Artikel Tasawuf (2)

Kumpulan artikel dari kolom Tasawuf di Republika, oleh Rudy Harahap

Abu Abu


Rudy Harahap
Jumat, 27 Agustus 2004

Mendung di wajahmu, mengirimkan gerimis, di hatiku. Engkau, nakda, rembulan dalam kehidupan kami. Kehidupanmu yang riang, dengan kicau murai yang tiada henti dari bibirmu, menyebabkan orangtuamu tetap merasa kuat menjalani kehidupan yang getir sekalipun. Tapi, mengapa wajahmu murung, sepulang sekolah? Matamu berkaca-kaca, dan sebak mulai terdengar di mulutmu, ketika pertanyaan itu kualamatkan kepadamu. Engkau menggelengkan kepala dan berlari menuju ke kamar. Mendung di wajahmu telah berubah menjadi hujan tangis ketika engkau menelungkupkan badanmu. ''Mengapa saya tidak boleh salah,'' suaramu lirih. ''Mengapa pelajar harus selalu benar?'' Aku pun memahami, engkau murung karena gurumu baru saja menghukummu.

Mungkin engkau tidak dapat menjawab soalan matematika. Dapat juga engkau gagal menyenangkan gurumu dengan kegemilangan berbahasa Inggris. Aku sebagai ayahmu enggan mengusut penyebab pasti yang menyebabkanmu murung. Seorang ayah akan selalu memilih membisu ketika putri kesayangannya merajuk. Tapi, engkau nakda, bocah berusia delapan. Anak-anak sebayamu tidak pernah menyimpan dendam berlarat-larat. Maka petang ini, engkau telah kembali riang, seperti lazimnya. Sungguh, orang dewasa senantiasa iri terhadap anak-anak yang mampu memaafkan: melipat kekesalan dan hidup tentram tanpa dendam. Bahkan, ketika malam kian larut, engkau telah dibuai kelelapan.

Wajahmu menjadi kudus karena tiada dendam di hatimu. Di saat engkau begitu cepat berdamai dengan kekesalanmu, saya justru di puncak malam ini, bergemuruh. Pertanyaan, ataukah keluhanmu, masih bersisa di hatiku. Ya, mengapa anak mesti tidak boleh salah, terutama di mata orangtua? Mengapa pelajar harus benar di mata guru? Kenapa kita seringkali menyaksikan orang yang tidak mampu menerima kesalahannya? Saya bersendiri di hening malam, mencari jawabannya. Dunia digenangi nilai-nilai moral yang ideal. Kehidupan mengajarkan kita untuk melihat dengan hanya dua warna: hitam dan putih. Seperti teori ilmu-ilmu eksakta, kita tidak memberi ruang pada wilayah abu-abu, karena abu-abu sulit untuk menggolongkannya. Ia bukan putih karena menyisakan noda hitam.

Abu-abu pun bukan hitam karena ada bercak putih. Tak mengherankan, kepelikan mendefinisikan abu-abu, menyebabkan orang yang berpikir praktis enggan menerimanya. Abu-abu selalu menuntut perenungan, memerlukan kerutan di dahi, untuk menerjemahkannya. ''Tapi, kenapa manusia harus selalu benar,'' keluhanmu masih bersisa di hati. Nilai-nilai moral pada agama, seringkali menyebabkan orangtua menuntut anaknya, agar selalu putih, selalu benar. Keinginan seperti itu tentu baik. Bukankah seorang penjahat sekalipun ingin agar anaknya menjadi baik? Namun, tuntutan yang berlebihan sehingga menyebabkan tiada ruang bagi kesalahan, jelas merajam kemanusiaan. Akibatnya? Ketika seorang guru menuntut murid harus terus benar, maka sejatinya ia sedang membina sang murid untuk melucuti kemanusiaan. Kenapa? Manusia yang selalu merasa dirinya benar, sejatinya telah kehilangan kemanusiaan.

Sang manusia tersebut sedang mengalami metamorfosa untuk menjadi dewa atau seperti Fir'aun yang mempertuhan dirinya. Lihatlah: betapa sering kita menyaksikan pemimpin yang kehilangan pendengaran ketika memiliki telinga. Mereka enggan mendengar kebenaran dari pihak lain karena diri merekalah kebenaran itu. Mereka tidak sudi dikritik karena kritik akan memposisikan mereka ke ruang bersalah. Bukankah mereka, para pemimpin, senantiasa diposisikan sebagai sumber kebenaran? ''Jadi apakah manusia harus selalu benar?'' keluhanmu bersisa di hatiku. Tidak anakku, manusia tidak selalu benar. Bahkan, di puncak malam ini, aku menyadari: mengikuti teori warna para pelukis, manusia sejatinya bewarna abu-abu. Betul, moral agama menyebutkan, manusia itu putih (baca: suci) ketika dilahirkan.

