Kumpulan artikel dari kolom Tasawuf di Republika, oleh Rudy Harahap
Silaturahmi
Rudy Harahap
Jumat, 09 Juli 2004
Barangsiapa menjamin untukku satu perkara,
aku jamin untuknya empat perkara.
Hendaklah dia bersilaturrahim
niscaya keluarganya akan mencintainya,
diperluas baginya rezekinya, ditambah umurnya
dan Allah memasukkannya ke dalam surga yang dijanjikan-Nya (HR Ar-rabii')
Apakah yang mendorongmu, wahai Shihabuddin, hingga ke Malaysia? Shihabuddin, pria setengah baya itu, memang bukan sosok yang memiliki banyak waktu luang. Pekerjaannya sebagai direktur utama perusahaan konsultan bangunan yang didirikannya, menyebabkannya digenangi kesibukan. Kesibukannya kian lengkap ketika ia terpilih menjadi pimpinan pada organisasi konsultan bangunan di negaranya. Dengan demikian, ia mesti mahir membagi waktunya yang 24 jam, untuk keluarga, perusahaan yang dibinanya, maupun organisasi yang dipimpin. ''Jika dipikir, waktu yang 24 jam, tidak cukup untuk semua itu,'' ujarnya.
Tapi, mengapa engkau menghamburkan masa dan biaya, ke Malaysia? ''Di antara pelbagai amalan, ada satu amanah almarhum ayah, jangan melupakan silaturrahim, kendati sesibuk apa pun. Itulah menyebabkan saya ke Malaysia,'' jelasnya. Sebagai anak lelaki yang dituakan, Shihabuddin memiliki 12 saudara perempuan yang berserakan: tidak hanya di kota-kota besar Indonesia, juga di negeri jiran Malaysia.
Kendati semuanya telah berkeluarga dan memiliki kesibukan masing-masing, tidak membuatnya lepas tangan. Shihabuddin tetap memosisikan dirinya sebagai pengganti orang tua: pusat kasih kemanusiaan, bahkan, muara permasalahan. Ia bersedia berbagi beban. Tidak mengherankan, bila ipar-iparnya, merasa dekat kepadanya. Demi mengaktualisasikan simpul tali kasih kemanusiaan, ia berusaha menyisihkan masa dan biaya, untuk mengunjungi saudara-saudaranya. Waktu kunjungan memang disesuaikan dengan kesempatannya, sekaligus siapa di antara saudaranya yang paling mendesak memerlukan pelipur kasih.
Apa makna dari kisah mengenai Shihabuddin? Betapa kehidupan modern, terutama di kota-kota besar, menyebabkan seseorang terbenam pada kesibukan. Tidak jarang, kesibukan tersebut menyebabkan seseorang menjadi workalholic. Kesibukan, bahkan, menjadi gaya hidup yang membanggakan. Bukankah kita sering mendengar pebisnis supersibuk ---- ketika diwawancarai media ---- membanggakan hanya tidur tiga atau empat jam?
Kesibukan sering kali menyebabkan seseorang melalaikan perannya sebagai makhluk sosial. Akibatnya, kehidupan di Jakarta yang serba bergegas, menyebabkan seseorang melupakan untuk berkunjung dan menjalin tali silaturrahim. Beberapa sosok supersibuk, bahkan, beranggapan bahwa kesempatan menjalin tali silaturrahim hanya tradisi orang-orang di desa, sehingga tidak pantas dibawa ke perkotaan. Gaya hidup demikian tidak hanya di Indonesia, juga mulai mode bagi masyarakat Melayu Malaysia.
Patutkah kita memutuskan tali silaturrahim baik karena alasan sibuk ataupun karena ada faktor ketidaksesuaian? Islam menekankan betapa pentingnya silaturrahim seperti firman-Nya: Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lainnya, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim (QS. 4:1). Berkaitan dengan hubungan silaturrahim ini, Nabi SAW pun bersabda: Rahim adalah cabang dari nama Arrahman. Rahim mengucapkan keluhan dan pengaduan: ''Ya Rabbi, aku telah diputus (hubungan kekeluargaanku), aku telah diperlakukan dengan buruk oleh keluargaku.'' Lalu Allah menjawab: ''Tidakkah kamu ridha Aku menyambung hubungan-Ku dengan orang yang menghubungimu dan Aku putus hubungan-Ku dengan orang yang memutuskan hubungannya dengan kamu.'' (HR. Bukhari).
Begitu pentingnya silaturrahim, Allah pun memberikan salah satu nama-Nya (Rahim), untuk bentuk hubungan antarmanusia tersebut. Ia memberikan ridha-Nya terhadap orang yang memelihara silaturrahim. Selain menjanjikan surga di hari kemudian, Ia pun menyemaikan rezeki di antara simpul silaturrahim. Hubungan antarkemanusiaan yang harmonis, menyebabkan seseorang menawarkan pekerjaan maupun proyek, terhadap sejawatnya. Tak mengherankan, dalam pergaulan modern, dikenal saling tukar kartu nama sebagai bahagian menjalin hubungan antarmanusia. Bukankah saling tukar kartu nama itu merupakan refleksi silaturrahim yang berpeluang pada hubungan bisnis?
Pentingnya bersilaturrahim ini pun dapat dibuktikan melalui teori-ilmu. Manusia, demikian teori psikologi menyebutkan, telah menunjukkan bila dirinya sebagai mahluk sosial sejak bayi. Ia belajar melakukan kontak sosial dengan inang pengasuhnya. Begitupun pelbagai penelitian psikologi menunjukkan manusia muskil hidup sendiri. Bahkan, psikolog Stanley Schachter pada akhir tahun 1950-an melakukan penelitian, untuk membuktikan manusia memerlukan individu lain dalam situasi kecemasan. Penelitian tersebut membuktikan manusia memerlukan individu lain untuk berbagi perasaan cemas. Dengan adanya individu lain, manusia saling memberikan rangsangan indra sedemikian rupa, sehingga hidupnya tidak kesepian.
Penelitian tersebut mengukuhkan ajaran Islam. Bila teori-ilmu membuktikan kebenaran ajaran agama, mengapa kita menepikan silaturrahim dengan dalih sibuk, ataupun karena tidak menyukai individu lain? Kesibukan yang mengepung, agaknya, dapat diatasi dengan kepesatan teknologi informasi: sejenak menyisihkan waktu untuk bertukar kabar melalui e-mail, SMS, ataupun telepon. Teknologi modern pun memberikan peluang bagi kita untuk silaturrahim. Seseorang yang karib dengan teknologi modern dan memahami pentingnya makna silaturrahim, niscaya menggunakan piranti modern tersebut, demi menjalankan perintah agama (saya mengenal salah seorang supersibuk yang tetap menjunjung silaturrahim yaitu Menteri Kelautan dan Pesisir Rokhmin Dahuri yang senantiasa menjawab SMS). Maka mengapa tidak membenahi simpul silaturrahim, terutama bila terjadi perbedaan sikap, semasa menyongsong pemilihan presiden?
Kenapa Engkau, Adam (1)
Rudy Harahap
Jumat, 06 Agustus 2004
Mengapa engkau campakkan kemapanan hidupmu, Adam? Bukankah kemapanan namanya, di saat engkau memiliki rumah dan kendaraan bermotor bersama pekerjaan yang mencetak jutaan rupiah, ketika banyak penduduk di Ibukota hanya memiliki sepotong malam untuk bermimpi terlelap di bangunan bernama rumah, bukan sepotong kardus di pinggiran kali seperti yang dihuni. Lihatlah: tubuh mereka yang ringkih, masih ngilu akibat menjadi ikan pindang di ruang bus kota yang tidak pernah memberikan hak asasi kemanusiaan?
Apa yang engkau cari Adam? Bukankah engkau telah memiliki sejumlah kriteria kehidupan bermarwah: sejawat yang menyayangi sekaligus diam-diam menggagumi kemampuanmu. Bukankah engkau pun mencintai pekerjaanmu karena tidak membuatmu menjadi robot ketika banyak penduduk Jakarta bekerja seperti mesin: mereka dipaksa menulikan telinga dari nurani jika tidak ingin kehilangan kedudukan. Tidak sedikit di antaranya, bahkan, kehilangan keagungan kemanusiaan ketika mesti menjulurkan lidah kepada atasan.
Ada apa denganmu Adam, ketika istrimu Hawa memiliki juga pekerjaan mapan, sesuatu yang menjadi syarat ideal bagi kehidupan di kota metropolitan? Bahkan, istrimu yang dinilai cemerlang, kembali diangkat menjadi atasan. Bukankah menjadi pimpinan pada unit kerja merupakan prestasi bagi ukuran kerja modern? Anehnya, istrimu justru menolak jabatan, ketika setiap orang di negeri ini berambisi menjadi pimpinan.
Kenapa engkau Adam bersama istrimu Hawa? Apakah engkau seperti Adam yang pertama kali di bumi, tidak mampu meredam hawa nafsu, sehingga menolak kenyamaman surga dengan memakan buah khuldi? Kehidupanmu yang laiknya "surga" pun kini engkau campakkan Adakah engkau pun seperti bapakmu Adam, tergoda untuk meraih kehidupan yang melebihi surga, sehingga membuang air di tempayan ketika mengharapkan hujan?
Sejawatmu, bahkan handai taulanmu, khususnya yang cara berpikirnya terbelenggu paradigma modern menilai, engkaulah sosok yang tidak tahu berterimakasih, Adam! Bukankah keputusanmu melipat kemapanan hidup, lalu berkemas-kemas pergi, seperti seseorang yang tidak bersyukur kepada kekinian hidup? Jangan menyalahkan cara berpikir mereka, Adam! Paradigma berpikir modern telah mengajarkan, seseorang yang kembali ke bangku pendidikan, tentu akibat tidak puas dengan kehidupan kekinian, sehingga kembali bersekolah untuk meraih kehidupan yang lebih cemerlang. Cara berpikir demikian, wahai Adam, telah tersemai sejak zaman penjajahan: sekolah menjadi lampu Aladin yang membebaskan orang dari belenggu kebodohan. Kebodohan berarti juga kemiskinan. Dengan demikian, mengutip paradigma berpikir tersebut, seseorang yang bersekolah akan menggenggam kecemerlangan hidup berkat ijazah yang dikantonginya.
Maka Adam, engkau menyusut pipimu yang basah, ketika mengetahui sejawat dan handai taulanmu terbelenggu paradigma modern. Memang, bagi mereka yang tidak mampu melihat dengan mata hati, akan keliru menebak keputusanmu untuk hijrah. Paradigma modern tidak mampu menalar keputusanmu: di saat engkau pamit untuk sekolah sesungguhnya engkau ingin memulai pengembaraan spiritual.
Engkau seperti juga sejawat dan handai taulanmu terlampau lama dibelenggu paradigma modern dan matematis: jika tidak memiliki pekerjaan tetap berarti tidak memiliki pendapatan sehingga sama dengan menggali kubur sendiri. Begitupun kehidupan bermarwah identik dengan kedudukan yang tinggi: berapa banyak rumah dan mobil maupun deposito. Hidup bermarwah identik dengan kata memiliki kebendaan. Budaya materialisme menyebabkan ukuran sukses semata-mata berdasarkan benda fisik yang dimiliki.
