Oleh P. Peter B. Sarbini, SVD. Artikel ini diterbitkan di dalam Jurnal Aditya Wacana, Januari-Juli 2002.
1. PENGANTAR
Benarkah
Al Quran itu wahyu Allah atau hanya hasil karya Muhammad dan para juru
tulisnya? Pertanyaan itu pernah dilontarkan oleh orang-orang Quraisy
pada zaman Nabi, para sarjana Barat, dan bahkan orang-orang pada zaman
ini. Umat Islam dengan keras menolak hal itu. Al Quran bukan merupakan
rekayasa Nabi dan para juru tulisnya. Nabi SAW tidak bisa membaca dan
menulis. Rasulullah SAW sendiri pernah mengatakan bahwa Al Quran itu
mukjizat baginya, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah: "Setiap
rasul selalu dikaruniai kemukjizatan, sehingga karenanya ummatnya akan
mempercayainya. Tetapi mukjizat yang diturunkan Allah padaku adalah
wahyu ilahi yang akan menjadikan jumlah pengikutku akan melampaui
pengikut para rasul lainnya kelak di hari kiamat". Selain itu terdapat
beberapa bukti kuat yang menyatakan bahwa Al Quran adalah benar-benar
wahyu Allah. Bukti-bukti tersebut dinyatakan dalam Al Quran itu sendiri,
yakni salah satu ayat yang berbunyi: "Sesungguhnya Al Quran itu
benar-benar wahyu (Allah) yang diturunkan kepada Rasul yang mulia ……Ia
adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam. Seandainya dia
(Muhammad) mengada-adakan perkataan atas nama Kami, Kami pasti akan
menindaknya dengan kekerasan……", (QS. 69:38-42; 10:37-38; 11:13-14;
2:23-24; 17:88).
Tulisan
ini mencoba menghantar secara singkat kepada kebenaran Al Quran sebagai
wahyu Allah yang progresif, sekaligus kitab kemanusiaan.
2. AL QURAN
2.1. Pengertian
Kata
Al Quran berasal dari kata kerja qara'a yang berarti membaca. Bentuk
masdar-nya adalah qur'an yang berarti bacaan.(1) Al Quran mempunyai
beberapa nama, yaitu Alkitab atau Kitab Allah (QS. 6:114), Al-Furgan
yang berarti pembeda antara yang benar dan batil (QS. 25:1), Az-Zikr
yang berarti peringatan (QS. 15:9), dan At-Tanzil yang berarti
diturunkan (QS. 26:192). Selain itu, nama Al Quran adalah Al-huda
(petunjuk), Ar-Rahman (kasih), Al-Majid (mulia), An-Nazir (pemberi
peringatan). Imam as-Suyuti dalam bukunya al-Itqan fi?Ulum Al-Qur'an
(tentang ilmu-ilmu Al Quran) juga menyebut beberapa nama, yakni Al-Mubin
(penjelas), Al-Karim (yang mulia), Al-Kalam (firman Tuhan), dan An-Nur
(cahaya).
Istilah
qur'ân paling umum diterjemahkan sebagai "bacaan" atau "tilawah" (bacaan
yang dilantunkan), dan telah dihubungkan secara etimologis dengan
qeryânâ (bacaan Kitab Suci, bagian dari Kitab Suci yang dibacakan pada
acara kebaktian) dalam bahasa Suriah, dan miqra' dalam bahasa Ibrani
(pembacaan suatu kisah, Kitab Suci). Sebagian mufsir muslim juga
berpendapat bahwa kata tersebut berasal dari bentuk fuc?lân, qur'ân
membawa konotasi "bacaan sinambung" atau "bacaan abadi", yang dibaca dan
didengar berulang-ulang. Dalam pengertian ini, kata tersebut dipahami
sebagai suatu batu uji spiritual dan contoh sempurna bagi kesusastraan.
Sebagai suatu judul, Al Quran merujuk pada wahyu (tanzíl) yang
"diturunkan" (unzila) oleh Tuhan kepada Nabi Muhammad selama hampir 23
tahun.(2) Dalam konotasi yang lebih universal, ia adalah ekspresi diri
umm al-kitâb atau paradigma komunikasi ilahiah (QS. Al-Ra'd/13 :39).
Bagi seluruh muslim, Al Quran merupakan kitab suci paling sempurna.
2.2. Al Quran: Sejarah, Isi, dan Kodifikasi
Sebagai
wahyu (QS. 4:163), surah-surah dan ayat-ayat Al Quran diturunkan oleh
Allah SWT secara bertahap kepada Nabi Muhammad SAW selama kurang lebih
23 tahun. Hikmah diturunkannya Al Quran secara berangsur-angsur ini
antara lain adalah (1) untuk meneguhkan hati Rasullullah SAW dengan cara
mengingatkannya terus menerus, (2) lebih mudah dimengerti dan diamalkan
oleh pengikut-pengikut Nabi SAW, (3) diantara ayat-ayat itu ada yang
merupakan jawaban atau penjelasan dari suatu pertanyaan atau masalah
yang diajukan kepada nabi SAW sesuai dengan keperluan, (4) hukum-hukum
Allah SWT yang terkandung didalamnya mudah diterapkan secara bertahap,
dan (5) memudahkan penghafalan.
Ayat-ayat
yang pertama diturunkan adalah lima ayat pertama dari surah al-'Alaq.
Ayat-ayat tersebut turun ketika Nabi SAW sedang tahannuts (bermeditasi)
di dalam sebuah gua yang terletak digunung Hirâ, dekat kota Makkah.
Peristiwa itu terjadi pada malam 17 Ramadan (6 Agustus 610). Ketika itu
Nabi SAW berusia 40 tahun. Pada malam itu Nabi SAW melihat malaikat
Jibril datang kepadanya sambil berkata: Iqra' (bacalah). Lalu beliau
menjawab, "Ma ana bi qari" (saya tidak dapat membaca). Mendengar jawaban
Nabi SAW, malaikat Jibril lalu memeluk tubuh Rasulullah dengan sangat
erat, kemudian melepaskan pelukannya serta kembali menyuruh dia membaca.
