Sekumpulan Tulisan dengan Banyak Sekali “Barangkali” *

Oleh: Haidar Bagir

(Tulisan ini adalah Kata Pengantar untuk Catatan Pinggir karya Goenawan Mohamad)

Kala cahaya malam/mencakung ke /setempat hutan kayu itu/mengguyurkan kilau keemasan atas batang-batang pohon…/Melantun dan berfikir adalah dahan yang bersambung pada puisi/Mereka mengecambah dari Ada dan menyelam ke lubuk kebenarannya/Kekariban mereka memaksa kita berfikir pasal apa yang/ditembangkan Holderlin ihwal pepohonan hutan kayu :/”Dan satu sama lain tinggal tak saling kenal, selama mereka tegak berdiri, batang-batang yang berjajar-rapat itu”/Hutan menebar/Anak sungai tercebur/Bebatuan mengokoh/Embun buyar/Padang rumput menanti/Mata air menyumur/Angin diam/Berkah tercenung.

(Heidegger dalam “The Thinker as Poet”, terjemahan oleh penulis pengantar ini)

Sudah galib penyair memujikan puisi. Tapi, filosof yang habis-habisan menentang filsafat, dan sebagai gantinya memuja puisi, hanyalah sang pemikir – atau, meminjam Franki Budi Hardiman, sang Pelihat dari Messkirch. Heidegger.

Meski tak sampai sepakat untuk menyatakan, sebagaimana sebagian penulis, bahwa puisi adalah sesubyektif “suatu regresi demi melayani ego”, bahkan penyair sendiri tak akan terlalu jauh percaya bahwa puisinya adalah medium untuk menyampaikan kebenaran per se, apalagi sang kebenaran (the truth). Bagi banyak orang, para penyair sekalipun, kebenaran puisi bersifat personal. Atau, kalaupun ia bisa menyentuh orang banyak, maka kebenaran yang ditangkap itu bersifat multitafsir. Seperti kata David Fontana, puisi memang bukan dimaksudkan untuk menyampaikan kepada kita uraian-persis tentang kejadian-kejadian, melainkan untuk mengungkapkan sesuatu dari perasaan-perasaan dan emosi-emosi yang melahirkan atau disodorkan oleh kejadian-kejadian itu. Kita bisa mengidentifikasikan diri dengan sang penyair karena dia mendeskripsikan sesuatu yang beresonansi dengan keadaan pikiran kita. Maka pesan yang dikandung dalam puisi bisa dibilang “benar” dalam arti manusiawi, bukan sebagai representasi kebenaran dokumenter. Puisi bermakna bagi pembacanya, bukan terutama karena menyampaikan sesuatu yang baru, melainkan karena – betapa pun merupakan ungkapan batin si penyair -- ia membantu mengorak justru bagian dari kehidupan pembaca yang selama ini terselubungi dari dirinya sendiri, semacam – kembali kepada Heidegger --aleithea. Tentu seringkali ditambah keindahan meramu dan mengolah kata, kalimat, dan bait-bait.

Puisi memang bukan filsafat, apalagi sains yang serba eksak. Tapi bukan Heidegger jika ia tak kontroversial. Ia hendak mendesakkan puisi sebagai pengganti filsafat. Bagi Heidegger, sudah waktunya filsafat dan metafisika – yang bersifat analitis-proposisional dan second hand -- digantikan oleh suatu bentuk pencarian kebenaran yang bersifat eksperiensial : dialami langsung dan menghadir. Itulah berfikir (Denken). Baginya metafisika masih terlalu miskin untuk dapat merengkuh keagungan, sekaligus, kesubtilan sang Ada. Memang, Heidegger beranggapan bahwa sifat epistemik filsafat dan metafisika -- episteme, menurut sang filosof dari Stagira yang pertama kali mendefinisikan istilah ini, adalah pengetahuan yang tersusun secara logis, sistematis, dan analitis – telah membatasinya dari mampu menangkap kebenaran. Filsafat dan metafisika paling jauh hanya dapat menangkap bentuk kebenaran yang telah disederhanakan, yang telah direduksikan. Bahkan, keduanya mengerangkakan kebenaran, mengerangkeng Ada. Maka ia pun menandaskan bahwa kedekatan antara berfikir dan puisi amatlah kuat. Bahkan berpuisilah medium, kalau tak malah berfikir, itu sendiri. “... Wacana berfikir yang asli adalah puisi....” sabda Heidegger. “Melalui puisi, kita menjadi sadar bagaimana bahasa, dalam berbicara, mengimbau segenap unsur (dunia) ....”[†] Secara apa adanya, dan dengan demikian, secara “obyektif”.

