sentral buku ini ialah keadilan,
karena kehidupan sosial keadilanlah jalan yang mampu membawa manusia menuju
kebenaran. Untuk menegakkan keadilan diperlukan kearifan dan kematangan
berpikir. Buku ini dibagi ke dalam 24 bab. Bab pertama yang merupakan titik
tolak pembahasan masalah secara keseluruhan membicarakan pentingnya pengenalan
diri, pengenalan Allah sebagai Khaliq dan hakekat hidup di dunia serta masalah
kematian. Diri yang harus dikenal oleh setiap Muslim ialah diri manusia sebagai
khalifah Tuhan di atas bumi dan hamba-Nya. Melalui ajaran tasawuf, Bukhari
al-Jauhari mengemukakan sistem kenegaraan yang ideal dan peranan seorang raja
yang adil dan benar. Orang yang tidak adil, apalagi dia seorang raja,akan
menerima hukuman berat di dunia dan akhirat. Sebaliknya raja yang baik dan
adil, akan menerima pahala dan tempat di sorga. Ia adalah bayang-bayang Tuhan,
menjalankan sesuatu berdasarkan sunnah dan hukum Allah.
Bukhari tidak hanya memberikan makna etis
dan moral bagi keadilan, melainkan juga makna ontologis. Raja yang baik adalah
seorang Ulil albab yang menggunakan akal pikiran dengan baik dalam menjalankan
segala perbuatan dan pekerjaannya, khususnya dalam pemerintahan.
Adapun tanda ulil albab ialah: (1) Bersikap
baik terhadap orang yang berbuat jahat, menggembirakan hatinya dan memaafkannya
apabila telah meminta maaf dan bertobat;.(2) Bersikap rendah hati terhadap
orang yang berkedudukan lebih rendah dan menghormati orang yang martabat,
kepandaian dan ilmunya lebih tinggi; (3) Mengerjakan dengan sungguh-sungguh dan
cekatan pekerjaan yang baik dan perbuatan yang terpuji.;(4) Membenci pekerjaan
yang keji, perbuatan jahat, segala bentuk fitnah dan berita yang belum tentu
kebenarannya; (5) Menyebut nama Allah senantiasa dan meminta ampun serta
petunjuk kepada-Nya, ingat akan kematian dan siksa kubur; (6) Mengatakan hanya
apa yang benar-benar diketahui dan dimengerti, dan sesuai tempat dan waktu,
yaitu arif menyampaikan sesuatu; (7) Dalam kesukaran selalu bergantung kepada
Allah swt dan yakin bahwa Allah dapat memudahkan segala yang sukar, asal
berikhtiar dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Sebagai pergantungan sekalian
mahluq, Allah adalah Maha Pengasih dan Penyayang.
Karena itu seorang raja atau pemimpin harus
memenuhi syarat seperti berikut: (1) Hifz, yaitu memiliki ingatan yang baik;
(2) Fahm, itu memiliki pemahaman yang benar terhadap berbagai perkara; (3 )
Fikr , tajam pikiran dan luas wawasannya; (4 ) Iradat, menghendaki
kesejahteraan, kemakmuran dan kemajuan untuk seluruh golongan masyarakat; (5 )
Nur , menerangi negeri dengan Cinta atau kasihsayang.
