Siapa Menyelamatkan Anak Kecil Aceh, Menyelamatkan Seluruh Aceh (1)
Tahun
1600, serangan di Nieuwpoort. Siapa yang
masih membicarakan Perang Aceh? Siapa yang tahu mengapa Gubernur Jendral Loudon
di Batavia (Jakarta) yang otokratis, keras kepala, impulsif dan gigih memulai
perang melawan Aceh tahun 1873? Berapa tahun perang ini berlangsung? Siapa yang
tahu di sungai mana, di benteng Aceh yang mana, di semak belukar yang mana, di
bukit dan gunung yang mana, di kampung yang terbakar mana serta kebun
kelapa yang mana tempat para serdadu Belanda dan Aceh saling melemparkan
klewang satu sama lain?
Siapa yang masih ingat nama kampung-kampung di Aceh tempat para pejuang
Aceh dapat berleha-leha dengan 70 bidadari yang cantik setelah ’pasifikasi’,
’ekskursi’, ’pendisiplinan’ Belanda? Masih ingatkah kita bagaimana Jendral
Köhler, komandan pasukan invasi Belanda tahun 1873, terbunuh di bawah pohon
geulumpang dekat Mesjid Raya di Kutaraja? Tentang Jendral van der Heijden,
alias Kareltje Eénoog, yang bersujud kepada
orang-orang Aceh menyatakan terima kasihnya karena dia masih bisa selamat?
Siapa pula yang masih ingat tentang Belanda yang sebelum melancarkan Perang
Aceh Kedua mengaktifkan kembali Jendral van Swieten yang sudah pensiun? Siapa
yang tidak pernah mendengar bertahun-tahun kemudian, setelah Perang Aceh yang
kesekian-kalinya, cerita Jendral Van Heutz tentang para serdadu KNIL yang
runtuh semangatnya, namun kemudian terinspirasi oleh pemikiran Snouck
Hurgronje, seorang Belanda yang mendalami Islam, maka semangat bertempur para
serdadu itu bangkit kembali? Yang dengan tenang mengejar dan membuat kaget
orang-orang Aceh di gunung-gunung dengan senjata modern, klewang dan taktik
anti-gerilya yang baru.
Van Heutsz yang menangkap orang Aceh yang pemberani dan pecinta
kemerdekaan, pertama-tama kakinya dulu, kemudian lehernya dan dengan
hati-hati dipukulnya lalu kemudian mencoba mengambil hati mereka. Terakhir,
siapa yang tidak mengenal –saya hanya menyebut satu nama saja sementara ini –
Van Daalen yang kejam, seorang militer yang memandang rendah pribumi.
Pada aksi kontra terorisnya, kekejaman dan kesadisan bukan hanya sesekali
tetapi sistematis. Sebagaimana yang ditulis seorang polisi militer dengan nama
samaran ’Wekker’ – yang pernah dipermalukan oleh Van
Daalen – pada tahun 1907 melalui 17 artikel di koran ’De
Avondpost’ (Koran Malam) yang terbit di Den Haag ,” para
tahanan dibunuh (sebagai pelajaran lalu jasad mereka dijajarkan), kaum wanita
dan anak-anak ditembak, para pemberi informasi yang ragu-ragu disiksa, para
sandera disekap dalam kurungan, rumah tinggal, mesjid dan kampung-kampung
dibakar habis.” (1)
Sesudah Van Heutsz diangkat menjadi gubernur jendral bersama dengan
komandan militer Belanda saat itu atas perintah Menteri di Den Haag, maka
kritik di parlemen pun mereda. Van Daalen dibebaskan dari segala tuduhan
(harusnya diadili dulu oleh pihak yang netral). Angkat topi.