Memang, setiap kegiatan berfikir – bagi Heidegger – pada puncaknya tak boleh kurang dari dapat mengimbau – secara fenomenologis -- sendi-sendi terdalam kehidupan : ada, wujud – inti yang melambari segala sesuatu. Bahkan Ada, Wujud, dengan “a” dan “w” besar. Yang benar-benar real. Meski kadang terkesan malu-malu, kebenaran ada bagi Heidegger identik dengan tuhan. Dan, lagi-lagi, puisilah yang bisa menjangkaunya.

”Penyair adalah orang yang, ketika melihat ke langit, melihat dalam keterejawantahannya, ketersembunyian-diri tuhan yang tak diketahui, mengajak yang-tak-diketahui untuk datang kepada manusia ... Penyair besar bukanlah sekadar tokoh “literer”, dan signifikansinya tak bisa dinilai oleh pemikiran representasional sebagaimana kritisisme literer. Seorang penyair sejati, seperti seorang pemikir dan mistikus, telah mengambil langkah mundur untuk keluar dari metafisika. Dia berpuisi berdasarkan sebuah pengalaman akan kebenaran Ada ...”

Pada akhirnya.orang memang tak dapat mengelak dari menangkap nuansa mistis dalam gagasan pemikir Jerman ini. Ada terlalu misterius sehingga mengelak untuk bisa ditangkap oleh filsafat dan metafisika. Puisi, dan hanya puisi yang – meski dekat dengan mistisisme, telah terbebaskan dari keduanya – yang mampu menangkap kemahaluasan kebenaran (Ada)..

Sampai di sini Anda, para pembaca, boleh jadi sudah mulai bertanya-tanya : kenapa kita mesti berbincang panjang lebar soal puisi? Bukankah yang kita bicarakan adalah esai?“

“Lawannya puisi”, gagas Heidegger, “bukanlah prosa. Prosa murni secara alami adalah puisi. Suara pemikiran haruslah poetik karena puisi adalah pengungkapan kebenaran, pengungkapan ketakterungkapan ada. Dalam cara berfikir melalui puisi ini, seorang pemikir telah melangkah mundur dari berfikir yang sekadar merepresentasikan, sekadar menjelaskan (explains). Dengan kata lain, logika puitik tidak merepresentasikan ada dalam kata-kata, melainkan membawa ada kepada kehadiran dalam bentuk kata-kata.”

Esai : bentuk susastera yang “bukan-bukan”

Maka, mengikuti alur pemikiran Heidegger ini, berbagai bentuk karya susastra -- tak peduli puisi atau bukan -- sejatinya merupakan sedikit atau banyak semburan (outburst) yang meluap dari kudeta sebuah pengalaman langsung dan primer akan berbagai pengejawantahan ke-ada-an, akan kejadian-kejadian (happenings). Semacam tangkapan yang terselenggara berkat pertemuan penuh ikhlas antara manusia dan “obyek-obyek”, tanpa ada penggagahan (assault) “subyek” atas “obyek” – malah, sesungguhnya, pembedaan antara “subyek” dan “obyek” tak lagi bermakna di sini. Dapat pula ia digambarkan sebagai hasil alami pencerahan (iluminasi), ilham, yang tak didahului upaya membangun argumentasi (secara epistemik). Sebuah aleithea atawa ketersembulan dari keterselubungan. Mungkin juga semacam pengetahuan ladunni. Semacam stroom dari Tuhan, bagi yang percaya. Dengan kata lain, bentuk susastra puitik bisa juga prosa, bisa apa saja.[‡] Tapi, yang pasti, dalam keadaan seperti ini, memang proposisi menjadi terlalu tegar dan mereduksi..

