Lentera Kehidupan

Review buku Lentera Kehidupan

Oleh: Zaprulkhan - di fb al mizan

Bagaimanakah membuktikan eksistensi Tuhan? Apakah mungkin kita mengetahui Tuhan, padahal kita terbatas, sedangkan Tuhan tak terbatas? Bagaimana hukum alam dalam pandangan Islam, dan apakah alam tergantung pada Tuhan? Mengapa manusia disebut sebagai makhluk Teomorfis dan alam kecil (al-‘alam al-shaghir)? Bagaimana makna kebebasan manusia? Apakah manusia bisa memilih takdirnya? Bagaimana makna manusia sebagai makhluk moral yang memiliki kebebasan ketika berhubungan dengan perintah dan larangan Tuhan?

Secara global, setidaknya itulah sebagian kecil dari pertanyaan-pertanyaan yang dieksplorasi dan dicarikan jawabannya dengan arif bijaksana oleh Prof. Mulyadhi Kartanegara dalam karya terbarunya Lentera Kehidupan. Dan masih ada beberapa pertanyaan kritis lainnya sebagai titik berangkat eksplorasi yang dilakukan Beliau dalam karya cemerlangnya ini.

Saya merampungkan membaca buku Lentera Kehidupan karya Prof. Mulyadhi ini ketika mudik Idul Fitri 2017. Seperti biasa, buku-buku yang saya baca, pasti saya tandai dan catat poin-poin pentingnya yang menurut saya menarik,. Sebagaimana karya-karya Beliau lainnya, buku Lentera Kehidupan ini amat mencerahkan sekaligus menggairahkan nalar saya. Buku ini membahas tiga tema besar yaitu Tuhan, alam, dan manusia. Beliau menulis karya tersebut dengan menjawab sejumlah pertanyaan terhadap tiga tema besar tersebut.

Yang menarik, Prof. Mulyadhi menggunakan pendekatan multidisipliner dari berbagai disiplin ilmu, seperti teologi, falsafah, tasawuf, tafsir-hadis, serta disiplin-disiplin dalam tradisi ilmiah Barat seperti fisika, kimia, astrofisika, biologi, dan psikologi. Semua pendekatan ini digunakan agar menghasilkan kajian yang komprehensif, terpadu dan holistik, sehingga tergambar sebuah pandangan dunia yang komplit berkenaan dengan Tuhan, alam, dan manusia. Lebih jauh, Beliau juga menggunakan metode burhani (demonstratif) dengan cara membangun argumen-argumen yang logis dan rasional untuk semua isu yang dikaji dalam karya ini (Lentera Kehidupan, hlm: xxii).

Di sini kita bisa melihat bagaimana luasnya wawasan keilmuan yang dimiliki oleh cendekiawan musllim Indonesia yang sangat menguasai sekaligus begitu concern terhadap khazanah filsafat Islam secara total ini. Mari kita lihat sekilas ketiga tema besar tersebut satu persatu. Mengenai eksistensi Tuhan, karya ini membahasnya melalui perspektif argumentasi kosmologis, ontologis, dan teleologis dengan menyuguhkan pandangan-pandangan filsuf Muslim, seperti Abu Sulaiman al-Sijistani, Al-Kindi, Ibn Sina, Mulla Shadra, dan Ibn Rusyd, selain pandangan para filsuf Barat.

Buku ini juga menguraikan konsep tanzih (transendensi) dan tasybih (imanensi) Tuhan yang idealnya tidak boleh dipisahkan dalam mengkonstruksi konsep ketuhanan.