Nama-nama para pemimpin besar Aceh saat itu seperti Tiro, Panglima Polim,
Teuku Umar dan istrinya yang penuh semangat perjuangan, Cut Nya Dien, saya rasa
tidak perlu dipertanyakan lagi. Ambil contohnya Teuku Umar. Pada awalnya beliau
membiarkan dirinya didekati oleh Belanda, mendapat titel yang baik dan ribuan
prajurit Aceh di bawah komandonya dilatih dan dipersenjatai oleh Belanda yang
’tidak beragama’. Setelah itu beliau menyeberang ke kubu Aceh, musuh Belanda.
Di mata penjajah tindakannya dianggap sebagai sebuah pengkhianatan besar.
Tetapi orang Aceh yang bertelanjang kaki menilainya tidak demikian. Di mata
mereka, Belanda terperosok dalam perangkap Teuku Umar. Janda Teuku Umar, Cut
Nya Dien, juga mempunyai semangat berjuang yang berkobar. Dengarlah bagaimana
beliau mengimbau agar rakyat Aceh berjuang melawan penjajah, ”Rakyatku,
orang-orang Aceh, ingatlah ini, jangan pernah lupakan! Mereka menentang Allah
dan membakar Mesjid Raya (di Kutaraja)! Jangan pernah lupakan dan jangan pernah
memaafkan para kafir Belanda!! Perlawanan Aceh tidak hanya dalam kata-kata.” (2)
Tentu saja di Belanda ada sekitar 44 atau 444 orang Belanda asli, Indo,
para pensiunan KNIL di Bronbeek. Belum lagi orang Maluku, anggota Yayasan
Kerkhof Pecut, dosen universitas yang muda dan tua, para pelajar asal Aceh,
kelompok pecinta literatur Indische Letteren,
keturunan para pegawai pemerintah Belanda dan para pengajar sekolah dasar Eropa
di Hindia-Belanda, dulu, yang tahu soal Perang Aceh. Kadang mereka malah sangat
banyak tahu hingga membuat kita terkejut. Tetapi lebih dari itu saya kira hanya
tinggal sejarah. Menyedihkan.
Dari mereka yang menganggap Perang Aceh sudah mati, kita tidak
mendengar lagi kisah tentang perang ini. Logis. Yang lainnya, ”bagi
mereka yang menganggap Perang Aceh belum sepenuhnya mati, masih sesekali
menulis, bahwa ’peringatan tentang Perang Aceh tampaknya sudah mati, sebuah
masa lalu yang sudah mati,” (3)
Mereka tidak menyesalinya sama sekali, karena kita tidak bisa belajar
apa-apa lagi dari perang ini, begitu pendapat mereka. Sementara yang
setengahnya lagi, para ahli literatur dan sejarawan, dengan fakta-fakta kosong
juga telah membuat perang ini seolah-olah mati.
Contohnya adalah Menke de Groot. Untuk merehabilitasi nama Kapten Borel
yang memimpin Pasukan Hindia-Belanda dan membebaskan tuduhan terhadap Jendral
Swieten, pemimpin KNIL yang dituduh bersalah melakukan pembakaran dan
pembunuhan massal, maka pada tahun 2009 beliau menulis sebuah buku tebal
tentang Perang Aceh Kedua membahas kedua pemimpin tersebut (4).
Bagaimana orang dapat percaya padanya, diperlukan penjelasan. ’Hati-hati
dengan pendapat sembrono orang-orang seperti Multatuli dengan pemikiran
filantropisnya yang menyesatkan tentang Perang Aceh’, demikian serunya. Sayang
sekali bahwa de Groot dalam buku edisi cetak ulangnya hanya menyebut ’lembaga
militer’dalam Perang Aceh Kedua. Padahal Perang Aceh Pertama, Ketiga dan
Keempat sama sekali tidak identik dengan Perang Aceh Kedua.
Akan sangat menarik sekali jika de Groot menempatkan Perang Aceh ’nya’
dalam konteks kolonial, dengan sudut pandang saat itu dan sudut pandang saat
ini. Sayang sekali beliau tidak menangkap kesempatan itu.