Memiliki berarti menguasai. Pemilikan dengan citarasa penguasaan, menyebabkan orang enggan kehilangan. Dengan citarasa demikian, membuatmu tidak pernah nyaman dalam setiap penerbangan, karena membayangkan: pada ketinggian berapakah, pesawat ini terhempas? Hempasannya akan memisahkanmu dari segenap yang dimiliki. Betapa menyiksa ketika merasa sangat memiliki.
Maka siksaan yang mendera itu, menyurut ketika engkau untuk pertama kali rela bersujud di Hijir Ismail, ketika ribuan kaki hilir mudik di sisi kepalamu. Sesaat hendak sujud, cara berpikir modernmu yang congkak masih sempat melintas: di saat sujud, kepala merendah sehingga membuka peluang untuk diinjak orang. Bukankah Hijir Ismail tidak pernah sepi ketika musim haji? Tapi, wahai Adam yang bercitarasa hidup modern, Allah seketika menanamkan rasa ikhlas yang menanggalkan kecongkakan hidup modernmu, sehingga engkau rela sujud sembari menyadari kehidupan ini milik Allah. Maka Adam, itulah sujud pertamamu yang ikhlas dan tawakkal, merendahkan kepala di sekeliling kaki orang. Di Hijir Ismail, Adam, engkau menyadari penjungkirbalikkan tatanan nilai modern ketika seseorang melakukan pembelajaran spritualisme.
Dengan modal sujud di Hijir Ismail, engkau pun memulai pengembaraan ruhani, di negeri hijrah. Di saat tidak aktif bekerja, dihapuskan jaminan masa depanmu dari kantor yang selama ini memberikan perlindungan keamanan dan kenyamanan yang seringkali dapat menimbulkan kecongkakan, engkau menemukan sejatinya manusia itu lemah. Betapa banyak kita menutupi kelemahan diri di balik kekayaan materi: merasa sangat berkuasa ketika duduk di kursi pimpinan ataupun berlindung di dalam rumah mewah. Tapi, pernahkah kita mencoba sedetik saja kehilangan sihir materi itu, untuk menyadari siapa diri ini? Engkau kian menyadari, manusia menjadi serakah dan semena-mena, karena sejatinya takut pada kelemahan diri sendiri. Agar mampu berdamai dengan kelemahan diri, orang perlu merasa miskin, pahitnya ditindas.
Hari-harimu kini Adam adalah hari-hari yang kehilangan sihir materi. Engkau semakin menyadari betapa lemah manusia, bahkan, sekadar untuk menggenggam masa depannya. Apa yang kita miliki ternyata fana, semua milik Allah. Maka di negeri hijrah, engkau belajar tawakkal ---- bukan sekadar mahir mengucapkannya ---- dalam kelemahanmu sebagai manusia. Engkau di saat berusaha, senantiasa menyerahkan sepenuhnya kepada Allah sembari meyakini janji-Nya: Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya (QS Ath Thalaaq [65]:3). Di saat demikian adakah lagi gunanya merasa congkak dengan kepemilikan materi? Menyadari kelemahan diri, membuat orang menjadi lebih tawakal.
Engkau pun belajar ikhlas dari kehidupanmu sendiri. Bukan sekadar mahir mengucapkannya. Bukankah kehidupanmu kini dengan kemarin bagaikan langit dan bumi? Keikhlasan menyebabkan seseorang tetap lelap tidurnya ketika kasurnya yang semula springbed berubah menjadi tilam biasa. Bukankah keikhlasan namanya, ketika seseorang merasa tetap terhormat makan bersila di lantai, ketika sebelumnya di meja kaca? Keikhlasanlah namanya, bila kita rela menyerahkan barang milik sendiri untuk kenikmatan orang lain, meski akibatnya kita kehilangan kemewahan diri.
Maka Adam, seperti takwil tongkat yang diuraikan Sayid Muhammad Mahdi Thabathaba'I Bahrul Ulum di bukunya As-Sair Wa As-Suluk ----''barangsiapa yang telah mencapai usia 40 tahun dan belum mengambil tongkat, maka ia telah bermaksiat'' ---- engkau pun menggenggam tongkatmu untuk memulai pengembaraan roh.
Kenapa engkau, Adam (2)
Rudy Harahap
Jumat, 13 Agustus 2004
Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya dengan berkata: ''Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?'' (QS Thaha [20]:120) Kenapa engkau tergoda bujuk rayu itu, Adam? Bukankah Allah, seperti kisah para ulama, telah melarangmu agar tidak tergoda bujukan syaitan untuk memakan buah khuldi. Namun engkau mengingkarinya sehingga tidak sedikit ulama maupun sebagian keturunanmu menyesali tindakanmu.
Dengan suara murung, mereka mengutip ayat Al-Quran: Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia. (QS Thaha [20]:121). Tak mengherankan bila ada yang menggugatmu: Kenapa engkau makan buah khuldi itu? Tapi, wahai bapak daripada manusia, engkau tidak perlu berkecil hati. Saya setidaknya memaklumi tindakanmu tersebut. Betul, Allah telah mengingatkanmu, betapa iblis yang enggan sujud kepadamu akan senantiasa menggoda.
Iblis bertekad mengeluarkanmu dari surga yang tidak akan membuatmu kelaparan, dahaga maupun telanjang dan terpanggang terik matahari. Surga sesungguhnya merupakan kenikmatan tiada bertara. Tak mengherankan bila iblis berusaha mengeluarkanmu dari "kehidupan yang nikmat" tersebut. Ia pun melancarkan tipu daya, misalnya, dengan dalih bahwa buah dari pohon Syajaratulkhuldi akan mengekalkan segenap kenikmatan yang engkau cicipi. Engkau adalah bapak daripada manusia di bumi. Bukankah kami seperti dirimu menerima hawa nafsu yang menjadi pembeda dengan malaikat. Hawa nafsu yang menghuni bilik hati senantiasa menyebabkan manusia terpedaya oleh kemauannya sendiri.
Hawa nafsu menyebabkanmu seperti juga diri kami ini menyukai kenikmatan yang mapan. Tiada seorang manusia pun menginginkan kesengsaraan. Akibatnya? Mulai dari dirimu ya Adam hingga kepada kami sebagai keturunanmu berlomba-lomba mencoba mengekalkan kemapanan dan kenikmatan tersebut. Tak sedikit di antara kami menjadi sosok yang serakah. Lihatlah: berapa banyak keturunanmu di penjuru bumi, seperti dirimu yang pernah tergoda iblis, lebih mengikuti dorongan hawa nafsu (amarah). Allah pun telah mengingatkan seperti firman berikut: Kehidupan dunia telah menipu mereka dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri (QS Al An'aam [6]:130). Begitupun dengan firman yang artinya: Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan (QS Ali Imran [3]:185).
Maka mereka yang tertipu dengan kehidupan dunia melakukan pelbagai cara demi mendapatkan kesenangannya. Ada yang melakukan perbuatan keji seperti menyingkirkan lawan, demi mengekalkan kekuasaan yang menjamin kenikmatan dan kemapanan. Lainnya meraup keuntungan melalui cara-cara yang dilarang agama, seperti melakukan korupsi ataupun memekarkan anggaran untuk kemudian dikantongi, demi terjaminnya kehidupan yang mapan. Bahkan, tidak sedikit yang menjadi musyrik: mendatangi dukun atau menyimpan niat menyeleweng ketika berziarah ke kuburan demi mengekalkan kemapanan.
Bukankah sejatinya mereka mempersekutukan Allah ketika meminta-minta kepada zat gaib (jin dan sebagainya) lainnya? Seperti dirimu Adam, tidak sedikit keturunanmu ingin mengekalkan surga di dalam kehidupan, semasa masih di dunia. Akibatnya? Sepertimu Adam, banyak keturunanmu yang tidak memiliki azam (kemauan kuat) untuk menggenggam amanah Allah. Bahkan tidak sedikit justru lupa terhadap janji-amanah ketika hendak dilahirkan ke bumi. Tapi, kenapa engkau makan buah khuldi itu, Adam? Bukankah keinginan mengekalkan nikmat surga menyebabkanmu justru keluar dari surga. Allah berfirman: ''Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian dari kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. (QS Thaha [20]:123).
Mungkin sebagian ulama, bahkan, keturunanmu menyesalkan kelalaianmu tersebut. Namun, ya bapak manusia, aku justru ingin memahami kelalaianmu: betapa seperti dirimu, manusia senantiasa mengalami pertempuran batin. Betapa kehidupan di dunia yang penuh tipu daya menyebabkan manusia senantiasa bertarung: terus menerus berjuang menaklukkan nafsu amarah, memerangi kehinaan dosa yang membayangi kehidupan. Pertempuran tersebut menyebabkan manusia berusaha memahami makna kesalahan untuk meraih kebenaran. Pertarungan demi pertarungan dalam menaklukkan nafsu amarah, menyebabkan manusia terus menerus menebar kebajikan, demi meraih maqam kemuliaan.
Maka, wahai Adam, semestinya kami sebagai keturunanmu sudi memberi makna atas kelalaianmu memakan buah khuldi. Kelalaian tersebut, ya bapak manusia, sejatinya mengingatkan kami agar merindukan kebenaran ketika bergelimang kesalahan. Bukan terlena dengan kemaksiatan dan kelalaian. Dengan senantiasa melakukan pertempuran melawan kebatilan dan hawa nafsu amarah, justru di situlah keagungan manusia. Engkau ya Adam, telah mengajari kami terhadap makna pencaharian kebenaran (ibadah), ketika memakan buah khuldi.
Kubayangkan ya Adam: gigitan pertamamu terhadap buah khuldi, sejatinya merupakan awal pertempuran abadi manusia di bumi dalam mencapai maqam kemuliaan. Maka, wahai bapak dari segenap umat manusia, doakanlah keturunanmu yang terserak di bumi agar tidak semata-mata terpana untuk menggigit buah khuldi tetapi memaknai akibat kelalaianmu itu demi mencapai kemuliaan dalam menghampiri-Nya. Bukankah engkau setelah "tragedi khuldi" itu menjadi orang yang dekat pada-Nya. Betapa kami, para keturunanmu, mengidamkan kedekatan sepertimu itu!
Janganlah mengingat-ingat orang-orangmu yang telah wafat kecuali dengan menyebut-nyebut kebaikan mereka (HR An Nasa'i) Adakah yang tersisa ketika seseorang melipat usianya? Keluarga yang ditinggal merasa duka ditinggal pergi. Perasaan demikian pun dirasakan pemuda X. Ia melipat segenap kenangan kehangatan keluarga, dan berkemas-kemas memulai pengembaraan. `'Aku kupetik bintang di langit, ayah, untuk kusematkan di pundak,'' janjinya.
Tapi, siapa yang dapat menebak usia, ketika kesejatian masa depan hanya milik Allah? Ia, si anak muda yang berada dalam pengembaraan, tidak sempat memetik bintang di langit ketika ayahnya berpulang. Itulah suasana kematian yang pertama dirasakannya. Suasana kematian yang murung itu menyebabkannya terobsesi: hidup itu fana, hanya Allah yang maha abadi. Maka sebelum kehidupan berakhir, abadikanlah detik-detik yang tersisa.
