Tradisi Ilmiah Islam, Khazanah yang Terabaikan

 Oleh: Salahuddin - di sini

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين وبه نستعين على أمور الدنيا والدين والصلاة والسلام على اشرف المرسلين وعلى اله وصحبه اجمعين. وبعد,

Yth. Bapak Dekan Fak. Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin
Yth, Para Pembantu Dekan, Para Dosen, dan Karyawan di Lingkungan Fak. Tarbiyah dan Keguruan dan,
Terkhusus kepada Adik-adik Mahasiswa Baru Fak. Tarbiyah dan Keguruan, kami ucapkan selamat atas kelulusan adik-adik bergabung di Fakultas tercinta ini.

Assalâmu ‘alaikum Wr. Wb.
Pada kesempatan ini, perkenankan saya, selaku yang diamanahi membawakan orasi ilmiah pada Pembukan Kuliah hari ini, untuk berbicara seputar tradisi ilmiah Islam. Pembicaraan ini saya anggap sangat penting karena tradisi yang telah dibangun sedemikian panjang oleh para ilmuwan Muslim ini mungkin tidak lagi kita kenal, dan karena tidak kenal, maka kita anggap tidak ada. Padahal justru karena adanya tradisi inilah, umat Islam pernah sedemikian lama berjaya. Nah dalam rangka meraih kembali kejayaan peradaban Islam tersebut, tradisi ilmiah Islam ini kita angkat kembali.

Hadirin yang terhormat.
Sejarah umat manusia mencatat bahwa ilmu pengetahuan mempunyai korelasi positif dengan maju mundurnya sebuah bangsa. Bangsa yang ilmu pengetahuannya berkembang dengan baik adalah bangsa yang maju bahkan terkemuka di dunia, sekalipun dari sudut jumlah penduduk dan wilayah geografisnya tidak begitu besar.

Sejarah juga mencatat bahwa umat Islam pernah mencatat prestasi yang sangat gemilang dalam bidang ilmu pengetahuan. Kala itu, umat Islam menjadi penguasa dunia satu-satunya. Pertanyaan besar kita adalah mengapa para pendahulu kita bisa sedemikian maju, sementara kita begitu terpuruk? Tentu mungkin banyak faktor yang menjadi penyebabnya, tapi yang jelas bukan faktor ajaran Islamnya. Karena mungkin kita semua tahu, (tapi tidak menyadari?), bahwa Islam adalah agama yang sangat (bahkan paling) empatik dalam mendorong umatnya untuk menuntut ilmu.

Hadirin yang terhormat.
Tentu saja orasi ini tidak berpretensi menjawab atau menganalis faktor-faktor penyebab keterpurukan umat Islam di bidang ilmu pengetahuan, tetapi hanya ingin menggelitik kita semua dengan mengemukakan secuil dari tradisi para ilmuwan Muslim dalam menuntut ilmu, yang kemudian mengantar mereka menggapai peradaban gemilang di masa lalu.

Hadirin yang terhormat.
Banyak sekali kita temukan ayat al-Qu’an maupun Hadis Nabawi sangat menekankan pada pentingnya ilmu dan keutamaan menuntutnya lebih dari yang lain. Karenanya, tidak heran jika kemudian para sahabat, tabi‘în, tabi‘it tâbi‘în dan beberapa generasi setelahnya begitu bersemangat dalam mengejar dan menuntut ilmu. Berikut beberapa cuplikan ayat maupun hadis tentang hal tersebut.

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (al-Mujadalah: 11)
“Siapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, Allah akan memudahkan jalan baginya ke surga.”
“Barang siapa menginginkan dunia, maka hendaklah dengan ilmu, barang siapa menginginkan akhirat, maka hendaklah dengan ilmu, dan barang siapa menginginkan keduanya, maka hendaklah dengan ilmu.”
“Sesungguhnya para malaikat akan membentangkan sayapnya untuk orang-orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang diperbuat mereka. Sesungguhnya seluruh isi langit dan bumi akan memintakan ampun bagi orang yang berilmu, bahkan ikan di air. Kelebihan orang berilmu dibanding dengan orang yang giat beribadah bagaikan bulan dibanding dengan planet-planet lain. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris nabi-nabi. Sesungguhnya para nabi itu tidak meninggalkan warisan uang dinar, tidak pula dirham, tetapi mereka meninggalkan ilmu. Barangsiapa yang mewarisinya, berarti ia mendapat keuntungan yang banyak.”