Namun setelah dilakukan sampai tiga kali dan Nabi SAW tetap saja
memberikan jawaban yang sama, malaikat itu kemudian membacakan wahyu
yang dibawanya, yakni membaca lima ayat pertama Surah Al- 'Alaq (96),
yang secara tradisional dianggap sebagai wahyu pertama Al Quran.(3)
Ketika
menerima wahyu pertama di gua Hirâ', Muhammad merasa malaikat Jibril
memeluk dan menekannya begitu kuat. Ia sangat ketakutan melihat Jibril,
lalu lari pulang ke rumah serta meminta sang istri untuk menyelimutinya.
Bagi dia, menerima wahyu merupakan pengalaman yang sangat berat, yang
dapat membuat dia bermandi keringat meskipun udara amat dingin. Pada
saat dia berada dalam ketakutan yang mencekam, wahyu pun diturunkan,
menyuruh Muhammad untuk "bangkit dan mengingatkan" (QS.
Al-Muddatstsir/74:1-2). Setiap kali menerima wahyu sepertinya nabi
dipindahkan ke alam lain. Ia menerimanya tidak dengan indera biasa. Hal
itu terbukti dalam diri para sahabatnya yang ada didekatnya tidak
melihat dan mendengar apa-apa. Sahabatnya menceritakan bahwa pernah
ketika Muhammad duduk menerima wahyu, ia merasa pahanya yang ada dibawah
paha Nabi SAW, remuk seakan-akan terhimpit oleh barang berat.(4)
Setelah
peristiwa itu, tidak lama kemudian turunlah wahyu kedua, yaitu surah
al-Muddassir ayat 1-10. Isinya ialah menyeru Nabi SAW agar menyampaikan
dakwah Islam kepada manusia.(5) Setelah itu, penurunan wahyu terhenti
beberapa tahun.(6) Nabi SAW merasa sangat gelisah dan sedih. Ia menjadi
tenang setelah turun Surah ad-Duha. Sesudah itu ayat-ayat lain
diturunkan sacara bertahap menurut kejadian-kejadian yang memerlukannya
dan tidak pernah lagi terputus sampai wahyu yang terakhir.
Pada
umumnya ulama menetapkan bahwa hari penghabisan turunnya Al Quran ialah
hari Jumat, 9 Zulhijah 10 atau 16 Maret 632. Beberapa bulan sesudah
ayat terakhir (7) (QS . 5:3) ini turun, Rasulullah wafat (8 Juni 632).
Ulama sepakat bahwa wahyu terakhir diturunkan ketika Nabi SAW wukuf di
padang Arafah untuk menunaikan ibadah haji yang kemudian terkenal dengan
nama haji wadak (haji penghabisan).
Pada
umumnya ulama berpendapat bahwa Al Quran diturunkan dari Lauh Mahfuz
(catatan mengenai ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT) ke
dunia. Namun dari kalangan mereka terdapat perbedaan pendapat tentang
cara menurunkannya dari Lauh Mahfuz. Pendapat pertama dikemukakan oleh
Ibnu Hajar al-Asqalani yang mengatakan bahwa Al Quran itu diturunkan
sekaligus ke langit dunia pada malam Al-qadar (kemuliaan) lengkap dari
ayat pertama sampai terakhir. Ayat-ayat ini kemudian diwahyukan secara
berangsur-angsur kepada Rasulullah selama hampir 23 tahun.
Pendapat
kedua dikemukakan oleh Fakhruddin ar-Razi. Ia berpendapat bahwa Al
Quran diturunkan ke dunia dalam 23 kali malam al-qadar . Ayat-ayat yang
diturunkan dalam setiap malam al-qadar ialah ayat-ayat yang hendak
diturunkan pada tahun itu kemudian diturunkan secara berangsur-angsur
kepada Nabi SAW.
Pendapat
ketiga dari asy-Sya'bi (tokoh tradisionalisme) yang mengatakan bahwa Al
Quran diturunkan hanya bagian permulaannya saja pada malam al-qadar.
Sedangkan bagian lainnya diturunkan sesudah itu secara bertahap dalam
berbagai waktu. Menurut para ulama, pendapat pertama merupakan pendapat
yang lebih kuat.
Al-Qur 'an diturunkan kepada Nabi SAW melalui berbagai cara, yaitu:
Malaikat
Jibril "memasukkan" wahyu itu ke dalam hati Rasulullah tanpa
memperlihatkan wujudnya. Ia secara tiba-tiba merasakan wahyu itu telah
berada di dalam hatinya. Nabi SAW mengatakan hal ini: "Rohulkudus
mewahyukan ke dalam kalbuku".
Malaikat
Jibril menampakkan dirinya kepada Muhammad sebagai seorang laki-laki
dan mengucapkan kata-kata dihadapannya, sehingga dia cepat mengetahui
dan menghafal ayat-ayat yang disampaikannya itu.
Wahyu
itu turun kepada Nabi SAW seperti bunyi gemerincing lonceng.(8) Cara
ini dirasakan oleh Rasulullah sebagai yang paling berat sehingga dia
mencucurkan keringat, meskipun wahyu itu turun di musim yang sangat
dingin. Apabila Nabi SAW sedang mengendarai unta, maka ketika itu juga
untanya terpaksa berhenti dan duduk karena merasa amat berat.
Malaikat Jibril menyampaikan wahyu dengan menampakkan wujudnya yang asli (surah an - Najm ayat 13 dan 14)
Setiap
kali menerima wahyu, Nabi SAW lalu menghafalkannya (QS. 75:16-19).