Yang amat menarik bagi saya, ketika membahas tentang tauhid, Prof. Mulyadhi bukan hanya membahas tauhid uluhiyyah dan tauhid rububiyyah yang sudah populer, tapi juga tauhid wujudiyyah yang kurang populer. Tauhid wujudiyyah disoroti melalui dua pandangan filsuf besar Muslim: Ibn Arabi dan Mulla Shadra. Bagi Ibn Arabi, hakikat wujud yang sesungguhnya hanyalah satu yaitu Allah swt, sedangkan yang lain hanya manifestasi dari bayangan-Nya. “Wajah itu satu, tetapi cerminnya seribu” demikian ikrar Ibn Arabi. Prof. Mulyadhi menjelaskan metafora analogi ini dengan indah:

“Untuk memahaminya, mungkin kita harus membandingkannya dengan diri kita. Ketika kita masuk ke sebuah ruangan yang terpasang cermin dari segala arah, maka akan tampaklah wajah kita dalam bayangan yang bermacam-macam. Kalau terpasang cermin 10 buah, maka wajah kita akan berjumlah 10 dengan penampakkan yang mungkin berbeda-beda, karena perbedaan sudut pandanganya. Pertanyaannya adalah, dengan 10 wajah yang berbeda-beda itu, apakah kemudian kita katakan bahwa wajah kita menjadi 11? (10 bayangan wajah dan 1 wajah aslinya). Tentu saja tidak! Wajah kita tetap satu, sebab yang lainnya hanyalah bayangan, sedangkan bayangan hanyalah wujud yang palsu, yakni bukan hanya dalam arti yang sesungguhnya, sekalipun kita dapat melihatnya sendiri dengan mata kepala. Nah, berbeda dengan pandangan umum seperti kita, menurut Ibn ‘Arabi segala yang ada di dunia ini tak lain daripada bayangan wajah Tuhan dalam cermin. Dan betapapun nyatanya di depan mata kita, mereka tak lain daripada bayangan yang terdapat dalam seribu cermin. Dan betapapun jelas dan banyaknya, bayangan tetapkah bayangan, tidak pernah menjadi betul-betul ada. Keberadaan mereka, seperti juga keberadaan bayangan yang lainnya, bersifat majas, semu, maya” (Lentera Kehidupan, hlm: 40).

Namun agar jangan salah paham, di sini perlu ditegaskan bahwa eksistensi segala sesuatu selain Allah, tetap memiliki aktualitasnya sesuai dengan kapasitanya masing-masing.

Sedangkan mengenai tauhid wujudiyyah Mulla Shadra, Prof. Mulyadhi mengeksplorasi prinsip filosofis Shadra yaitu ishalat al-wujud (keutamaan eksistensi/wujud) yang dikaitkan dengan tasykik al-wujud (gradasi wujud) dan al-harakat al-jauhariyyah (gerak trans-substansial). Hakikat wujud adalah satu yakni wujud Tuhan itu sendiri. Namun dari segi esensinya, wujud menjelma beraneka. Karena itu, “wujud adalah satu ketika dilihat dari sudut kewujudannya, namun ia banyak ketika dilihat dari esensinya.” Inilah yang disebut juga tasykik al-wujud. Konsep tasykik al-wujud ini selanjutnya dikaitkan dengan konsep gerak trans-substansial yakni proses perubahan wujud tidak hanya berlaku pada level aksidental, tapi juga substansial.

Pada titik ini, saya tidak mampu menguraikannya seindah uraian Beliau:

“Perubahan trans-substansial ini terjadi dengan menambahan kualitas pada setiap tahapnya tanpa meninggalkan kualitas sebelumnya, dan ini dijelaskan dengan konsep “labas ba’da labas” (baju di atas baju). Misalnya ketika substansi mineral berubah menjadi tumbuhan, maka kualitas tumbuhan, yang merupakan kecakapan yang baru, ditambahkan pada kualitas mineral yang dimiliki sebelumnya, seolah-olah tumbuhan mengenakan baju baru di atas baju lama mineral. Demikian juga, ketika ia mencapai tingkat hewan, maka kualitas yang ada pada hewan, yakni kecakapan mengindra dan bergerak, ditambahkan pada kualitas-kualitas yang dimiliki sebelumnya oleh tumbuhan, seperti baju baru yang dikenakan oleh hewan tanpa mencampakkan baju-naju sebelumnya, yakni baju mineral dan tumbuhan. Lebih hebat lagi, ketika evolusi mencapai tingkat manusia, maka ia mengenakan baju baru di atas baju-baju lamanya: mineral, tumbuhan dan hewan. Sehingga berakumulasilah segala kualitas atau kecakapan wujud-wujud lain pada diri manusia (Lentera Kehidupan, hlm: 47).