Hadirin yang terhormat.
Berbeda dengan kebanyakan ilmuwan modern yang mengkaji alam sebagai sebuah realitas independen, para ilmuwan Muslim dalam mengkaji ayat kawniyah (alam), tidak pernah menganggapnya sebagai realitas yang independen yang terlepas kaitannya dengan realitas-realitas apapun yang lebih tinggi darinya. Kata Nasr, tidak ada seorang ilmuwan Muslim yang mengkaji dan meneliti alam hanya demi melunaskan rasa ingin tahu saja. Tetapi mereka semua melakukan itu dalam rangka mencari jejak-jejak ilahi (Vestigia Dei). Atau kata Iqbal, karena alam adalah medan kreatifitas Tuhan, maka meneliti alam akan sama dengan meneliti sistem kerja (af’âl) Tuhan. Dengan demikian, meneliti alam dapat meningkatkan iman dan kecintaan kita kepada Sang Pencipta, bukan sebaliknya, seperti yang sering terjadi di Barat yang justru menjauhkan ilmuwan dari Allah.

Hal ini sangat penting untuk kita catat karena ini akan berimplikasi sangat signifikan terhadap paradigma keilmuan yang nantinya akan kita bangun di UIN ini. Karena yang mendominasi dunia pendidikan dewasa ini adalah pendekatan Barat yang sekuler, yang memisahkan Tuhan dengan ciptaan-Nya. Pemisahan ini seperti yang terlihat hasilnya dewasa ini justru semakin menjauhkan manusia dengan Tuhannya. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan tradisi ilmiah yang telah dibangun oleh para ilmuwan Muslim terdahulu.

Hadirin yang terhormat.
Di Barat, banyak ilmuwan besar yang menjadi nabi-nabi pengetahuan, setelah dewasa secara umur dan dari segi keilmuan, mereka malah meninggalkan Tuhan. Setelah tahu bahwa alam ini diatur oleh hukum mekanik, Laplace mengatakan, kalau begitu kita tidak perlu lagi Tuhan. Tuhan dulu diperlukan untuk menjelaskan kenapa alam ini bisa bekerja seperti ini. Sekarang, Newton sudah menemukan hukum alam yang mengatakan bahwa alam diatur oleh hukum mekanik. Dengan ditemukannya hukum ini, bagi Laplace, Tuhan sudah tidak punya peran apa-apa dan tidak diperlukan lagi. Darwin mengatakan, dulu memang bisa kita mengatakan bahwa hewan-hewan itu diciptakan Tuhan, tapi sekarang dengan diketemukannya hukum seleksi alam, kerang harus menciptakan sendiri engselnya kalau dia ingin survive

Di bidang Psikologi, juga Tuhan diberhentikan sebagai Tuhan. Dilihat dari proses kejiwaan manusia, kata para psikolog, saya curiga, jangan-jangan bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tapi manusialah yang menciptakan Tuhan. Karena ide Tuhan muncul ketika manusia tidak mampu lagi menjawab tantangan alam, dan kemudian merasa kecil di hadapan alam kemudian minta tolong secara imajinatif, membayangkan adanya Yang Mahakuasa dengan harapan bahwa yang Kuasa ini akan menolongnya dalam kesusahan. Kata mereka, daripada menyembah Tuhan yang kita ciptakan sendiri, lebih baik hadapi alam dengan gagah.

Di bidang Sosiologi, juga Tuhan diberhentikan sebagai Tuhan. Kata mereka, selama ini kita keliru menganggap Tuhan itu ada. Padahal Tuhan itu adalah proyeksi masyarakat. Masyarakatlah sebenarnya yang berhak disebut Tuhan. Karena masyarakat begitu berkuasa, apa kata masyarakat itulah yang jadi.

Dengan demikian, dari sudut materi, kehidupan, budaya, dan pemikiran, semua mencampakkan Tuhan. Ini akibat dari mempelajari alam tidak karena untuk menguak tanda-tanda kekuasaan Allah.