Hafalan tersebut dikontrol oleh malaikat Jibril. Selain itu, Rasulullah
juga membacakannya di hadapan para sahabat karena ia memang
diperintahkan untuk mengajarkan Al Quran kepada mereka (QS. 16:44). Di
samping menyuruh para sahabat menghafalkan ayat-ayat yang diajarkan,
Nabi SAW juga memerintahkan mereka yang pandai menulis untuk
menuliskannya di atas pelepah-pelepah kurma, lempengan-lempengan batu,
dan kepingan-kepingan tulang. Sahabat yang pandai menulis sangat
berhati-hati dalam menuliskan ayat-ayat itu. Hal itu didorong oleh
keyakinan mereka bahwa Al Quran adalah firman Allah SWT yang harus
dijadikan pedoman hidup, sehingga perlu dijaga dengan baik. Ketika di
Madinah, Rasulullah memiliki beberapa juru tulis, diantaranya yang
terkenal ialah Zaid bin Sabit.
Masa
turunnya Al Quran dibagi ke dalam dua periode. Pertama, periode Makkah,
yaitu masa Nabi SAW bermukim di Makkah (610-622), mulai dari turunnya
wahyu pertama sampai beliau melakukan hijrah ke Madinah. Masa tersebut
disebut juga periode sebelum hijrah. Ayat-ayat yang diturunkan selama
periode pertama ini dinamakan ayat-ayat Makkiyyah, yang berjumlah 4.726
ayat dan meliputi 89 surah. Ciri-ciri ayat-ayat Makkiyyah antara lain
pendek-pendek, dimulai dengan perkataan ya ayyuha an-nas (wahai
manusia), kebanyakan mengandung pembahasan masalah tauhid, iman kepada
Allah SWT, hal ihwal surga dan neraka, serta berbagai masalah yang
menyangkut kehidupan ukhrawi (akhirat).
Kedua
periode madinah, yakni masa setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah
(622-632). Masa ini disebut juga periode hijrah. Ayat-ayat yang
diturunkan dalam periode ini disebut ayat-ayat Madaniyyah yang berjumlah
1.510 ayat dan mencakup 25 surah. Adapun ciri-ciri ayat-ayatnya adalah
panjang-panjang (tiwal), diawali dengan perkataan ya ayyuha allazina
amanu (wahai orang-orang beriman/percaya), kebanyakan berisi hukum-hukum
yang jelas, dan banyak membicarakan orang yang berhijrah (kaum
Muhajirin), kaum Ansar dan kaum munafik serta ahli kitab.
2.2.2. Isi Al Quran
Al
Quran mempunyai 114 surah yang tidak sama panjang dan pendeknya. Surah
terpendek terdiri atas 3 ayat dan yang terpanjang terdiri atas 286 ayat.
Semua surah, kecuali surah yang ke-9 (at-Taubah), dimulai dengan
kalimat Bismi Allah ar-Rahman ar-Rahim (dengan nama Allah yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang). Ada perbedaan mengenai jumlah ayat ini.(9)
Untuk
memudahkan pembacaan dan penghafalan, para ulama membagi Al Quran ke
dalam 30 Juz (bagian) yang sama panjang dan dalam 60 Hizb (nama hizb
ditulis di sebelah pinggirnya). Setiap Hizb dibagi lagi menjadi empat
dengan tanda-tanda ar-rub' (seperempat), an-nisf (seperdua), dan
as-salasah (tiga perempat).
Selanjutnya
Al Quran dibagi pula ke dalam 554 ruku' (bagian yang terdiri atas
beberapa ayat). Setiap satu ruku' ditandai dengan huruf 'ain di sebelah
pinggirnya. Surah yang panjang berisi beberapa ruku', sedangkan surah
yang pendek hanya berisi satu ruku'. Tanda pertengahan Al Quran (nisf Al
Quran) terdapat pada surah al-Kahfi ayat 19 pada lafal walyatalattaf
(hendaklah ia berlaku lemah lembut).
Dalam
Al Quran terhimpun hasil Kitab Suci yang sudah ada sebelumnya, malahan
juga hasil segala ilmu.(10) Ia merupakan " (sebuah kitab) yang
menjelaskan segala sesuatu" (QS. 12:111). Pada pokoknya Al Quran berisi
akidah dan syariah. Akidah dirumuskan dengan kata "iman", sedangkan
syariah "amal saleh" (bdk. QS. 16:97). Keduanya dapat dibedakan namun
tak dapat dipisahkan. Seorang yang beriman tanpa menjalankan syariah
adalah fasik. Demikian pula sebaliknya, bersyariah tetapi tidak
berakidah adalah munafik.(11)
2.2.3. Kodifikasi Al Quran
Kodifikasi
atau pengumpulan Al Quran telah dimulai sejak zaman Rasulullah SAW,
bahkan telah dimulai sejak masa-masa awal turunnya Al Quran. Sebagaimana
diketahui, Al Quran diwahyukan secara berangsur-angsur.
Setelah
ayat-ayat diturunkan, Nabi SAW memberi nama surah tersebut untuk
membedakannya dari surah yang lain. Rasulullah juga memberi petunjuk
tentang urutan penempatan surah di dalam Al Quran. Penyusunan ayat-ayat
dan penempatannya di dalam susunan Al Quran juga dilakukan berdasarkan
petunjuk Nabi SAW. Cara pengumpulan yang dilakukan pada masa itu
berlangsung sampai Al Quran sempurna diturunkan dalam waktu kurang lebih
23 tahun.
Untuk
menjaga kemurnian Al Quran, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits
Bukhari dan Muslim, setiap tahun Malaikat Jibril datang kepada Nabi SAW
untuk memeriksa bacaannya. Bahkan pada tahun wafat Rasulullah, Malaikat
Jibril datang dua kali. Ia mengontrol bacaan Rasulullah dengan cara
menyuruhnya mengulangi bacaan ayat-ayat yang telah diwahyukan. Kemudian
Nabi sendiri juga melakukakan hal sama, yaitu mengontrol bacaan
sahabat-sahabatnya sehingga terpeliharalah Al Quran dari kesalahan dan
kekeliruan.