Di sini, saya harus mengakui kepiawaian filsuf Muslim kebanggaan kita ini (baca: filsuf Muslim Indonesia). Sudah bukan rahasia lagi, konsep-konsep filosofis fundamental Shadra, seperti ishalat al-wujud, tasykik al-wujud, dan al-harakat al-jauhariyyah merupakan wacana yang sangat kompleks dan sulit dipahami. Kalau kita baca analisis-analisis dari pakar tentang pemikiran Shadra, seperi Hossein Ziai, Hossein Nasr, atau juga kajian Fazlur Rahman misalnya, kita akan menemukan pembahasan yang cukup rumit, dengan tahapan-tahapan argumentasi filosofis yang membuat kening berkerut. Tapi di tangan filsuf kita ini, konsep-konsep Shadra: Asholah al-wujud, tasykik al-wujud, dan al-harakat al-jauhariyyah dapat diuraikan dengan bahasa dan contoh-contoh sederhana yang membuat kita mudah memahaminya, tanpa kehilangan bobot substansinya. Inilah salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh Prof. Mulyadhi dengan semua karya-karyanya.

Sekarang mari kita masuk pada bagian kedua tentang alam. Apakah yang dimaksud dengan alam dalam pandangan Islam? Dalam Islam, alam bisa dipahami sebagai “segala sesuatu selain Tuhan”. Dengan pengertian ini, alam meliputi bukan saja alam fisik yang bisa kita lihat, tetapi juga alam-alam lain atau dunia-dunia lain yang ada di balik dunia yang tampak pada indra kita. Itu sebabnya Al-Qur’an memakai istilah “al-‘Alamin” yaitu seluruh alam, ketika merujuk kepada Tuhan, sebagai Tuhan seluruh alam (Rabb al-‘Alamin) (Lentera Kehidupan, hlm: 61-62)

Karena itu, dalam pandangan filsuf muslim, alam semesta yang telah digambarkan sejauh ini oleh sains modern hanya merupakan satu tataran atau lapis alam saja, yaitu alam fisik, yang mereka sebuat “’alam al-muluk”, yakni alamnya para raja, alam dunia ini. Sedangkan di balik alam fisik ini, terdapat alam yang lebih luas lagi yang oleh para sufi dan juga para filsuf muslim tertentu disebut alam imajinal (‘alam al-mitsal), yang berada antara alam dunia (fisik), di bawahnya, dan alam rohani, yang mereka sebut ‘alam al-jabarut, di atasnya. Sebenarnya, di atas alam jabarut ini masih terdapat lagi alam-alam yang lebih tinggi, yakni “lahut” atau alam Ilahi, dan “hahut”, yakni alam dari esensi Tuhan (Lentera Kehidupan, hlm: 63).

Uniknya, struktur tiga level tentang alam tersebut hanya salah satu model struktur kosmologis yang pernah dikembangkan oleh para filsuf dan kaum sufi. Jadi masih ada model-model lainnya yang begitu kaya. Ketika berbicara tentang alam, biasanya sebagian kita hanya terfokus pada alam fisikal semata dan melupakan eksistensi alamul mitsal dan jabarut, sebagai eksistensi spiritual. Tapi dalam kajian para filsuf muslim, eksistensi alam spiritual tersebut tidak boleh dilupakan.

