Nalar Islam Menjawab Persoalan Modernitas

sumber: graduate.uinjkt.ac.id

Judul Buku: Mengislamkan Nalar Sebuah Respons Terhadap Modernitas
Penulis: Mulyadi Kertanegara
Penerbit: Erlangga, Jakarta Maret 2007
ISBN: 979-7819507

‘Je n’ai pas besoin de cette hypothèse,’ (aku tidak butuh hipotesa itu) kata Pierre Simon de Laplace (w. 1827 M) menjawab pertanyaan Kaisar Napoleon Bonaparte tentang peran Tuhan yang tidak dilibatkan dalam proses kejadian alam. Laplace adalah satu di antara ilmuwan Barat yang menolak memasukkan unsur metafisik, Tuhan, dalam penjelasan ilmiah. Baginya, pengamatan dan perhitungan adalah satu-satunya metode dan sumber ilmu yang sah dan dapat dipercaya.

Pandangan seperti itu, menurut Mulyadhi Kertanegara dalam bukunya Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons Terhadap Modernitas, tidak cocok dengan sikap dan kepribadian bangsa Indonesia yang agamis dan selalu percaya bahwa alam semesta adalah ciptaan dan tanda kebesaran Tuhan. Bagi Guru Besar Filsafat UIN Jakarta ini, harus ada pandangan keilmuan yang lain yang lebih cocok dengan atmosfir budaya bangsa kita yang religius. Ia mengajukan islamisasi ilmu sebagai jalan keluar dari kungkungan dan hegemoni keilmuan Barat yang sekuler.

Itu berarti Pak Mul termasuk deretan sarjana muslim yang mendukung gagasan islamisasi Ilmu. Ismail Raji Alfaruqi, kemudian, Muhammad Najib al-Attas adalah dua intelektual muslim dunia yang paling bersemangat melakukan islamisasi ilmu. Bahkan al-Attas telah mendirikan ISTAC di Malaysia dalam rangka membangun program idealnya itu. Adapun Fazlur Rahman, dan muridnya, Cak Nur, adalah sarjana muslim yang tidak setuju terhadap ide tersebut. Bagi mereka ilmu adalah universal, yang tidak mengenal batasan ras, suku, dan agama. Tidak ada “kapling” ilmu.

Namun, bagi Pak Mul, pandangan yang menyatakan ilmu itu universal tidaklah sepenuhnya benar, karena ternyata ilmu itu tidak netral, tidak universal, bahkan bermuatan politis dan ideologi tertentu. Ilmuwan Barat memiliki pandangan ilmu pengetahuan yang natural-positifis, yaitu dunia fisik yang bisa diverifikasi secara positif-obyektif dengan ilmu pengetahuan yang didasarkan pada observasi inderawi. Padahal, di dalam Islam, filsuf seperti al-Kindi dan al-Farabi, papar Pak Mul, menjelaskan bahwa ilmu bukan hanya dunia fisik, tetapi juga metafisik.

Menurut ilmuwan Barat, metafisika itu tidak dapat dipercaya, karena tidak berpijak pada realitas, tetapi pada keinginan manusia. Masalahnya, kalau metafisika ditolak, jelas Pak Mul, maka seluruh sistim kepercayaan, teologis, dan mistiko-filofis Islam akan runtuh. Menurut Pak Mul, pandangan ilmiah modern ini dinilai dapat membahayakan keimanan umat Islam. Oleh karena itu, islamisasi ilmu perlu dilakukan, agar dampak negatif dari ilmu tersebut bisa dikendalikan dan dihindarkan.

Pak Mul menilai ilmuwan Barat hanya menggunakan penelaahan inderawi (sense perception) dalam metode dan sumber ilmu pengetahuan, sementara Islam mengakui adanya metode dan sumber ilmu itu, menurut Mulla Shadra (w. 1641 M), selain indera, ada 3: burhân (akal), ‘irfân (intuisi), dan Qur’ân (wahyu). Dengan pendekatan yang berbeda, diharapkan umat Islam dapat membangun pandangan ilmiah yang berbeda dan lain dari Barat, sehingga bisa terjadi dialog, atau bahkan kritik terhadapnya. (Ayang Utriza Yakin) (RBAJ_II_No_5)

::