Berbagai lagu rakyat Belanda menunjukkan bagaimana pada saat terjadinya
Perang Aceh kita melihat diri kita sendiri sebagai penjajah Belanda yang
beradab dan Aceh yang barbar, serta bagaimana beruntungnya saat itu bagi
Aceh karena kita ingin ’menciptakan perdamaian’ di sana.
Paasman mencatat, banyak tentang lagu-lagu tersebut adalah lagu untuk
membangkitkan semangat, lagu tentang keadilan, lagu tentang polisi militer,
lagu perpisahan, lagu peringatan, lagu tentang pahlawan, lagu jalanan, lagu
cinta mendayu-dayu dan lagu-lagu kabaret (5).. Contohnya lagu Militair
Atchinlied karya P Haagsma, (6)
“Naar Atchin, de Kraton! Daar zetelt het
kwaad.
Schuilt ontrouw, broeit zeeroof en
smeulde verraad;
Roeit uit dat geboredsel, verneder die
klant;
Met Nederlands driekleur
‘beschaving’geplant.”
Ke Aceh, Kerajaan! Disanalah bersarangnya
kejahatan.
Sembunyikan kepalsuan, sarang bajak laut dan penuh
pengkhianatan;
Teriakilah kekacauan itu, permalukanlah;
Dengan ’peradaban’Belanda tiga warna.
Setiap pembunuh muda menyanyikan lagu jalanan yang populer ini, (7)
En Teuku Oemar, die moet hangen;
Aan een touw, aan een touw,
Teuku Oemar en zjn vrouw.
Dan Teuku Umar, harus digantung;
Dengan tali, dengan tali,
Teuku Umar dan istrinya.
Para pahlawan Hindia-Belanda yang gagah berani pun tak dilupakan, (8)
Wie kent er niet die brave zielen
Die aan het verre Atjehstrand
Al voor de eer van Nederland vielen
't Rood, Wit, Blauw in hun verstijfde
hand?
We zullen hunnen assche eeren, wreken,
En waar ik ga of sta of zit, zal ik hun
naam met eerbied spreken
Want dat waren jongens van Jan de Witt.
Siapa yang tidak kenal jiwa-jiwa yang berani
Yang berjuang di pantai Aceh yang jauh
Gugur demi kehormatan Belanda
Warna merah, putih dan biru di tangan mereka yang
sudah kaku?
Kita akan menghormati dan membela jasad mereka,
Dimanapun aku berada, berdiri atau duduk, aku akan
menyebut nama mereka dengan penuh hormat.
Karena mereka adalah para pemuda Jan de Witt.
Kumpulan puisi yang sesungguhnya untuk orang dewasa. Puisi bertema
kepahlawanan yang benar-benar khas Belanda, termasuk lagu pengantar tidur
tentang Perang Aceh, sejauh yang saya tahu belum pernah ditulis. (bersambung)
(Penulis Nico Vink, diterjemahkan oleh
Hasti Tarekat)
Penulis adalah dosen HEAO (Den Haag), dosen Fakultas Obyek Indutrial/Teknik
Universitas Delft, dosen tamu di Kopenhagen, Trondheim dan Oslo,
Lódz/Polen, Tokaj/Japan, AGSIM (Phoenix USA) dan penulis buku Verbannen uit
Indie (1936-1945) Walburg
Pers Zutphen, 2007
***
Siapa Menyelamatkan Anak Kecil Aceh, Menyelamatkan Seluruh
Aceh (2)
Tentu
saja ada juga suara-suara yang kritis tentang Perang Aceh, di antaranya dari
Multatuli yang sudah kita kenal, yang tanpa basa-basi menulis sebuah surat
'kepada Raja' sebagai berikut, ”Gubernur Jendral Anda (James Loudon-Red) saat ini berada pada posisi untuk
memaksakan kehendaknya dengan mengumandangkan perang pada Sultan Aceh, dengan
alasan yang dibuat-buat, seolah-olah sebagai suatu tindakan yang wajar
dilakukan, dengan tuntutan agar Sultan Aceh menyerahkan kedaulatannya. Hal ini
sama sekali tidak terhormat, tidak bermartabat, tidak dapat dipahami.”