Tapi, maha kuasa Allah, ia selain meniupkan ruh illahiyah yang membuat manusia memiliki naluri untuk menuju kebenaran, juga menitipkan hawa nafsu ke bilik hati manusia. Bila "ruh" yang pertama hanya dimiliki malaikat, maka yang kedua dilambangkan menjadi milik syaitan. Dalam bahasa berbeda, jika putih menjadi perlambang malaikat, hitam merupakan citra setan. Lambang putih dan hitam itu bersemayam pada diri manusia. Bukankah percampuran putih dan hitam melahirkan abu-abu. Maka, nakda, kita sejatinya bewarna abu-abu. Keputihan yang dibawa sejak lahir, dalam perjalanan hidup ini, mengalami perubahan menjadi abu-abu karena godaan hawa nafsu pada diri. Hasil pertempuran antara yang putih (kebaikan) dengan yang hitam (kejahatan) yang akan mempengaruhi wilayah abu-abu.

Kemampuan kita meredam "aura" hitam pada diri, menyebabkan wilayah abu-abu, menjadi lebih putih. Begitu pula sebaliknya, jika kita gagal meredam godaan "si hitam", maka wilayah abu-abu bertambah kelam. Dengan demikian, nakda, jangan pernah merasa menjadi sumber kebenaran. Penyebabnya hakikat manusia ialah pertempuran hitam-putih pada diri. Suatu kali kita mungkin pernah melakukan kesalahan. Bukankah Nabi Muhammad SAW yang menjadi junjungan umat Islam di muka bumi ini pun pernah menerima teguran karena mengutamakan berdakwah kepada orang terkemuka (lihat Alquran surat Al Kahfi ayat 28).

Begitupun seperti diriwayatkan, ketika beberapa orang Quraisy bertanya kepada Nabi tentang ruh, kisah ashhaabul Kahfi, dan Dzulqarnain. Nabi menjanjikan menjawabnya keesokan hari tanpa mengucapkan ''Insya Allah.'' Allah memperlambat turunnya wahyu untuk menjawab persoalan tersebut, bahkan, "menegur" Nabi (lihat QS. 18:23-24). Bayangkan: seorang Nabi yang menjadi kekasih Allah, yang diriwayatkan hatinya telah disucikan malaikat ketika masih bocah, masih mengalami kekeliruan. Bila seorang nabi dengan derajat kemuliaan yang sangat tinggi pernah khilaf, mengapa kita yang hanya pengikutnya, ingin menjadi sumber kebenaran? Bukankah sumber kebenaran hanya hak Allah? Maka nakda, jangan pernah takut melakukan kesalahan, asalkan kesalahan tersebut menggiringmu untuk menemukan kebenaran. Bukankah manusia yang merasa dirinya senantiasa benar, sejatinya telah kehilangan kemanusiaannya?


Ikhlas

Rudy Harahap
Jumat, 28 Mei 2004

Kebijaksanaan adalah tongkat yang hilang bagi seorang mukmin. Dia harus mengambilnya dari siapa saja yang didengarnya, tidak peduli dari sumber mana datangnya. (HR. Ibnu Haban)

Engkaukah, Sonia Gandhi, perempuan berhati lilin? Perempuan berusia 57 itu, tersenyum dan menggeleng lemah. Pipinya merona merah. ''Saya tidak pernah berpikir menjadi lilin karena saya tidak memiliki kearifan seorang Mahatma Gandhi,'' suaranya seperti berbisik ketika mengucapkannya. ''Saya hanya keturunan Italia yang memasuki klan Gandhi, jadi apalah artinya saya di tengah keagungan Gandhi?''

Saya terpana mendengarnya. Wujudnya berupa bayang hadir di hadapanku. Ia hadir di tengah kebeningan batin, seusai merenangi keteduhan malam yang hening, dalam kontemplasi diri. Tiada nada sesal ketika ia mengucapkannya. Saya justru yang penasaran sehingga bertanya, ''Adakah karena engkau bukan Gandhi tulen sehingga mengundurkan diri?''

Senyum keibuan memekar di bibirnya. Ia seperti tidak mempedulikan pengunduran dirinya sebagai perdana menteri India yang baru terpilih pada 18 Mei 2004 menjadi sesuatu yang menggegerkan. Tidak hanya di India, bahkan, sikapnya tersebut menjadi ironi di negeriku, ketika mereka yang merasa sebagai pemimpin bersiap-siap, untuk dipilih menjadi presiden.