Pada masa
Rasulullah SAW, sudah banyak sahabat (baik dari kalangan Muhajirin
maupun Ansar) yang menghafal beberapa puluh surah. Bahkan banyak juga
yang telah menghafal setengah Al Quran dan seluruh isinya dengan
lancar.(12) Di samping itu terdapat sahabat-sahabat yang menjadi juru
tulis wahyu.(13) Ayat-ayat suci Al Quran yang telah ditulis oleh mereka
itu disimpan di rumah Rasulullah SAW. Walaupun demikian, tulisan-tulisan
itu belum dikumpulkan dalam suatu mushaf (sebuah buku yang terjilid
seperti yang dijumpai sekarang), melainkan masih berserakan.
Setelah
Rasulullah wafat dan Abu Bakar dipilih menjadi khalifah,
tulisan-tulisan Al Quran yang berserakan pada pelepah-pelepah kurma,
tulang-tulang binatang, dan batu-batu tetap disimpan di rumah Nabi SAW
sampai terjadinya perang Yamamah yang merenggut korban kurang lebih 70
sahabat penghafal Al Quran (huffaz). Karena banyak yang gugur sebagai
syuhada, maka timbul kekhawatiran akan terjadinya perang lagi dan
punahnya sahabat-sahabat penghafal Al Quran. Lebih jauh lagi, hal itu
dapat mengakibatkan hilangnya Al Quran. Oleh karena itu, Umar bin
Khattab lalu menyarankan kepada khalifah Abu Bakar agar menghimpun
surah-surah dan ayat-ayat yang masih berserakan itu ke dalam satu
mushaf. Abu Bakar merasa berat untuk menerima pekerjaan kodifikasi itu.
Namun pada akhirnya ia dapat menerimanya demi memelihara kelestarian Al
Quran. Ia lalu memerintahkan Zaid bin Sabit untuk memimpin tugas
kodifikasi ini dengan dibantu oleh Ubay bin Ka'b, Ali bin Abu Talib,
Usman bin Affan, dan beberapa sahabat qurra' (para pembaca) lainnya. Di
dalam usaha kodifikasi, Zaid bin Sabit berpegang pada tulisan-tulisan
yang tersimpan di rumah Rasulullah, hafalan-hafalan dari sahabat, dan
naskah-naskah yang ditulis oleh para sahabat. Semuanya itu dikumpulkan
dan ditulis di atas lembaran-lembaran kertas yang disebut suhuf-suhuf,
kemudian disusun menjadi satu mushaf, dan akhirnya diserahkan kepada Abu
Bakar.
Sesudah
Abu bakar wafat, mushaf itu berada dalam pengawasan Umar. Setelah Umar
wafat, mushaf ini disimpan di rumah Hafsah.(14) Pada masa khalifah Usman
bin Affan, timbul perselisihan masalah kiraah (cara membaca Al Quran).
Salah satu usulan Huzaifah bin Yaman untuk mengatasi perselisihan itu
ialah perlunya Khalifah Usman bin Affan menetapkan aturan penyeragaman
bacaan Al Quran standar yang kelak akan dijadikan pegangan bagi seluruh
umat Islam di berbagai wilayah. Usulan itu diterima, lalu dibentuklah
panitia. Sesudah selesai, Usman mengembalikan mushaf yang telah disalin
itu kepada Hafsah. Penyalinan Al Quran dengan dialek yang seragam di
masa Usman itulah yang disebut Mushaf 'Usmani. Semuanya berjumlah 5
buah. Satu mushaf disimpan di Madinah, yang kemudian dikenal dengan
Mushaf al-Imam. Empat lainnya dikirim ke Makkah, Suriah, Basra, dan
Kufah untuk disalin serta diperbanyak.
Usaha
kodifikasi Al Quran di masa Usman membawa beberapa keuntungan, antara
lain (1) menyatukan umat Islam yang berselisih dalam masalah kiraah, (2)
meyeragamkan dialek bacaan Al Quran, (3) menyatukan tertib susunan
surah-surah menurut tertib urut seperti dalam mushaf-mushaf yang
dijumpai sekarang.
Dalam
perkembangan selanjutnya, mushaf yang dikirimkan Usman ke berbagai
propinsi Islam itu mendapat sambutan positif. Mereka menyalin dan
memperbanyak mushaf itu dengan sangat hati-hati. Diriwayatkan bahwa
Abdul Aziz bin Marwan (gubernur Mesir) setelah menulis mushaf-nya,
menyuruh orang lain untuk memeriksanya sambil menjanjikan bahwa siapapun
yang dapat menemukan suatu kesalahan dalam tulisannya akan diberi
hadiah berupa seekor kuda dan uang sejumlah tiga puluh dinar.
Kewaspadaan kaum muslimin terhadap setiap penulisan Al Quran ini tetap
berlanjut dari masa ke masa. Penyalinan Mushaf 'Usmani juga bertambah
pesat dilakukan oleh kaum muslimin.(15)
2.3. Al Quran: Himpunan Wahyu Tertinggi
Wahyu
berasal dari kata wahy, dari kata kerja bahasa Arab, waha, yang berarti
meletakkan dalam pikiran, kadang-kadang dipahami sebagai "inspirasi".
Al Quran menggunakan istilah ini tidak hanya untuk inspirasi ilahiah
yang diberikan kepada manusia, tetapi juga untuk komunikasi spiritual di
antara mahkluk-mahkluk yang lain. Namun, wahyu merujuk secara spesifik
kepada wahy, yakni inspirasi ilahiah yang diberikan kepada manusia
terpilih, yang dikenal sebagai nabi-nabi, dengan maksud sebagai
petunjuk.(16) Proses pewahyuan dimulai dari Adam (manusia dan nabi
pertama) dan berlanjut sepanjang sejarah manusia hingga pesan wahyu
akhirnya dipelihara secara utuh dalam bentuk Al Quran.