Dalam fasal ke-5 Bukhari al-Jauhari
mengutip Kitab Adab al-Mulk, dan menyatakan bahwa ada beberapa syarat lagi yang
mesti dipenuhi oleh seorang calon pemimpin atau raja agar dapat memerintah
negeri dengan adil dan benar. (1) Seorang raja harus dewasa dan matang sehingga
dapat membedakan yang baik dan yang buruk bagi dirinya, masyarakat banyak dan
kemanusiaan; (2) Seorang raja hendaknya memiliki ilmu pengetahuan yang memadai
berkenaan dengan masalah etika, pemerintahan, politik dan agama. Dia hendaklah
bersahabat dengan orang-orang berilmu dan cendekiawan, dan bersedia
mendengarkan dari mereka berbagai perkara yang tidak diketahuinya. Penasehat
raja seharusnya juga orang yang berilmu pengetahuan, di samping jujur dan
mencintai rakyat; (3) Menteri-menteri yang diangkat mesti dewasa dan berilmu,
serta menguasai bidang pekerjaannya; (4) Mempunyai wajah yang baik dan menarik,
sehingga orang mencintainya, tidak cacat mental dan fisik; (5) Dermawan dan
pemurah, tidak kikir dan bakhil. Sifat kikir dan bakhil adalah tanda orang yang
syirik dan murtad; (6) Raja yang baik harus senantiasa ingat pada orang-orang
yang berbuat baik dan membantu dia keluar dari kesukaran, membalas kebajikan
dengan kebajikan; (7) Raja yang baik mesti tegas dan berani. Jika rajanya
penakut maka pegawai dan tentara juga akan menjadi penakut. Terutama dalam
menghadapi orang jahat dan negara lain yang mengancam kedaulatan negara; (8)
Tidak suka makan dan tidur banyak, dan tidak gemar bersenang-senang dan
berfoya-foya, karena semua itu akan membuat dia alpa dan lalai pada tugasnya
sebagai kepala negara; (9) Tidak senang bermain perempuan; (10) Sebaiknya
seorang raja dipilih dari kalangan lelaki yang memenuhi syarat dalam memimpin
negara. Kecuali dalam keadaan terpaksa.
Fasal ke-6 dimulai dengan kutipan Surah
al-Nahl ayat 90, “Inna`l-Lahu ya`muru bi`l-`adl wa’l-ihsan” – Sesungguhnya Allah ta`ala
memerintahkan berbuat adil dan ihsan. Sikap adil ada dalam perbuatan, perkataan
dan niat yang benar; sedangkan ihsan mengandung makna adanya kebajikan dan
kearifan dalam perbuatan, perkataan dan pekerjaan. Raja yang adil merupakan
rahmat Tuhan yang diberikan kepada masyarakat yang beriman, sedangkan raja yang
dhalim sering merupakan hukuman dan laknat yang diturunkan kepada masyarakat
yang aniaya dan bodoh. Hadis lain yang juga dikutip ialah: Raja yang tidak
mencintai rakyatnya akan terhalang memasuki pintu syurga dan mengalami
kesukaran meraih rahmat Allah.
Merujuk pada buku Adab al-Mulk , Bukhari menyatakan ada tiga perkara
utama yang membuat sebuah kerajaan runtuh: (1) Raja tidak memperoleh informasi
yang benar dan rinci tentang keadaan negeri yang sebenar-benarnya, dan hanya
menerima pendapat satu pihak atau golongan; (2) Raja melindungi orang jahat,
keji, bebal, tamak dan pengisap rakyat; (3) Pegawai-pegawai raja senang
menyampaikan berita bohong, menyebar fitnah, membuat intrik-intrik yang membuat
timbulnya konflik.
Penulis-penulis Sastra Kitab
Pada abad ke-17 M Aceh mengalami puncak
kejayaannya sebagai pusat kegiatan politik dan perdagangan di Asia Tenggara.
Kerajaan Islam terbesar di Nusantara ini menjelma sebagai kerajaan maritim yang
tangguh dan sekaligus menjadi pusat penyebaran dan kegiatan intelektual Islam
yang sangat berpengaruh. Sejumlah ulama besar, sastrawan dan sufi terkemuka
yang pemikirannya sangat berpengaruh pada generasi cendekiawan Muslim abad-abad
sesudahnya, muncul secara berkelanjutan dari sini. Suburnya penulisan sastra
dan kitab keagamaan di Aceh terutama terjadi pada masa pemerintahan Sultan
Alauddin Ri`ayat Syah (1589-1604), Iskandar Muda (1607-1636) dan Iskandar Tsani
(1637-1641). Selain Hamzah Fansuri dan Bukhari al-Jauhari, yang menulis pada
masa pemerintahan Sultan Alauddin Ri`ayat Syah sebagaimana telah disebutkan,
tokoh terkemuka lain yang masyhur dalam penulisan karya sastra dan keagamaan
ialah Syamsudin al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri dan Abdul Rauf Singkel.