(9)
Saya juga sudah menyebut tentang ’Wekker’, seorang polisi menulis 17
artikel kritis di koran Den Haag ’De Avondpost’. Artikel-artikel yang
menimbulkan keresahan di Belanda, setidaknya di parlemen. Namun persoalan ini
dianggap tidak ada dan tidak dicari pemecahannya. Para penulis seperti
Zentgraff sebelum Perang Dunia Kedua (10) dan van ’t Veer (11) dan Bossenbroek
(12) tidak menghargai keterlibatan KNIL dalam Perang Aceh. Salah satu
kutipannya, ”Kampung Kuto Reh yang diserang, 11 Juni 1904. Dua Belanda
tewas. Aceh kehilangan 313 pria, 189 wanita, 59 anak-anak.”
Komandan Van Daalen memerintahkan agar jenazah yang bergelimpangan difoto.
Seorang Letnan bernama Colijn yang beragama Kristen menulis kepada istrinya
dalam Bahasa Belanda sehari-hari, ”Pekerjaan yang tidak menyenangkan
tetapi tidak ada pilihan lain. Para serdadu berpesta menghujani mereka dengan
bayonet.”
Setelah tahun 1945 muncul perhatian dari berbagai pihak tentang Perang
Aceh. Misalnya Madelon Székely-Lulofs yang menulis roman tentang pejuang Aceh
Cut Nya Dien (14). Atau roman yang menggugah berjudul Wisselkind
yang terbit tahun 1998 yang ditulis Basha Fabers (15). Paul van ’t Veers dengan
karyanya yang menawan berjudul De Atjeh-oorlog (Perang
Aceh) tahun 1869 (16). Atau buku De verbeelding van een koloniale oorlog
(Gambaran sebuah perang kolonial) tahun 2001 yang disusun oleh Liesbeth Dolk
(17) berisi tulisan sepuluh penulis yang menggambarkan Aceh melalui pers,
literatur, seni dan film.
Ingatan tentang Perang Aceh sesudah 2001 tidak berhenti begitu saja, oleh
sebab itu perlu ditelaah aktualisasinya. Pada tahun 2004 muncul skripsi doktoral yang tidak begitu dikenal yang
ditulis oleh Lucia Hogervorst, van etnocentrisme naar
cultuurrelativisme (18) (Dari Etnosentrisme ke Relativitas Budaya).
Isinya mengenai pendapat umum di Belanda setelah tahun 1945 tentang sejarah
kolonial. Beliau mendasarkan penelitiannya antara lain pada buku sejarah di
sekolah dasar dan sekolah menengah pertama pada tahun 1950-an, 70-an dan 90-an
tentang Perang Aceh.
Setelah itu ia mengukuhkan pendapatnya sekali lagi melalui tulisannya De
(niet te) vergeten oorlog in Atjeh (Perang di Aceh yang (tidak
untuk) Dilupakan) melalui penerbitan khusus pada tahun 2010 untuk memperingati
’65 tahun berakhirnya Perang Dunia Kedua’(19). Pendidikan Protestan pada tahun
1950-an menceritakan kisah tentang seorang Sultan Aceh (seorang bangsawan yang
berdaulat - Red) yang tidak mau tunduk pada
Pemerintah Belanda dan masyarakat Aceh yang dipandang sebagai para bajak laut
yang beringas, oleh sebab itu mereka harus dikoreksi.
Maka anggapan ‘harus dikoreksi’ inilah yang menjadi alasan mengapa Belanda
menduduki Aceh (‘menduduki’ bagi Aceh sama dengan menyerang dan menjajah- Red). Buku sejarah di sekolah Katolik nyaris tidak
memberi informasi tentang Perang Aceh itu sendiri tetapi menceritakan ratusan
kali tentang Pendeta Verbraak yang bertahun-tahun bertugas menangani ‘jiwa-jiwa
damai para pemberani’.