Obsesi demikian menyebabkannya melengkapi dirinya dengan kamera maupun setiap hal yang berguna dalam pengabadiannya. Pada setiap kelahiran anaknya, ia menyiapkan masing-masing buku harian. Seperti peneliti, ia mengamati setiap tahap tumbuh kembang anak bersama kejadian yang merangsang rasa kemanusiaannya, dan mencatatnya di buku harian tersebut. Ia ingin mengabadikan tumbuh kembang anak-anaknya. Tapi, sejatinya, ia pun ingin mengabadikan bila dirinya ialah ayah yang peduli pada kehidupan anaknya. Bukankah kelak, ketika anak-anaknya dewasa dan menemukan buku catatan tersebut, akan merasakan tinta cinta seorang ayah yang mencatat keping kehidupan mereka di masa kecil. Ia membayangkan bila masa itu tiba, ia mungkin telah berada di dalam pelukan keheningan abadi, dan anak-anaknya menitikan air mata haru saat membaca catatan harian tersebut.
Catatan harian sebagai prasasti -- seperti raja-raja masa silam yang membubuhkan catatan pada prasasti -- tidak mencukupi untuk menampung genangan obsesinya. Maka ketika ia memiliki sisa uang, segera membeli kamera digital. `'Hidup lebih nyata bersama digitalcam,'' serunya seperti juru iklan. Ia pun dengan cinta menggelegak mengabadikan episode kehidupan keluarganya.
Lihatlah: anak-anak yang tersenyum ceria dengan bola mata berbinar. Atsmosfer cinta pun berpendaran di udara ketika sang ibu menciumi anak-anaknya. Semua itu terabadikan melalui kamera digitalnya. Ia seringkali diam-diam memutar video yang dibuatnya, menikmati keindahan babak kehidupan keluarganya. Di akhir menyaksikannya, ia berkata di dalam hati, sungguh proyek ini merupakan kesaksian cinta keluarga. Insya Allah, bila kelak kalian dewasa dan ayah tiada, akan menyaksikan betapa kita pernah menjadi keluarga yang dihangati api cinta.
Mungkin tidak semua kita memiliki obsesi demikian. Bahkan, kita seringkali ketika mengambil foto keluarga, lebih sekadar karena keriangan hati. Kita tidak sampai memikirkan bila foto itu kelak menjadi "sesuatu yang tersisa" ketika kita telah tiada, apalagi bila hendak dengan kesadaran penuh untuk membuat momentum "sesuatu yang tersisa".
Mengapa kita enggan memberikan ruang bagi kesadaran demikian? Penyebabnya, sebagian di antara kita khususnya mereka yang sangat mencintai dunia dan berpenyakit hati, takut untuk menghadapi kematian. Allah pun maklumatkannya: ''Kamu lihat orang orang yg ada penyakit di dlm hatinya memandang kepadamu seperti pandangan orang yg pingsan karena takut mati.'' (QS Muhammad [47]:20).
Bukankah bagi mereka kematian berarti berakhirnya kesenangan dunia? Sementara manusia ditakdirkan sangat mencintai kehidupan dunia sehingga melalaikan kehidupan akhirat (lihat QS Al-Qiyamah [75]:20).
Di sisi lain, sakratul maut itu, sungguh pedih. Allah melukiskannya: ''...mempertautkan betis kiri dengan betis kanan...'' (QS 75:29) karena begitu takutnya meninggalkan dunia dan memasuki akhirat. Semua itu menyebabkan kita enggan memberikan ruang kesadaran bagi kematian. Bahkan tidak sedikit tabu yang melarang mengucapkan mati. Mati selalu menawarkan kemuraman sehingga sebaiknya tidak perlu dikenang.
Benarkah demikian? Rasullah SAW telah mengajarkan kepada kita: "Ambillah kesempatan lima sebelum lima: mudamu sebelum tua, sehatmu sebelum sakit, kayamu sebelum melarat, hidupmu sebelum mati, dan senggangmu sebelum sibuk" (HR Al Hakim dan Al Baihaqi). Apa maknanya? Memang, hakikat hadis tersebut agar umat Muhammad bijak menggunakan kesempatan yang bermuara kepada ibadah. Dengan demikian, semasa sehat, memiliki harta dan memiliki masa, gunakanlah untuk beribadah.
Berkait dengan itu, hadis tersebut selaiknya diberikan muatan makna, agar manusia senantiasa memegang kesadaran bahwa suatu ketika ia akan menjadi tiada. Dengan demikian, sebelum semuanya menjadi tiada, ia menebar benih amal ibadah yang dipanen untuk bekalan di kampung akhirat. Dengan mengingat-ingat kematian, maka kita senantiasa tersadar untuk berbuat amal kebajikan.
Maka, adakah yang tersisa ketika tiada? Seseorang yang obsesif, agaknya, akan merekam segenap denyut kehidupan. Seorang salik justru memanfaatkan kehidupannya dengan menebar amal-ibadah sekaligus menjadikan dirinya sebagai rahmat bagi kehidupan ini. Ia memposisikan dirinya sebagai abdi kebajikan ketika Allah yang maha abadi.
Keduanya menawarkan muara yang sama: selalu ada yang tersisa ketika tiada. Seseorang yang obsesif menyisakan keping kenangan baik dalam prasasti maupun video. Seorang salik menyisakan kenangan kebajikannya semasa hidup. Seperti bunyi amsal harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama, maka seseorang yang menebar amal kebajikan semasa hayat, senantiasa dikenang karena kebajikannya. Ia tidak pernah benar benar punah dari ingatan kendati jasadnya telah berkalang tanah.
Bila demikian, mengapa kita tidak menjadi seseorang yang obsesif, tidak sekadar menyiapkan kenangan melalui digitalcam tetapi yang terutama melalui amal ibadah serta kebajikan yang ditebarkan. Semua itu menyebabkan selalu ada yang tersisa ketika tiada. ( )
Instant
Rudy Harahap
Jumat, 09 Juli 2004
Barangsiapa menjamin untukku satu perkara,
aku jamin untuknya empat perkara.
Hendaklah dia bersilaturrahim
niscaya keluarganya akan mencintainya,
diperluas baginya rezekinya, ditambah umurnya
dan Allah memasukkannya ke dalam surga yang dijanjikan-Nya (HR Ar-rabii')
Apakah yang mendorongmu, wahai Shihabuddin, hingga ke Malaysia? Shihabuddin, pria setengah baya itu, memang bukan sosok yang memiliki banyak waktu luang. Pekerjaannya sebagai direktur utama perusahaan konsultan bangunan yang didirikannya, menyebabkannya digenangi kesibukan. Kesibukannya kian lengkap ketika ia terpilih menjadi pimpinan pada organisasi konsultan bangunan di negaranya. Dengan demikian, ia mesti mahir membagi waktunya yang 24 jam, untuk keluarga, perusahaan yang dibinanya, maupun organisasi yang dipimpin. ''Jika dipikir, waktu yang 24 jam, tidak cukup untuk semua itu,'' ujarnya.
Tapi, mengapa engkau menghamburkan masa dan biaya, ke Malaysia? ''Di antara pelbagai amalan, ada satu amanah almarhum ayah, jangan melupakan silaturrahim, kendati sesibuk apa pun. Itulah menyebabkan saya ke Malaysia,'' jelasnya. Sebagai anak lelaki yang dituakan, Shihabuddin memiliki 12 saudara perempuan yang berserakan: tidak hanya di kota-kota besar Indonesia, juga di negeri jiran Malaysia.
Kendati semuanya telah berkeluarga dan memiliki kesibukan masing-masing, tidak membuatnya lepas tangan. Shihabuddin tetap memosisikan dirinya sebagai pengganti orang tua: pusat kasih kemanusiaan, bahkan, muara permasalahan. Ia bersedia berbagi beban. Tidak mengherankan, bila ipar-iparnya, merasa dekat kepadanya. Demi mengaktualisasikan simpul tali kasih kemanusiaan, ia berusaha menyisihkan masa dan biaya, untuk mengunjungi saudara-saudaranya. Waktu kunjungan memang disesuaikan dengan kesempatannya, sekaligus siapa di antara saudaranya yang paling mendesak memerlukan pelipur kasih.
Apa makna dari kisah mengenai Shihabuddin? Betapa kehidupan modern, terutama di kota-kota besar, menyebabkan seseorang terbenam pada kesibukan. Tidak jarang, kesibukan tersebut menyebabkan seseorang menjadi workalholic. Kesibukan, bahkan, menjadi gaya hidup yang membanggakan. Bukankah kita sering mendengar pebisnis supersibuk ---- ketika diwawancarai media ---- membanggakan hanya tidur tiga atau empat jam?
Kesibukan sering kali menyebabkan seseorang melalaikan perannya sebagai makhluk sosial. Akibatnya, kehidupan di Jakarta yang serba bergegas, menyebabkan seseorang melupakan untuk berkunjung dan menjalin tali silaturrahim. Beberapa sosok supersibuk, bahkan, beranggapan bahwa kesempatan menjalin tali silaturrahim hanya tradisi orang-orang di desa, sehingga tidak pantas dibawa ke perkotaan. Gaya hidup demikian tidak hanya di Indonesia, juga mulai mode bagi masyarakat Melayu Malaysia.
Patutkah kita memutuskan tali silaturrahim baik karena alasan sibuk ataupun karena ada faktor ketidaksesuaian? Islam menekankan betapa pentingnya silaturrahim seperti firman-Nya: Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lainnya, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim (QS. 4:1). Berkaitan dengan hubungan silaturrahim ini, Nabi SAW pun bersabda: Rahim adalah cabang dari nama Arrahman. Rahim mengucapkan keluhan dan pengaduan: ''Ya Rabbi, aku telah diputus (hubungan kekeluargaanku), aku telah diperlakukan dengan buruk oleh keluargaku.'' Lalu Allah menjawab: ''Tidakkah kamu ridha Aku menyambung hubungan-Ku dengan orang yang menghubungimu dan Aku putus hubungan-Ku dengan orang yang memutuskan hubungannya dengan kamu.'' (HR. Bukhari).
Begitu pentingnya silaturrahim, Allah pun memberikan salah satu nama-Nya (Rahim), untuk bentuk hubungan antarmanusia tersebut. Ia memberikan ridha-Nya terhadap orang yang memelihara silaturrahim. Selain menjanjikan surga di hari kemudian, Ia pun menyemaikan rezeki di antara simpul silaturrahim. Hubungan antarkemanusiaan yang harmonis, menyebabkan seseorang menawarkan pekerjaan maupun proyek, terhadap sejawatnya. Tak mengherankan, dalam pergaulan modern, dikenal saling tukar kartu nama sebagai bahagian menjalin hubungan antarmanusia. Bukankah saling tukar kartu nama itu merupakan refleksi silaturrahim yang berpeluang pada hubungan bisnis?