1. Syamsudin al-Sumatrani .
Dia juga
dikenal sebagai Syamsudin Pasai, adalah seorang ahli tasawuf dan penulis yang
prolifik. Dia adalah penasehat utama Sultan Iskandar Muda di bidang keagamaan
dan pemerintahan, bahkan pernah menjabat sebagai mufti istana dan perdana
menteri. Ajaran Martabat Tujuh, suatu faham tasawuf wujudiyah yang diasaskan
oleh Syekh Muhammad Fadlullah al-Burhanpuri di India pada akhir abad ke-16,
dirumuskan sebagai bentuk tasawuf Nusantara yang populer oleh Syamsudin.
Sumbangan tokoh ini terutama dalam penulisan sastra kitab, yaitu karya-karya
membahas ilmu-ilmu keagamaan seperti fiqih, teologi dan tasawuf secara
sistematis.
Dalamm hubungannya dengan sastra, peranan
Syamsudin terutama tampak dalam upayanya untuk mengembangkan kritik sastra
berdasarkan hermeneutika sufi yang biasa disebut ta`wil . Metode ini telah
berkembang dalam tradisi intelektual Islam sejak abad ke-11 M. Karya Syamsudin
mengenai ta`wil tampak dalam risalahnya Syarah Ruba`i Hamzah Fansuri. Ta`wil
adalah metode penafsiran sastra dengan melihat teks puisi sebagai ungkapan
kata-kata simbolik dan metaforik yang maknanya berlapis-lapis ( makna lahir,
makna batin dan makna isyarah atau sugestif). Pemahaman mendalam hanya dapat timbul
apabila seorang pembaca mampu menembus lubuk terdalam makna, yaitu gagasan dan
pandangan dunia (Weltsanschauung) penulisnya. Konteks sejarah dan budaya
penulis juga harus diketahui sebagai syarat pemahaman yang mendalam dan
bermanfaat. Untuk puisi penyair sufi, simbolisme sufi juga perlu diketahui dan
simbolisme tersebut berkaitan dengan kosmologi, ontologi, epistemologi dan
psikologi sufi. Kata-kata dalam puisi adalah makna yang diturunkan dari
makna-makna, sehingga banyak tafsir dibuat secara meluas oleh seorang yang
berilmu.
Syamsudin al-Sumatrani tidak banyak menulis
puisi. Karya-karyanya terutama berupa risalah tasawuf yang tergolong sastra
kitab. Di antaranya Mir`at al-Mu`minin (Cermin Orang Beriman), Mir`at al-Iman
(Cermin Keimanan), Zikarat al-Dairati Qaba Qawsaini aw `Adna (Lingkaran Dua Busur Kehampiran Dengan
Tuhan), Mir`at al-Muhaqqiqin (Cermin Penuntut
Hakikat), Jawahir al-Haqa`iq (Mutiara Hakikat), Nur
al- Daqa`iq, Kitab al-Haraqah, dan lain-lain.
Nilai estetik karya-karyanya tampak dalam kutipan
berikut, yang menerangkan tentang kedudukan ruh manusia menurut pandangan faham
wujudiyah:
“Ada pun ruh al-qudus itu nyata pada hati sanubari, maka al-qudus
itulah rupa sifat Allah (al-rahman dan al-rahim, pengasih dan penyayang, pen.),
dan yaitulah cahaya yang indah-indah, tiada yang serupa dengan dia sesuatu jua
pun. Dari karena itu ruh al-qudus itu menjadi khalifah Tuhan dalam tubuh insan,
yang memerintahkan pada segala barang gerak dan dita dan barang sebagainya,
tiada sesuatu daripadanya jua...” (T. Iskandar 1987).
Abdul Samad al-Falimbangi, sufi abad ke-18
dari Palembang, mengatakan dalam sebuah kitabnya bahwa karya Syamsudin Pasai
mengupas tasawuf seni yang tinggi sekali peringkatnya.
2. Nuruddin al-Raniri.
Dia adalah seorang
ulama sufi, ahli fiqih (fuqaha) dan sastrawan terkemuka berasal dari Ranir,
Gujarat, India. Dalam sejarah
intelektual Islam Nusantara dia dikenal sebagai pendebat ajaran wujudiyah
Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani.
