Oleh: Zaim Uchrowi
Suatu waktu, Imam Syafi'i singgah dan bermalam di rumah Imam Hambali. Kisah kesalihan Imam Syafi'i telah tersebar luas. Kabar tentang kesalihan itu mengundang penasaran putri tuan rumah. Ia ingin tahu bagaimana imam besar itu menghabiskan malamnya. Ia kecewa bahwa ternyata Imam Syafi'i tidak bangkit sama sekali dari tempat tidur hingga Subuh tiba.
Kekecewaan itu disampaikannya pada sang ayah. Dengan santun Imam Hambali bertanya pada tamunya, bagaimana menikmati waktu semalam. "Alhamdulillah," jawab Imam Syafi'i. Semalam, menurutnya, adalah salah satu malam yang paling efektif dalam hidupnya.
Di tempat tidur ia tidak dapat memicingkan mata sekejap pun. Namun, ia berhasil menemukan pemecahan berbagai persoalan menyangkut umat. Imam Hambali pun menyampaikan pada putrinya bahwa prasangka terhadap Imam Syafi'i tidak benar.
Sepenggal kisah itu memberikan satu pelajaran. Berpikir dan ibadah bukan hal yang bertolak belakang. Keduanya bukan sesuatu yang harus dipertandingkan mana lebih baik. Keduanya mempunyai posisi masing-masing yang terkait satu sama lain. "Tapi, apa kaitan berpikir dengan tasawuf?" Pertanyaan itu mungkin mengemuka di saat kita mulai belajar tasawuf.
Keterkaitan ibadah dengan tasawuf lebih mudah dipahami. Ibadah adalah perwujudan fisik dari suatu pekerjaan hati. Ritual teratur yang dilakukan secara khusyu akan menjernihkan hati. Hati yang jernih adalah landasan buat memancarkan cinta. Tasawuf adalah cinta. Yakni cinta ilahiah yang menjadi puncak sekaligus akar segala cinta seorang mukmin terhadap alam semesta ini. Berpikir tidak digolongkan sebagai pekerjaaan hati.
Berpikir dimasukkan dalam kelompok pekerjaan akal. Ia adalah proses kalkulatif. Ia adalah proses menghitung seperti dari A hingga Z, atau sebaliknya. Juga proses merunut logika seperti jika Q pangkalnya tentu P dan lanjutannya adalah R. Berpikir adalah proses sekuen melacak "pohon dan akar masalah", maupun pencarian "leher botol" yang menghambat suatu alur persoalan. Sepertinya berpikir semata merupakan proses mekanistis tanpa rasa. Lalu, adakah cinta yang tanpa rasa?
Memang tidak. Cinta adalah soal perasaan. Tasawuf adalah soal perasaan. Namun, cinta sejati tidak akan terbangun tanpa pengetahuan yang utuh terhadap apa yang kita cintai. Tidak ada cinta yang tak akan roboh oleh perjalanan waktu maupun guncangan keadaan tanpa berpondasikan pada pengetahuan. Maka Allah pun memilih Al-Alaq sebagai ayat-ayat pertama yang diturunkan pada manusia. Allah pertama-tama menyeru untuk "membaca". Juga untuk "mengagungkan Tuhanmu". Tuhan yang mengajarkan dengan kalam. Tuhan yang mengajarkan hal yang belum diketahui." Ayat-ayat itu berkait dengan pengetahuan; tentang ajaran untuk mengejar pengetahuan.
Tidak cukup di situ, Allah juga meninggikan derajat orang-orang yang berilmu. Itu yang tertera pada Q.S. Mujadalah : 11. Bahkan Allah menegaskan "Katakan, samakah orang-orang berilmu dan tidak berilmu?" (Q.S. Az-Zumar:9). Sejumlah hadis Rasul memperjelas keutamaan mendalami ilmu. "Siapa menghendaki dunia hendaklah dengan ilmu.
Siapa menghendaki akhirat hendaklah dengan ilmu. Siapa menghendaki keduanya hendaklah dengan ilmu." Pada hadis lain disebut bahwa siapa menempuh jalan mendapatkan ilmu, Allah akan mempermudah jalannya ke surga. Juga bahwa jika Allah menghendaki kebaikan pada seseorang, Dia akan memberi kefahaman dalam soal agama.
Kefahaman? Di situlah akal mengambil posisi dalam tasawuf. Dalam proses pendalaman tasawuf, akal harus ditempatkan di depan untuk menuntun agar kecintaan kita benar-benar tertuju hanya pada yang 'Haq', dan bukan terseret pada hal yang sepintas tampak sebagai spiritualitas menghanyutkan.
Akal akan mengantarkan pada pemahaman bahwa memang hanya Dia yang benar-benar mencintai seorang pencari kebenaran tanpa kepentingan apapun. Karenanya, hanya pada Dia pula pencari kebenaran itu pantas menambatkan cinta sejatinya. Akal juga memberi kefahaman bagaimana mencintaiNya secara benar sesuai "syariat"Nya. Juga bagaimana cinta itu dapat terjaga secara baik.
Seorang mursyid, atau guru besar jalan tasawuf, tidak akan menolak siapapun yang datang untuk berguru kepadanya. Namun setiap mursyid akan memilih muridnya yang paling bernalar untuk disiapkan menjadi penggantinya. Di antara para murid yang sama-sama khusyu' dan tawadhu', yang paling bernalarlah yang paling pantas diserahi tongkat estafet kemursyidan.
Abu Hamid Al-Ghazali, kemudian dikenal sebagai Imam Al-Ghazali, adalah seorang cendekiawan terbesar pada zamannya. Ia murid terhebat Imam Haramain. Dalam usia sangat muda, ia tampil mencengangkan dalam diskusi-diskui publik. Di usia 34 tahun, ia telah ditunjuk sebagai Rektor Universitas Nizamiah-Baghdad, universitas paling penting di dunia sekitar 1.000 tahun silam. Intelektualitas itulah yang kemudian mengantarkan Al-Ghazali menekuni jalan sufi. Cinta memang urusan hati. Tapi, tak ada cinta sejati tanpa menggunakan akal.
[Republika, Jumat, 10 Januari 2003]