Kaum
muslim menerima tidak hanya Al Quran, tetapi juga Taurat Musa, Mazmur
atau Zaburnya Nabi Daud, dan Injilnya Isa sebagai jalinan dalam rantai
wahyu ilahiah. Namun untuk memahami wahyu diperlukan pertimbangan yang
hati-hati terhadap kekhususan konteks dan keuniversalan pesan bagi umat
manusia. Sejak wahyu diturunkan untuk membimbing urusan-urusan manusia,
pemahaman intelektual serta implementasi praktis melalui contoh
keagamaan juga dibutuhkan. Dengan demikian, nabi-nabi adalah pembawa
pesan dan sekaligus model.
Para
pemikir muslim mutakhir telah mengekspresikan kebutuhan dan
interpretasi, wahyu Al Quran dari metode literalisme sempit dan ayat
demi ayat, yang bersifat atomistik, sebagaimana tafsir yang awal. Hal
ini membawa kepada tafsir dunia yang mengalami perubahan cepat dan
radikal. Tafsiran semacam itu sesuai dengan opini tradisional bahwa
wahyu adalah khazanah pengetahuan khusus, yang menghubungkan Ilahi Sang
Pencipta dengan manusia yang memiliki kehendak bebas dan kapasitas
independen untuk menalar.
Pada
sepanjang sejarah Muslim telah berlangsung perdebatan seru mengenai
nilai-relatif pengetahuan yang diterima dari wahyu ilahiah serta
pengetahuan yang didapat melalui penalaran independen. Beberapa filosof
berpendapat bahwa akal manusia mencukupi untuk membimbing
urusan-urusannya. Untuk itu, manusia hanya perlu berpaling kepada wahyu
dalam hal-hal tertentu. Namun, apabila Al Quran adalah wahyu dari
kehendak Tuhan, ia seharusnya tidak tertantang dan tidak dapat
disamai.(17)
Kaum
Muslim percaya bahwa Al Quran adalah himpunan wahyu tertinggi (18) dari
setiap kata demi kata. Di dalam Al Quran itu sendiri dinyatakan: "Al
Quran adalah wahyu, diturunkan oleh Kami ……Kami turunkan dalam bahasa
Arab……pada orang Arab, jelas dan tepat……Bila Kami membacanya, Engkau
(Muhammad) harus mengikutinya……Jangan berupaya membawa wahyu kepada
dirimu sendiri……Seandainya Nabi menisbahkan kepada Kami apa yang tidak
Kami wahyukan, maka kami akan merenggutnya dengan kekuatan dan memotong
urat nadi jantungnya" (QS. 4:104; 26:195; 12:2; 20:113; 3:7; 75:16-17;
69:45-46).
Kaum
Muslim menerima wahyu dengan sepenuh hati. Mereka memandang Al Quran
suci dari Allah, baik kandungan maknanya maupun bahasa dan bentuknya.
Bukti bahwa Al Quran adalah firman Tuhan berada pada Al Quran sendiri,
yakni antara lain terletak pada keindahan teksnya yang tidak dapat
ditiru dan tidak tertandingi sehingga merupakan mukjizat. Karena itu, Al
Quran bukan karya manusia, melainkan karya Tuhan. Watak Al Quran yang
demikian ini disebut I'jâz.
2. 4. Al Quran: Wahyu progresif dan Kitab Kemanusiaan
Bertolak
dari uraian di atas, timbul pertanyaan: Apakah Al Quran yang diimani
sebagai wahyu ilahi dan menjadi the way of life umat Islam boleh diberi
tafsir kontekstual yang sesuai dengan prinsip Al Quran sebagai wahyu
progresif?
progresivitas
Al Quran terbukti saat teksnya berdialog dengan konteks sejarah masa
lampau, sekarang, dan proyeksinya ke masa depan. Sebagai teks progresif,
ia tentu tidak bisa bicara sendirian dengan realitas. Dia memerlukan
manusia sebagai penafsir yang bervisi progresif, sehingga Al Quran pun
menjadi wahyu yang progresif. Di sisi lain, sebagai wahyu progresif, ia
merekam seluruh spektrum perjuangan para nabi yang dihadapkan pada
pilihan memihak yang berkuasa atau lemah. Mereka dengan tegas memihak
kaum lemah. Nabi SAW dalam sebuah doanya, berkomitmen untuk hidup,
tumbuh, dan mati bersama yang papa.
Demikian pula Yesus berjuang keras sebagai pembela kaum papa. Musa menjadi simbol otentik perlawanan terhadap arogansi kekuasaan Firaun. Pemihakan para nabi kepada kaum papa, dhuafa/lemah, dan tertindas, menjadi fakta sejarah terjadinya proses penerjemahan Al Quran secara progresif.(19) Para nabi sebelum menjadi instrumen pewahyuan progresif, juga berfungsi sebagai penafsir firman Tuhan yang menjadi progresif dan harus didialogkan dengan situasi, konteks, serta kebutuhan komunitas. Al Quran secara lebih tegas menunjukkan dan mengakarkan ke arah pembebasan kaum papa, lemah, dan tertindas dengan menunjuk teks mustadl'afnn. Teks ini amat progresif, karena kelemahan yang melekat pada mereka, menurut tinjauan Al Quran, disebabkan bukan by nature, by accident, melainkan oleh faktor-faktor luar lainnya (by design), yang dalam istilah sosiologis disebut faktor-faktor "struktural" atau dalam terminologi politik, diakibatkan oleh sistem kekuasaan yang otoriter, represif, dan tiran.