Melewati Heidegger, orang lain boleh jadi mengasosiasikan bentuk susastra dengan sumbernya. Proposisi ilmiah berasal dari dunia rasional yang bersifat serebral. Tapi kesusasteraan, sebagaimana ekspresi mistis adalah apa saja yang melibatkan fantasi – meski dipercaya sama realistis -- yang berasal dari sebuah dunia yang lain. Sebutlah dunia arketip atau, meminjam Henry Corbin -- filosof Prancis ahli Heidegger yang belakangan memusatkan pemikiran pada semacam teosofi Islam -- dunia imajinal. Bentuk-bentuk susastera, atau seni pada umumnya, melibatkan apa yang biasa disebut sebagai imajinasi kreatif. Kalau pun bisa disebut berfikir, maka daya yang beroperasi adalah intuisi, bentangannya lateral, bukan vertikal. Maka terkadang hasilnya menyangkali logika analitis biasa dan kebutuhan akan keruntutan. Pada waktu lain ia harus didekap dalam bahasa-bahasa yang plastis, bukan dijaring oleh struktur gramatikal yang tegar. Lebih sering lagi ia melibatkan simbol-simbol khayali (imagery), tamsil-tamsil, parabel, bahkan mitos-mitos.

Maka kalau ini yang dijadikan mistar pengukur, maka memang – selain puisi – berbagai produk imajinasi kreatif seperti resital-resital visioner,aforisma, kisah-kisah surealis (model karya-karya Iwan Simatupang dan Danarto, untuk menyebut 2 contoh saja), dan – lagi-lagi – esai, memiliki tabiat yang sama. Bahasa esai meski tak sediskret puisi, tak selalu setia pada keruntutan sitematik -linier dan plot-plot yang lazim. Ada saja patahan-patahan di dalamnya. Diksi menempatkan kata bukan dalam makna konvensional-leksikalnya. Ia dilihat sebagai memiliki “surplus makna”, sekaligus padat-perasaan. Kata dalam esai, seperti dalam puisi, “sering bukan mengikuti subyek yang berdaulat dalam menetapkan makna; acapkali kata bergerak mengikuti “dorongan” puitik. Puisi mengandung sesuatu yang majenun”. (“Gatholoco”, Catatan Pinggir, ......) Pertukaran perasaan, sharing – respon pembaca atas ajakan penulis -- dalam penjelajahan dunia imajinasi, diniscayakan agar seluruh kandungan bisa bulat-bulat terkomunikasikan. Memang, kalau lukisan sepatu butut-petani yang dirawat dalam oseran kuas Van Gogh saja bisa berbicara banyak, lantas untuk apa memubazirkan kata? Apalagi jika kemubaziran itu malah menabiri segala sesuatu untuk memampangkan dirinya secara apa adanya, dan mengerangkeng komunikasi antarperasaan, antarimajinasi?

Menakwil-kembali ungkapan David Fontana tentang puisi yang disinggung sebelumnya, esai – tak seperti karangan ilmiah -- tidak menyampaikan kepada kita uraian-persis tentang kejadian-kejadian, melainkan sesuatu dari perasaan-perasaan dan emosi-emosi yang melahirkan atau disodorkan oleh kejadian-kejadian itu. Kita bisa mengidentifikasikan diri dengan sang penulis karena dia mendeskripsikan sesuatu yang beresonansi dengan keadaan pikiran kita.

Alhasil, kalau boleh disimpulkan, esai adalah puisi yang kurang surealis, lebih bersiap kompromi dengan keruntutan plot dan sistematik, lebih telaten berargumentasi, dan lebih teleologis. Dengan kata lain, lebih konvensional. Selebihnya, esai adalah puisi.

Merelakan diri menjadi agent provocateur

GM sendiri, kalau saya tak salah, adalah seorang penyair yang tak merasa penting benar memperlakukan sastra sebagai medium bagi penyampaian pesan (yang direncanakan secara deliberat – sengaja, detil lagi sistematik , sehingga rela kehilangan spontanitasnya. Selebihnya, mana ada ekspresi manusia yang tidak mengandung pesan?) Ia jelas bukan penganut mazhab realisme-sosialis yang menundukkan karya esensial kemanusiaan di bawah propaganda ideologi atau narasi-narasi besar.