Yang cukup menarik juga adalah pembahasan alam sebagai tanda dan sebagai manifestasi. Sebagai tanda, alam menunjukkan bagi adanya Zat Yang Maha Agung di balik setiap fenomena alam semesta. Ketika melihat alam fisik sebagai tanda, kita harus menyingkap makna berupa realitas metafisik di baliknya. Meminjam analogi ilustratif Naquib al-Atlas: Jika hanya berkutat pada objek fisik tanpa mengaitkannya dengan realitas metafisik, berarti pengetahuan itu tidak mencapai tujuan utamanya, sebagaimana seseorang hanya mengkaji kata dan berbagai kaitannya dengan kata yang lain tanpa beranjak lebih lanjut untuk menyingkap makna yang dikandungnya, padahal makna itulah yang merupakan tujuan kehadiran kata. Dalam analogi yang lain Al-Attas menyebut orang yang hanya mengkaji alam fisik tanpa mengaitkannya dengan realitas metafisik seperti orang yang terpesona dengan petunjuk arah atau rambu dalam suatu jalan tapi tidak menangkap maknanya untuk melanjutkan perjalanan. Dengan demikian, pengetahuannya tidak mencapai tujuan hakiki. Bahkan jika mengklaim realitas fisik sebagai satu-satunya realitas dan mengingkari realitas metafisik, berarti ia telah tersesat dan tidak mencapai kebenaran.

Sementara itu, berbeda dengan alam sebagai tanda, di mana Tuhan seolah “berada” di luar atau di atas alam, menurut Prof. Mulyadhi, alam sebagai manifestasi Tuhan menunjukkan bahwa alam adalah tempat bermanifestasi atau menggunakan istilah Abdul Karim al-Jili, sebagai Mazhhar Tajali Tuhan, baik dari sudut nama-nama (asma) maupun tindakan-tindakan-Nya (af’al). Meminjam ilustrasi Said Nursi: dalam setiap makhluk ciptaan Allah terefleksi Asma-Asma-Nya secara indah, faktual, dan komprehensif. Ketika kita memandang wajah-wajah yang cantik jelita dan tampan menawan; saat kita menatap taman bunga yang indah mempesona dan sewaktu kita menyaksikan panorama alam semesta, bintang gemintang, rembulan dan matahari yang bertebaran di lengkungan cakrawala yang menakjubkan, maka di sana kita akan melihat dimensi Al-Jamil, Tuhan Yang Maha Indah. Tatkala cahaya matahari menyinari wajah bumi dan air hujan yang membasahi daratannya yang kering sehingga tumbuh-tumbuhan dan pepohonan menjadi hidup dan lebat berbuah, serta manusia dan hewan menjadi bergairah menjalani kehidupan, maka di situ kita bertemu dengan Ar-Rahman, Tuhan Yang Maha Pemurah. Dan sewaktu kita menyaksikan wajah kematian merengkuh teman, saudara dan orang-orang yang kita cintai satu persatu, di situ kita akan mengetahui Al-Hayyu, Allah Yang Maha Hidup Lagi Maha Abadi.

Terakhir, wacana tentang manusia. Mengenai manusia, saya hanya akan menurunkan pembahasan tentang manusia dan kebebasannya yang berhubungan dengan persoalan takdir. Dalam perspektif Prof. Mulyadhi, takdir dalam bahasa Arab artinya “takaran” atau “ukuran”. Kalau dikatakan bahwa apapun yang terjadi di alam sesuai dengan takdir, itu berarti bahwa alam berjalan sesuai dengan “ukuran”, “takaran”, atau “rule” tertentu yang tidak berubah. Sebagai makhluk fisik, manusia harus tunduk kepada takdir fisiknya. Namun, sebagai makhluk spiritual, ia memiliki takdir atau takarannya sendiri yang mungkin berbeda dengan takdir fisik (Lentera Kehidupan, hlm: 196).