Bukankah menjadi orang nomor satu merupakan idaman? Setiap orang yang merenangi politik, niscaya sudi berakit-rakit, demi duduk di singgasana kepresidenan ataupun perdana menteri. Sejarah, bahkan, bagaikan kehabisan tinta untuk mencatat drama politik: intrik tragis dalam perebutan singgasana. Sejarah Indonesia, misalkan, ada anyir darah pada setiap suksesi. Soekarno terpaksa turun dari singgasana kepresidenan setelah revolusi berdarah ---- yang dikenal dengan nama G30S PKI ---- menggenangi Indonesia. Soeharto yang menggantikannya, setelah lebih 32 tahun menduduki kursi kekuasaan, lengser akibat gelombang unjuk rasa mahasiswa yang merenggut nyawa mahasiswa Universitas Trisakti.

Pelbagai fragmen tersebut, bukankah merupakan refleksi, betapa kuat magnet singgasana. Magnet tersebut seringkali menyebabkan arena persaingan disulap menjadi arena gladiator. Pertarungan berdarah-darah tidak jarang mewarnai suksesi kepemimpinan di suatu negara. Bukankah di dalam berbagai bidang kehidupan --- tidak hanya dalam kehidupan bernegara tetapi dapat juga dalam perebutan kekuasaan di suatu lembaga --- kita seringkali menyaksikan penguasa X menduduki singgasana setelah terlebih dahulu "menghabisi" mereka yang merintangi jalannya (bila meniti jalan singgasana dengan memijak kepala orang lain, tidakkah kekuasaan itu akan menebarkan bala?). Pihak yang menang niscaya mengikis habis lawan politik agar tidak mengusik kekuasaannya. Sedangkan pihak yang kalah, belum tentu secara ksatria mengakui kekalahan, tetapi dengan pelbagai cara berusaha menelikung.

Semua itu karena dengan kekuasaan di tangan, seseorang mampu membuat orang lain bertekuk lutut, di hadapannya. Sihir kekuasaan tersebut membuat orang berlomba-lomba ingin memilikinya. Apalagi tradisi kekuasaan terutama di negeri ini, seringkali memberikan keistimewaan: bila rakyat bekerja dengan kesepuluh jemari, maka sang penguasa cukup hanya dengan satu ruas jari yaitu jemari telunjuk yang menuding-nuding. Thomas Hobbes merumuskan kenikmatan kekuasaan tersebut sebagai: kenikmatan memiliki kekuasaan (power), kemegahan diri (self-glory), dan kesenangan hidup (pleasure). Tidak jarang, bahkan, pemuka agama pun mengejar kekuasaan dengan dalih demi menegakkan hukum Tuhan di bumi, kendati tidak sedikit justeru untuk menikmati pelbagai fasilitas.

Bila sihir kekuasaan begitu memukau, mengapa engkau menolaknya, Sonia? ''Perdana menteri bukan menjadi tujuan hidupku,'' tukasnya. Maka, dengan kerendahan hati Sonia Gandhi, memilih mundur. Ia memilih melipat ambisi pribadi, kenikmatan yang dijanjikan kekuasaan, dan menyimpannya di laci. Sonia kabarnya memilih demikian demi mencegah retaknya persatuan India karena ia keturunan Italia.

Bila demikian alasannya, betapa mulia rasa kemanusiaanmu, Sonia. Bukankah kerelaanmu mengurbankan kepentingan pribadi -- padahal singgasana kekuasaan telah menyerahkan diri kepadamu -- merupakan kemuliaan yang kian jarang dipertontonkan. Ajaran agamaku, Islam, menamakan kemuliaan semacam itu dengan ikhlas, suatu rasa yang mengiringi keinginan berkorban demi kemashalatan individu lain.

Bukankah keikhlasan namanya, ketika lilin membakar tubuhnya hingga meleleh, demi menerangi kegelapan di sekitarnya? Begitupun keikhlasan yang mendorong sepotong kayu membakar dirinya demi menghangatkan kedinginan di sekelilingnya. Dengan rasa kasih yang luas, menyebabkan seseorang berlapang hati, memberikan miliknya untuk digunakan orang lain kendati akibatnya ia kehilangan kenyamanan.

Bagaimana jalan menggapai maqam ikhlas demikian? Tasawuf mengajarkan, semua bermula dan bermuara, kepada telaga hati. Sayid Muhammad Mahdi Thabathaba'I Bahrul Ulum di bukunya As-Sair Wa As-Suluk, misalkan, mensyaratkan agar pejalan ruhani yang ingin mencapai maqam ikhlas mesti memelihara khalus (kejernihan). Segala sesuatu, menurutnya, memiliki kejernihan (ikhlash) berkait dengan dirinya sendiri.