Pentingnya bersilaturrahim ini pun dapat dibuktikan melalui teori-ilmu. Manusia, demikian teori psikologi menyebutkan, telah menunjukkan bila dirinya sebagai mahluk sosial sejak bayi. Ia belajar melakukan kontak sosial dengan inang pengasuhnya. Begitupun pelbagai penelitian psikologi menunjukkan manusia muskil hidup sendiri. Bahkan, psikolog Stanley Schachter pada akhir tahun 1950-an melakukan penelitian, untuk membuktikan manusia memerlukan individu lain dalam situasi kecemasan. Penelitian tersebut membuktikan manusia memerlukan individu lain untuk berbagi perasaan cemas. Dengan adanya individu lain, manusia saling memberikan rangsangan indra sedemikian rupa, sehingga hidupnya tidak kesepian.
Penelitian tersebut mengukuhkan ajaran Islam. Bila teori-ilmu membuktikan kebenaran ajaran agama, mengapa kita menepikan silaturrahim dengan dalih sibuk, ataupun karena tidak menyukai individu lain? Kesibukan yang mengepung, agaknya, dapat diatasi dengan kepesatan teknologi informasi: sejenak menyisihkan waktu untuk bertukar kabar melalui e-mail, SMS, ataupun telepon. Teknologi modern pun memberikan peluang bagi kita untuk silaturrahim. Seseorang yang karib dengan teknologi modern dan memahami pentingnya makna silaturrahim, niscaya menggunakan piranti modern tersebut, demi menjalankan perintah agama (saya mengenal salah seorang supersibuk yang tetap menjunjung silaturrahim yaitu Menteri Kelautan dan Pesisir Rokhmin Dahuri yang senantiasa menjawab SMS). Maka mengapa tidak membenahi simpul silaturrahim, terutama bila terjadi perbedaan sikap, semasa menyongsong pemilihan presiden?
Kenapa Engkau, Adam (1)
Rudy Harahap
Jumat, 06 Agustus 2004
Mengapa engkau campakkan kemapanan hidupmu, Adam? Bukankah kemapanan namanya, di saat engkau memiliki rumah dan kendaraan bermotor bersama pekerjaan yang mencetak jutaan rupiah, ketika banyak penduduk di Ibukota hanya memiliki sepotong malam untuk bermimpi terlelap di bangunan bernama rumah, bukan sepotong kardus di pinggiran kali seperti yang dihuni. Lihatlah: tubuh mereka yang ringkih, masih ngilu akibat menjadi ikan pindang di ruang bus kota yang tidak pernah memberikan hak asasi kemanusiaan?
Apa yang engkau cari Adam? Bukankah engkau telah memiliki sejumlah kriteria kehidupan bermarwah: sejawat yang menyayangi sekaligus diam-diam menggagumi kemampuanmu. Bukankah engkau pun mencintai pekerjaanmu karena tidak membuatmu menjadi robot ketika banyak penduduk Jakarta bekerja seperti mesin: mereka dipaksa menulikan telinga dari nurani jika tidak ingin kehilangan kedudukan. Tidak sedikit di antaranya, bahkan, kehilangan keagungan kemanusiaan ketika mesti menjulurkan lidah kepada atasan.
Ada apa denganmu Adam, ketika istrimu Hawa memiliki juga pekerjaan mapan, sesuatu yang menjadi syarat ideal bagi kehidupan di kota metropolitan? Bahkan, istrimu yang dinilai cemerlang, kembali diangkat menjadi atasan. Bukankah menjadi pimpinan pada unit kerja merupakan prestasi bagi ukuran kerja modern? Anehnya, istrimu justru menolak jabatan, ketika setiap orang di negeri ini berambisi menjadi pimpinan.
Kenapa engkau Adam bersama istrimu Hawa? Apakah engkau seperti Adam yang pertama kali di bumi, tidak mampu meredam hawa nafsu, sehingga menolak kenyamaman surga dengan memakan buah khuldi? Kehidupanmu yang laiknya "surga" pun kini engkau campakkan Adakah engkau pun seperti bapakmu Adam, tergoda untuk meraih kehidupan yang melebihi surga, sehingga membuang air di tempayan ketika mengharapkan hujan?
Sejawatmu, bahkan handai taulanmu, khususnya yang cara berpikirnya terbelenggu paradigma modern menilai, engkaulah sosok yang tidak tahu berterimakasih, Adam! Bukankah keputusanmu melipat kemapanan hidup, lalu berkemas-kemas pergi, seperti seseorang yang tidak bersyukur kepada kekinian hidup? Jangan menyalahkan cara berpikir mereka, Adam! Paradigma berpikir modern telah mengajarkan, seseorang yang kembali ke bangku pendidikan, tentu akibat tidak puas dengan kehidupan kekinian, sehingga kembali bersekolah untuk meraih kehidupan yang lebih cemerlang. Cara berpikir demikian, wahai Adam, telah tersemai sejak zaman penjajahan: sekolah menjadi lampu Aladin yang membebaskan orang dari belenggu kebodohan. Kebodohan berarti juga kemiskinan. Dengan demikian, mengutip paradigma berpikir tersebut, seseorang yang bersekolah akan menggenggam kecemerlangan hidup berkat ijazah yang dikantonginya.
Maka Adam, engkau menyusut pipimu yang basah, ketika mengetahui sejawat dan handai taulanmu terbelenggu paradigma modern. Memang, bagi mereka yang tidak mampu melihat dengan mata hati, akan keliru menebak keputusanmu untuk hijrah. Paradigma modern tidak mampu menalar keputusanmu: di saat engkau pamit untuk sekolah sesungguhnya engkau ingin memulai pengembaraan spiritual.
Engkau seperti juga sejawat dan handai taulanmu terlampau lama dibelenggu paradigma modern dan matematis: jika tidak memiliki pekerjaan tetap berarti tidak memiliki pendapatan sehingga sama dengan menggali kubur sendiri. Begitupun kehidupan bermarwah identik dengan kedudukan yang tinggi: berapa banyak rumah dan mobil maupun deposito. Hidup bermarwah identik dengan kata memiliki kebendaan. Budaya materialisme menyebabkan ukuran sukses semata-mata berdasarkan benda fisik yang dimiliki.
Memiliki berarti menguasai. Pemilikan dengan citarasa penguasaan, menyebabkan orang enggan kehilangan. Dengan citarasa demikian, membuatmu tidak pernah nyaman dalam setiap penerbangan, karena membayangkan: pada ketinggian berapakah, pesawat ini terhempas? Hempasannya akan memisahkanmu dari segenap yang dimiliki. Betapa menyiksa ketika merasa sangat memiliki.
Maka siksaan yang mendera itu, menyurut ketika engkau untuk pertama kali rela bersujud di Hijir Ismail, ketika ribuan kaki hilir mudik di sisi kepalamu. Sesaat hendak sujud, cara berpikir modernmu yang congkak masih sempat melintas: di saat sujud, kepala merendah sehingga membuka peluang untuk diinjak orang. Bukankah Hijir Ismail tidak pernah sepi ketika musim haji? Tapi, wahai Adam yang bercitarasa hidup modern, Allah seketika menanamkan rasa ikhlas yang menanggalkan kecongkakan hidup modernmu, sehingga engkau rela sujud sembari menyadari kehidupan ini milik Allah. Maka Adam, itulah sujud pertamamu yang ikhlas dan tawakkal, merendahkan kepala di sekeliling kaki orang. Di Hijir Ismail, Adam, engkau menyadari penjungkirbalikkan tatanan nilai modern ketika seseorang melakukan pembelajaran spritualisme.
Dengan modal sujud di Hijir Ismail, engkau pun memulai pengembaraan ruhani, di negeri hijrah. Di saat tidak aktif bekerja, dihapuskan jaminan masa depanmu dari kantor yang selama ini memberikan perlindungan keamanan dan kenyamanan yang seringkali dapat menimbulkan kecongkakan, engkau menemukan sejatinya manusia itu lemah. Betapa banyak kita menutupi kelemahan diri di balik kekayaan materi: merasa sangat berkuasa ketika duduk di kursi pimpinan ataupun berlindung di dalam rumah mewah. Tapi, pernahkah kita mencoba sedetik saja kehilangan sihir materi itu, untuk menyadari siapa diri ini? Engkau kian menyadari, manusia menjadi serakah dan semena-mena, karena sejatinya takut pada kelemahan diri sendiri. Agar mampu berdamai dengan kelemahan diri, orang perlu merasa miskin, pahitnya ditindas.
Hari-harimu kini Adam adalah hari-hari yang kehilangan sihir materi. Engkau semakin menyadari betapa lemah manusia, bahkan, sekadar untuk menggenggam masa depannya. Apa yang kita miliki ternyata fana, semua milik Allah. Maka di negeri hijrah, engkau belajar tawakkal ---- bukan sekadar mahir mengucapkannya ---- dalam kelemahanmu sebagai manusia. Engkau di saat berusaha, senantiasa menyerahkan sepenuhnya kepada Allah sembari meyakini janji-Nya: Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya (QS Ath Thalaaq [65]:3). Di saat demikian adakah lagi gunanya merasa congkak dengan kepemilikan materi? Menyadari kelemahan diri, membuat orang menjadi lebih tawakal.
Engkau pun belajar ikhlas dari kehidupanmu sendiri. Bukan sekadar mahir mengucapkannya. Bukankah kehidupanmu kini dengan kemarin bagaikan langit dan bumi? Keikhlasan menyebabkan seseorang tetap lelap tidurnya ketika kasurnya yang semula springbed berubah menjadi tilam biasa. Bukankah keikhlasan namanya, ketika seseorang merasa tetap terhormat makan bersila di lantai, ketika sebelumnya di meja kaca? Keikhlasanlah namanya, bila kita rela menyerahkan barang milik sendiri untuk kenikmatan orang lain, meski akibatnya kita kehilangan kemewahan diri.
Maka Adam, seperti takwil tongkat yang diuraikan Sayid Muhammad Mahdi Thabathaba'I Bahrul Ulum di bukunya As-Sair Wa As-Suluk ----''barangsiapa yang telah mencapai usia 40 tahun dan belum mengambil tongkat, maka ia telah bermaksiat'' ---- engkau pun menggenggam tongkatmu untuk memulai pengembaraan roh.
Kenapa engkau, Adam (2)
Rudy Harahap
Jumat, 13 Agustus 2004
Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya dengan berkata: ''Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?'' (QS Thaha [20]:120) Kenapa engkau tergoda bujuk rayu itu, Adam? Bukankah Allah, seperti kisah para ulama, telah melarangmu agar tidak tergoda bujukan syaitan untuk memakan buah khuldi. Namun engkau mengingkarinya sehingga tidak sedikit ulama maupun sebagian keturunanmu menyesali tindakanmu.
Dengan suara murung, mereka mengutip ayat Al-Quran: Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia. (QS Thaha [20]:121). Tak mengherankan bila ada yang menggugatmu: Kenapa engkau makan buah khuldi itu? Tapi, wahai bapak daripada manusia, engkau tidak perlu berkecil hati. Saya setidaknya memaklumi tindakanmu tersebut. Betul, Allah telah mengingatkanmu, betapa iblis yang enggan sujud kepadamu akan senantiasa menggoda.