” Luasnya pengaruh dan besarnya jumlah khalayak pembaca bukanlah soal-soal yang relevan dengan kesusasteraan. Juga, soal manfaat kesusasteraan itu buat masyarakat, peran, dan tujuan-tujuannya. Sebab kesusasteraan, sebagaimana kehidupan, ada bersama kita tanpa rencana.” ”Tentang Keterpencilan Kesusasteran”, dalam Seks, Sastera, dan Kita, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1981)

Tapi, tak usahlah saya banyak cingcong, bahkan jika ”hanya:” sebagai manusia tentu GM memendam dorongan untuk mengekspresikan diri, dan itu berarti menyampaikan pesan. Meski tak untuk suatu ”tujuan mulia” perubahan yang sepenuh-penuhnya bersifat teleologis, atau dengan membangun argumentasi dan menampung susunan pemikiran secara linier, apalagi ide-ide besar, setidaknya sebagai ”semburan” pergulatan rasional, psikologis, imajinatif, atau spiritual kemanusiaannya. Lagipula, kalau antipesan, kenapa ia menyoal – dengan nada bimbang– ketiadaan pertukaran ide di dunia sastera paska-Manifes-Kebudayaan? (”Kesusateraan Indonesia dan Kebimbangan”, ibid). Bahkan, kenapa ia menulis – dan mengumpulkan tulisan – di sekitar wacana-wacana kesusateraan?

Maka, memang bagi GM, esai adalah suatu pilihan jalan tengah terbaik. Ia tak segera bisa dibilang puisi, tapi ia masih menampung gairah untuk berpuisi – memampangkan naivette dalam suatu kesadaran fenomenologis-keseharian[§], memanjakan pergulatan psikologis, menghidupkan imajinasi, mengulik detil-detil sederhana, dan mendekor bahasa. Ia juga menampung semangat untuk menyampaikan pesan, tanpa harus berpretensi ilmiah, apalagi menyerah pada bentuk pamflet dan propaganda.[**]

Esai, lebih-lebih bagi GM, adalah medium pengkanalan berbagai keprihatinan-personalnya, hampir-hampir dalam bentuk suatu solilukuoi, ia memungkinkan penembusan melewati narasi, ide-ide besar, dan selubung kesakralan konsep besar yang bernama ideologi atau peradaban, untuk menyelam ke dalam ”gerak hidup dengan benda-benda kecil, hal-hal yang tak selamanya suci.” (”Waicak”, Catatan Pinggir, ...........)

Jadi, kalau ada yang berkehendak mencari jawaban siap pakai. Tidak di sini ia harus mengais. Esai memang punya fungsi yang lain. Ia tak berpretensi menyelesaikan masalah. Esai yang baik selalu menyisakan sifat tentatif pernyataan-pernyataan yang dikandungnya. Ada lebih banyak karya lain yang dilahirkan memang dengan tujuan menyajikan ketuntasan atau finalitas. Ada karangan ilmiah, malah ada pamflet, propaganda, dan fatwa.

Dugaan saya, GM adalah humanis, bukan terutama dalam makna pemujaannya pada apa-apa yang semata rasional, melainkan justru pada keyakinannya bahwa manusia memiliki semacam spiritualitas – sebutlah hati nurani, berarti dorongan kebaikan – yang memberinya alat yang memadai untuk mengambil keputusan yang benar, kalau saja ada imbauan yang hampir kepadanya. Keyakinan seperti ini juga yang kiranya membuat GM tampak tak terlalu yakin untuk memvonis orang sebagai semata manifestasi keburukan. Tampaknya selalu saja ada alasan untuk membuat orang memahami, meski tak harus membenarkan, kenapa orang harus berbuat hal-hal yang buruk. Betapa pun, selalu ada semacam simpati pada manusia -- makhluk yang lrasanya ebih sering terlontar ke dalam absurditas, tanpa ia sendiri memauinya. Lebih dari itu, penglihatannya cenderung tak tertutupi dari melihat garis perak pada setiap awan gelap. Boleh jadi ia muncul dari kebaikan hati, tapi saya kira penulis Catatan Pinggir ini lebih memilihnya secara sadar sebagai sikap hidup. Memang manusia makhluk yang memendam keluhuran, tapi – di sisi lain – ia juga memiliki handicap-handicap – miopi, prasangka, dan egoisme -- yang senantiasa menahannya dari mampu melepaskan dengan bebas keluhurannya itu. Dan itu bukan cuma berlaku untuk orang lain, tapi tentu juga bagi dirinya sendiri. Karena itu, pekerjaan memvonis dan menghakimi terlalu besar untuk makhluk rentan yang bernama manusia ini.

