MENJADI MANUSIA SEMPURNA MELALUI PERNIKAHAN

Pembicara: Rusli Malik

Pernikahan atau berkeluarga sekarang menjadi lebih bersifat materialistik dan dikendalikan secara mekanistik, sehingga tidak lagi bersifat spiritualistik.

Sesuatu yang sifatnya material, selalu melahirkan kata sifat: tidak abadi, goyah. Misal, kecantikan, kekayaan.

Tujuan tertinggi pernikahan adalah: untuk mencapai kesempurnaan.
Punya keturunan bukanlah tujuan utama, maka ketika menikah dan tidak/belum dikaruniai keturunan, tidak mesti kemudian cerai. Wanita yang tidak bisa mempunyai keturunan lantas ditinggalkan, itu sangat tidak manusiawi. Bukankah itu bukan keinginannya. Itu bukan pilihannya.

Menikah adalah menyatukan dua C yang sama. Ketika menikah, C dan Ɔ disatukan menjadi sebuah O.
Dalam al Quran.. laki-laki adalah pakaian bagi kaum perempuan, dan sebaliknya.
Maka ketika dua C yang sama berjumpa, menjadi suatu lingkaran yang utuh; tidak akan kelihatan di mana titik temunya; setara.
Dalam al Quran disebutkan.. laki-laki sebagian dan perempuan sebagian.

Suami-istri, tidak boleh saling memandang satu sama lain lebih tinggi/rendah; tidak lebih pintar, lebih terhormat, dll. karena ini akan memunculkan permasalahan—inferiority complex, dll.
Suami-istri adalah setara. Tidak boleh istri memandang suami lebih tinggi; tidak boleh suami memandang istri lebih rendah.

Kesempurnaan yang ingin dicapai melalui pernikahan yang dimaksud adalah: kesempurnaan spiritual.

Gerakan seorang laki-laki/wanita menuju kesempurnaan spiritual yang sendiri tidak secepat yang menikah.
Orang yang hidup sendiri cenderung tidak secerdas emosional yang berkeluarga.
Contoh dekatnya, seseorang yang memikirkan suami/istri, anak-anak, keluarga, cenderung menghilangkan egoistiknya.

C dan Ɔ adalah persoalan asas. Jika dua C dirasa tidak setara, misal ada rasa rendah diri, itu persoalan psikologis. Maka perjuangan di dalamnya itu sendiri adalah sparing partner atau perjuangan menuju kesempurnaan itu sendiri.

Ilustrasi: kisah Fir'aun. Soal Fir'aun merasa lebih tinggi, itu persoalan dia sendiri. Tapi Siti Asiah sendiri tidak mempersoalkan itu. Ia tetap merasa setara, dan kemurtadan Fir'aun adalah sparing partner dia menuju kesempurnaan.

Nabi Nuh, istri dan anaknya durhaka, tapi ia tetap diangkat sebagai Nabi. Bahkan Allah memberi salam kepadanya, “Salaamun 'ala Nuh”.

Keberhasilan dalam pernikahan tidak diukur dari berhasil/gagal anaknya.
Juga tidak diukur dari cerai/tidaknya. [* Lihat penjelasan tentang cerai di bawah.]

Penjelasannya:
Add 1. Manusia bukan robot yang bisa diatur-atur, anak adalah seorang manusia yang punya kehendak dan kemauan sendiri.
Add 2. Dalam konteks para Nabi, tidak ada yang namanya cerai. Sesesat apapun Fir'aun, Asiah tidak minta cerai. Sesesat apapun anak istri Nabi Nuh, tidak dicerai. Justru menjadi sparing partner untuk menuju kesempurnaan. (Analoginya otot jika dilatih terus akan menjadi kuat.)

Inisiatif menikah datangnya dari laki-laki; keputusan menikah ada pada perempuan.
Jika tidak ada laki-laki yang berinisiatif, jangan khawatir, Allah punya ketentuan lain.

Kesimpulannya, Pernikahan tujuan tertingginya bukan untuk materi; bukan untuk diatur-atur secara mekanistik.

Pernikahan itu pertemuan dua C yang sama sehingga terbentuk lingkaran kasih sayang, yang akan membentuk jiwa yang tenang, yang akan bergerak menuju kesempurnaan (spiritual).

Maka bagi Anda yang belum mendasarkan pernikahan pada hal ini, silakan diperbaiki.[]


TENTANG POLIGAMI

Islam itu bersifat monogamistik. Dalam Quran surat an-Nisaa' dikatakan.. yang paling mendekati keadilan adalah monogami.
Dalam sejarah Nabi-nabi:
Nabi Nuh betapapun istrinya berkhianat, istrinya tetap satu.
Nabi Zakariya betapapun tidak punya anak, istrinya tetap satu.
Nabi Ayyub betapapun sakit, istrinya tetap satu.
Satu-satunya yang poligami adalah Nabi Ibrahim, tetapi itupun atas perintah Tuhan, karena Sarah sudah tua, Hajar diutus untuk menemani menempuh perjalanan.
Nabi Muhammad, ketika dengan Khadijah, tetap monogami meskipun keadaan mendukung.

Menyatukan dua C menyiratkan monogamistik. Jika kemudian Nabi Muhammad berpoligami, aspek sosialnya sangat luas.

Tidak ada dalil dalam al Quran untuk berpoligami ketika istri sakit/tidak mampu.
Dalam al Quran hanya ada satu dalil tentang poligami, yaitu Q. S. An Nisaa' ayat 3 yang mengisahkan, Nabi Muhammad karena banyaknya problem sosial yang ada waktu itu, di Madinah terjadi peperangan terus-menerus, sehingga banyak anak yatim. Awalnya ketika peperangan terjadi, para wanita menyuruh suaminya berjuang untuk membela agama. Maka ketika para suami itu gugur, apa yang agama berikan pada mereka.. anak-anak yatim itu.. maka turunlah perintah, dan diambillah tindakan sosial yaitu Nabi Muhammad berpoligami.
Jadi, dalam sejarahnya, tujuannya adalah agama. (Baca terjemahan Q.S. An Nisaa' ayat 2-6, red.)

Tapi ketika Nabi di Makkah, kondisinya tidak seperti itu, dan Nabi tidak berpoligami.
Tindakan sosial seperti itu diperlukan ketika kondisi memang memerlukan.

Poligami karena ikut sunnah Rasul..? Nonsens.
Argumennya.. (1) poligami dalam al Quran seperti perceraian, halal tapi dibenci Tuhan; (2) manusia (laki-laki) tidak akan pernah bisa berlaku adil.

Perumpamaanya, perceraian adalah perbuatan halal tapi dibenci Allah. “Halal tapi dibenci” adalah sesuatu yang saling kontradiktif. Tidak mungkin Tuhan membolehkan sesuatu tapi membencinya. Kontradiktif bukan sifat Tuhan--yang notabene sempurna dalam segala hal.

[*] Cerai dibolehkan tapi merupakan pintu paling terakhir ketika semua pintu telah tertutup. Sebelum diputuskan, ada tahapan-tahapan sebelum sampai pada kata akhir cerai: berunding dulu dengan keluarga, dibuat rencana untuk bercerai, lalu proses cerainya sendiri ada tahapan talak 1, 2, 3, dst.
Dan Allah bilang, “Dan jika keduanya bercerai, Allah menjamin rezeki keduanya dan Allah ridha.” Jadi, cerai itu diambil untuk benar-benar menjadi sebuah solusi.[]