Dengan demikian, sesaat hendak memulai perjalanan ruhani, seseorang mesti terlebih dahulu membersihkan kotoran di pekarangan hatinya. Agar cahaya Al-Haq dan panasnya cahaya alam jabarut (kekuasaan Allah SWT) terserap, maka pejalan rohani mesti menghilangkan hijab. Ia harus membersihkan hati dari berbagai kotoran (Sayid Muhammad Mahdi Thabathaba'I Bahrul Ulum, 2000: 73).

Sayid Bahrul Ulum membagi empat tahapan pejalan rohani untuk mencapai maqam ikhlas. Pertama, bentuk penyerahan diri kepada Allah dan sikap tunduk terhadap perintah-perintah-Nya. Kemudian, rasa aman dan ketenangan hati. Berikutnya, hati terbimbing menuju Allah SWT dan menjauhi suasana penyimpangan dan kemaksiatan. Terakhir, terdapat pengawasan dan terjalin hubungan "mesra" serta usaha yang cepat untuk mencapai tujuan.

Ah, Sayid Bahrul Ulum terlampau rumit, dengan jalan tasawufnya. Kita, agaknya, belum mampu menjadi pejalan ruhani: mendaki ketinggian langit tasawuf, menyusuri kelandaian lembahnya. Baiklah kita sederhanakan wejangan sang guru yang lahir di Karbala pada tahun 1155 H itu. Bukankah membersihkan pekarangan hati bermula dari keinginan melakukan kontemplasi: apa makna kehadiran kita di bumi? Di tengah perjalanan hidup, sejauh manakah kita memberikan manfaat bagi individu lain maupun alam persekitaran? Adakah timbangan lebih condong kepada kebatilan?

Betul, mungkin kita bukan sosok yang gemar merenung, ketika Allah menyuruh hamba-Nya untuk suka memikirkan terutama yang mengaitkan dengan kemahakuasaan-Nya (lihat QS Ali Imran [3]:191). Maka, sebelum mencapai maqam ikhlas, sebaiknya kita terlebih dahulu ikhlas untuk melihat penyakit hati sendiri: ego, tamak, dan merasa superior. Maka akhirilah malammu dengan kesudian menggeledah diri untuk kemudian mengawali pagi dengan perbaikannya. Dengan demikian kita telah memulai usaha membersihkan pekarangan hati.

Ketika pekarangan hati mulai bersih, maka siramilah dengan zikirullah. Zikir menggiring kita untuk menghampiri-Nya. Di saat kita kian menghampiri-Nya, insya Allah kita pun dituntun mengikuti sifat-sifat-Nya. Bukankah Ia yang maha pengasih dan penyayang? Dengan rasa kasih yang mensifati Allah, menyebabkan kita mengasihi individu lain, bahkan, kehidupan ini. Rasa kasih senantiasa bermuara kepada keikhlasan memberi.

Sonia Gandhi mungkin tidak memahami tradisi tasawuf yang rumit untuk mencapai maqam ikhlas. Tapi, ia seorang perempuan, seorang ibu yang dicitrakan memiliki lautan kasih tiada bertepi. Hati seorang ibu semestinya menawarkan kasih pengasuhan. Maka, bayangkanlah: di saat ia lebih memilih bahasa hati seorang ibu, maka ia memilih mundur dari singgasana, karena mengkhawatirkan bila ia tetap mendudukinya akan menimbulkan prahara yang merusak. Bukankah kasih seorang ibu senantiasa memelihara?

Dengan kasih seorang ibu yang senantiasa memelihara, Sonia memilih menjadi lilin ataupun sepotong pohon. Bila Sonia Gandhi mampu menunjukkan kasih dan keikhlasan seorang ibu, akankah kaum ibu yang siap-siap menduduki singgasana di negeri ini, sudi mendengarkan bahasa kasih keibuannya?

Malaikat

Rudy Harahap
Jumat, 16 Juli 2004

Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia (QS 12:31) Seorang bocah, yang mulai asyik mengembarakan pikirannya ke dunia luar, bertanya: Siapakah malaikat itu? Sang ayah, yang dibesarkan dengan nilai-nilai tradisi agama, seketika tergagap. Bukankah nilai tradisi agama tidak menganjurkan mempertanyakan keberadaan yang gaib? Seperti Allah, para malaikat-Nya pun sulit dicerna, jika semata-mata bertumpu pada rasionalitas. Tak mengherankan, malaikat menjadi salah satu rukun iman, bagi seorang Muslim. Kendati bersifat gaib (tidak dapat dilihat), seorang Muslim mesti mempercayai keberadaan malaikat sebagai bentuk kemahakuasaan Allah. Mempercayai berarti pengakuan yang lebih bertumpu pada keyakinan hati daripada rasio.