Mengenai wacana takdir, Prof. Mulyadhi mengeksplorasi pandangan pujangga besar sufi, Maulana Jalaluddin Rumi. Takdir yang mengatur kehidupan spiritual dan moral manusia oleh Maulana Rumi disebut “hukum kehidupan”. “Takdir”, katanya, “semacam hukum kehidupan, dan hukum kehidupan mengatakan, ‘Kalau Anda mencuri, maka Anda dan masyarakat Anda akan mendapat konsekuensinya, dan kalau Anda berbuat baik, maka Anda akan menerima konsekuensi tertentu juga’. Rumus takdir sebagai hukum kehidupan adalah bahwa apapun yang kita lakukan akan mendatangkan akibat atau konsekuensi yang sepadan dengannya”, karena setiap perbuatan memiliki konsekuensinya sendiri (Lentera Kehidupan, hlm: 196).

Bagi Maulana Rumi, amanah yang diberikan oleh Allah kepada manusia (QS. Al-Ahzab: 72) tidak lain daripada “kebebasan memilih” sebagai hadiah terbesar yang pernah diterima oleh manusia dari Tuhannya. Berhubungan dengan kebebasan memilih ini, Maulana Rumi mengajukan pertanyaan-pertanyaan kontemplatif: “Kalau manusia tidak memiliki kebebasan memilih (ikhtiyar) dan semua perbuatan telah ditentukan sebelumnya oleh Tuhan, mengapakah kalian marah ketika seseorang melakukan kejahatan kepada kalian?”

Mengapa? Jawabannya adalah karena kita yakin bahwa orang tersebut bisa melakukan pekerjaan lain yang terpuji. Dengan kata lain, ia memiliki kemampuan untuk memilih pekerjaan lain yang lebih terhormat.

“Selain itu, kata Rumi lagi, “kalau manusia begitu tidak berdaya untuk memilih perbuatannnya kecuali yang telah ditentukan Tuhan sebelumnya, mengapa manusia harus merasa bersalah atau malu ketika ia melakukan dosa atau kesalahan?” Jawabannya lagi-lagi, adalah karena dalam hati, kita yakin bahwa dosa yang kita lakukan itu adalah hasil pilihan sadar kita, tetapi kita tak mampu menolaknya sehingga timbullah rasa bersalah tersebut.

Tambahan lagi, “kalau semua perbuatan manusia sudah ditentukan sebelumnya oleh Tuhan dan kita sama sekali tidak mempunyai daya atau kekuatan untuk memilih tindakan kita, mengapa Al-Qur’an banyak mengandung perintah dan larangan kepada manusia?” Lagi-lagi jawabannya adalah karena manusia, sebagai makhluk moral, memiliki kebebasan dan harus bertanggung jawab atas pilihannya tersebut (Lentera Kehidupan, hlm: 198).

Tidak hanya berhenti di sini, Prof. Mulyadhi juga membahas wacana takdir manusia yang sangat populer yaitu tentang jodohnya, rezekinya, dan ajalnya. Lagi-lagi Beliau membahasnya secara filosofis-rasional dengan pemaknaan baru yang mencerahkan secara positif-optimistik, bukan negatif-pesimistik. Itulah segelintir wacana tentang Tuhan, alam, dan manusia yang dielaborasi dalam karya brilian: Lentera Kehidupan. Sungguh, sebuah karya yang sangat layak kita nikmati; sangat pantas kita apresiasi. Dan masih banyak lagi wacana-wacana lain yang dibahas dengan perspektif yang mampu membuka sekaligus memperkaya cakrawala siapapun yang menyimaknya.

Sampai di sini, dalam pembacaan saya terhadap sebagian karya-karya Prof. Mulyadhi ,seperti Mozaik Khazanah Islam (Tahun 2000), Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam (2003), Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam (2005), Integrasi Ilmu (2005), Menyelami Lubuk Tasawuf (2006), Nalar Religius (2007), dan Mengislamkan Nalar (2007), nyaris semuanya menyuguhkan perspektif yang mencerahkan nalar kita. Saya melihat, beliau bukan hanya menguasai khazanah pemikiran klasik sekaligus kontemporer dalam Islam dan Barat secara orisinal, tapi juga menguasai metodologi kelimuan secara established.