Saya ingat GM memenuhi janjinya untuk menulis tentang hal-hal yang baik dari Habibie, begitu presiden ketiga Indonesia ini turun tahta. Kenyataannya, meski sempat diduga keras sebagai peniup nafiri pemberangusan TEMPO, terbitnya catatan pinggir yang tak menyembunyikan apresiasi penulisnya terhadap tokoh ini menunjukkan kesediaan GM untuk tak melihat segala sesuatu secara, menurut ungkapannya sendiri, ”Manichean”, hitam-putih. Juga ketika sampul majalah yang dipimpinnya memampangkan judul besar-besar ”Khomeini Mati”, seakan menyukuri wafatnya tokoh ini – suatu sikap yang barangkali memang mewakili sentimen sementara orang. Namun, GM justru menulis sebuah catatan pinggir yang, kendati tak lupa menyoroti kesan totalitarianisme sang Ayatullah, menyembulkan apresiasi pada kebesaran tokoh ini.

Memang mungkin tampak sebagai keragu-raguan, sedemikian sehingga, tak akan mengejutkan jika ditemukan bahwa kata-kata yang tak pernah absen, bahkan dengan frekuensi tinggi, dalam esai-esai GM adalah kata ”mungkin, ”boleh jadi”, dan ”barangkali”. Tapi, justru pada ketaksudian untuk memberikan jawaban tuntas, final, dan siap pakai itu terletak makna utama esai-esai GM.

Memang tak semua esai Catatan Pinggir berakhir dengan pertanyaan terbuka. Terkadang masih dalam bentuk pertanyaan-retoris dan terkadang pernyataan lebih terus-terang, sesekali tak tertahan juga menyisip tipis sikap dan posisi penulisnya. Malah terkadang ia mencela juga. Namun, tetap saja ruang tak pernah sepenuhnya tertutup bagi orang lain untuk punya kesimpulan berbeda. ”Ciliwung” adalah salah satu contohnya. Meski tampaknya sulit menerima argumentasi Al-Ghazali mengenai dunia ciptaan Tuhan sebagai ”yang terbaik dari yang mungkin diwujudkan”, GM memilih untuk menunjukkan pendapat pemikir besar Islam ini sebagai problematik, ketimbang memvonisnya sebagai sama sekali salah. Ini juga yang membuat pembaca, betapa pun bisa juga dibuat jengah ketika terasa ada lompatan yang tak seharusnya kepada kesimpulan pasti, tak bisa merasa sebal. Dalam suasana apa pun, tak sampai terhirup kesan arogansi. GM tampak berupaya keras untuk mendudukkan dirinya sejajar dengan pembacanya. Malah terkadang merelakan diri untuk andap asor menjadi hanya semacam fasilitator yang mengimbau diskresi para pembacanya, seorang agent provocateur.dalam maknanya yang luhur.

Saya menduga, mungkin malah sedikit saya tahu, GM bukan manusia tak lazim yang steril dari desakan untuk mengambil posisi, bahkan untuk memutuskan untuk bersikap partisan. Termasuk dalam politik.. Betaapa pun juga, manusia adalah zoon politicon. Namun, GM tampaknya sadar bahwa – seperti ujaran Ignas Kleden suatu hari sekian dekade yang lalu – ”kata-kata”, ketika ia menjadi publik, ”memiliki daya cipta”. Betapa pun esai adalah obrolan yang tertulis, prudensi menjadi niscaya karena ia tertulis. Betapa berbeda sikap seperti ini dengan para demagog-fundamentalis, tapi juga dengan orang-orang yang merasa sebagai kelas eksklusif pembaharu yang bestari, lalu mengumbar ledekan kepada siapa saja yang dianggapnya reptilia kuno dan primitif.