Demikian pula Yesus berjuang keras sebagai pembela kaum papa. Musa menjadi simbol otentik perlawanan terhadap arogansi kekuasaan Firaun. Pemihakan para nabi kepada kaum papa, dhuafa/lemah, dan tertindas, menjadi fakta sejarah terjadinya proses penerjemahan Al Quran secara progresif.(19) Para nabi sebelum menjadi instrumen pewahyuan progresif, juga berfungsi sebagai penafsir firman Tuhan yang menjadi progresif dan harus didialogkan dengan situasi, konteks, serta kebutuhan komunitas. Al Quran secara lebih tegas menunjukkan dan mengakarkan ke arah pembebasan kaum papa, lemah, dan tertindas dengan menunjuk teks mustadl'afnn. Teks ini amat progresif, karena kelemahan yang melekat pada mereka, menurut tinjauan Al Quran, disebabkan bukan by nature, by accident, melainkan oleh faktor-faktor luar lainnya (by design), yang dalam istilah sosiologis disebut faktor-faktor "struktural" atau dalam terminologi politik, diakibatkan oleh sistem kekuasaan yang otoriter, represif, dan tiran.
Penggunaan
Al Quran dengan merujuk teks mustadl'afnn sebagai kelompok lemah,
marginal, dan tertindas tersebut terlihat jelas pada teks, "dalam harta
si kaya", ada bagian intrinsik bagi orang miskin (Q. S.
al-Ma'arif/70:25; al-Dzariyat/51:19). Dengan demikian, Al Quran
mengafirmasikan model keadilan distributif, agar "harta itu tidak hanya
beredar di antara orang-orang kaya saja" (Q. S. al-Hasyr/59:7). Hal ini
membuktikan progresivitas teks Al Quran yang berdialog dengan situasi
sejarah masa silam, dengan konteks kini dan masa depan saat problem
kemiskinan serta penindasan merajalela di mana-mana. Pada saat yang sama
pula, harta dan kekayaan hanya berputar di antara mereka yang kaya
serta berkuasa.
Dr.
Farid Esack (ahli tafsir Al Quran dari Afrika Selatan) menjadikan teks
mustadl'afnn (Q. S. al-Qahash/28:5) sebagai senjata ampuh untuk
membebaskan kaum marginal, dhuafa, dan tertindas dari rezim penindas
apartheid di Afrika Selatan. Teks tersebut benar-benar mempresentasikan
semua penderitaan orang-orang tertindas di Afrika Selatan.(20)
Itulah
salah satu contoh dimana penafsiran teks Al Quran menjadi wahyu
progresif yang kemudian bisa menjadi kekuatan liberatif terhadap yang
lemah, marginal, dan tertindas. Hal tersebut juga merupakan bentuk
hermeneutika Al Quran yang ditafsirkan sebagai wahyu progresif yang
memihak dan membebaskan kaum lemah-tertindas. Lalu, bagaimana dengan Al
Quran sebagai kitab kemanusiaan?
Selama
ini Al Quran, yang diwahyukan Allah di bulan suci Ramadhan, hampir
selalu dipahami dan dicarakan dalam perspektif ketuhanan. Al Quran bukan
sebuah kitab yang hanya berbicara tentang Tuhan, surga, setan,
malaikat, kematian, atau akhirat saja, melainkan juga tentang sejarah
dunia dan alam semesta dengan segala isinya. Semua masalah itu
dibicarakan Al Quran dalam kerangka kemanusiaan dan kehidupan duniawi.
Beberapa contoh berikut ini dapat memperjelas pernyataan tersebut.
Pertama,
dalam terang cahaya wahyu-Nya, Al Quran memaparkan tentang sejarah
suatu bangsa dan sekelompok umat manusia. Pada suatu saat, mereka tumbuh
dan berkembang menjadi kelompok yang kuat dan besar, di saat lain
mereka itu hancur lebur seperti ditelan sejarahnya sendiri.
Kedua,
kitab Al Quran juga mengisahkan mengenai kehidupan suatu bangsa yang
penuh kedamaian, kemakmuran, dan kesejahteraan, berkeadilan, peka
terhadap persoalan rakyat, bahkan terhadap lingkungan alam; yaitu dunia
dan hewan. Kisah tentang bagaimana bangsa dan sekelompok manusia lainnya
dilanda malapetaka dan berbagai penderitaan serta bencana secara terus
menerus, semuanya itu tersebar hampir di semua surat Al Quran.
Contoh
ketiga, model pemimpin dan kepemimpinan juga bisa dibaca dalam Al
Quran. Sebuah bangsa yang besar dan kaya tetapi dipimpin oleh raja yang
otoriter, represif, dan tiran, dengan para pejabat yang korup serta
kesejahteraan yang hanya dinikmati oleh segelintir elite yang berkuasa,
tidak pernah akan hidup lama, bahkan segera hancur. Sebaliknya Al Quran
juga mengisahkan suatu bangsa besar dan makmur yang dipimpin oleh raja
dan para pemimpin yang adil, yang mau memahami, mendengarkan keluh kesah
rakyatnya, bahkan keluh kesah hewan dan tumbuhan akibat ulah manusia.
Keempat,
di dalam Al Quran dapat pula dibaca dan direnungkan berbagai kisah
dramatis bagaimana Nabi Musa dan Nabi Yusuf yang tampil ke panggung
sejarah peradaban dengan posisi serta situasi krusial yang dihadapinya.
Masih banyak contoh lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Dengan
contoh-contoh itu, menurut Abdul Munir Mulkhan, maka Al Quran
memfungsikan diri sebagai petunjuk bagi manusia agar bisa membedakan
jalan hidup yang terang dan gelap. Jadi, Al Quran tidak hanya
memfokuskan diri pada hal-hal ilahiah, tetapi bagi pelayanan kepentingan
manusia itu sendiri. Al Quran hadir sebagai suatu kritik atau dzikir
(peringatan) terhadap kebiasaan hidup manusia yang tidak produktif.
Meskipun kitab ini mencatat nama-nama Tuhan yang terdapat dalam 1.882
ayat (hampir 30 persen dari seluruh ayat Al Quran yang berjumlah lebih
dari 6000 ayat), namun nama-nama tersebut berkaitan dengan informasi
tentang berbagai persoalan di sekitar diri manusia dan alam. Dengan
demikian, jelas sekali bahwa Al Quran selain merupakan wahyu yang
progresif, juga merupakan kitab kemanusiaan.