Itulah alasannya mengapa beliau begitu fasih membahasakan diskursus-diskursus keilmuan era klasik dan kontemporer yang kompleks dengan bahasa yang ringan secara kontekstual, sehingga tetap mampu menemukan aktualitasnya dengan kebutuhan masyarakat kontemporer hari ini. Ketika membaca karya-karya beliau, hanya dalam 3 sampai 5 halaman saja, kita sudah get something new and fresh, get something enlightening, inspiring, dan transforming our thoughts.

Kalau kita melakukan komparasi dengan cendekiawan Muslim tersohor dalam jagad keilmuan bangsa kita misalnya, saya kira maqam keilmuan filsuf kita ini sejajar levelnya dengan Cak Nur (Nurcholish Madjid), Quraish Shihab, Kang Jalal (Jalaluddin Rakhmat), Kuntowijoyo, dan Amin Abdullah untuk menyebut beberapa nama; meskipun dengan keunikan kompetensinya masing-masing. Sebagaimana karya-karya Cak Nur, Quraish Shihab, Kang Jalal, Kuntowijoyo, dan Amin Abdullah, ketika membaca karya-karya filsuf kita ini, semuanya mampu menyuntikkan gairah keilmuan dalam dada kita; Ilmu menjelma indah di mata kita.

Akhirnya, terima kasih atas karya yang inspiring ini; Bravo dan saya tunggu karya-karya brilian Prof. Mulyadhi Kartanegara selanjutnya.

::

Review buku Lentera Kehidupan

Oleh: M Husnaini

Sudah lama saya mengintip buku ini. Sejak masih berupa draf dan sering diunggah penulisnya di Facebook, saya sudah berniat membelinya. Saya menyukai karya-karya Profesor Mulyadhi Kartanegara. Pemikiran-pemikiran pakar filsafat dan tasawuf ini mengagumkan, namun selalu dikemas dengan bahasa yang mudah dipahami. Membaca buku Prof Mulyadhi, seberat apa pun masalah yang dikupas, seperti mengalir begitu saja, dan tahu-tahu khatam.

Demikian pula buku berjudul “Lentera Kehidupan” ini. Menurut saya, buku ini berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan penting dan filosofis seputar Tuhan, alam, dan manusia. Argumen-argumen yang dikemukakan Prof Mulyadhi sulit dibantah, karena menggunakan berbagai pendekatan disertai bukti-bukti yang kuat.

Pertanyaan tentang apakah Tuhan itu ada dan bagaimana membuktikannya, padahal kita tidak pernah dapat melihat-Nya, dijawab Prof Mulyadhi dengan tiga argumen, yaitu argumen kosmologis, argumen ontologis, dan argumen teleologis. Berikutnya, tentang tauhid. Berbeda dengan pembagian tauhid yang selama ini kita kenal, Prof Mulyadhi membagi tauhid menjadi tiga kategori, yaitu tauhid uluhiyah, tauhid rububiyah, dan tauhid wujudiyah.

Dua tauhid pertama dan kedua, pasti kita sudah banyak tahu. Tetapi, untuk memahami apa yang dimaksud dengan tauhid wujudiyah, juga berbagai versinya, silakan membuka halaman 38-47 dari buku kece ini.

Yang menarik pula dari buku ini, Prof Muyadhi tidak sekadar menuangkan berbagai pendapat pakar. Lebih dari itu, Prof Mulyadhi kerap melakukan kompromi dari dua, bahkan beberapa, pendapat yang berseberangan. Dalam konteks ini, Prof Mulyadhi telah menjadi—meminjam istilah fikih—mujtahid mutlak atas masalah-masalah kontroversial yang sedang dibahas.