Baiklah saya akhiri tulisan ini sampai di sini saja, sebelum ia menjadi menyesakkan oleh tebaran puja-puji – bahkan untuk sasaran puja-puji itu sendiri. Saya memang harus mengaku. Saya mengagumi penulis Catatan Pinggir ini sejak masih mahasiswa yang baru belajar membaca sedikit Chairil Anwar, sedikit Iwan Simatupang, sedikit Putu Wijaya, sedikit Kuntowijoyo, sedikit Mangunwijaya, dan sedikit Rendra. Sejak saya baru belajar mengeja sedikit cerita-cerita pendek Amerika, Camus, Solzhenitsyn, dan Leo Tolstoy. Bahkan sampai sekarang, Catatan Pinggir GM masih menjadi makanan pembuka, appetiser, bagi terawatnya selera saya kepada karya-karya susastera. Betapa pun tak kunjung juga saya melahap entree-nya, dan terus saja hanya sesekali mencicipinya.

Saya juga harus mengaku, bahwa penolakan GM untuk mengambil sikap telak tak henti menggenggam appeal-nya kepada saya. Banyak sejawat mencela saya juga karena – sekarang saya bangga -- terlalu boros dengan kata ”mungkin”, ”barangkali” dan ”boleh jadi”. Meski, saya tak yakin juga, jangan-jangan dalam kasus saya sikap tak hendak bersikap itu lebih terlahir dari bawaan kurang pe-de, betapapun saya coba menopangnya dengan argumentasi-argumentasi yang lebih filosofis. Saya bagaimanapun berharap, sikap kurang pe-de saya lebih merupakan produk kesadaran akan kekayaan spektrum dan nuansa, serta kenisbian segala yang manusiawi dan empati kepada spesies ini, ketimbang sebaliknya.

Agar, dengan demikian, kekaguman saya kepada si penulis tak cuma menjadi pembenar kelemahan saya, melainkan indikasi wujudnya resonansi senarai esai ini dengan pengalaman personal saya.sebagai penikmatnya. Agar, dengan demikian, segala kriya kata yang saya tulis ini tak sekadar omong kosong belaka. Semoga, Anda juga, para pembaca. []

Cinere, hari ke-20 Ramadhan 1426 H (2005M)

-------------------
[*] Sejak beberapa tahun berkutat dengan disertasi saya tentang (kerumitan) pemikiran Heidegger – filosof eksistensialis Jerman abad ini -- tebersit keinginan untuk suatu saat mengoperasikan gagasannya tentang berfikir, bahasa, dan puisi dalam semacam analisis literer. Kebetulan fokus saya adalah Heidegger lanjut, paska –Pembelokan (Kehre).Yakni, paruh kedua masa hidup tokoh ini yang ditandai dengan pergeseran concern-nya kepada berfikir (Denken) tentang (kebenaran) ada, bahasa, dan puisi – juga kepada semacam hermeneutika-fenomenologis. Undangan untuk menulis pengantar untuk kumpulan Catatan Pinggir keenam Goenawan Muhamad ini menemukan saya bagaikan ”awak mengantuk disorong bantal”. Gagasan-gagasan Heidegeer lanjut itu, meski di sini hanya bisa dicuplik seperlunya, akan saya pakai untuk melihat dan memperjelas pemahaman kita tentang esai – yakni genre yang dijadikan medium untuk si penulis Catatan Pinggir mengungkapkan observasinya atas masalah-masalah yang dirasakannya..

[†] Dunia (yang berwujud) Empat-Lipat (Geviert) meliputi langit-langit, bumi, tuhan-tuhan, dan mortal-mortal. “Langit-langit” menandai bukan ruang angkasa yang dieksplorasi oleh teknologi modern, melainkan langit yang memberi ukuran bagi hari-hari dan musim-musim. “Bumi” bukanlah substansi yang ditelaah dalam geologi, melainkan penopang langkah kita, sumber bagi pertumbuhan kita, dan rahim materiil yang kepadanya kita kembali pada saat mati. “Mortal-mortal” adalah mereka yang hidup di bawah langit-langit dan di atas bumi. Mereka adalah anak-anak bumi; bukan tuan atasnya; bukan insinyur aeronautik, tetapi orang-orang yang melihat secara meditatif atas langit senja. Mereka adalah humus, manusia-manusia yang dalam etimologi tradisional, terlahir dari debu dan ditakdirkan untuk kembali ke debu. Tetapi, siapa yang dimaksud tuhan-tuhan?

