Antara Beragama dan Berbudaya Islam

oleh Ahmad Tohari

Beberapa bulan yang lalu di UIN Walisanga, Semarang, diadakan diskusi tentang gaya sastra karya-karya KHA Mustofa Bisri atau Gus Mus. Memang puisi dan prosa Gus Mus punya ciri khas: santun, empatik, dan selalu sederhana. Ketiga sifat itu membangun keanggunan yang tetap terasa meskipun karya-karyanya tidak jarang bernada kritik. Nah , latar atau kesadaran apa yang dimiliki oleh kiai dari Rembang itu sehingga karya-karyanya punya kekhasan tadi?

Saya merasa beruntung ketika diminta menjawab pertanyaan itu. Beruntung, karena saya sudah lama memikirkan dan merasa sudah menemukan jawabnya yang, meskipun spekulatif, namun saya tidak ragu mengemukakannya. Maka, di depan Gus Mus sendiri serta puluhan mahasiswa dan dosen saya katakan, Gaya sastra Gus Mus mewakili kepribadiannya. Yakni, kepribadian seorang yang telah meninggalkan agama.

Ucapan itu belum selesai ketika saya melihat wajah-wajah yang tampak terkejut dan mendadak serius. Gus Mus sendiri menatap saya dari balik lensa kacamatanya. Saya malah sengaja menggantung ucapan itu, meniru cara Adolf Hitler ketika berpidato di depan massa Nazi, delapan puluh tahun lalu. Meninggalkan agama? Gus Mus meninggalkan agama?

Itulah pertanyaan bisu yang muncul dari puluhan wajah itu. Ya, saya mengerti mereka terkesima dan risau oleh ucapan saya yang amat provokatif. Jadi, setelah sekian detik dibiarkan menggantung, ucapan itu saya perjelas maksudnya. Ya, bagi saya, Gus Mus adalah orang yang telah meninggalkan agama dan naik ke dataran yang lebih tinggi.

Dia kini telah menjadi pribadi yang dalam keseluruhan hidupnya telah berbudaya Islam. Syahadat telah membuatnya serbatahu diri; shalat telah mencerahkan jiwa sehingga dia tinggalkan yang keji dan mungkar; puasa membangun sikap patuh kepada Tuhan; haji membuatnya mau belajar dan bersilaturahim dengan tulus dengan siapa pun. Sementara saya dan kebanyakan Anda baru sampai ke tingkat beragama yang cuma formal-ritual, beragama pada tingkat daging yang lupa harus diberi ruh. Padahal, daging tanpa ruh cuma akan membusuk seperti bangkai.

Lengang. Saya mengerti hadirin sedang kembali serius. Ah, saya malah senang karena merasa berhasil membuat kondisi yang penuh greget untuk berpikir, apakah Islam memang harus dibudayakan dan tidak hanya diagamakan? Saya tidak akan ragu menjawab, ya! Bahkan, saya tak ragu untuk mengajukan tawaran, bagaimana bila kata 'agama' diganti dengan 'budaya' agar Islam menjadi tata nilai yang membumi dan mencerahkan sehingga dihayati serta diamalkan oleh manusia dengan penuh ketulusan?

Saya menyadari kata 'agama' sudah begitu mapan sebagai padanan kata al din. Mengubah sesuatu yang sudah mapan kata 'budaya' dan turunannya secara umum pula telah dikerdilkan artinyadan sudah pula lama menjadi kepercayaan umum memang tidak mudah. Pada sisi lain, . Lihatlah betapa kosakata ini sering hanya diartikan sebagai ragam kesenian dan tradisi lokal! Dengan demikian, mengganti kata 'agama' dengan kata 'budaya' bisa menimbulkan kesalahan secara mendasar. Dengan kata lain, penggantian kata 'agama' dengan kata 'budaya' hanya ditawarkan bila kata yang terakhir itu diberi takrif yang memadai, yakni budaya adalah sistem dan tata nilai yang dipercaya, dimapankan, dan menjadi perilaku manusia.

Pada diskusi di UIN Walisanga itu, saya belum mendapat tanggapan yang memadai. Ya, karena fokusnya memang bukan masalah agama atau budaya, melainkan ciri kesastraan Gus Mus yang santun dan manusiawi itu. Namun, beberapa bulan kemudian, dalam acara pemberian gelar doktor kehormatan bagi Gus Mus, ini berlangsung di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tema ini seperti muncul kembali.

Substansi pidato ilmiah yang disampaikan Gus Mus tidak jauh dari tema membudayakan Islam. Pidato rektor yang sudah dicetak dalam bentuk buku juga diberi judul, Meneguhkan Islam Budaya. Kalau begitu, rupanya banyak juga orang yang berharap Islam tidak hanya dipeluk sebagai agama karena hal itu belum cukup. Kata 'agama' terbukti telah mengarahkan asosiasi kita kepada sesuatu yang melembaga yang berorientasi legal-formal-ritual dan telah kehilangan ruh manusiawi.

Ada bukti yang menarik. Ajaran rukun Islam yang pertama, syahadat, tidak banyak membuat kita tahu diri, baik di hadapan Tuhan apalagi di hadapan sesama makhluk. Maka, renungan kita hari ini adalah, cukupkah kita beragama dan tidak perlu meningkatkannya menjadi berbudaya Islam? Mari kita coba menjawabnya.

Resonansi - Republika, Senin, 03 Agustus 2009