Pembicara:
Andri Hariadi
Pernahkah
kita berpikir Jakarta akan dilanda banjir seminggu lamanya, hingga
lumpuh; Aceh akan diberi musibah tsunami; Jogja akan diberi gempa
segitunya. Mungkin kita tidak pernah berpikir.
Tetapi
masalahnya kemudian adalah: apakah setelah itu yang dapat kita
perbuat untuk menciptakan sesuatu yang lebih baik, misal untuk
mengurangi korban, agar dampak yang terjadi tidak terlalu buruk atau
dapat dikurangi.
Orang
Timur kalau sudah bicara agama seolah-olah semua dikembalikan pada
kekuatan Tuhan. Orang Barat sebaliknya, segala sesuatu dikembalikan
pada tanggung jawab manusia. Sehingga, orang Timur mungkin lebih
bahagia meski selalu dalam kondisi serba kekurangan. Orang Barat
sebaliknya.
Setelah
Nabi wafat, muncul dua aliran: aliran Jabariah yang manusia center,
dan aliran Qodariah yang Tuhan center.
Sufi
memberi tawaran sebuah pikiran: Ketika berurusan dengan Tuhan, ketika
berinteraksi dengan Tuhan, ketika berbahasa (berbicara) dengan Tuhan,
seolah kita tidak ada daya upaya; Ketika berbicara dengan manusia,
seolah semua kembali pada tanggung jawab kita.
Semua
interaksi kita dengan hewan, manusia, lingkungan, adalah bentuk
peralihan tangan Tuhan.
(As
I know, this is the real sufism philosophy, that's why I like sufi's
way. Sayang banyak kesimpangsiuran dalam memahami sufisme atau
tasawuf: sebagai tarekat atau sebuah filosofi. Karena sependek yang
saya tahu, Nabi SAW adalah seorang sufi dalam nilai-nilai. red.)
Sampai
sejauh mana kita harus berusaha? Kapan kita harus berhenti?
Tergantung kasusnya.
Selama
akal kita masih dapat menciptakan ruang untuk berusaha, maka berarti
Tuhan masih memberi ruang untuk usaha itu. ↗
Kapan
berhenti? Pada saat kita sampai pada suatu titik dimana kita tidak
dapat berusaha lagi, dimana tidak ada lagi ruang untuk
berbuat/berusaha.
Karena
prinsipnya, kita tidak pernah tahu hasil akhir, hanya ilmu Tuhan yang
dapat menjangkau hasil akhir.
Islam
mengatakan: Tanamlah sebuah biji meski esok kiamat, selagi masih bisa
berbuat.
Informasi
agama dibutuhkan ketika akal mentok.
Memang
yang tahu hasil akhir adalah Tuhan. Tetapi Tuhan sendiri berkata,
umur bisa dipanjangkan, rezeki bisa dilapangkan, dll. tergantung
usaha kita.
Maka
lebih baik kita berlindung pada usaha-usaha kita.
Fenomena
pengabulan doa oleh Tuhan, menyangkut berbagai hukum. Kalau kita
berdoa sesuatu yang “tidak masuk akal“, sama dengan
menyuruh-nyuruh Tuhan, menjadikan Tuhan sebagai pesuruh/pembantu
kita.
Berdoalah
untuk hal-hal yang benar-benar perlu.
Nabi/orang-orang
suci/wali, malu untuk berdoa/meminta, bila bukan untuk keperluan
da'wah.
Berdoa
minta ilmu, tapi tidak belajar adalah sesuatu yang “tidak masuk
akal”.
Sebab,
fenomena pengabulan doa menyangkut hukum sebab akibat dalam
menjadikannya. Dalam contoh tadi, ilmu (kepintaran), hukumnya atau
sunnatullah-nya hanya terjadi karena belajar.
Q
: Dalam al Quran, surat Yunus, “Mereka yang telah ditetapkan di
Lauhul Mahfudz untuk sesat, maka sesatlah..“ Bagaimana
penjelasannya?
A
: Dalam Quran, dengan mudah dapat kita temukan ayat-ayat Jabariah &
Qodariah.
Qodariyah
: “Jika Allah menghendaki, tidak ada yang bisa merubah ... ”
Jabariah
: “Jika tidak berusaha, Allah tidak akan merubah ... “
↗ Tidak
penting mempersoalkan Jabariah atau Qodariah. Yang lebih penting,
dimana kita menempatkannya.
Misal,
Jabariah digunakan dalam berhubungan dengan Tuhan, bahwa kita
serendah-rendahnya, sehina-hinanya.
Qodariah
digunakan dalam berhubungan dengan manusia. Contoh Nabi dalam
berhubungan dengan orang kafir (yang berbuat jahat) menegakkan
kepala, tegas.
Maka
untuk ayat-ayat tersebut harus dilihat lagi konteksnya. Yang dikunci
itu yang telah diperingatkan berkali-kali, maka seolah/kemudian
dikunci matilah hatinya.
Setiap
manusia punya blue print?
Muhammad
secara fisik adalah yang di Makkah. Nur Muhammad adalah blue print
Tuhan untuk manusia (masterpiece).
Start
with the end, tujuan tertinggi ditempatkan di akhir. Allah berhenti
bekerja pada proses budaya pada manusia.
Manusia
diciptakan dengan sifat rahman Allah, manifestasi ar-rahman Tuhan.
Tuhan
adalah zat yang tidak dikenal, tidak bisa dipersepsi. Apapun persepsi
manusia untuk mengenal Tuhan adalah salah. Tuhan hanya bisa dikenal
melalui karyanya.
Puncak-puncak
masterpiece Tuhan adalah para Nabi, orang-orang suci. Dimananya..?
Pada pengabdiannya.
Puisi
Iqbal (sufi yang mencari titik temu Qodariah dan Jabariah):
Ya
Tuhan, Engkau ciptakan hutan, maka darinya kuciptakan taman.
Ya
Tuhan, Engkau ciptakan racun, maka darinya kuciptakan obat.
Ya
Tuhan, Engkau ciptakan tanah-air, maka darinya kuciptakan tembikar
yang indah.
(Puisi
yang sangat indah tentang kebersamaan dengan Tuhan, bukan..? red.)
Betapa
Iqbal menemukan bahwa manusia merajut kebersamaan dengan Tuhan.
Betapa manusialah yang bisa. Maka tidak usah fatalistik, juga tidak
usah terlalu sombong atau merasa bisa semuanya.[]
“Manusia
dalam hidupnya senantiasa merajut kebersamaan dengan Tuhan.”