Berbagai karut marut dan kekacauan yang terjadi di dunia saat ini, sepenuhnya berakar pada keterpisahan manusia dengan Tuhannya. Keterpisahan inilah yang menumbuhkembangkan ego dalam diri manusia yang kemudian melahirkan manusia-manusia yang materialis, serba eksak, dan individualis. Akibat selanjutnya adalah gap yang semakin lebar antara kaya dan miskin, pintar dan bodoh dan lain-lain. Keberhasilan selalu diukur hanya dari laba material keberhasilan usaha juga dinilai hanya dari ekspansi, pendapatan, dan kekuasaan untuk menguasai yang lain. Keterpisahan ini kemudian berakibat lebih jauh, yakni keterpisahan dengan sesamanya, keterpisahan dengan makhluk lainnya, dan keterpisahan dengan semesta. Praktiknya antara lain menyebabkan kerusakan lingkungan, kemiskinan, penyakit, jurang kesenjangan sosial yang menganga, dan berbagai dampak serius lainnya. Dampak itu termasuk keresahan sosial, ketiadaan kesetiaan dan kepercayaan dalam hubungan-hubungan sosial, menguatnya pandangan membedakan orang lain, dan munculnya kelompok eksklusif berdasarkan agama, etnis, dan golongan. Karena yang dikejar modal material, maka kehendak untuk menjaga, merawat, berbagi, dan melayani juga tipis. Korupsi merajalela karena orang tak punya rasa bersalah mencuri hak milik banyak orang.

Tak ada obat yang paling mujarab untuk mengatasi semua ini selain mengembalikan manusia kepada Tuhannya.

Kenyataan tersebut jelas menunjukkan bahwa ilmu itu tidak netral. Ilmu adalah hasil (by product) dari pandangan hidup (worldview) suatu bangsa.

Hadirin yang terhormat.
Tradisi kritik. Salah satu kunci sukses keilmuan Islam adalah adanya semangat dan tradisi mengeritik yang luar biasa di kalangan ilmuwan Muslim. Tentu saja semangat mengeritik ini sangat diperlukan bagi kemajuan dan perkembangan ilmiah di manapun, karena melalui semangat mengeritik ini, teori-teori ilmiah yang telah ada diuji kesolidan dan koherensinya, sehingga hanya teori-teori yang betul-betul solid dan koheren yang dapat tahan uji, sedangkan yang tidak, akan gugur dan ditinggalkan. Dengan cara begitu, sebuah teori akan terus mengalami perbaikan, revisi, bantahan dan sebagainya, hingga fondasi baru yang solid dapat ditemukan. Dalam hal kritik ini, ada nasihat yang sangat bijak dari al-Ghazali katanya, “kalau kita ingin kritikan kita efektif, maka hendaknya kita menguasai dulu dengan baik materi yang akan kita kritik, bahkan kalau bisa mengungguli para ahlinya.” Al-Ghazali rupanya tidak sekedar membual dan memberi nasehat, tetapi betul-betul ia praktekkan. Sebelum ia menulis kritiknya terhadap filsafat dalam Tahâfut al-Falâsifah (Kerancuan Para Filosof), ia menghabiskan waktu selama 1.5 sampai 2 tahun untuk mempelajari filsafat, bahkan ia menulis apa yang ia pelajari dari filsafat dalam bukunya Maqâshid al-Falâsifah (Maksud-Maksud Para Filosof). Setelah itu, barulah ia menulis kritiknya terhadap para filosof dalam Tahâfut al-Falâsifah. Juga ketika beliau masih belajar di bawah bimbingan AGH. al-Juwainî, Imâm al-Haramain. Al-Ghazâlî juga memperlihatkan sikap kritisnya yang luar biasa yang membuat sang guru kebakaran jenggot. Seperti biasanya, setiap selesai mengajar, al-Juwainî, Sang Guru Besar, meminta untuk memberikan kritik terhadap pelajaran yang baru saja disampaikannya. Ketika membaca ta’liqah kedua al-Ghazâlî, Sang guru dilaporkan menyatakan, “Engkau sungguh telah menguburku hidup-hidup! Tidakkah engkau bisa bersabar sedikit untuk menangguhkannya sampai aku mati dulu? Demikian kita melihat adanya semangat kritis untuk menemukan kesalahan dari guru tertentu dan ajaran-ajarannya.