Setelah Sultan Iskandar Tsani naik tahta, dia berlayar ke Aceh dan
diterima menjadi ulama istana. Sebelumnya dia pernah tinggal di Pahang,
Malaysia dan menulois bukunya pertama dalam bahasa Melayu Sirat al-Mustaqim.
Kitab ini merupakan kitab fiqih ibadah
pertama dalam bahasa Melayu. Setelah Iskandar Tsani wafat, oleh penggantinya
jabatan ulama istana diberikan kepada murid Syamsudin Sumatrani yaitu Syaif
al-Rizal, yang merupakan lawan debat Nuruddin. Dia wafat pada tahun 1658 M.
Karya Nuruddin al-Raniri lebih dari 40 buah. Di antaranya ialah Hill al-Zill,
Tybian fi ma`rifah al-adyan, Syaif al-Qulub, Hujjat al-Siddiq, Jauhar `Ulum ,
Kabar Akhirat dan Perikeadaan Hari Kiaamat, `Umdat al-I`tiqad, Hikayat Iskandar
Zulkarnain Asrar al-Insan fi Ma`rifat al-Ruh wa al-Rahman, dan lain-lain.
Seperti Syamsudin, dia menulis dalam bahasa Melayu dan Arab. Dia mempelajari
bahasa Melayu di Gujarat dan Mekkah ketika usianya masih muda.
Karya Nuruddin al-Raniri yang paling
terkenal ialah Bustan al-Salatin (Taman Raja-raja), yang ditulis dengan harapan
dapat melengkapi kitab Taj al-Salatin yang dianggapnya belum lengkap. Kitab ini
merupakan gabungan sastra kitab, kenegaraan, eskatologi dan sejarah. Corak
penulisan sejarah dalam kitab ini realistis, tidak menggunakan unsur mitos dan
legenda. Pengaruh tasawuf sangat besar dalam penulisan kitab ini. Dalam bab III
misalnya tercantum kisah kejadian Nur Muhammad, yang secara simbolik
digambarkan sebagai mutiara berkilauan yang bersujud di hadapan Tuhan selama
ribuan tahun.
Bustan terdiri dari tujuh bab besar. Bab I
menyatakan kejadian langit dan bumi, terdiri dari sepuluh fasal. Diuraikan di
dalamnya bahwa sifat kejadian itu ada empat perkara ialah wadi, wahi, mani dan
manikam. Keempatnya merupakan asal-usul air, angin, api dan tanah. Yang
dinamakan tubuh jasmani ialah yang lengkap mengandung empat hal, yaitu kulit,
daging, urat dan tulang. Setelah itu baru bergerak dan geraknya disebabkan
adanya nafsu. Nafsu dibimbing oleh akal, budi, cita dan nyawa.
Bab II menyatakan kejadian Sifat Batin dan
Nyawa Adam terdiri dari 13 fasal. Fasal 1 menceritakan nabi-nabi dari Adam
hingga Muhammad s.a.w. N Nyawa Adam terbit dari Nur Muhammad. Karena hakikat
dari Adam ialah Nur Muhammad. Fasal 2-10 menceritakan raja-raja Persia,
Byzantium, Mesir dan Arab. Fasal 11 menceritakan raja-raja Melaka dan Pahang.
Fasal 13 menceritakan raja-raja Aceh dari Ali Mughayat Syah hingga Iskandar
Tsani, ulama-ulama Aceh yang terkenal, Taman Ghairah dan Gegunungan yang
terdapat dalam kompleks istana Aceh sebagai simbol kemegahan dari kesultanan
Aceh, dan upacara pula batee (penanaman batu nisan Iskandar Tsani) oleh
penggantinya, permaisuri almarhum Iskandar Tsani, yaitu Sultanah Taj al-Alam.