3. AKHIR KATA
Bila
dihubungkan dengan wahyu-wahyu sebelumnya, maka wahyu Islam membedakan
dirinya sebagai wahyu yang berkenan dengan norma-norma agama dan etika,
serta memusatkan perhatian kepada prinsip. Wahyu Islam menyerahkan
kepada manusia tugas menterjemahkannya ke dalam bentuk petunjuk dan
perintah untuk kehidupan sehari-hari. Petunjuk ini disebut sebagai
syariah (hukum) atau minhâj (program). Keajaiban Al Quran menurut banyak
orang muslim saat ini, bukanlah dari cara wahyu itu disampaikan kepada
Muhammad di gunung Hirâ' - di Mekkah, dan kelak di Madinah, tetapi
terletak pada kemampuannya secara terus menerus dalam memberi suatu
kepercayaan pada makna serta nilai kehidupan. Agama Islam pastilah terus
menerus kreatif dan inventif dalam penerapan visi orisinal di tengah
dunia yang terus berubah: pada setiap generasi, Islam merespon
modernitas sebagaimana agama-agama lain.
CATATAN:
(1)
Al Quran dengan makna bacaan dinyatakan oleh Allah SWT dalam ayat-ayat
berikut, yakni surah-surah al-Qiyamah ayat 16-18, al-Baqarah ayat 185,
al-Hijr ayat 87, Taha ayat 2, al-Ahgaf ayat 29, al-Waqi'ah ayat 77,
al-H?syr ayat 21, al-Insan ayat 23, dan al-Isra ayat 88.
(2) Simak uraian terperinci John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Jilid 5, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 57.
(3)
Beberapa rujukan dapat dikaji sendiri, misalnya: Ensiklopedi Islam
Jilid 4, Cetakan keempat, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van - Hoeve,1997),
hlm. 133-135; bdk. juga John L. Esposito, Op.Cit., hlm. 55. Lihat dan
baca Ahmad Von Denffer, Ilmu Al Quran : Pengenalan Dasar (Jakarta: CV.
Rajawali, 1988), hlm. 17.
(4) Lihat Maulana Muhammad'ali, Islamologi, (terj.), (Jakarta: PT. Ichtiar Baru - Van Hoeve, 1980), Hlm. 18.
(5)
Turunnya wahyu kedua itu didasarkan pada hadits riwayat Bukhari,
Muslim, al-Hakim, dan al-Baihaki dari Aisyah binti Abu Bakar.
(6)
Menurut Ibnu Ishaq (w.786), penulis buku as-Sirah (riwayat Nabi
Muhammad SAW), wahyu tidak turun selama kurang lebih tiga tahun.
(7)
Ada dua pendapat mengenai ayat terakhir yang diwahyukan kepada Nabi SAW
ini. Menurut riwayat an-Nasa'I dan Ikrimah, Ibnu Abbas menyatakan bahwa
wahyu terakhir ialah Surah al-Baqarah ayat 281. Sedangkan menurut
Jumhur (mayoritas) ulama adalah Surah al-Ma'idah ayat 3.
(8)
Diriwayatkan oleh Aisyah, ibu umat beriman, bahwa Al-Harits bin Hisyam
pernah bertanya kepada Rasulullah: "Bagaimanakah caranya wahyu Allah
datang kepadamu? Jawab Rasulullah: Kadang kala wahyu datang seperti
bunyi lonceng; itulah yang terberat bagiku. Dan itu baru berhenti
apabila aku telah dapat menangkap seluruh apa yang diwahyukan. Tetapi
kadang kala malaikat datang ke hadapanku dalam bentuk seperti seorang
laki-laki, lantas ia berbicara kepadaku , maka aku mengerti apa yang
dibicarakannya ". Uraian dan penjelasan selengkapnya dapat dilihat dalam
tulisan H. Zainuddin Hamidy, dkk., Terjemahan Hadis Shahih Buchari,
Jilid I, Jakarta: 1961, hlm. 13.
(9)
Menurut Perhitungan ulama Kufah, seperti Abu Abdurrahman as-Salmi, Al
Quran terdiri dari 6.236 ayat. Sedangkan menurut as-Suyuti, terdiri atas
6.000 ayat lebih. Al-Alusi dalam kitab tafsirnya Ruh al-Ma'ani fi
Tafsir Al-Qur'an al-Azim wa as-Sab'al-Masani (Semangat Makna dalam
Tafsir Al Quran yang Agung dan al-Fatihah) menyebutkan bahwa jumlah ayat
Al Quran sekitar 6.616 ayat. Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan
pandangan di antara mereka tentang kalimat Basmalah pada awal surah dan
Fawatih as-suwar (kata-kata pembuka surah), seperti Yasin, Alif Lam Mim,
dan Ha Mim. Ada yang menggolongkan kata-kata pembuka tersebut sebagai
ayat dan ada pula yang tidak.
(10) Maulana Muhammad'ali Op.Cit., hlm. 13.
(11)Penjelasan
menarik tentang hal ini dapat dibaca dalam tulisan Masjfuk Zuhdi, Studi
Islam, Jilid I: Akidah, (Jakarta: CV. Rajawali, 1988), hlm. 7.
(12)
Diantara yang menghafal seluruhnya adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin
Khattab, Usman bin Affan, Alibin Abi Talib, Talhah, Abdullah bin Umar
bin Khattab, Abdullah bin Abbas, Amr bin As, Mu'awiyah bin Abu Sufyan,
Abdullah bin Zubair, Aisyah binti Abu Bakar, Hafsah binti Umar, Ummu
Salamah, Uaby bin Ka'b, Mu'az bin Jabal, Zaid bin Sabit, Abu Darda, dan
Anas bin Malik.