Hadirin yang terhormat.
Tiga Sumber Ilmu. Dalam tradisi keilmuan Islam, setidaknya terdapat tiga sumber ilmu, yaitu indera, akal, dan hati atau intuisi. Di dalam Misykât al-Anwâr-nya Al-Ghazali menyebut hal ini sebagai cahaya-cahaya yang akan mengantar seseorang untuk meraih petunjuk/hidayah Allah swt. Apabila ketiga potensi itu termaksimalkan akan melahirkan manusia yang profesional dalam ragam dan bidang yang beraneka pula. Dengan potensi daya indrawi yang termaksimalkan, akan lahir bukan saja olah ragawan-olah ragawan yang berprestasi tetapi juga saintis-saintis yang handal. Dengan potensi daya akal, akan lahir para pemikir atau pun para filosof yang mumpuni. Dengan potensi daya hati atau intuisi, akan lahir seniman-seniman, spritualis-spiritualis atau sufi-sufi agung. Karena potensi-potensi tersebut telah ada dalam setiap diri manusia, maka sangat dimungkinkan, meski mungkin sangat jarang, seseorang bisa menghimpun ketiga keahlian tersebut dalam dirinya. Kita dapat menemukan betapa banyak ilmuwan muslim yang memiliki lebih dari satu keahlian di dalam dirinya. Misalnya saja, Ibn Sina di samping sebagai seorang filosof, ia juga berprofesi sebagai seorang dokter yang handal. Bukunya, masih dikaji di fakultas-fakultas kedokteran dan telah mengalami ribuan kali dicetak ulang di negeri Barat sampai saat ini. Di abad ini, kita juga menemukan nama Muhammad Hisyâm Kabbânî, seorang Mursyid Tarekat Naqsyabandiyah, yang juga seorang ahli Fiqh dan ahli Fisika. Tentu saja, lebih banyak lagi yang mempunyai keahlian pada satu bidang saja.

Repotnya, sekarang ini, mereka yang memiliki keahlian pada bidang tertentu seringkali mengklaim bahwa bidangnya itulah yang terbaik sembari meremehkan bidang-bidang lainnya. Kalau sudah menjadi sufi, ia anti filsafat; kalau sudah menjadi filosof, ia anti tasawuf; dan kalau sudah jadi ilmuwan, anti filsafat dan tasawuf. Sikap seperti ini sebenarnya lebih merupakan sikap arogansi yang justru mengingkari potensi lain yang ada pada dirinya. Kalau bisa tiga-tiganya kita kuasai, karena indera, akal, dan hati ada dalam diri yang sama. Kitalah penyandang tiga sumber yang istimewa ini dalam diri kita.

Hadirin yang terhormat.
Ke depan, UIN harus mengembangkan ketiga sumber ini secara integral. Sains melalui pengamatan indera kita pelajari, filsafatnya melalui analisa akal kita pelajari, tasawufnya melalui persepsi intuitifnya juga kita pelajari, dan wahyunya (dalam pandangan para filosof Muslim merupakan tingkatan tertinggi perolehan intuitif) melalui metode bayaninya kita pelajari. Sehingga di sini betul-betul terjadi integrasi.

Kebanyakan ketika kita bicara tentang integrasi ilmu, yang terpikir oleh kita adalah ilmunya, atau sains dari Barat, dan agamanya Islam, yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadis. Akibatnya, ketika kita integrasikan, yang terjadi adalah hasil-hasil sains itu kemudian diberi ayat, dilabelisasi. Setidaknya ada dua kelemahan yang sangat mendasar dari pelabelan seperti ini. Pertama, kita menganggap bahwa seakan-akan apa yang dihasilkan oleh sains Barat itu oke, dan ada kesan bahwa sains itu universal, tidak ada yang bertentangan dengan Islam, dan tugas kita hanya mencari ayat-ayat dan hadis-hadis untuk menguatkannya. Anggapan ini sesungguhnya melupakan fakta bahwa kadang-kadang hasil penelitian ilmiah Barat itu juga perlu diteliti, karena ternyata banyak yang merugikan dari sudut aqidah seperti yang telah kita singgung di atas. Kalau kita baca Darwin misalnya, di situ tidak ada dikatakan bahwa Tuhan adalah pencipta species-species. Karena yang bertanggungjawab terhadap munculnya species adalah hukum seleksi alam. Jadi Tuhan sama sekali dicoret dalam biologi. Jadi peng-ayatan sains itu berasal dari asumsi yang keliru bahwa sains itu mesti cocok, tidak ada problem, dan karena itu tinggal dicarikan ayat-ayatnya. Kedua, seakan-akan Islam tidak punya tradisi ilmiah, tidak punya sains. Jadi ketika mereka harus mengislamkan sains, mereka tidak punya perspektif, bagaimana harus menilai sains itu. Itu karena mereka telah lama meninggalkan tradisi ilmiah Islam. Mereka tidak pernah menduga bahwa di dalam Islam telah pernah ada zoologi psikologi, anatomi, botani dan sebagainya. Ini terutama terlihat dari para pembaharu yang biasanya agak melupakan tradisi ini. Ajakan mereka kembali ke Qur’an dan Hadis itu kemudian melupakan hasil ilmiah yang sedemikian panjang, dan kemudian karena tidak tahu seolah-olah tradisi itu tidak ada.