Tanpa kepercayaan seperti itu, iman seseorang tercederai. ''Daddy, jawablah!'' Sang anak kini mengugut,''Donny kok tak pernah berjumpa dengan malaikat?'' Tapi, siapa dapat membantu seorang ayah yang diugut anak masa kini yang terbiasa bebas mengutarakan pikirannya? Para ulama memang mencoba mendefinisikan keberadaan malaikat. Malaikat, demikian definisi tersebut, merupakan makhluk halus yang diciptakan Allah dari cahaya yang dapat berbentuk dengan aneka bentuk, taat mematuhi perintah Allah dan sedikit pun tidak pernah membangkang. Hal tersebut sesuai dengan hadis Nabi SAW, ''malaikat diciptakan dari cahaya, jin dari api yang berkobar dan Adam (manusia) sebagaimana telah dijelakan kepada kalian''. (HR Muslim/At-Tirmidzi). Berbeda dengan manusia, mereka tidak dilengkapi dengan hawa nafsu, sehingga terhindar dari keserakahan. Agar lebih lengkap, para ayah yang terpojok pertanyaan anaknya, perlu membaca buku yang ditulis cendekiawan Muslim ternama M Quraish Shihab.

Quraish yang menguasai kandungan Alquran, berdasarkan kitab suci umat Islam itu bersama hadis Nabi SAW, mengupas keberadaaan malaikat maupun jin, iblis, dan setan di bukunya bertajuk Yang Tersembunyi. Quraish, misalkan, menguraikan alangkah banyak jumlah malaikat. Allah belaka yang mengetahui persis jumlahnya. Sebagai contoh, kita melalui pelajaran agama di sekolah, mengetahui malaikat pencabut nyawa bernama 'Izrail -- nama yang menurut Quraish tidak ditemukan di Al-Quran maupun hadis. Tapi, mungkinkah bila 'Izrail belaka yang mencabut nyawa puluhan orang pada saat bersamaan di tempat berbeda? Berasaskan Alquran dan hadis, ulama yang memiliki keluasan pengetahuan itu mengungkapkan, 'Izrail hanya semacam komandan. Banyak malaikat yang bertugas mencabut nyawa.

Di bukunya itu, Quraish pun mengisahkan, hubungkait manusia dengan malaikat. Dengan pelbagai tugas yang diamanahkan Allah ke pundak mereka, para malaikat itu sibuk menyelenggarakan tugasnya. Malaikat Jibril, misalkan, bertugas menyampaikan wahyu (Alquran) kepada Nabi Muhammad. ''Katakanlah: Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Alquran itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)'' (QS 16:102). Ada pula yang mencatat amal manusia. Kedua malaikat ini mendampingi manusia untuk mencatat amal dan dosanya. Begitupun malaikat yang menjaga manusia seperti yang tersurat di surah At-Thariq (86:1-4): Tidak satu jiwa pun melainkan ada penjaganya. Berkait dengan malaikat penjaga ini, Quraish menjelaskan, mengapa dalam musibah pesawat yang meledak masih ada penumpang yang selamat. Penumpang yang selamat ini, menurut Quraish, karena 'inayatullah (pertolongan Allah).

Allah memiliki rencana, sehingga penumpang tersebut, belum tiba ajalnya. Malaikat pemelihara ini pun ditugaskan untuk menyelamatkan penumpang tersebut. Para ulama pun sepakat bila pasukan malaikat terlibat dalam peperangan semasa Rasulullah. Di Perang Badar, misalkan, jumlah pasukan Muslim yang hanya 313 orang, tidak berbanding dengan balatentara musyrik yang mencapai seribu orang. Nabi menghadap ke kiblat, berdoa memohon pertolongan Allah, bahkan berulang-ulang melakukannya sehingga sorbannya terjatuh. Surah Al-Anfal menyebutkan firman Allah: ''Sesungguhnya Aku mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut'' (QS 8:9-10). Dengan demikian, malaikat laiknya bala tentara Allah, baik untuk menyerukan manusia kepada kebajikan maupun 'menanding' iblis dan jin.

Bila diandaikan kepada kabinet, maka para malaikat bagaikan menteri yang solid dan patuh kepada Sang Maha Memerintah. Tujuan mereka semata-mata mengemban amanah pemilik kerajaan alam semesta. Bekerja merupakan amanah yang sepenuhnya dilaksanakan. Melaksanakan amanah merupakan bahagian daripada ibadah. Maka, wahai ayah yang terpojok oleh pertanyaan anak, maklumkan si buyung: tidak sekadar menjelaskan keberadaan malaikat, tetapi 'para menteri' yang solid itu berarti juga lambang kepatuhan sekaligus menjadikan kerja sebagai amanah (ibadah). Tapi, hmmm ayah, mengapa diam-diam tersembul pertanyaan di hatimu: akankah susunan menteri di negerimu kelak dapat meniru citra malaikat?