Buku itu memuji perjuangan para serdadu Pasukan Hindia-Belanda yang
pemberani. Dengan perjuangan berat para serdadu Belanda berhasil mengembalikan
ketentraman di Aceh sementara orang Aceh sendiri ’sesekali’ masih melawan
Belanda (‘mengembalikan ketentraman’seolah-olah Aceh yang pribumi sudah secara
sah menjadi bagian dari Kerajaan Belanda- Red).
Tetapi murid sekolah sebenarnya tidak belajar bagaimana Belanda selama
bertahun-tahun menjadi bagian dari petualangan keserakahan, bersaing dan
berseteru dengan sesama negara Eropa lain untuk mencari keuntungan dan kekayaan
di belahan dunia lain yang jauh dan belum dikenal. Orang Belanda yang baik harus mencari keuntungan,
bukan dengan jalan kebaikan tetapi dengan menimbulkan banyak kerusakan. Maka
Aceh pun menjadi korban dari keserakahan itu.
Kepada rakyat Belanda dikatakan bahwa pendudukan dilakukan untuk mengakhiri
bajak laut di Aceh. Kepada Amerika dan negara Eropa lain menurut kabar burung
(yang tidak diuji kebenarannya) dikatakan bahwa tindakan itu dilakukan untuk
mempersiapkan kesepakatan yang menguntungkan dengan Sultan Aceh dan untuk
mengambil alih wilayah kekuasaannya.
Maka Gubernur Jendral di Batavia secara tergesa mengumumkan perang dengan
Sultan Aceh dan mendaratlah pasukan ekspedisi Belanda pada tanggal 8 April 1873
di Aceh. Tetapi ketika
Jendral Belanda, Köhler, yang berkuasa tewas terbunuh di bawah pohon geulumpang
dekat Masjid Raya di Kutaraja maka tewas pula kekuasaannya dan ekspedisi
pertama itu pun gagal.
Pada tahun 1874 terjadilah Perang Aceh Kedua di bawah pimpinan Jendral van
Swieten yang pensiun namun diaktifkan kembali. Ketika kerajaan milik Sultan
Aceh diduduki, dengan penuh kemenangan beliau mengirim pesan ke Belanda
‘kerajaan sudah kita duduki’, tetapi yang sebenarnya terjadi adalah kerajaan
itu kosong melompong dan burung-burung pun beterbangan dari dalamnya.
Sesudah itu diikuti oleh tahun-tahun penuh kritik terbuka dari para bawahan
di antara yang menonjol adalah Kapten Borel. Muncul lagi seorang jenderal baru,
kali ini dengan taktik pertahanan 16 benteng di sekitar Kutaraja. Mereka
bertahan selama bertahun-tahun dengan cara bersembunyi di benteng-benteng
tersebut, demikian menurut Snouck Hurgronje.
