Oleh: Herry Mardian
"Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat," sabda Rasulullah SAW, yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Ahmad. Shallu kama ro'aytumuni ushalli.
"Sebagaimana 'melihat aku'," sabda Beliau. Beliau tidak mengatakan "shalatlah sebagaimana shalatku”. Tentu saja. Siapa yang bisa meniru batinnya shalat Rasulullah?
Kita hanya bisa meniru bentuk luar. Kita hanya bisa melihat bentuk lahiriah. Itu yang akhirnya kita tiru. Dengan kata lain, kita meng-imitasi bentuk-bentuk ibadah.
Tapi, jangan bermimpi bahwa dengan meniru sesempurna mungkin, maka kualitas ibadah kita juga sudah sama seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW. Tidak. Ada sisi batin yang tak terlihat, yang tak tertuliskan.
Itulah sebabnya kita tidak bisa mengklaim hanya kita yang benar, dan menyalahkan yang tidak sama dengan kita.
Meng-imitasi sisi lahiriah agama, tidak dengan sendirinya menjadikan kita utuh agamanya. Hafal segala macam dalil dan hadis adalah satu hal. Menyamakan diri dengan sunnah adalah satu hal. Tapi, menyempurnakan sisi batin dalam beragama, ini adalah hal yang lain lagi.
Betapa banyak orang yang sisi lahiriah agamanya tampak sempurna, namun sungguh tidak terasa menyegarkan jika kita berada di dekat mereka. Bahkan, kehadirannya membuat kita merasa asing, alih-alih merasa segar.
Sisi batin agama ini yang perlu dipelajari. Inilah yang disebut sisi 'Ihsan' dalam agama Islam. Jika sisi lahiriyah dibahas dalam cabang ilmu Fiqh, sisi batin ini dibahas dalam cabang ilmu tasawuf. Fiqh menata jasadnya ibadah, dan tasawuf menata jiwanya ibadah. Kedua-duanya satu kesatuan, tidak bisa dipisahkan.
Sulit? Iya. Kualitas batin memang sulit dijangkau secara sempurna. Tapi, mau tidak mau, harus dimulai. Akui saja jika agama kita hari ini masih banyak 'imitasi' saja. Tidak apa. Mengakui hal ini adalah bagian dari proses.
Rabiah Al-Adawiyah kerap berdoa, "Ya Allah, jadikanlah apa yang palsu dariku menjadi yang sungguh-sungguh."
Maksudnya, ibadah dan pengabdian yang 'imitasi' tadi, yang sekedar tiru-tiru, semoga Allah berkenan menyempurnakannya menjadi pengabdian yang sejati, yang sungguh-sungguh.
Nah. Kira-kira, itulah bedanya antara amal baik dan amal shalih.
Semoga Allah berkenan mentransformasi amal-amal yang baik dari kita, diubah-Nya menjadi amal-amal yang shalih. []
"Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat," sabda Rasulullah SAW, yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Ahmad. Shallu kama ro'aytumuni ushalli.
"Sebagaimana 'melihat aku'," sabda Beliau. Beliau tidak mengatakan "shalatlah sebagaimana shalatku”. Tentu saja. Siapa yang bisa meniru batinnya shalat Rasulullah?
Kita hanya bisa meniru bentuk luar. Kita hanya bisa melihat bentuk lahiriah. Itu yang akhirnya kita tiru. Dengan kata lain, kita meng-imitasi bentuk-bentuk ibadah.
Tapi, jangan bermimpi bahwa dengan meniru sesempurna mungkin, maka kualitas ibadah kita juga sudah sama seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW. Tidak. Ada sisi batin yang tak terlihat, yang tak tertuliskan.
Itulah sebabnya kita tidak bisa mengklaim hanya kita yang benar, dan menyalahkan yang tidak sama dengan kita.
Meng-imitasi sisi lahiriah agama, tidak dengan sendirinya menjadikan kita utuh agamanya. Hafal segala macam dalil dan hadis adalah satu hal. Menyamakan diri dengan sunnah adalah satu hal. Tapi, menyempurnakan sisi batin dalam beragama, ini adalah hal yang lain lagi.
Betapa banyak orang yang sisi lahiriah agamanya tampak sempurna, namun sungguh tidak terasa menyegarkan jika kita berada di dekat mereka. Bahkan, kehadirannya membuat kita merasa asing, alih-alih merasa segar.
Sisi batin agama ini yang perlu dipelajari. Inilah yang disebut sisi 'Ihsan' dalam agama Islam. Jika sisi lahiriyah dibahas dalam cabang ilmu Fiqh, sisi batin ini dibahas dalam cabang ilmu tasawuf. Fiqh menata jasadnya ibadah, dan tasawuf menata jiwanya ibadah. Kedua-duanya satu kesatuan, tidak bisa dipisahkan.
Sulit? Iya. Kualitas batin memang sulit dijangkau secara sempurna. Tapi, mau tidak mau, harus dimulai. Akui saja jika agama kita hari ini masih banyak 'imitasi' saja. Tidak apa. Mengakui hal ini adalah bagian dari proses.
Rabiah Al-Adawiyah kerap berdoa, "Ya Allah, jadikanlah apa yang palsu dariku menjadi yang sungguh-sungguh."
Maksudnya, ibadah dan pengabdian yang 'imitasi' tadi, yang sekedar tiru-tiru, semoga Allah berkenan menyempurnakannya menjadi pengabdian yang sejati, yang sungguh-sungguh.
Nah. Kira-kira, itulah bedanya antara amal baik dan amal shalih.
Semoga Allah berkenan mentransformasi amal-amal yang baik dari kita, diubah-Nya menjadi amal-amal yang shalih. []