Contoh yang bisa disebut, misalnya, tentang transendensi dan imanensi Tuhan. Transendensi mengatakan bahwa Tuhan melampaui batas-batas dunia fisik dan bersifat metafisik, sehingga tidak tampak pada indra manusia. Sementara itu, imanensi memahami Tuhan sebagai amat dekat. Tuhan, menurut pandangan imanensi, tidak dipandang sebagai sesuatu yang berada di luar diri, tetapi justru berada di lubuk hati manusia yang terdalam.

Pandangan imanensi itulah yang kemudian menyebabkan Al-Hallaj mengatakan, “Akulah Kebenaran (Tuhan)” dan Abu Yazid Al-Busthami menyatakan, “Mahasuci Aku”. Tentu saja, ungkapan tersebut dipandang menyimpang, dan kedua tokoh sufi itu dihukum bunuh. Namun, Prof Mulyadhi berhasil melakukan pendekatan antara transendensi dan imanensi dengan menggunakan surah As-Sajdah/32: 4-5. Prof Mulyadhi, dengan demikian, telah bertindak sebagai mufasir, sebagaimana dapat kita baca penjelasannya secara rinci dalam halaman 55-56.

Kemudian, dalam bab “Alam”, uraian Prof Mulyadhi juga sangat mengagumkan. Berbicara tentang teori penciptaan alam, misalnya, Prof Mulyadhi membeberkan teori-teori ilmuwan muslim tanpa terjebak pada pemahaman yang cenderung sempit, literal, dan simplistis. Sebagai ilmuwan muslim, Prof Mulyadhi juga piawai menjelaskan fenomena alam dengan mengambil hujah dari sumber-sumber non-Islam, dari era klasih hingga modern.

Pemaparan tentang dependensi dan otonomi alam lebih keren lagi. Dari halaman 107-130, Prof Mulyadhi berlompatan di atas teori-teori seputar ketergantungan dan kemandirian alam terhadap Tuhan. Berpijak pada berbagai pendapat dari ilmuwan muslim dan ilmuwan non-muslim yang semuanya berat, Prof Mulyadhi mampu menyajikannya secara mudah dimengerti.

Sementara dalam bab “Manusia”, pembahasan sangat menarik, bagi saya, adalah tentang takdir. Berbekal pandangan Jalaluddin Rumi tentang amanah, Prof Mulyadhi telah membawa pembaca keluar dari perdebatan klasik soal takdir yang selama ini melahirkan dua kutub ekstrem, yaitu aliran Jabariah dan aliran Qadariah.

Belum lagi tafsir dinamis Prof Mulyadhi atas hadis Rasulullah yang berbicara tentang rezeki, ajal, dan jodoh. Apakah rezeki manusia sudah ditentukan Allah, bagaimana Allah menakdirkan ajal dan jodoh manusia, kemudian di mana posisi kebebasan manusia sebagai makhluk berdaya dan berakal, kita dapat membaca penjelasan gamblang itu di halaman 194-206.

Bagaimana memahami takdir rezeki, dan apakah orang yang mati bunuh diri itu memang ditentukan ajalnya oleh Tuhan untuk meninggal secara demikian? Pun, benarkah jodoh telah ditentukan, dan bagaimana pula memahami pasangan yang menikah kemudian beberapa waktu setelah itu bercerai? Ketiga perkara sensitif itu diulas secara bagus dan rasional.

Satu lagi. Kenapa manusia disebut “alam kecil” dan alam disebut “manusia besar” juga menarik disimak.

Buku setebal 296 ini benar-benar bagus dan wajib dibaca. Jika Anda termasuk orang sibuk dan tidak sempat membaca buku ini secara keseluruhan, silakan langsung menuju “Epilog”. Di situ, disarikan intisari buku dari bab ke bab. Dengan membaca “Epilog”, insya Allah Anda terbantu memahami isi buku secara utuh. Selamat membaca.