Hadirin yang terhormat.
Jadi pentingnya kajian ini adalah untuk melihat bahwa sebenarnya ada tradisi ilmiah dalam arti saintifik di dalam tradisi ilmiah Islam. Jadi kalau mau melihat sains, barangkali kita bisa melihatnya melalui perspektif tradisi ini. Bagaimana Ibn Sina, yang sekaligus ilmuwan, sekaligus juga religius melihat sains itu. Apa pandangan filosofisnya terhadap sains. Inilah yang seharusnya digali. Tapi karena mereka mengabaikan tradisi yang sudah berumur ribuan tahun itu, maka ketika mereka dihadapkan kepada sains mereka kemudian bingung. Satu-satunya yang ada di pikiran mereka adalah bagaimana memberikan ayat-ayat, pelabelan, justifikasi dengan asumnsi bahwa hasil sains Barat itu oke, tidak ada problem. Padahal orang Barat sendiri sudah mengeritik sains mereka dengan posmonya.

Contoh kecil bisa kita kemukakan di sini misalnya dalam bidang zoologi (ilmu hewan). Berbeda dengan zoologi di Barat yang hanya membatasi diri pada aspek fisiologi hewan, para ahli zoologi Muslim melebarkan penelitian mereka pada aspek-aspek lain seperti fisiologis, religius, eskatologis, farmakologis, etik, bahkan literature dan filosofis. Al-Jâhizh misalnya, telah meneliti dan mempelajari 350 hewan. Al-Jâhizh tidak hanya melakukan pendeskripsian dan pengklasifikaian hewan ke dalam empat kategori menurut cara mereka bergerak, tetapi juga banyak tertarik kepada psikologi hewan. Selain itu, Al-Jâhizh juga menjadikan zoologi sebagai sebuah cabang kajian agama, karena menurutnya tujuan mempelajari zoologi tidak lain daripada menunjukkan keberadaan Tuhan dan kebijaksanaan yang ada pada ciptaan-Nya. Sementara yang lain meneliti hewan dari persfektif moral. Kitab Kalîlah wa Dimnah misalnya, memperlihatkan bahwa penulisnya tidak hanya tertarik untuk belajar tentang hewan, tapi juga belajar dari hewan. Banyak pelajaran moral yang dapat kita petik dari kitab tersebut, yang merupakan cerita hewan (fable) yang menunjukkan berbagai karakter hewan serta akibat dari tingkah laku mereka.

Jadi dengan kembali pada tradisi ilmiah para ilmuwan Muslim ini, saya kira kita tidak akan terjatuh pada pelabelan atau justifikasi yang mungkin atau boleh jadi dipandang sinis oleh para ilmuwan Barat. Demikian juga, dengan kembali menengok tradisi ini, problem dikhotomi keilmuan juga setidaknya akan teratasi. Kita juga tidak perlu risau dengan kurangnya jam mata pelajaran agama di sekolah-sekolah, bahkan lebih dari itu, tidak perlu kiranya menambah jam pelajaran agama menjadi 4 jam pelajaran seperti yang belum lama ini terjadi. Karena kalau hal ini dipahami dengan baik oleh semua pendidik, maka otomatis mereka akan memberikan nuansa keagamaan terhadap mata pelajaran apapun yang dibinanya.