Suatu “dimensi” (hadirat) yang membuat penampakan dari suatu benda menjadi mungkin. Tuhan-tuhan ini hanya dimungkinkan muncul di dalam dimensi (hadirat) ketuhanan, dan hadirat ketuhanan hanya dimungkinkan hanya di dalam dimensi (hadirat) yang-Suci (the Holy) – yakni ketiadaan “distorsi” -- dan hanya dari kebenaran Ada-lah esensi dari yang-Suci dapat dipikirkan.

... Maka, para mortal pun, tak akan bersikap mendominasi bumi, mereka (hanya) merawat dan mengayominya. Sebagaimana penyair mistis, mereka tahu bahwa segala sesuatu hanyalah (benar-benar) sesuatu-sesuatu jika mereka dibiarkan memampangkan dirinya sendiri.

[‡] Ketika kelak Heidegger sendiri menulis beberapa bentuk seperti puisi – cuplikan-pendeknya membuka tulisan ini -- sementara orang menyatakan bahwa karyanya ini tak bisa dibilang bagus. Mungkin karena sesungguhnya yang ditulis oleh Heidegger bukanlah puisi per se, sebagaimana lazim difahami. Bukankah bagi Heidegger, tak ada pemisah yang tegas antara puisi dan prosa? (Saya sendiri tak yakin apakah memang heidegger “ngotot” untuk menyebut ekspresinya itu sebagai puisi). Maka, kalau mau, yang ditulis Heidegger sebenarnya bisa dilihat – dalam pakem-pekem lazim puisi -- sebagai sebuah nonpuisi yang ditata seperti seolah-olah puisi. Maka, kalau mau, apa yang tampak sebagai puisi itu mungkin bisa dicoba diapresiasi sebagai (suatu bagian) dari esai.. Siapa tahu, bagi Anda yang berpendapat bahwa ”puisi” Heidegger itu kurang bagus, keindahannya akan bisa moncer setelah tak lagi Anda melakukan “overestimasi”. Saya tak ragu berpendapat bahwa, sebagai esai, ”puisi” Heidegger – sesungguhnya hampir semua karya yang ditulisnya paska-Kehre (pembelokan) – menyimpan kualitas susastera tinggi. Bacalah, sebagai sampel yang muwakil, uraiannya tentang Sang Empat Lipat (The Fourfold) beserta narasi tentang teko yang menjadi contohnya (Lihat catatan-catatan-kakui berikut).

[§]

[**] Inilah, lagi, ekspresi Heidegger. Teko adalah contoh yang amat baik tentang apa yang dimaksud sebagai memampangkan dirinya sendiri. Esensinya terletak pada “memberi”, yang terselenggara ketika ia menuangkan isinya dan menyampaikan pemberiannya. Pemberian si teko adalah air dan anggur, yang di dalamnya didapati “perkawinan antara langit dan bumi”. Yakni, air berasal dari hujan dan hujan turun dari langit untuk kemudian di simpan di dalam bumi. Sedangkan anggur dibawa dari tanaman anggur yang diberi makan oleh langit. Air dan anggur adalah minuman untuk para mortal, memberikan (bahan) makanan dan kesegaran. Anggur adalah juga minuman suci yang dihaturkan kepada dewa-dewa. Kedua-duanya—dewa-dewa dan mortal-mortal—secara bersama-sama ditemukan dalam minuman yang diberikan oleh teko itu. Maka, keempat-empat lipat itu—bumi dan langit, mortal-mortal, dan dewa-dewa—bermukim bersama dan di dalam teko itu.

Demikianlah, teko tak diperikan menurut ketegaran bahan-pembuatnya, persyaratan keseimbangannya, beratnya, ketahanannya terhadap panas, dan sebagainya. Sebagai gantinya, ia dibiarkan menjadi sesuatu sebagaimana adanya, untuk menunjukkan dirinya, dari dirinya, untuk tenteram di atas dasarnya. Dengan cara demikian, teko itu telah mengumpulkan “Sang Empat Lipat” dalam suatu kesatuan. Dengan demikian pula, si teko bukanlah sebuah “objek”.