(13)
Mereka itu antara lain adalah: Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab,
Usman bin Affan, Alibin Abi Talib, Amir bin Fuhairah, Zaid bin Sabit,
Ubay bin Ka'b, Mu'awiyah bin Abu Sufyan, Zubair bin Awwam, Kahlid bin
Walid, dan Amr bin As.
(14) Hafsah adalah putri Umar dan menjadi isteri Rasulullah SAW
(15)
Ada banyak referensi mengenai kodifikasi Al Quran ini, antara lain yang
ditulis dalam bahasa Indonesia adalah Ensiklopedi Islam Jilid 4, hlm.
135-137, John L. Esposito, Op.Cit., hlm. 56; Daud Al-Athar, Perspektif
Baru Ilmu Al Quran, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994); Manna Khalil
Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al Quran, Terjemahan Mudzakin AS, (Jakarta:
PT. Pustaka-Pustaka Litera Antar Nusa, 1994); Tengku Muhammad Hasbi Ash
Shiddiqy, Sejarah dan PengantarIlmu Al Quran dan Tafsir, (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra , 1997). Sumber-sumber lain yang patut dibaca
misalnya; Richard Bell, Bell's Introduction to the Qur'an, Edisi Baru
yang direvisi oleh W. Montgomery Watt, Edinburgh, 1970; John Burton, The
Collection of The Qur'an Cambridge, 1977. Burton dalam bukunya
menegaskan bahwa yang disebut naskah 'Utsmani adalah mushaf yang
digunakan selama kehidupan Nabi. Dengan demikian, bukan 'Utsman yang
pertama kali menghimpun Al Quran melainkan Nabi Muhammad. Baca juga
Arthur Jeffrey (peny.). Materials for the History of the Text of the
Qur'an, Leiden, 1937; Abu Al-Qasim Al-Khu'I, Al-Bayan fi Tafsir Al
Quran, Beirut, 1975. Ia mempunyai kesimpulan yang sama dengan Burton,
yakni 'Utsman tidak menghimpun mushaf, tetapi menyatukan sikap komunitas
muslim terhadap mushaf yang telah ada dan secara umum diterima. Karya
ini juga membahas banyak isu penting dalam kajian Al Quran. Simak juga
karya John Wansbrough, Quranic Studies, Oxford, 1977. Dengan menggunakan
metode kritis biblikal dalam mengkaji Al Quran, dia berkesimpulan bahwa
Kitab Suci tidak sampai pada keadaannya yang sekarang hingga tiga abad
kemudian. Argumen serupa disampaikan dalam karyanya, Sectarian Mileu,
Oxford, 1978. Pemahaman kita mengenai kodifikasi tersebut perlu
dilengkapi dengan pengertian mengenai penulisan dan pencetakan Al Quran,
pembakuan bahasa Arab dan kategorinya, dan lain-lain, sehingga dapat
diperoleh suatu gambaran yang lebih lengkap. Untuk itu perlu dibaca
karya Ismail R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, The Cultural Atlas
of Islam, (New York: Macmillan, 1986), yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia oleh Ilyas Hasan, Atlas Budaya Islam Menjelajah
Khazanah Peradaban Gemilang, (Bandung: Mizan, 1998), bdk. juga John L.
Esposito, Loc. Cit.; Ensiklopedi Islam Jilid 4, Loc.Cit.
(16)
Di dalam Al Quran terdapat lafal "wahyu" dan lafal-lafal yang diambil
daripadanya sebanyak kurang lebih 70 kali dan dipakai dalam beberapa
arti. Misalnya, dalam surah Maryam ayat 11 dipakai dalam arti "isyarat",
dalam surah an-Nahl ayat 68 dipakai dalam arti "ilham", dan dalam surah
asy-Syura ayat 13 diartikan sebagai "wasiat". Ada banyak kajian tentang
wahyu itu sendiri. Untuk itu, dapat dicermati dan dibaca
tulisan-tulisan berikut ini antara lain, M. Rasjid Ridha, Wahyu Allah
Kepada Muhammad, (Surabaya: Japi, 1964); Saleh Mahfoed, Fenomena Al
Quran (terj), (Bandung: PT. Alma'arif, 1983); Muslich Maruzi, Wahyu Al
Quran: Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Pustaka Amani,
1986).
(17) Bdk. A.J. Arberry, Reason and Revelation, London, 1967.
(18)
Pemahaman tentang Al Quran sebagai himpunan wahyu tertinggi (yang
diturunkan malaikat Jibril) ini akan menjadi lebih jelas apabila disimak
beberapa sumber berikut: Yahya Rais, Islam Agama Fitrah Manusia,
(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1982); Muhammad Zain Djambek, Kuliah Islam,
(Jakarta: Tintamas Indonesia, 1985); H. Ibrahim Lubis, Agama Islam,
(Jakarta Timur: Ghalia Indonesia, 1982); Dahlan Idhamy, Pengantar Studi
Agama Islam, (Jakarta: PT. Media Sarana Press, 1987); Muclish Maruzi,
Wahyu Al Quran Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Pustaka
Amani, 1987); Paskalis Edwin Nyoman, Wahyu Dalam Islam dan Katolik:
Studi Perbandingan Agama dalam Perpektif Dialogal tentang Misteri Iman
yang Paling Fundamental, (Malang: Tesis STFT Widya Sasana Malang, 1990).
Ada satu buku menarik dan bagus yang perlu dibaca untuk semakin
memperjelas judul tulisan ini. Buku tersebut ialah hasil karya Muhammad
Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Cet. ke-24, yang diterjemahkan
oleh Ali Audah, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2000).
(19) Bdk. Kompas, 3 Desember 2001, hlm. 4.
(20)
Farid Esack yang menafsirkan teks mustadl'afnn dalam konteks
penindasan, dapat dibaca dalam bukunya yang berjudul, Qur'an,
Liberation, and Pluralism: An Islamic Perpective oof Interreligious
Solidarity against Oppression, (Oxford, 1997) yang telahdialihbahasakan
oleh Budiman menjadi Membebaskan Yang Tertindas, (Mizan, 2000)