Bab III menceritakan raja-raja yang adil
dan wazir-wazir yang cerdik cendekia, terdiri dari 6 fasal. Bab IV menceritakan
raja-raja yang gemar melakukan zuhud dan wali-wali sufi yang saleh. Bab ini
terdiri dari 2 fasal. Fasal pertama antara lain menceritakan tokoh sufi yang
masyhur, Sultan Ibrahim Adham. Bab V menceritakan raja-raja yang zalim dan
wazir-wazir yang keji. Bab VI menceritakan orang-orang yang dermawan dan
orang-orang besar pemberani dalam membela kebenaran. Juga diceritakan
perjuangan tokoh-tokoh dalam melawan raja yang keji lagi durhaka. Bab VII
menceritakan tentang akal, ilmu firasat, ilmu kedokteran dan segala sifat
perempuan. Dalam bab-babnya Nuruddin kerap menyisipkan syair dan kisah-kisah
ajaib. Nilai sastra Bustan al-Salatin tampak dalam uraian tentang Taman Gairah
dan Gegunungan yang terletak di kompleks istana kesultanan Aceh, sebagai
berikut:
“Pada zaman bagindalah (Sultan Iskandar Tsani, pen.) diperbuat suatu
bustan yang terlalu indah-indah, kira-kira seribu depa luasnya. Maka
ditanaminya pelbagai bunga-bungaan dan aneka buah-buahan. Digelar baginda
bustan itu Taman Ghairah... Sebermula di seberang sungai Dar al-`Isyqi itu dua
buah kolam, suatu bergelar Jentera Rasa dan suatu bergelar Jantera Hati...
Syahdan dari kanan Sungai Dar al-`Isyqi
itu suatu taman terlalu amat luas, kersiknya daripada batu pelinggam,
bergelar Medan Hairani. Dan pada sama tengah itu sebuah gunungan, di atasnya menara tempat semayam,
bergelar Gegunungan Menara Pertama, tiangnya daripada tembaga dan atapnya
daripada perak seperti sisik rumbia, puncaknya suasa.”
Taman Gairah ini sebenarnya sudah ada
sebelum Iskandar Tsani, namun sultan inilah yang memugarnya menjadi taman baru
yang indah dan megah. Gegunungan yang disebutkan itu diperkirakan telah ada
sejak abad ke-16 M. Dalam tradisi Islam, pembangunan taman dalam sebuah istana
dikaitkan untuk menciptakan suasana seperti di dalam sorga. Taman-taman yang
terdapat dalam istana kerajaan Persia, Mughal, Arab, Andalusia dan lain-lain
merupakan lambang kebesaran kerajaan-kerajaan bersangkutan. Ia harus ada sungai
yang mengalir, pohon-pohon yang rindang dan lebat buahnya, aneka bunga-bungaan yang
indah dan harum semerbak baunya, seperti gambaran yang diberikan al-Qur’an tentang
sorga. Dalam tradisi Islam pula, istana sebagai pusat sebuah kerajaan harus
merupakan dunia yang lengkap dan sempurna, yang diambangkan dengan adanya taman
yang luas, indah dan lengkap isinya. Ada pun fungsinya bukan sekadar untuk
tempat bersenang-senang, seperti bercengkrama dengan permaisuri atau
putri-putri istana bermain-main. Taman dalam istana kerajaan Islam punya
beberapa fungsi khusus seperti tempat sultan menerima pelajaran tasawuf dari
guru keruhaniannya dan juga tempat sultan menjamu tam agung dari kerajaan lain.
Kesempurnaan dan keindahan taman dilukiskan oleh Nuruddin al-Raniri
sebagai berikut: “Dan di tengah taman itu ada sebuah sungai disebut Dar al-`Isyqi,
penuh dengan batu-batu permata; airnya jernih dan sejuk sekali, dan barang
siapa meminum airnya akan menjadi segar tubuhnya dan sehat.” Air adalah
lambang kehidupan dan penyucian diri, pembaruan dan pencerahan.
3. Abdul Rauf al-Sinkil.
Abdul Rauf Singkel
atau al-Sinkili adalah ulama Aceh yang masyhur pada penghujung abad ke-17 M.