Iblis bertekad mengeluarkanmu dari surga yang tidak akan membuatmu kelaparan, dahaga maupun telanjang dan terpanggang terik matahari. Surga sesungguhnya merupakan kenikmatan tiada bertara. Tak mengherankan bila iblis berusaha mengeluarkanmu dari "kehidupan yang nikmat" tersebut. Ia pun melancarkan tipu daya, misalnya, dengan dalih bahwa buah dari pohon Syajaratulkhuldi akan mengekalkan segenap kenikmatan yang engkau cicipi. Engkau adalah bapak daripada manusia di bumi. Bukankah kami seperti dirimu menerima hawa nafsu yang menjadi pembeda dengan malaikat. Hawa nafsu yang menghuni bilik hati senantiasa menyebabkan manusia terpedaya oleh kemauannya sendiri.
Hawa nafsu menyebabkanmu seperti juga diri kami ini menyukai kenikmatan yang mapan. Tiada seorang manusia pun menginginkan kesengsaraan. Akibatnya? Mulai dari dirimu ya Adam hingga kepada kami sebagai keturunanmu berlomba-lomba mencoba mengekalkan kemapanan dan kenikmatan tersebut. Tak sedikit di antara kami menjadi sosok yang serakah. Lihatlah: berapa banyak keturunanmu di penjuru bumi, seperti dirimu yang pernah tergoda iblis, lebih mengikuti dorongan hawa nafsu (amarah). Allah pun telah mengingatkan seperti firman berikut: Kehidupan dunia telah menipu mereka dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri (QS Al An'aam [6]:130). Begitupun dengan firman yang artinya: Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan (QS Ali Imran [3]:185).
Maka mereka yang tertipu dengan kehidupan dunia melakukan pelbagai cara demi mendapatkan kesenangannya. Ada yang melakukan perbuatan keji seperti menyingkirkan lawan, demi mengekalkan kekuasaan yang menjamin kenikmatan dan kemapanan. Lainnya meraup keuntungan melalui cara-cara yang dilarang agama, seperti melakukan korupsi ataupun memekarkan anggaran untuk kemudian dikantongi, demi terjaminnya kehidupan yang mapan. Bahkan, tidak sedikit yang menjadi musyrik: mendatangi dukun atau menyimpan niat menyeleweng ketika berziarah ke kuburan demi mengekalkan kemapanan.
Bukankah sejatinya mereka mempersekutukan Allah ketika meminta-minta kepada zat gaib (jin dan sebagainya) lainnya? Seperti dirimu Adam, tidak sedikit keturunanmu ingin mengekalkan surga di dalam kehidupan, semasa masih di dunia. Akibatnya? Sepertimu Adam, banyak keturunanmu yang tidak memiliki azam (kemauan kuat) untuk menggenggam amanah Allah. Bahkan tidak sedikit justru lupa terhadap janji-amanah ketika hendak dilahirkan ke bumi. Tapi, kenapa engkau makan buah khuldi itu, Adam? Bukankah keinginan mengekalkan nikmat surga menyebabkanmu justru keluar dari surga. Allah berfirman: ''Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian dari kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. (QS Thaha [20]:123).
Mungkin sebagian ulama, bahkan, keturunanmu menyesalkan kelalaianmu tersebut. Namun, ya bapak manusia, aku justru ingin memahami kelalaianmu: betapa seperti dirimu, manusia senantiasa mengalami pertempuran batin. Betapa kehidupan di dunia yang penuh tipu daya menyebabkan manusia senantiasa bertarung: terus menerus berjuang menaklukkan nafsu amarah, memerangi kehinaan dosa yang membayangi kehidupan. Pertempuran tersebut menyebabkan manusia berusaha memahami makna kesalahan untuk meraih kebenaran. Pertarungan demi pertarungan dalam menaklukkan nafsu amarah, menyebabkan manusia terus menerus menebar kebajikan, demi meraih maqam kemuliaan.
Maka, wahai Adam, semestinya kami sebagai keturunanmu sudi memberi makna atas kelalaianmu memakan buah khuldi. Kelalaian tersebut, ya bapak manusia, sejatinya mengingatkan kami agar merindukan kebenaran ketika bergelimang kesalahan. Bukan terlena dengan kemaksiatan dan kelalaian. Dengan senantiasa melakukan pertempuran melawan kebatilan dan hawa nafsu amarah, justru di situlah keagungan manusia. Engkau ya Adam, telah mengajari kami terhadap makna pencaharian kebenaran (ibadah), ketika memakan buah khuldi.
Kubayangkan ya Adam: gigitan pertamamu terhadap buah khuldi, sejatinya merupakan awal pertempuran abadi manusia di bumi dalam mencapai maqam kemuliaan. Maka, wahai bapak dari segenap umat manusia, doakanlah keturunanmu yang terserak di bumi agar tidak semata-mata terpana untuk menggigit buah khuldi tetapi memaknai akibat kelalaianmu itu demi mencapai kemuliaan dalam menghampiri-Nya. Bukankah engkau setelah "tragedi khuldi" itu menjadi orang yang dekat pada-Nya. Betapa kami, para keturunanmu, mengidamkan kedekatan sepertimu itu!
Adakah yang Tersisa Ketika Tiada
Rudy Harahap
Rudy Harahap
Jumat, 25 Juni 2004 I Tasawuf, Republika
Janganlah mengingat-ingat orang-orangmu yang telah wafat kecuali dengan menyebut-nyebut kebaikan mereka (HR An Nasa'i) Adakah yang tersisa ketika seseorang melipat usianya? Keluarga yang ditinggal merasa duka ditinggal pergi. Perasaan demikian pun dirasakan pemuda X. Ia melipat segenap kenangan kehangatan keluarga, dan berkemas-kemas memulai pengembaraan. `'Aku kupetik bintang di langit, ayah, untuk kusematkan di pundak,'' janjinya.
Tapi, siapa yang dapat menebak usia, ketika kesejatian masa depan hanya milik Allah? Ia, si anak muda yang berada dalam pengembaraan, tidak sempat memetik bintang di langit ketika ayahnya berpulang. Itulah suasana kematian yang pertama dirasakannya. Suasana kematian yang murung itu menyebabkannya terobsesi: hidup itu fana, hanya Allah yang maha abadi. Maka sebelum kehidupan berakhir, abadikanlah detik-detik yang tersisa.
Obsesi demikian menyebabkannya melengkapi dirinya dengan kamera maupun setiap hal yang berguna dalam pengabadiannya. Pada setiap kelahiran anaknya, ia menyiapkan masing-masing buku harian. Seperti peneliti, ia mengamati setiap tahap tumbuh kembang anak bersama kejadian yang merangsang rasa kemanusiaannya, dan mencatatnya di buku harian tersebut. Ia ingin mengabadikan tumbuh kembang anak-anaknya. Tapi, sejatinya, ia pun ingin mengabadikan bila dirinya ialah ayah yang peduli pada kehidupan anaknya. Bukankah kelak, ketika anak-anaknya dewasa dan menemukan buku catatan tersebut, akan merasakan tinta cinta seorang ayah yang mencatat keping kehidupan mereka di masa kecil. Ia membayangkan bila masa itu tiba, ia mungkin telah berada di dalam pelukan keheningan abadi, dan anak-anaknya menitikan air mata haru saat membaca catatan harian tersebut.
Catatan harian sebagai prasasti -- seperti raja-raja masa silam yang membubuhkan catatan pada prasasti -- tidak mencukupi untuk menampung genangan obsesinya. Maka ketika ia memiliki sisa uang, segera membeli kamera digital. `'Hidup lebih nyata bersama digitalcam,'' serunya seperti juru iklan. Ia pun dengan cinta menggelegak mengabadikan episode kehidupan keluarganya.
Lihatlah: anak-anak yang tersenyum ceria dengan bola mata berbinar. Atsmosfer cinta pun berpendaran di udara ketika sang ibu menciumi anak-anaknya. Semua itu terabadikan melalui kamera digitalnya. Ia seringkali diam-diam memutar video yang dibuatnya, menikmati keindahan babak kehidupan keluarganya. Di akhir menyaksikannya, ia berkata di dalam hati, sungguh proyek ini merupakan kesaksian cinta keluarga. Insya Allah, bila kelak kalian dewasa dan ayah tiada, akan menyaksikan betapa kita pernah menjadi keluarga yang dihangati api cinta.
Mungkin tidak semua kita memiliki obsesi demikian. Bahkan, kita seringkali ketika mengambil foto keluarga, lebih sekadar karena keriangan hati. Kita tidak sampai memikirkan bila foto itu kelak menjadi "sesuatu yang tersisa" ketika kita telah tiada, apalagi bila hendak dengan kesadaran penuh untuk membuat momentum "sesuatu yang tersisa".
Mengapa kita enggan memberikan ruang bagi kesadaran demikian? Penyebabnya, sebagian di antara kita khususnya mereka yang sangat mencintai dunia dan berpenyakit hati, takut untuk menghadapi kematian. Allah pun maklumatkannya: ''Kamu lihat orang orang yg ada penyakit di dlm hatinya memandang kepadamu seperti pandangan orang yg pingsan karena takut mati.'' (QS Muhammad [47]:20).
Bukankah bagi mereka kematian berarti berakhirnya kesenangan dunia? Sementara manusia ditakdirkan sangat mencintai kehidupan dunia sehingga melalaikan kehidupan akhirat (lihat QS Al-Qiyamah [75]:20).
Di sisi lain, sakratul maut itu, sungguh pedih. Allah melukiskannya: ''...mempertautkan betis kiri dengan betis kanan...'' (QS 75:29) karena begitu takutnya meninggalkan dunia dan memasuki akhirat. Semua itu menyebabkan kita enggan memberikan ruang kesadaran bagi kematian. Bahkan tidak sedikit tabu yang melarang mengucapkan mati. Mati selalu menawarkan kemuraman sehingga sebaiknya tidak perlu dikenang.
Benarkah demikian? Rasullah SAW telah mengajarkan kepada kita: "Ambillah kesempatan lima sebelum lima: mudamu sebelum tua, sehatmu sebelum sakit, kayamu sebelum melarat, hidupmu sebelum mati, dan senggangmu sebelum sibuk" (HR Al Hakim dan Al Baihaqi). Apa maknanya? Memang, hakikat hadis tersebut agar umat Muhammad bijak menggunakan kesempatan yang bermuara kepada ibadah. Dengan demikian, semasa sehat, memiliki harta dan memiliki masa, gunakanlah untuk beribadah.
Berkait dengan itu, hadis tersebut selaiknya diberikan muatan makna, agar manusia senantiasa memegang kesadaran bahwa suatu ketika ia akan menjadi tiada. Dengan demikian, sebelum semuanya menjadi tiada, ia menebar benih amal ibadah yang dipanen untuk bekalan di kampung akhirat. Dengan mengingat-ingat kematian, maka kita senantiasa tersadar untuk berbuat amal kebajikan.
Maka, adakah yang tersisa ketika tiada? Seseorang yang obsesif, agaknya, akan merekam segenap denyut kehidupan. Seorang salik justru memanfaatkan kehidupannya dengan menebar amal-ibadah sekaligus menjadikan dirinya sebagai rahmat bagi kehidupan ini. Ia memposisikan dirinya sebagai abdi kebajikan ketika Allah yang maha abadi.
Keduanya menawarkan muara yang sama: selalu ada yang tersisa ketika tiada. Seseorang yang obsesif menyisakan keping kenangan baik dalam prasasti maupun video. Seorang salik menyisakan kenangan kebajikannya semasa hidup. Seperti bunyi amsal harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama, maka seseorang yang menebar amal kebajikan semasa hayat, senantiasa dikenang karena kebajikannya. Ia tidak pernah benar benar punah dari ingatan kendati jasadnya telah berkalang tanah.