Pohon yang Digugurkan Daun Dosanya

Rudy Harahap
Jumat, 03 September 2004

Tiap-tiap yg berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu akan dikembalikan. (QS 21:35)

Di saat terbaring di ranjang, ketika sakit menggerumus, wajahmu Emak yang membayang. Wajahmu Emak menjadi obat yang menumbuhkan kekuatan di tubuh. Bayang kehadiranmu Emak, menjadi spirit kekuatan, ketika setiap orang sakit senantiasa merasa tiada berdaya. Tapi, lelaki berusia 50-an yang terbaring di ranjang sebuah rumah sakit, kini merasa berdaya. Betul, beberapa hari sebelumnya, ia merasa menjadi manusia sia-sia lantaran tidak mampu menanggung rasa sakit. Bahkan, ia merasa Allah yang belakangan kian rajin dihampiri-Nya, menampik kasihnya. Bukankah bila Ia membalas kasihnya, demikian ia berpikir, tidak akan mengirimkan sakit kepadanya?

Di puncak rasa putus asa, lelaki berusia 50-an itu, teringat kepada almarhumah emaknya. Emaknya menghabiskan sebagian kehidupannya dengan deraan sakit. Pelbagai jenis penyakit, mulai jantung, hipertensi, kanker, silih berganti menggerumus tubuh sang emak. Bahkan, vertigo yang kemudian turut melumpuhkan sistem saraf, membuat perempuan tua itu terbaring terus menerus selama lebih tujuh tahun. Akibatnya, ketika lima anaknya menikah, membuatnya tidak dapat sepenuhnya meneguk kegembiraan seperti jamaknya orangtua yang menikahkan putra-putrinya. Ia hanya berbaring sendirian membayangkan rona keriaan di wajah anak-anaknya.

Begitu menderita kehidupanmu, wahai Emak? Sang emak justru belajar makna kesabaran dari setiap penyakit yang silih berganti mendera. Tiada keluhan berkepanjangan. Ia tidak menyesali Allah yang belum juga memberi kesembuhan padanya. Anak-anaknya jarang menemukannya berlinang air mata ketika kehidupannya hanya sebatas ranjang. Sebaliknya, ia tetap melaksanakan ibadah ketika hanya mampu berbaring, menghabiskan waktunya dengan berzikir.

Kendati kehidupannya sebatas ranjang, perempuan tua itu tetap semangat mengikuti perkembangan yang ada di luar kamarnya. Bahkan, lebih mengagumkan lagi, ia menjadi sumber wejangan: tidak hanya bagi anak-anaknya tetapi handai taulan yang mengunjunginya. Tak jarang, ia menasihati handai taulan yang tertimpa musibah ringan laiknya jemari tertusuk duri, agar bersabar dan tawakal.

Tak mengherankan, bagi anak-anaknya termasuk pria berusia 50-an yang diserang sakit, sang emak menjadi simbol kesabaran dan keikhlasan dalam menempuh ujian sakit. Tapi, siapakah yang mengirim spirit untuk mampu bertahan? Ketika anak-anaknya pernah mengeluh karena kasihan melihat orang tuanya terus menerus terbaring, sang emak justru yang menyabarkan. ''Sakit itu ujian bagi kesabaran. Ini belum seberapa. Nabi Ayub saja yang menjadi utusan Allah lebih parah menerima cobaan sakit tetapi ia tetap tawakkal. Saat ia sujud, ulat yang ada di borok kepalanya terjatuh, tetapi dipungutnya dan dikembalikannya ke tempat semula,'' ujar sang emak mengutip kisah dari guru mengajinya semasa sehat.

Memang, Ayub menjadi simbol kesabaran, di tengah derita sakit. Allah pun mengisahkan: dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: ''(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang'' (QS 21:83). Tiada seikhlas Ayub dalam menerima sakit sehingga Allah mengirimkan kesembuhan seperti sang emak di usia senjanya menerima kesembuhan-Nya.

Mengapa Ayub --dan agaknya emaknya-- dapat tawakal? Nabi Ayub merupakan refleksi dari kesabaran dalam menerima penderitaan sakit. Ayub menjadi sumber inspirasi bagi emak maupun setiap Muslim yang sabar dalam menerima cobaan-Nya. Bukankah Allah telah menjanjikan ujian dan cobaan untuk membuktikan keimanan seperti terkandung di dalam Alquran: Apakah manusia itu mengira mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ''Kami telah beriman'', sedang mereka tidak diuji lagi?...Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka (QS 29: 2-3).