Islam Vis-A-Vis Modernisme

sumber: graduate.uinjkt.ac.id

Judul Buku: Nalar Religius Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia
Penulis: Mulyadi Kertanegara
Penerbit: Erlangga, Jakarta Maret 2007
Jumlah Halaman: xiv + 162 hlm
ISBN: 979-7819515

Buku Pak Mul berjudul Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia menampilkan khazanah tradisi mistiko-filosofis Islam ke kalangan masyarakat ilmiah Indonesia yang acapkali telah tercerabut dari akar-akar tradisi intelektual Islam, akibat gelombang budaya dan pemikiran dunia Barat. Buku ini berisi renungan filosofis mengenai Tuhan, alam, dan manusia.

Jika ilmuwan Barat berpandangan bahwa alam adalah realitas terakhir dan ia adalah hasil dari evolusi dengan mengesampingkan faktor Tuhan, maka menurut ilmuwan Islam (filsuf) alam adalah bukti adanya Tuhan. Pak Mul mengajukan tiga alasan bahwa Tuhan itu ada: pertama, dalîl al-hudûs: argumen yang didasarkan pada kebaharuan alam: bahwa alam itu diciptakan dari tiada, yang diwakili al-Kindi (w. 866 M); kedua, dalîl al-imkân: argumen yang didasarkan pada kemungkinan alam: wujud mutlak adalah Tuhan, sementara alam pastilah wujud mungkin, karena jika keduanya mutlak berarti ada dua Tuhan, yang diwakili oleh Ibn Sina (w. 1037 M); ketiga, dalil al-‘inâyah: argumen fenomena alam yang teratur dan harmonis ini tidak lain hanyalah bukti adanya Tuhan, yang dikenal di Barat sebagai argument from design yang diwakili Ibnu Rusyd (w. 1196 M).

Alam, menurut Pak Mul, tidak terlepas dari sesuatu yang transenden (Tuhan). Alam adalah tanda untuk menunjukkan kebesaran Tuhan dan bukti akan keberadaan Tuhan. Positivisme sekuler menganggap alam merupakan kenyataan terakhir, sementara spiritualisme panteistik berpendapat bahwa alam adalah cermin Allah, walaupun berbeda, tetapi alam itu tidak lain adalah Allah itu sendiri. Artinya mereka menyerupakan antara alam dan tuhan. Pak Mul mengajukan posisi tengah berada di kedua ekstrem pendapat itu, bahwa alam adalah ciptaan Tuhan, dan bukan realitas independen, tetapi juga bukan Tuhan sebab alam adalah baru dan ciptaan tuhan. Bagi Pak Mul manusia adalah evolusi terakhir dari penciptaan Tuhan.

Menurut filsuf Murtadha Mutahhari (w. 1979) bahwa manusia adalah hasil penciptaan yang bersifat evolutif. Manusia dibedakan dengan hewan bukan saja karena kesadarannya yang lintas ruang-waktu, tetapi juga karena memiliki ilmu dan iman yang, menurut Muthahari, betul-betul membedakan manusia dari hewan dan makhluk lainnya. Pesan utama Pak Mul adalah ia ingin mengajak umat Islam bahwa beragama itu tidak cukup hanya dengan percaya, tetapi juga harus ada alasan rasional mengapa orang harus beragama. Ia ingin mengajukan pandangan ilmiah yang berbeda dari Barat-Sekuler mengenai Tuhan, alam, dan manusia, seperti semangat buku pertamanya, berdasarkan epistemologi Islam dari khazanah filsafat Islam yang mahakaya.

Akhirnya, Pak Mul merupakan contoh terjarang dari sarjana muslim Indonesia yang berani mengungkapkan apa yang benar menurutnya berdasarkan pemikiran filosofisnya. Ia mengajukan hal yang kurang populer dalam kajian Islam di Indonesia. Tanpa memedulikan apa kata orang, ia percaya bahwa untuk mengajukan sebuah pemikiran yang berlainan dengan Barat haruslah dibangun epistemologi ilmu tersendiri, yaitu epistemologi Islam yang menjadi dasar dari proyek islamisasi ilmunya, dan hal ini sangat memengaruhi seluruh warna pemikirannya. (Ayang Utriza Yakin), (RBAJ_II_No_5).