Bila demikian, mengapa kita tidak menjadi seseorang yang obsesif, tidak sekadar menyiapkan kenangan melalui digitalcam tetapi yang terutama melalui amal ibadah serta kebajikan yang ditebarkan. Semua itu menyebabkan selalu ada yang tersisa ketika tiada. ( )
Instant
Rudy Harahap
Jumat, 02 Juli 2004 I Kolom Tasawuf, Republika
Bila Dia menghendaki sesuatu hanya berkata kepadanya: "Jadilah" maka terjadilah ia (QS. 36:82)
Mengapa engkau membiarkan anakmu mengidolakan Doraemon? Ketahuilah, barangsiapa yang meleluasakan buah hatinya mengidolakan Doraemon, maka tanpa disadari membiarkan anak berpikir instant. Bukankah Doraemon dengan kantung ajaibnya mengajarkan "bila mampu melakukan sesuatu seketika, mengapa mesti menelusuri proses?"
Doraemon memang telah karib dengan wawasan hidup anak-anak kita. Film kartun dari Jepang ini menghadirkan Nobita yang bersahabat dengan kucing Doraemon. Maklum, kucing asal Jepang, sehingga ia memiliki kantung ajaib yang boleh menjawab pelbagai kerumitan hidup dalam seketika. Nobita tidak berjaya dalam ujian? Silakan melapor kepada Doraemon, maka, dalam seketika terselesaikan kegagalannya. Kehilangan permainan? Doraemon dengan kantung ajaibnya segera dapat menghadirkan permainan yang hilang.
Bila menyimak kisahnya, memang tiada yang ganjil. Bukankah cerita pada anak sebaiknya menawarkan kekayaan imajinasi, petualangan yang menggairahkan, agar anak yang gampang jemu senantiasa terpikat? Doraemon dengan kantung ajaibnya menawarkan semua citarasa hiburan bagi anak-anak. Bahkan, kita sebagai orangtua, merasa maklum saja: bila film kartun tidak menawarkan kekayaan imaji, jelas bukan film kartun. Bukankah setiap film kartun berperangai demikian? Lihatlah:
Tom & Jerry, Donald Bebek, hingga Power Rangers. Tom & Jerry, misalkan, tidak pernah letih saling kejar, bahkan, sekalipun tubuh sang kucing telah tercincang akan segera utuh kembali demi mengejar si tikus. Logika manakah yang mampu menerima keajiban tersebut? Tidak heran, kita enggan merenungkan hakikat Doraemon (maupun film kartun lainnya), bagi perkembangan spiritual anak. Kita merasa oke-oke saja, bahkan, ikut-ikutan bersiul mengikuti irama musik Doraemon. Siulan pertanda setuju, tidak jarang malah, turut bergabung dengan anak menontonnya. Bukankah Doraemon merupakan idiom bahasa anak-anak zaman modern?
Betul, Doraemon memang mewakili semangat, kemajuan peradaban teknologi. Setelah Revolusi Industri (teknologi) ---- seiring penemuan seperti mesin cetak oleh Gutenberg di Jerman pada tahun 1450 --- sejarah mencatat kejutan demi kejutan dari penemuan teknologi. Harap dimaklumi: penemuan ini bermula dari masa Pembaharuan (Renaissance) pada abad ke-15. Dengan tokoh seperti Nicolo Machiavelli (1467-1527) mahupun Michelangelo (1475-1564), suasana hidup di Eropah pada masa itu, diwarnai dengan memudarnya kuasa gereja. Pemikiran zaman justru mengagungkan rasionalitas dan kebebasan manusia sebagai insan berpikir. Benih yang menebar cara berpikir demikian di antaranya Descrates yang menawarkan konsep sekuler: manusia terpaksa bergantung kepada dirinya bukan kepada takdir Tuhan. Semangat zaman diwarnai pemberontakan atas pelbagai kungkungan termasuk agama (Siebert, 1956:44).
Semangat zaman demikian menyebabkan tiadanya ketabuan berpikir, bahkan, mengeksploirasi pelbagai dimensi kehidupan termasuk dalam alam semesta. Bila penyimpangan psikologis dianggap masyarakat pada zaman Yunani maupun Romawi kuno sebagai kesurupan roh jahat, maka ilmu psikologi modern berazaskan pada riset menyimpulkan sebagai penyimpangan psikologis (Davidoff, 1981). Bahkan, perkembangan ilmu pengetahuan sekuler pada akhir dekade 1990-an melalui penelitian genetik, tiba pada kecongkakan: bukan hanya Tuhan maha pencipta, ilmu genetik pun mampu membuat cloning. Bayi domba Dolly ---- yang kemudian hari mati, sekaligus membuktikan ilmu genetik manusia belum seberapa ada berbanding ilmu Allah ---- menjadi lambang keangkuhan ilmu pengetahuan sekuler. Perkembangan sains dan teknologi melahirkan budaya baru: berkat sihir teknologi, kita boleh melakukan apa saja dalam masa seketika. Serba instant, seperti pengertian kata tersebut: jenak, saat segera; instantly: serta-merta. Bila dahulu untuk berkirim kabar melalui surat pos memerlukan waktu berhari-hari, bukankah kini dapat seketika melalui e-mail?
Sihir teknologi yang disifati massal dan seketika, menciptakan budaya pop yang serba instant. Budaya instant ini secara psikologis memanjakan, membuat orang malas pada proses (jika boleh melakukan sesuatu dalam hitungan menit, mengapa mesti menunggu hari). Puncaknya ialah membuat seseorang yang tersihir budaya instant secara psikologis memuja kenikmatan dan enggan bersusahpayah. Tak heran, budaya instant yang lahir dari rahim budaya Barat ketika menyihir bangsa, justru menimbulkan gegar: semasa memiliki kuasa, mengapa tidak mengambil keuntungan, agar seketika kaya. Bukankah budaya materialisme yang juga lahir dari budaya Barat, menyebabkan pemujaan pada kebendaan?
Tapi, apa hubungan semua itu dengan Doraemon? Doraemon mewakili semangat budaya semacam itu. Di balik suguhan kekayaan imaji yang membuat kita merasa senang -- bukankah anak kreatif ialah anak yang memiliki kekayaan fantasi -- sejatinya Doraemon menawarkan budaya instant bagi jiwa belia yang belum tahan menghadapi gempuran psikologis. Bila sejak dini mereka dikenalkan pada budaya instant melalui tontonan, bukankah seperti air yang menetes di atas batu, mampu mengikis moral Islami yang ditanamkan orangtua?
Bertentangankah budaya instant dengan moral Islami? Saya bukan ahli agama yang boleh menjawab dengan tepat. Tapi, bukankah Islam mengajarkan kepada penganutnya, untuk sabar dan tawakkal? Budaya instant tidak memberi ruang pada kesabaran ketika mencetak penganut budaya instant menjadi pribadi yang bergegas. Ketawakkalan, ah budaya instant tidak mengenal pengertian itu, ketika penganutnya diharapkan tidak perlu melalui proses rumit, agar seketika mendapatkan hasil. Bukankah sabar dan tawakkal itu hanya untuk sosok yang tertatih-tatih mengikuti jalan rumit, jatuh-bangun, untuk mencapai tujuan?
Begitupun bukankah penciptaan Adam, moyang manusia di bumi, melalui serangkaian proses: bermula dari tanah, kemudian ditiupkan ruh. Bahkan, proses penciptaan Adam seperti di buku As-Sair Wa As-Suluk dilukiskan: Maka selesailah fermentasi tanah Adam as, bapak manusia, selama empat puluh hari. Dalam bilangan ini, dia melewati alam dari alam-alam kesiapan (Sayid Muhammad Mahdi Thabathaba'I Bahrul Ulum; 2000:33). Bila Allah memiliki ilmu yang maha-instant yaitu kun fayakuun, mengapa melalui proses dalam menciptakan Adam? Begitupun bila kita merenungkan, mengapa ayat suci Al-Quran diturunkan bertahap, ketika kita memahami dalam proses penurunannya Allah mempertontonkan kemahaan-Nya: di suatu masa mengutus Jibril untuk mengajarkan (menggunakan proses dan tahap mediasi melalui Jibril) dan kali lain "mewahyukannya" ke hati Muhammad (proses seketika). Allah pun telah berfirman: Sesungguhnya kami telah menurunkan Al-Quran kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur (QS Al Insaan [76]:23)
Mengapa mesti berangsur-angsur ketika Ia memiliki kun fayakuun? Allah yang maha, mengetahui serba keterbatasan hamba-Nya. Bukankah Allah berfirman: ''Dan Alquran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia (QS Al Isra [17]:106). Dengan demikian, ada nuansa proses kekhidmatan: anggun dan tenang di saat "menghadapi" Alquran. Di sisi lain, Allah yang maha, mengetahui bila hamba-Nya tidak melalui proses yang bertahap, dapat menggoyang keimanan. Bukankah di saat keterbatasan terlampaui (tidak menggunakan proses yang rumit), hati manusia seringkali merasa superior, sehingga mengabaikan-Nya?
Karena Saran Seorang teman
Setelah Taimurlank (penerus Jenghis Khan) berhasil mengalahkan Sultan Bayazid Khan beserta pasukannya dalam 'Peristiwa Anqarah' yang terkenal itu, dia tinggal untuk beberapa waktu di kota Aq Syahr. Saat itu, Nasrudin memiliki nama yang harum dan berhubungan baik dengan Taimurlank. Dengan begitu, Aq Syahr menjadi aman dari berbagai kejahatan dan kekejaman yang biasa dilakukan Taimurlank beserta anak buahnya. Sudah rahasia umum, mereka biasa merampas harta benda penduduk sesukanya, bahkan tidak segan-segan membunuh siapa saja yang melawan.
Suatu hari, Nasrudin bermaksud membalas jasa Taimurlank dengan memberikan hadiah berupa tiga butir buah yang ada bukan pada musimnya. Nasrudin lalu meletakkan buah itu di atas nampan dan membawanya ke rumah Taimurlank. Di tengah jalan, buah itu menggelinding. Dengan kesal, Nasrudin mengumpat buah itu, ''Tenanglah di tempatmu! kalau tidak, aku akan memakanmu.''
Namun tetap saja, setiap kali Nasrudin melangkah, buah itu selalu bergerak dan menggelinding. Lantaran tak sabar, Nasrudin akhirnya menyantap yang dua butir. Dengan begitu, tinggallah satu butir yang akan diberikan kepada Taimurlank. Lalu Nasrudin memberikan itu kepadanya dan dia pun merasa bahagia sekali, sehingga Nasrudin pun menerima banyak hadiah.
Beberapa hari kemudian, karena tamak pada hadiah yang diberikan Taimurlank, Nasrudin datang kembali dengan membawa satu keranjang buah syamandar. Di tengah jalan, dia bertemu dengan salah seorang sahabatnya. Sang teman menyarankan agar buah itu diganti buah tin saja. Menurutnya, buah tin jauh lebih lembut dan lebih patut untuk diberikan kepada raja. Nasrudin tertarik dengan saran itu. OIa segera ke pasar membeli satu keranjang buah tin. Namun setelah hadiah itu sampai di tangan Taimurlank, ia tidak terlihat sebahagia sebelumnya.