Cobaan itu dapat dalam pelbagai bentuk: penyakit, meninggal orang yang dikasihi, maupun musibah. Ujian pun dapat hadir dengan rupa kekayaan yang melimpah. Tragisnya, terkecuali pelbagai penderitaan, kita seringkali merasa kekayaan dan kesenangan bukan cobaan, sehingga tergelincir lupa diri. Tak ayal, telah menjadi 'kodrat' manusia, ketika hidupnya senang melupakan Allah dan bersikap sebaliknya ketika mengalami kesengsaraan. Semua itu menyebabkan Nabi Muhammad bersabda, ''sesungguhnya bagi setiap umat ada ujian dan ujian bagi umatku ialah harta kekayaan'' (HR Turmudzi).

Demi menegaskan hal itu, Nabi suatu kali bersabda: ''Demi Allah! Bukanlah kefakiran atau kemiskinan yang aku khawatirkan atas kalian, akan tetapi justru aku khawatir kemewahan dunia yang kalian dapatkan sebagaimana telah diberikan kepada orang-orang sebelum kalian, lalu kalian bergelimang dalam kemewahan itu sehingga binasa, sebagaimana mereka bergelimang dan binasa pula'' (HR Bukhari).

Cobaan sebagai bentuk ujian seringkali dilipatgandakan bagi hamba yang alim dan berusaha menghampiri-Nya. Kenapa? Semakin seseorang ingin menghampiri-Nya, semakin Allah berusaha menguji kadar keimanannya. Tidak mengherankan, semua nabi mengalami pelbagai cobaan, seperti Ayub dengan penyakit maupun Ibrahim yang diperintahkan menyembelih anak kesayangannya. Nabi Muhammad pun bersabda: ''Tingkat berat ringannya ujian disesuaikan dengan kedudukan manusia itu sendiri. Orang yang sangat banyak mendapatkan ujian itu adalah para nabi, kemudian baru orang yang lebih dekat derajatnya kepada mereka berurutan secara bertingkat. Orang diuji menurut tingkat ketaatan kepada agamanya'' (HR Turmudzi).

Dengan demikian, selaiknya kita tidak menduga-duga bila seseorang yang menderita akibat cobaan, sebagai bentuk hukuman. Kenapa? Dengan ujian yang berat, sang insan belajar sabar dan ikhlas, untuk menerima segenap cobaan. Bukankah Nabi Ayub --maupun sang emak dalam kisah ini-- menggunakan cobaan berupa penyakit sebagai sarana membangun ikhlas dan ibadah?

Kemampuan menjadikan cobaan sebagai sarana beribadah sekaligus sabar dan ikhlas, sejatinya menghantar seseorang menghampiri dan menjadi kekasih-Nya; suatu maqom yang menjadi idaman pejalan ruhani. Dengan kesabaran dan keikhlasan menerima ujian tersebut, sejatinya pejalan ruhani akan menemui-Nya, dalam keadaan tiada berdosa (lihat HR Muttafaq alaih dan Turmudzi). Maka, wahai Emak, engkaulah melalui keikhlasan dalam menerima cobaan, menjadi pohon yang digugurkan daun dosanya.

Humor Sufi

Tambahkan Mantra dengan Sedikit Ter

Kambing milik salah seorang petani terkena penyakit kudis. Dia lalu membawanya ke Nashruddin. Sampai di sana, dia berkata padanya. ''Karena engkau sangat ampuh dalam mengobat penyakit kudis, tolong bacakan sesuatu untuk kambingku ini.''
Maka, Nashruddin pun menjawab, ''Jika kambing milikmu ini ingin sembuh, maka aku harus menambahi mantraku dengan sedikit ter.''

Mengenalnya Sejak Bayi

Suatu ketika, mantel tetangga Nashruddin dicuri orang. Beberapa hari kemudian, mantel itu ditemukan berada di tangan seseorang. Setelah pemilik mantel itu mengadukannya kepada hakim, dia memanggil Nashruddin untuk dijadikan saksi.
Hakim bertanya pada Nashruddin, ''Apakah kau tahu bahwa mantel itu milik orang ini?''
Nashruddin menjaba,''Ya, aku mengenalnya sejak dia masih bayi, mantel itu tetap di tangannya hingga dia dewasa.''