Hadirin yang terhormat.
Hierarki Kebahagiaan. Bersesuaian dengan sumber ilmu di atas, di dalam tradisi ilmiah Islam kita juga mengenal adanya hierarki kebahagiaan. Bagi para ilmuwan Muslim, alangkah malangnya kita, kalau yang kita kenal dan kita ketahui hanya kebahagiaan/kesenangan fisik. Kalau hanya kebahagiaan ini saja yang kita tahu, maka hidup kita tak ada bedanya dengan hewan-hewan. Bahkan kata al-Qur’an, lebih buruk dari hewan, karena kita punya potensi lebih dari yang dimiliki hewan, yaitu akal dan hati. Karena kebahagiaan fisik itu begitu terbatas. Kita hanya bisa merasakan nikmatnya makan kalau kita ada penyakit yang namanya lapar. Nikmatnya minum ketika ada penyakit yang namanya haus. Dan lain-lain. Hisyâm Kabbânî, seorang mursyid Tarekat Naqsyabandiyah, bercerita bahwa ketika ia menjalani latihan spiritual di bawah bimbingan gurunya, selama 6 bulan ia dilatih untuk makan hanya satu biji kurma setiap harinya. Coba kita renungkan, adakah orang-orang seperti Hisyâm Kabbânî ini akan cemas akan makan apa ia dalam hidup ini? Bukankah dengan sepuluh biji kurma saja ia sudah bisa makan sepuluh hari? Bagaimana dengan kita?

Yang lebih tinggi dari kebahagiaan ini adalah kebahagiaan intelektual. Kata Socrates, kebahagiaan intelektual itu adalah kebahagiaan tak terbatas, karena obyeknya juga tak terbatas. Akan tetapi, kata Ibn Hazm, ada lagi yang lebih tinggi dari hanya kebahagiaan intelektual yaitu kebahagiaan moral. Kebahagiaan moral itu adalah kalau kita dapat mengamalkan apa yang kita ketahui. Kalau kita mengetahui bahwa sedekah itu baik, maka alangkah bahagianya kalau kita bisa menjadi pemberi sedekah. Secara psikologis, pemberi pasti selalu merasa lebih bahagia daripada yang diberi. Yang lebih tinggi lagi, kata para sufi adalah kebahagiaan spiritual, yaitu ketika seorang dapat mencintai dan menyaksikan Tuhannya lebih nyata dari yang lain di balik setiap yang ada ini.

Diceritakan bahwa nama besar al-Râzî, teolog Muslim Sunni, telah menarik setiap ulama/orang untuk datang menghadiri ceramahnya ke kota manapun ia datang. Suatu saat ketika ia berada dan berpidato di Nishabur, ia mendapat laporan bahwa seorang alim tidak datang. Ketika al-Râzî berkunjung ke rumah orang tersebut, yang ternyata adalah adalah Najm al-Dîn Kubrâ, ia bertanya, “Mengapa Anda tidak datang menghadiri ceramahku, padahal ia menjelaskan hal yang sangat penting, seperti 1001 macam argumen adanya Tuhan.” Dalam jawabnya, Najm al-Dîn berkata, “1001 argumen hanya penting bagi mereka yang punya keraguan akan adanya Tuhan, sedangkan aku sendiri, bagaimana aku bisa ragu terhadap keberadaan Tuhan padahal kini aku sedang jatuh cinta pada-Nya.

Hadirin yang terhormat.
Potret Semangat Para Ilmuwan Muslim. Diceritakan bahwa Yaqut al-Hamawî sampai berguru dengan sungguh-sungguh kepada lebih dari 3000 orang guru. Al-Tabarî dikatakan, telah menulis sebanyak 40 halaman perhari selama 40 tahun. Dalam 6 bulan, Ibn Sina telah menulis sebuah kitab, yaitu al-Inshâf, yang di dalamnya didiskusikan kurang lebih 28.000 masalah filsafat. Ia juga telah menulis 270 buah buku. Al-Râzî mengarang buku sebanyak 200 buah. Ibn Hazm menulis 400 buku. Al-Suyûthî telah menulis 600 buku selama hidupnya. Dan banyak lagi penulis-penulis produktif lainnya seperti al-Ghazâlî, Ibn ‘Arabî, Jalaluddin Rûmî, Ibn Rusyd, Ibn Taimiyah, Ibn Qayyim al-Jawziyyah, dan lain-lain. Jangan dikira karena banyaknya jumlah karangan mereka, lalu kemudian mereka hanya menghasilkan karya yang tipis-tipis saja, tidak! Rata-rata buku yang ditulis ilmuwan Muslim juga sangat besar jumlah halamannya, yang menunjukkan intensitas minat dan stamina yang mereka miliki dan juga kompleksitas keilmuan yang mereka hadapi. Sebagai contoh, al-Qânûn fî al-Thibb karangan Ibn Sina edisi terakhir yang ada sekarang ini terdiri dari tiga jilid besar dengan masing-masing rata-rata lebih dari 500 halaman. Al-Hâwî yang dianggap sebagai buku induk kedokteran karya al-Râzî terdiri dari 20 jilid dengan masing-masing rata-rata 600 halaman.
Di dalam syair Jalaluddin Rumi diceritakan ada seorang Syekh dengan lentera di tangan. Orang-orang lalu bertanya, Ya Syekh, mencari apa kamu dengan lenteramu. Syekh tersebut menjawab, “Aku mencari orang, aku mencari manusia.” Dalam pikiran mereka (yang bertanya), apa kamu juga bukan manusia. Syekh itu melanjutkan, “Aku bosan dengan hewan-hewan. Aku bosan dengan dengan orang yang patah semangat.” Mereka lalu menimpali ucapan Syekh tadi katanya, “Ya Syekh, yang engkau cari telah kami cari, dia tidak ada di mana-mana.” Kata Syekh lagi, “Dia yang dicari oleh kamu yang tidak ada di mana-mana itulah yang aku cari.”