Sang raja marah karena menganggap Nasrudin telah menghinanya. Buah tin dianggap bukan buah yang layak untuk ipersembahkan pada raja.
Taimurlank lalu memerintahkan kepada para pengawalnya untuk melemparkan seluruh biuah tin itu ke tubuh Nasrudin serta memukulinya. Setiap kali menerima satu pukulan, Nasrudin berkata dengan suara lirih, ''Syukur, Alhamdulillah.'' Mendengar ucarpan yang diulang-ulang, Taimurlank tersentak dan bertanya, ''Hai, dalam keadaan seperti ini, mengapa engkau malah bersyukur?''
Nasrudin menjawab, ''Benar Baginda, ketika berangkat dari rumah, aku membawa hadiah untuk Baginda berupa satu keranjang buah syamandar. Di tengah jalan, saya bertemu dengan seorang teman saya. Dia menyarankan kepada saya agar mengganti buah itu dengan buah tin, karena menurutnya lebih cocok untuk Baginda. Beruntung saya mau menuruti sarannya. Coba kalau tidak, tentu kepala saya akan memar, mata saya akan buta, dan hidung saya akan pecah dihantam buah syamandar. Jadi, seharusnyalah saya bersyukur kepada Allah atas pertolongan-Nya yang gaib ini.'' ( )
Mengapa Iblis Enggan Bersujud kepada Adam?
Mengapa Iblis Enggan Bersujud kepada Adam?
Rudy Harahap
Jumat, 23 Juli 2004 I Kolom Tasawuf, Republika
Jumat, 23 Juli 2004 I Kolom Tasawuf, Republika
Engkaulah Adam, lambang kemahaan Allah, di muka bumi. Tapi, wahai Adam, pahamkah engkau: kendati menjadi lambang kemahaan-Nya, asal-mulamu dari "kehinaan" tanah. Tanah kodratnya senantiasa di bawah, diinjak-injak pelbagai mahluk hidup.
Sebagai lambang kemahaan-Nya, proses penciptaanmu dipersiapkan, sedemikian rupa. Seperti dikisahkan Sayid Muhammad Mahdi Thabathaba'I Bahrul Ulum di bukunya As-Sair Wa As-Suluk fermentasi tanah untuk penciptaan Adam dilakukan selama 40 hari. Selama masa itu, fermentasi tanah Adam, melewati alam dari alam-alam kesiapan. Mengutip sebuah riwayat, Sayid Muhammad mengungkapkan: ''Jasad Adam telah diletakkan selama 40 tahun antara Mekah dan Madinah, lalu ia dihujani rahmat Ilahi, sehingga melalui bilangan tersebut ia mampu menjadi tempat ketergantungan roh yang suci.'' (Sayid Muhammad Mahdi, 1994).
Diriwayatkan juga, ketika Allah hendak menciptakan Adam sebagai khalifah-Nya di muka bumi, para malaikat sempat bertanya, ''Apakah Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, sedangkan kami senantiasa bertasbih denga memuji-Mu serta Mensucikan-Mu?'' (QS Al-Baqarah [2]:30). Tapi Allah maha memiliki rencana sehingga engkau, Adam, tetap diwujudkannya.
Begitu istimewanya engkau, Adam, menyebabkan Allah menitahkan semua hamba-Nya bersujud, kepadamu (lihat QS Al-A'raaf [7]: 11). Bukankah perintah tersebut merefleksikan bahwa engkau lambang kemahaan-Nya?
Maka para malaikat yang senantiasa patuh terhadap perintah-Nya pun bersujud. Padahal, engkau hanya terbuat daripada tanah, ketika malaikat berasal dari cahaya. Bukankah "bahan proses penciptaan" malaikat lebih agung dibandingkanmu Adam?
Mengingat "bahan proses penciptaan" yang hina ini, menyebabkan Iblis enggan bersujud padamu. Keengganan ini seperti jawaban iblis ketika Allah menanyakan penghalang yang menyebabkan iblis tidak sudi bersujud kepada Adam. Menjawab iblis: ''Saya lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.'' (QS Al-A'raaf [7]:12). Jawaban tersebut menyebabkan Allah menjatuhkan hukuman akibat kesombongan iblis yaitu keluar dari surga. Namun, seperti yang diriwayatkan, iblis memohon hukuman itu ditangguhkan. Bahkan, ia "bersumpah" akan menggoda manusia.
Riwayat di Alquran itu merefleksikan kepongahan iblis dan setan. Begitu pongahnya, sehingga ia bersedia membangkang perintah Allah, maha dzat yang sesungguhnya ditakutinya. Dapatkah kita membayangkan kepongahan macam apa yang menghuni bilik hati iblis sehingga nekat membangkang Mahadzat yang ditakutinya? Selain pongah, iblis dan setan memiliki komitmen tinggi terhadap misinya: mengajak manusia durhaka. Kepongahan dengan komitmen yang tinggi merupakan kombinasi buruk dalam menciptakan kedurhakaan.
Tak hanya itu, seperti yang diungkapkan Quraish Shihab di bukunya, Yang Tersembunyi, setan sebagai mahluk yang tersembunyi. Dengan demikian, kita tidak mampu melihatnya, ketika mereka berdaya memperdayai. Tak mengherankan, mahluk gaib itu senantiasa mendampingi, bahkan, merasuk ke diri manusia. Rasul SAW telah mengingatkan, ''Sesungguhnya setan mengalir dalam diri putra putrid Adam sebagaimana mengalirnya darah'' (HR Bukhari dan Muslim).
Bahkan, Allah pun berfirman: ''Kami tetapkan bagi mereka teman-teman yang menjadikan mereka memandang bagus apa yang ada di hadapan dan dibelakang mereka.''(QS Fushshilat [41]:25). Yang dimaksudkan "teman-teman" ialah Qariin yang mendampingi manusia sekaligus berusaha mempengaruhi. Manusia yang takwa pada-Nya belaka yang mustahil dipengaruhi Qariin.
Pongah, sombong, dan merasa memiliki kekuatan (kuasa) berlebih ---- yang terefleksikan dari asal pembuatannya yaitu api ---- menjadi citra setan. Bila citra demikian milik setan, bagaimana pula dengan manusia? Di dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap bersua dengan manusia yang berkarakter demikian. Merasa diri super karena kekayaan, kekuasaan ataupun kepintaran, menyebabkan ada saja orang yang congkak. Mereka memandang hina terhadap individu lain. Bahkan, superior yang dimiliki, menyebabkan mereka merasa agung ketika menginjak hak asasi individu lain.
Kecongkakan dan merasa sangat superior seringkali menyebabkan seseorang lupa diri. Seperti iblis yang merasa dirinya super karena tercipta dari api, manusia superior dan lupa diri tersebut, sejatinya telah membuka gerbang kedurhakaan. Bukankah kesombongan dan merasa super merupakan jalan setan untuk menyesatkan?
Tak mengherankan, bagi para pejalan rohani, kesombongan menjadi momok yang menakutkan dalam perjalanan menghampiri-Nya. Tak jarang, ada di antara mereka yang berada di jalan spiritual tersebut, tersesat: merasa dirinya agung karena laku peribadatannya. Tanda hitam di kening, misalnya, menjadi kebanggaan untuk menunjukkan betapa lama bersujud kepada-Nya. Begitupun berapi-api menceramahi orang lain, bahkan hingga mengancam-ancam orang lain terhadap neraka, karena merasa diri suci.
Betapapun setan akan lebih keras berusaha menggoda pejalan rohani. Seperti iblis yang merasa dirinya agung, setan pun mencoba menanamkan perasaan diri lebih agung, ke bilik pejalan ruhani. Tak jarang, godaan tersebut demikian halus: terbitnya perasaan bahwa amalannya lebih bagus dibandingkan orang lain (bukankah sejatinya kebagusan amalan justru pada kerutinan mengamalkannya dengan ikhlas).
Godaan pun tidak sekadar berbentuk "serangan langsung" mahluk gaib tersebut. Tapi, seperti yang dikisahkan Quraish Shihab di buku Yang Tersembunyi, godaan dapat datang dari "setan berwujud manusia". Pengagungan yang berlebihan para santri terhadap sang guru, sehingga melahirkan kultus individu, sejatinya merupakan bentuk godaan setan berwujud manusia. Tak mengherankan, seperti yang diriwayatkan ulama, sifat riya' (sombong dan ingin dipuji) ini, bagaikan syirik kecil. Bukankah syirik, mempersekutukan Allah, merupakan dosa yang tidak dibukakan pintu ampunan? Besarnya ancaman hukum bagi kesombongan sehingga diandaikan mempersekutukan Allah, karena sombong merupakan gerbang menuju merasa diri lebih (berkuasa) ketika yang maha kuasa hanya Allah.
Agar tidak tersesat dalam jalan menghampiri-Nya, para pejalan rohani senantiasa berpuasa (tidak sekadar dalam pengertian fisik), untuk melatih mengekang hawa nafsu. Puasa dalam pengertian spiritual merupakan jalan untuk mencapai hidup zuhud dan qana'ah.
Rasullah SAW pun memuji-muji mereka yang hidup qana'ah. Bukankah mereka yang berhasil mencapai sekaligus memelihara kehidupan yang zuhud dan qana'ah, menjadi pribadi yang rendah hati dan arif. Dan muara kehidupan demikian ialah tumbuhnya jiwa yang tenang (muthma'innah) karena menyerahkan kehidupannya sepenuhnya kepada Allah (tawakkal). Betapa indahnya, sekiranya kita mampu mengikis kecongkakan di hati dan menggantikannya dengan jiwa yang tenang. Bukankah kehidupan dan jiwa yang tenang (muthma'innah) bagaikan telah berada di surga ketika di dunia?
Ambilkan Dendanya
Suatu hari, Nasrudin berjalan-jalan di pasar. Tiba-tiba, datanglah seorang pria yang tanpa sebab memukulnya dengan keras dari belakang. Nasrudin menoleh dan berkata, ''Ada apa?'' Pria itu meminta maaf padanya, dan berkata, ''Wahai tuan, saya kira Anda salah seorang teman saya.''
Nasrudin bertambah geram. Dia lalu membawanya ke pengadulan agar masalahnya dapat diselesaikan. Secara kebetulan, hakimnya adalah teman pria yang memukul Nasrudin. Dia memberi keputusan agar Nasrudin membalasnya dengan pukulan yang sama. Namun Nasrudin tidak puas dengan keputusan tersebut.
Hakim itu berkata pada Nasrudin, ''kalau engkau tidak rela dengan keputusan ini, maka aku akan menjatuhkan denda padanya agar dia memberikan uang untukmu sebanyak sepuluh girisy.'' Lalu ia berkata kepada pria itu, ''Pergi dan ambillah uang sebanyak sepuluh girisy dan berikan pada Nasrudin.''
Rupanya, sang hakim memberikan kesempatan kepada pria itu untuk kabur dengan alasan mengambil uang. Nasrudin pun menunggu berjam-jam. Setelah lama menunggu dan orang tak kunjung datang, ia pun sadar kalau hakim itu telah menipunya.