Kemudian muncul
Jendral Karel van der Heijden, alias Kareltje Eénoog (Karel
Bermata Satu), setelah beliau kehilangan satu matanya dalam peperangan. Taktiknya
adalah ‘hukuman sebagai pelajaran’, dengan kata lain ribuan orang Aceh dibunuh
dan ratusan kampung di Aceh habis dibakar, tetapi kemenangan perang tetap tidak
tercapai. Kemudian diikuti oleh Jendral Van Heutsz yang kali ini
mendapat giliran. Terinspirasi oleh visi spesialis Islam asal Belanda, Snouck
Hurgronje, beliau menjalankan taktik aksi kontra gerilya yang bergerak ofensif
secara berkala ke pedalaman Aceh yang bergunung-gunung, yang untuk
beberapa waktu lamanya belum terjamah manusia. (bersambung)
(Penulis Nico Vink, diterjemahkan oleh
Hasti Tarekat)
Penulis adalah dosen HEAO (Den Haag), dosen Fakultas Obyek Indutrial/Teknik
Universitas Delft, dosen tamu di Kopenhagen, Trondheim dan Oslo,
Lódz/Polen, Tokaj/Japan, AGSIM (Phoenix USA) dan penulis buku Verbannen uit
Indie (1936-1945) Walburg
Pers Zutphen, 2007
***
Siapa Menyelamatkan Anak Kecil Aceh, Menyelamatkan Seluruh
Aceh (3)
Anda
bisa membayangkan Van Heutsz, dengan tangan di belakang, perut buncit, memberi
kesan sebagai seorang militer superior yang arogan. Tetapi di bawah kepemimpinan penerus Van Heutsz,
yaitu Van Daalen, baru terjadi perubahan. Selama ‘ekspedisi’nya ke pedalaman
Gayo dan Alas, semua isi kampung dibunuh. Van Daalen dan pasukannya
memerintahkan agar apa yang mereka lakukan diabadikan melalui foto, dengan
penuh kebanggaan, yaitu tumpukan mayat dengan seorang anak lelaki yang kebetulan
selamat dari huru-hara itu disampingnya.
Para pejabat Belanda yang dipermalukan oleh Van Daalen menulis secara
anonim kenyataan yang mencengangkan itu di koran-koran Belanda. Para anggota
Parlemen yang terkejut (di antaranya Victor de Stuers) mengkritik bahwa
’Pemerintah menyebutnya ekskursi, tetapi saya menyebutnya sejarah pembunuhan’.
Koran Het Volk menulis pada tanggal 17 Juli 1904
‘sebuah negara yang beradab dan berperikemanusiaan tidak seharusnya menyanjung
seseorang (Van Heutsz) yang telah menumpahkan darah’.
Maka dalam sekejap berubahlah gambaran tentang negara Belanda yang beradab
yang bukan melancarkan perang melainkan pasifikasi dan mengembalikan ketenangan
serta menegakkan peraturan, menjadi negara Belanda yang berkhianat, tidak dapat
dipercaya, terbius oleh opium dan seks. Tiba-tiba orang-orang Belanda bukan pahlawan lagi melainkan para pembunuh
massal.
Sejak tahun 1970-an buku-buku sejarah tidak lagi menampilkan kisah-kisah
kepahlawanan melainkan informasi berdasarkan fakta yang ditulis secara singkat,
contohnya ’setelah perjuangan berdarah selama bertahun-tahun maka Aceh berhasil
dikuasai. Banyak korban pribumi yang jatuh’. Pada tahun 1990-an ditulis
demikian ’hingga tahun 1900 orang Belanda hanya ingin mencari untung di
Indonesia.
Lalu pada tahun 1873 orang Belanda ingin menguasai Aceh karena di sana
banyak sumber minyak dan gas sehingga orang Belanda harus melancarkan perang.
Orang Aceh melakukan perlawanan’ (yang benar adalah orang Aceh yang pecinta
kemerdekaan ingin tetap merdeka, maka dengan segala kekuatan mereka menolak
agresi Belanda. Itu berbeda artinya dengan melakukan perlawanan- Red).
Ketika akhirnya orang Aceh berhenti melawan, hal
itu bukan menyerah seperti yang dipikirkan Belanda, tetapi mereka ’mencuri’
waktu untuk kelak bersama-sama dapat bangkit lagi dan mengusir Belanda dari
Kutaraja sesaat sebelum Jepang menyerang Aceh pada bulan Maret 1942.
Sebagaimana yang dicatat sejarah.
Pameran Van heldendaad tot schandvlek – het Nederlands koloniaal
verleden in de geschiedenisboekjes (Dari tindakan patriotik menjadi
noda yang memalukan - Penjajahan Belanda di masa lalu dalam buku sejarah)
di Museum Pendidikan Nasional di Rotterdam tahun 2005 mendapat inspirasi dari
skripsi doktoral Lucia Hogervorst. Pameran yang sama pada tahun 2006 digelar di
Museum Bronbeek di Arnhem dengan menggunakan judul Het
Nederlands koloniaal verleden in de geschiedenisboekjes (Pejajahan
Belanda di Masa Lalu dalam Buku Sejarah).