Hadirin yang terhormat.
Apresiasi Penguasa dan Masyarakat terhadap Ilmuwan dan Karyanya. Ibn Rusyd tidak akan dikenal terutama di Barat sebagai komentator Aristoteles kalau bukan karena penguasa Muwahhidun, Abû Ya’kub Yûsuf, yang memiliki ketetarikan kepada ilmu pengetahuan khususnya filsafat, yang memintanya untuk memberi komentar terhadap karya Aristoteles tersebut. Sebelumnya, Ibn Sînâ juga diminta penguasa Alâ’ al-Dawlah, penguasa Kakuyd di Isfahan untuk menulis sebuah karya filsafat untuknya, sehingga lahirlah karyanya Danish Nama-i Ala’i. Al-Azîz (975-996) membeli buku sejarah al-Thabarî dengan harga seratus dinar, hampir separuh dari budget perpustakaan pertahun. Karya Ibn Duraid di bidang leksikografi al-Jamhara dibeli dengan harga 60 dinar. Mahmûd al-Ghazna menghargai 60.000 keping emas terhadap karya Firdawsî, Shah Namah (buku tentang Raja-Raja Persia) yang berisi 60.000 ribu syair. Sementara karya Ibn Sîna, al-Syifâ dibeli oleh Muhammad Tughlûq, Sultan Delhi, seharga 200.000 mitsqal emas. Khalifah al-Ma’mûn, pendiri Bayt al-Hikmah, begitu besar perhatiannya terhadap ilmu, mengapresiasi karya-karya terjemahan dari Bahasa Yunani ke Bahasa Arab dengan membayar penerjemahnya dengan emas berbanding dengan berat buku terjemahan yang dihasilkannya. Demikian juga dalam seminar-seminar, sangat sering beliau dalam membuka suatu seminar, dia sendiri juga berpartisipasi aktif dan penuh dalam seminar tersebut sampai berakhir. Demikian juga dengan Raja Ja’far dari Sijistan.

Hadirin yang terhormat.
Perpustakaan. Begitu besar minat dan perhatian para ilmuwan, masyarakat, dan terlebih para penguasa terhadap ilmu, juga dapat dilihat dari besar dan banyaknya koleksi buku yang ada di perpustakaan mereka. Bayt al-Hikmah, di samping sebagai sebuah akademi, ia juga berfungsi sebagai perpustakaan di mana ribuan atau bahkan ratusan ribu jilid buku langka dan berharga disimpan dan dikaji dengan seksama. Dâr al-Hikmah yang didirikan oleh al-Hakîm di Mesir memuat tidak kurang dari 100.000 volume atau sekitar 600.000 jilid buku. Observatorium Maraghah memiliki sekitar 400.000 jilid. Perpustakaan Fadhliyyah yang didirikan oleh Salâhuddîn al-Ayyûbî memiliki 120.000 volume. Bandingkan misalnya dengan perpustakaan di Eropa. Universitas Paris pada abad XIV hanya memiliki 2000 manuskrip. Perpustakaan Vatikan pada abad XV memiliki 2.257 buah. Demikian juga dibanding dengan China, perpustakaan Peking yang mewarisi buku-buku dari Dinasti Chin, Sun dan Yuan, pada tahun 1441 hanya memiliki koleksi buku sebanyak 7.350 buah.

Demikian orasi ini, semoga ada manfaatnya bagi kita semua, wa Allâh al-musta‘ân, wassalâmu alaikum warahmatullâh wabarakâtuh.