Nasrudin lalu beranjak dari tempat duduknya dan mendekati sang hakim yang sedang sibuk itu. Sembari memukulnya dengan keras, dia berkata padanya, ''Maaf, aku sibuk sekali dan aku tak punya waktu lagi untuk menunggu. Tolong ambilkan uang darinya, kapan saja dia datang.''
Gelar
Suatu ketika, Taimurlank bertanya kepada Nasrudin, ''Wahai Nasrudin, engkau tahu bahwa seluruh pemimpin dinasti Abbasiyyah memiliki gelar berbeda-beda, seperti al-Muwaffiq billah, al-Mutawakkil'alallah, al-Mu'tashim billah, dan lain-lain. Seandainya aku menjadi salah seorang di antara mereka, gelar apakah yang cocok untukku?'' Nasrudin menjawab dengan tangkas,''Paduka mulia dan agung, satu-satunya gelar yang cocok untuk Anda adalah Naudzubillah.'' (dari buku Canda ala Sufi, terbitan penerbit Cahaya).
Sebagai lambang kemahaan-Nya, proses penciptaanmu dipersiapkan, sedemikian rupa. Seperti dikisahkan Sayid Muhammad Mahdi Thabathaba'I Bahrul Ulum di bukunya As-Sair Wa As-Suluk fermentasi tanah untuk penciptaan Adam dilakukan selama 40 hari. Selama masa itu, fermentasi tanah Adam, melewati alam dari alam-alam kesiapan. Mengutip sebuah riwayat, Sayid Muhammad mengungkapkan: ''Jasad Adam telah diletakkan selama 40 tahun antara Mekah dan Madinah, lalu ia dihujani rahmat Ilahi, sehingga melalui bilangan tersebut ia mampu menjadi tempat ketergantungan roh yang suci.'' (Sayid Muhammad Mahdi, 1994).
Diriwayatkan juga, ketika Allah hendak menciptakan Adam sebagai khalifah-Nya di muka bumi, para malaikat sempat bertanya, ''Apakah Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, sedangkan kami senantiasa bertasbih denga memuji-Mu serta Mensucikan-Mu?'' (QS Al-Baqarah [2]:30). Tapi Allah maha memiliki rencana sehingga engkau, Adam, tetap diwujudkannya.
Begitu istimewanya engkau, Adam, menyebabkan Allah menitahkan semua hamba-Nya bersujud, kepadamu (lihat QS Al-A'raaf [7]: 11). Bukankah perintah tersebut merefleksikan bahwa engkau lambang kemahaan-Nya?
Maka para malaikat yang senantiasa patuh terhadap perintah-Nya pun bersujud. Padahal, engkau hanya terbuat daripada tanah, ketika malaikat berasal dari cahaya. Bukankah "bahan proses penciptaan" malaikat lebih agung dibandingkanmu Adam?
Mengingat "bahan proses penciptaan" yang hina ini, menyebabkan Iblis enggan bersujud padamu. Keengganan ini seperti jawaban iblis ketika Allah menanyakan penghalang yang menyebabkan iblis tidak sudi bersujud kepada Adam. Menjawab iblis: ''Saya lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.'' (QS Al-A'raaf [7]:12). Jawaban tersebut menyebabkan Allah menjatuhkan hukuman akibat kesombongan iblis yaitu keluar dari surga. Namun, seperti yang diriwayatkan, iblis memohon hukuman itu ditangguhkan. Bahkan, ia "bersumpah" akan menggoda manusia.
Riwayat di Alquran itu merefleksikan kepongahan iblis dan setan. Begitu pongahnya, sehingga ia bersedia membangkang perintah Allah, maha dzat yang sesungguhnya ditakutinya. Dapatkah kita membayangkan kepongahan macam apa yang menghuni bilik hati iblis sehingga nekat membangkang Mahadzat yang ditakutinya? Selain pongah, iblis dan setan memiliki komitmen tinggi terhadap misinya: mengajak manusia durhaka. Kepongahan dengan komitmen yang tinggi merupakan kombinasi buruk dalam menciptakan kedurhakaan.
Tak hanya itu, seperti yang diungkapkan Quraish Shihab di bukunya, Yang Tersembunyi, setan sebagai mahluk yang tersembunyi. Dengan demikian, kita tidak mampu melihatnya, ketika mereka berdaya memperdayai. Tak mengherankan, mahluk gaib itu senantiasa mendampingi, bahkan, merasuk ke diri manusia. Rasul SAW telah mengingatkan, ''Sesungguhnya setan mengalir dalam diri putra putrid Adam sebagaimana mengalirnya darah'' (HR Bukhari dan Muslim).
Bahkan, Allah pun berfirman: ''Kami tetapkan bagi mereka teman-teman yang menjadikan mereka memandang bagus apa yang ada di hadapan dan dibelakang mereka.''(QS Fushshilat [41]:25). Yang dimaksudkan "teman-teman" ialah Qariin yang mendampingi manusia sekaligus berusaha mempengaruhi. Manusia yang takwa pada-Nya belaka yang mustahil dipengaruhi Qariin.
Pongah, sombong, dan merasa memiliki kekuatan (kuasa) berlebih ---- yang terefleksikan dari asal pembuatannya yaitu api ---- menjadi citra setan. Bila citra demikian milik setan, bagaimana pula dengan manusia? Di dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap bersua dengan manusia yang berkarakter demikian. Merasa diri super karena kekayaan, kekuasaan ataupun kepintaran, menyebabkan ada saja orang yang congkak. Mereka memandang hina terhadap individu lain. Bahkan, superior yang dimiliki, menyebabkan mereka merasa agung ketika menginjak hak asasi individu lain.
Kecongkakan dan merasa sangat superior seringkali menyebabkan seseorang lupa diri. Seperti iblis yang merasa dirinya super karena tercipta dari api, manusia superior dan lupa diri tersebut, sejatinya telah membuka gerbang kedurhakaan. Bukankah kesombongan dan merasa super merupakan jalan setan untuk menyesatkan?
Tak mengherankan, bagi para pejalan rohani, kesombongan menjadi momok yang menakutkan dalam perjalanan menghampiri-Nya. Tak jarang, ada di antara mereka yang berada di jalan spiritual tersebut, tersesat: merasa dirinya agung karena laku peribadatannya. Tanda hitam di kening, misalnya, menjadi kebanggaan untuk menunjukkan betapa lama bersujud kepada-Nya. Begitupun berapi-api menceramahi orang lain, bahkan hingga mengancam-ancam orang lain terhadap neraka, karena merasa diri suci.
Betapapun setan akan lebih keras berusaha menggoda pejalan rohani. Seperti iblis yang merasa dirinya agung, setan pun mencoba menanamkan perasaan diri lebih agung, ke bilik pejalan ruhani. Tak jarang, godaan tersebut demikian halus: terbitnya perasaan bahwa amalannya lebih bagus dibandingkan orang lain (bukankah sejatinya kebagusan amalan justru pada kerutinan mengamalkannya dengan ikhlas).
Godaan pun tidak sekadar berbentuk "serangan langsung" mahluk gaib tersebut. Tapi, seperti yang dikisahkan Quraish Shihab di buku Yang Tersembunyi, godaan dapat datang dari "setan berwujud manusia". Pengagungan yang berlebihan para santri terhadap sang guru, sehingga melahirkan kultus individu, sejatinya merupakan bentuk godaan setan berwujud manusia. Tak mengherankan, seperti yang diriwayatkan ulama, sifat riya' (sombong dan ingin dipuji) ini, bagaikan syirik kecil. Bukankah syirik, mempersekutukan Allah, merupakan dosa yang tidak dibukakan pintu ampunan? Besarnya ancaman hukum bagi kesombongan sehingga diandaikan mempersekutukan Allah, karena sombong merupakan gerbang menuju merasa diri lebih (berkuasa) ketika yang maha kuasa hanya Allah.
Agar tidak tersesat dalam jalan menghampiri-Nya, para pejalan rohani senantiasa berpuasa (tidak sekadar dalam pengertian fisik), untuk melatih mengekang hawa nafsu. Puasa dalam pengertian spiritual merupakan jalan untuk mencapai hidup zuhud dan qana'ah.
Rasullah SAW pun memuji-muji mereka yang hidup qana'ah. Bukankah mereka yang berhasil mencapai sekaligus memelihara kehidupan yang zuhud dan qana'ah, menjadi pribadi yang rendah hati dan arif. Dan muara kehidupan demikian ialah tumbuhnya jiwa yang tenang (muthma'innah) karena menyerahkan kehidupannya sepenuhnya kepada Allah (tawakkal). Betapa indahnya, sekiranya kita mampu mengikis kecongkakan di hati dan menggantikannya dengan jiwa yang tenang. Bukankah kehidupan dan jiwa yang tenang (muthma'innah) bagaikan telah berada di surga ketika di dunia?
Ambilkan Dendanya
Suatu hari, Nasrudin berjalan-jalan di pasar. Tiba-tiba, datanglah seorang pria yang tanpa sebab memukulnya dengan keras dari belakang. Nasrudin menoleh dan berkata, ''Ada apa?'' Pria itu meminta maaf padanya, dan berkata, ''Wahai tuan, saya kira Anda salah seorang teman saya.''
Nasrudin bertambah geram. Dia lalu membawanya ke pengadulan agar masalahnya dapat diselesaikan. Secara kebetulan, hakimnya adalah teman pria yang memukul Nasrudin. Dia memberi keputusan agar Nasrudin membalasnya dengan pukulan yang sama. Namun Nasrudin tidak puas dengan keputusan tersebut.
Hakim itu berkata pada Nasrudin, ''kalau engkau tidak rela dengan keputusan ini, maka aku akan menjatuhkan denda padanya agar dia memberikan uang untukmu sebanyak sepuluh girisy.'' Lalu ia berkata kepada pria itu, ''Pergi dan ambillah uang sebanyak sepuluh girisy dan berikan pada Nasrudin.''
Rupanya, sang hakim memberikan kesempatan kepada pria itu untuk kabur dengan alasan mengambil uang. Nasrudin pun menunggu berjam-jam. Setelah lama menunggu dan orang tak kunjung datang, ia pun sadar kalau hakim itu telah menipunya.
Nasrudin lalu beranjak dari tempat duduknya dan mendekati sang hakim yang sedang sibuk itu. Sembari memukulnya dengan keras, dia berkata padanya, ''Maaf, aku sibuk sekali dan aku tak punya waktu lagi untuk menunggu. Tolong ambilkan uang darinya, kapan saja dia datang.''
Gelar
Suatu ketika, Taimurlank bertanya kepada Nasrudin, ''Wahai Nasrudin, engkau tahu bahwa seluruh pemimpin dinasti Abbasiyyah memiliki gelar berbeda-beda, seperti al-Muwaffiq billah, al-Mutawakkil'alallah, al-Mu'tashim billah, dan lain-lain. Seandainya aku menjadi salah seorang di antara mereka, gelar apakah yang cocok untukku?'' Nasrudin menjawab dengan tangkas,''Paduka mulia dan agung, satu-satunya gelar yang cocok untuk Anda adalah Naudzubillah.'' (dari buku Canda ala Sufi, terbitan penerbit Cahaya).