Dia adalah seorang penulis yang prolifik. Karya-karyanya ditulis dalam bahasa
Melayu dan Arab. Dia sering juga dikenal sebagai Abdul Rauf al-Fansuri dan
mempunyai hubungan keluarga dengan Hamzah Fansuri. Setelah lama tinggal di
Mekkah, sekitar tahun 1640 dia pulang ke Aceh menggantikan peranan Nuruddin
al-Raniri yang telah tiga tahun meninggalkan Aceh. Dia seorang penulis yang
prolifik. Mir`at al-Tullab merupakan kitab syariah pertama yang isinya lengkap
dalam pustaka Islam Melayu. Dia juga merintis penulisan tafsir al-Qur’an. Karyanya
di bidang iniyang terkenal ialah Tarjuman al-Mustafid.
Karya-karya lain yang penting dari Abdul
Rauf Singkel ialah Idhah al-Bayan fi Tauhid Masail A`yani, `Umdat alMuhtajina
fi Suluk Maslak al-Mufarradina, Ta`bir al-Bayan, Daqa`iq al-Huruf, Majmu`
al-Mas`il, Sakrat a-Maut, dan lain-lain. Jika pamannya Hamzah Fansuri adalah
pengikut Tariqat Qadiriyah, Abdul Rauf adalah pengikut Tariqat Syatariyah.
Sebagai ahlu tasawuf, Abdul Rauf juga menulis beberapa syair tasawuf, namun
syair-syairnya itu tidak begitu dikenal. Di antara syairnya yang dijumpai ialah
Syair Ma`rifat. Karya-karyanya yang sebagian besar tergolong ke dalam sastra
kitab dibicarakan dalam bab lain dalam buku ini
Syekh Abdul Rauf adalah ulama besar yang
mempunyai banyak murid. Di antaranya yang terkenal ialah Syekh Jamaluddin
al-Tursani dan Syekh Yusuf Mengkasari. Jamaluddin al-Tursani terkenal karena
dalam bukunya Syafinat al-Hukkam memperbolehkan wanita menjadi pemimpin atau
raja. Ada pun Yusuf Mengkasari (w. 1799)
adalah seorang ulama yang pernah berjuang melawan kolonialisme Belanda
bersama Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten. Dia dibuang ke Afrika Selatan,
tetapi aktivitasnya sebagai ulama, pendakwah dan penulis kitab yang prolifik
berlanjut hingga akhir hayatnya di tempat pengasingannya. Karyanya tidak kurang
30 buah dalam bahasa Arab dan Melayu, antara lain ialah al-Naftahu
al-Sailaniya, Zubdatu al-Asrar, Qurrat al-`Ain, Syurut al-`Arifin al-Muhaqqiq
dan Taj al-Asrar.
Seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai,
Nuruddin al-Raniri dan gurunya Abdul Rauf Singkel, Yusuf Mengkasari menganut
faham wujudiyah. Hanya saja cara menguraikan fahamnya itu berbeda dari keempat
tokoh yang telah disebutkan. Menurut Yusuf Mengkasari yang disebut Nur Muhammad
atau Hakikat al-Muhammadiyah ialah wadah dari manifestasi sifat-sifat dan
pekerjaan Tuhan. Nur Muhammad mempunyai dimensi ganda. Pertama, sebagai asas penciptaan alam semesta.
Kedua,
sebagai hakikat sejati dari Diri Manusia.
Uraiannya yang menarik ialah tentang kiblat manusia, yang menurutnya ada tiga:
Kiblat Amal, Kibal Ilmu dan Kiblat Rahasia. Kiblat amal ialah Ka`bah
dan Masjid al-Haram di Mekkah. Ia merupakan tempat orang beriman menghadapkan
wajah pada waktu salat. Kiblat ilmu ialah seperti disebutkan al-Qur'an, Kemana pun kau memandang akan tampak wajah
Allah. Ia merupakan kiblat ahli makrifat. Kiblat rahasia ialah seluruh alam
semesta yang di dalamnya terbentang ayat-ayat-Nya.
(September 2005)
[1]
[2] Empat manuskrip itu ialah Cod. Or.
Leiden 2016 (31 ikat-ikatan); Cod. Or. Leiden 3372 (15 ikat-ikatan); Cod. Or.
Leiden 3374 (8 ikat-ikatan); dan Naskah Jakarta atau Jak. Mal. 83 (30
ikat-ikatan). Lihat Abdul Hadi W. M. Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik
Terhadap Karya-karya Hamzah fansuri (Jakarta: Paramadina, 2001:198).