Orang-orang Tersembunyi

Jumat, 23 Mei 2003

"Berdoalah kepada Rabb-mu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas" (QS Al-A'raf [7]: 55).

Kata "suara yang lembut" dalam ayat tersebut adalah terjemahan dari kata "khufyah", yang secara harfiyah bermakna "tidak tampak" atau "tersembunyi". Dalam mengomentari ayat itu, Imam Qurthubi menulis dalam Al-Jami' li Ahkamil-Qur'an: makna 'khufyah' adalah (berdoa) secara sembunyi dalam nafs (jiwa/hati), agar terhindar dari sifat riya. Itulah sebabnya mengapa Allah memuji Zakariya AS, yakni ketika Allah melukiskannya dengan firman-Nya: "Yaitu tatkala ia berdoa kepada Rabb-nya dengan khafiyya (suara yang lembut)" (QS Maryam [19]: 3).

Seperti yang pernah dilakukan Nabi Zakariya dan orang-orang salih lainnya, para pejalan Ilahi pun seringkali menjalani laku spiritualnya dengan cara sembunyi-sembunyi. Beribadah dengan terang-terangan memang tidak dilarang, karena banyak ayat dan hadis pun membolehkannya bahkan menganjurkannya. Namun, para sufi atau para pendaki spiritual lebih asyik dalam kesendirian dan kerahasiaannya bersama Allah, dan banyak terminologi tasawuf yang merepresentasikan dan mengindikasikan hal itu, semisal khalwat, munajat, khafi, dzikr khafi, sirr, sirrul-asrar, dan banyak istilah lainnya.

Karena ketersembunyian, ketertutupan dan kerahasiaan ini pulalah, sehingga para salik (pejalan ilahi) sering pula disebut sebagai al-akhfiya (orang-orang tersembunyi). Setidaknya titel itulah yang disematkan oleh Walid bin Sa'id Bahkum pada orang-orang yang beribadah secara sembunyi-sembunyi. Sebagaimana yang ditulis dalam bukunya, Al-Akhfiya-al-Manhaj was-Suluk, Walid menunjuk al-akhfiya ini pada orang-orang yang mengetahui bahwa salah satu syarat diterimanya amal adalah al-ikhlas lilllah.

Dalam setiap amal yang dilakukannya, melulu diniatkan hanya untuk menggapai keridhaan Allah. Ketika mereka menyadari betul pentingnya ikhlas ini, maka mereka pun berjuang keras untuk menyembunyikan beragam amalnya itu, karena mereka sangat ingin sekali amalnya diterima, lalu seluruh getaran hati yang mengarah pada sifat riya pun mereka hindari jauh-jauh. Maka amal salih yang mereka lakukan hanya tersembunyi antara mereka dengan Allah, dan tak ada seorang pun yang mengetahuinya.

Sebagaimana yang diyakini oleh sufi kelahiran Irak, Al-Junaid rahimahullah, kaum al-akhfiya mendefinisikan ikhlas dengan: "Rahasia antara Allah dan seorang hamba yang tidak diketahui oleh malaikat sehingga mencatatnya, tidak diketahui oleh syaitan sehingga merusaknya, dan tidak bisa diendus oleh hawa nafsu sehingga memalingkannya." Mereka sangat tergugah sekali dengan sabda Nabi: "Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, yang kaya (mencukupkan apa adanya), dan yang beribadah secara khafi (sembunyi-sembunyi)" (HR Muslim dalam Az-Zuhd).

Dalam riwayat Ahmad, Ibnu Hibban dan Baihaqi, Nabi juga bersabda: "Sebaik-baik dzikir adalah dzikir khafi (diam-diam/tersembunyi), dan sebaik-baik rezeki adalah yang memberikan kecukupan."

Sementara dalam Shahihut-Targhib wat-Tarhib ada sebuah riwayat yang di-tahqiq oleh Al-Albani yang menyebutkan bahwa Nabi bersabda: "Sesungguhnya sedekah secara sembunyi-sembunyi itu memadamkan kemarahan Rabb (Allah) Tabaraka wa Ta'ala."

Riwayat-riwayat semacam inilah yang mendorong kaum al-akhfiya untuk merahasiakan berbagai macam amal kebajikannya dari pandangan manusia, karena mereka takut dihinggapi sifat riya, sum'ah, dan 'uzub (arogan). Dan ketika banyak orang yang enggan memberikan sumbangan sosial bila tidak diliput oleh media massa, maka penting sekali kita menyimak narasi kehidupan cicit Rasulullah, yaitu Ali bin Husain.

Abu Hamzah Ats-Tsumali menuturkan bahwa Ali bin Husain memanggul karung berisi roti di atas pundaknya pada malam hari, yang dibagi-bagikannya kepada orang-orang miskin dalam kegelapan. Ia juga berujar: "Sedekah pada malam yang pekat memadamkan kemurkaan Allah."
Muhammad bin Ishaq bercerita: "Penduduk Madinah bisa mengenyam penghidupan, namun mereka tidak tahu dari mana sumber penghidupan mereka itu. Begitu Ali bin Husain meninggal, serta merta penghidupan mereka pun lenyap. Rupanya, beliaulah yang membawanya pada malam hari."

Sementara Amr bin Tsabit bertutur: "Ketika Ali bin Husain meninggal, mereka mendapati bekas di punggungnya karena memikul karung pada malam hari ke rumah-rumah para janda."

Anjuran untuk beribadah secara sembunyi-sembunyi ini bukan hanya menyangkut sedekah, tapi juga dalam banyak ibadah lainnya, seperti shalat, puasa, menangis, berdoa, membaca Alquran, atau aktivitas keilmuan. "Saya ingin sekali manusia mengetahui ilmu ini, dan tidak menisbahkannya sedikit pun pada saya selama-lamanya" ujar Imam Syafi'i, "Agar aku diberi pahala karenanya, dan mereka tidak memuji aku." Artinya, Imam Syafi'i menduga bahwa puji-pujian manusia terhadap dirinya itu bisa mengurangi pahala dan mencoreng sifat khifa (ketersembunyian) yang menjadi tambatan orang-orang salih.

Persoalannya adalah, apakah kita harus selalu melaksanakan seluruh amal Islam dengan cara sembunyi-sembunyi? Tentu saja tidak, karena banyak pula amal ibadah yang harus diperlihatkan pada manusia. Kalau para Salafus Salih banyak yang menyembunyikan amalnya, maka hal itu mereka lakukan karena khawatir dihinggapi sifat riya dan sum'ah. Bila kita cukup yakin bahwa dengan menampakkan amal kita, keikhlasan kita bisa terjaga, bahkan agar orang lain pun ikut mengamalkannya, why not?

Lagi pula, beribadah secara rahasia dan sembunyi-sembunyi itu adalah dalam kerangka untuk memperkaya batin dan rohani kita agar lebih kokoh dan lebih tegar, sehingga tidak terombang-ambing oleh pesona dan gemerlapnya dunia. Lebih-lebih ketika kekuatan musuh makin beringas terhadap umat Islam --sebagaimana yang terjadi akhir-akhir ini. Perjuangan personal saja tidak cukup, melainkan harus terhimpun dalam sebuah kekuatan massal yang dapat menggentarkan lawan.

Lihatlah Nabi kita, pada awalnya Muhammad melakukan tahannuts dan beraudiensi dengan Allah secara rahasia dan seorang diri. Namun begitu ada perintah agar mendeklarasikan Islam dengan terang-terangan, maka Rasulullah pun menunaikannya dengan sigap. Wallahu a'lam.
( Makmun Nawawi)
 
Sumber : republika.co.id