Judul Van
heldendaad tot schandvlek (Dari tindakan patriotik menjadi noda
yang memalukan) tampaknya tidak dapat diterima di Arnhem karena dianggap
terlalu peka untuk para pejuang Bronbeek. Kepekaan yang sama juga tercermin
melalui komentar-komentar pers tentang pameran di Rotterdam seperti dalam koran
NRC dan Nederlands Dagblad yang berkiblat Protestan
Bagaimana di Aceh? Pada awalnya Aceh bersikap antusias setelah Perang Dunia
Kedua dengan dinyatakannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945. Tetapi tak lama kemudian Aceh segera menyadari munculnya kolonialisme
Jakarta. Maka dimulai lagi perjuangan kemerdekaan yang sengit selama
bertahun-tahun. Tiba-tiba terjadi tsunami tahun 2004, sebuah tragedi di luar
batas kemanusiaan.
Tetapi Perang Kolonial Belanda di Aceh tampaknya berhasil bertahan dari
bencana itu. Puisi-puisi kepahlawanan masih ditemukan (20). Contoh yang
menarik misalnya Hikayat Perang Sabil dari Abad ke-19. Hikayat bercerita
tentang perang mempertahan diri yang terjadi di Aceh melawan penjajah Belanda
yang agresif dan dengan cepat menarik simpati orang Aceh yang beragama Islam.
Pesan Hikayat yang kuat sangat sesuai dengan jiwa perjuangan rakyat Aceh.
Hikayat menyerukan agar rakyat Aceh melancarkan perang jihad melawan orang
Belanda yang tidak beragama. Di bawah kekuasaan Belanda yang tidak beragama
maka rakyat Aceh tidak dapat lagi menjalankan keyakinan mereka. Pembunuhan dan
kematian akan terjadi di mana-mana. Keyakinan mereka, Islam, akan diancam oleh
penjajah. Adat istiadat mereka juga akan dilarang. Belum lagi persoalan
perilaku para serdadu Belanda yang tidak bermoral, pemerkosaan dan lain-lain.
Setiap orang Aceh, setiap pria dan wanita dan anak-anak dengan demikian
harus berpartisipasi dalam perjuangan melawan penjajah. Perang melawan Belanda
adalah perang seluruh rakyat. Imbalannya, surga. Jika tidak berpartisipasi maka
hukumannya adalah api neraka. Satu hari bertempur melawan Belanda mendapat
pahala jauh lebih besar daripada seribu hari naik haji di Mekah. Jihad adalah
cara kematian yang terindah. Karena setiap orang ikut bertempur maka sulit
untuk memisahkan para pejuang dengan yang bukan pejuang.
Tetapi ketika orang-orang Belanda setelah perang selama 30 atau 40 tahun
menjadi semakin kuat dan tampaknya dekat dengan kemenangan, maka Aceh
menyerahkan diri pada Belanda, namun dengan syarat bahwa orang-orang Belanda
pertama-tama harus mengakui Islam sebagai agama mereka. Jika Aceh menyerahkan
diri, tidak berarti sebagaimana yang kita pahami sebelumnya bahwa mereka juga
rela dikuasai. Penyerahan diri itu hanya merupakan taktik untuk membenahi
kekuatan. (bersambung)
(Penulis Nico Vink, diterjemahkan oleh
Hasti Tarekat)
Penulis adalah dosen HEAO (Den Haag), dosen Fakultas Obyek
Indutrial/Teknik Universitas Delft, dosen tamu di Kopenhagen, Trondheim
dan Oslo, Lódz/Polen, Tokaj/Japan, AGSIM (Phoenix USA) dan penulis buku Verbannen uit
Indie (1936-1945) Walburg
Pers Zutphen, 2007