Aku tak Lupa, Kamu yang Lupa

Suatu hari, Nashruddin diundang oleh seorang hakim. Setelah Nashruddin datang, dia menyuruh pembantunya utnuk membuat manisan buah tin dan bubur susu. Namun, setelah makanan itu matang, tak terlihat satu makanan pun yang disajikan di atas meja. Nashruddin kesal, tetapi ia tidak berkata apa-apa.
Setelah shalat Isya, hakim itu berkata padanya, ''Mari kita membaca Alquran untuk menghiasi suasana dan mengisi ruhani kita.''
Nashruddin berkata,''Tapi tentunya, setelah membaca Basmalah, kita membaca surat al-Tin bukan?''
Hakim itu berkata, ''Mengapa engkau lupa dengan surat al-Tin?''
Nashruddin menjawab, ''Aku tak lupa dengannya, tetapi kamulah yang melupakannya.''

Ikat dari Bawah

Suatu saat, Nashruddin bepergian dengan menggunakan kapal. Di tengah jalan, tiba-tiba datanglah sebuah badai besar yang menghantam perahu Nashruddin, sehingga layar kapal itu robek. Para pelaut naik ke tiang perahu dan mengikatnya kuat-kuat.
Melihat mereka naik ke atas, Nashruddin berkata, ''Mengapa mereka naik begitu tinggi, sementara penyebab gangguan ada di bawah. Ikat saja dari bawah agar tidak goyang.''
Dikutip dari Canda ala Sufi, penerbit Cahaya.

Selamat Jalan Rudy!

Zaim Uchrowi
Jumat, 17 September 2004

Serasa kemarin hari-hari yang kita lewati bersama itu berlalu. Ingatan lama, tahun 1984-1985, pun terputar kembali. Pada sejumlah sore kita acap bersama terdiam menatap matahari menyelinap di cakrawala pantai Losari. Pada sejumlah hari, kita juga bersama di Benteng mengamati fenomena 'keterguncangan kultural' masyarakat Makasar. Kita berbasah-basah di Bantimurung memotret kupu-kupu, terpesona oleh torehan tapak-tapak tangan purba di Leang-leang, hingga bersama menikmati suasana mistis upacara perkabungan di Toraja. Kau juga membiarkanku tidur di meja kerjamu saat aku tak bisa pulang ke rumah. Maka, kau pasti dapat membayangkan bagaimana ekspresiku saat pesan singkat masuk di telepon genggamku: "Rudy Harahap meninggal pukul 14.00 waktu Kuala Lumpur".

Rud, buatku, kau seorang yang khusus. Tak mudah bagiku mengagumi tulisan seseorang. Tulisanmu sering membuatku iri. Tak banyak wartawan yang memiliki 'cinta'. Kau memilikinya berlimpah. Sejak muda, kau limpahkan cinta itu pada anak-anak. Kau tulis kisah keseharian anak dengan manis dengan mengembangkan dan kelola 'Koran Kecil' di harian Fajar. Saban akhir pekan puluhan anak yang mengagumi tulisanmu berdatangan buat menemui idolanya. Biasanya mereka terkejut lebih dahulu melihat sosokmu, sebelum kemudian kalian larut dalam canda dan percakapan bersama.

"Wajahku memang sangar, tapi hatiku selembut kapas kok," katamu berseloroh. Tapi itu bukan seloroh. Kau memang punya kelembutan hati luar biasa. Kelembutan serta kecintaanmu pada anak-anak kembali kau tuangkan saat membidani dan mengelola 'Koran Kecil' Republika. Juga saat kau mengelola tabloid anak-anak 'Gita'. Kau buat kisah dengan tokoh gadis cilik Putri -sosok yang kau ambil dari buah hatimu sendiri. Saya mengenal banyak sarjana hukum, tapi saya belum menjumpai yang memiliki kelembutan hati sepertimu.
Rud, aku tak akan melupakan ekspresimu 20 tahun lalu saat kuajak kau salat Jumat dan kau setuju. Wajahmu memerah dengan roman malu-malu begitu kawan-kawan menertawakanmu. "Wah.. Rudy Jumatan!". Sejak itu, secara perlahan namun pasti, kau melangkah ke pintu rumah Tuhan yang memang selalu terbuka lebar. Tak seorang pun memandangmu sebagai seorang santri. Tiba-tiba kau menulis soal spiritualitas secara rutin. Kau -tanpa disangka siapapun- melangkah menjadi penulis tetap rubrik Tasawuf pada Dialog Jumat.

Banyak orang bicara soal spiritualitas atau tasawuf. Kau berbeda. Orang menjadikan spiritualitas sebagai wacana. Kau menginternalisasikannya dalam dirimu sendiri, dan mengekspresikannya lewat persoalan sehari-hari. Seorang pembacamu mengaku tersentuh saat kau menulis tentang bocah kecil yang merengek melihat pedagang mainan lewat. Jangan marah pada si bocah, begitu tulismu, karena rengekan bocah itu memang jalan Allah buat memberi rezeki pada pedagang mainan tersebut. Aku juga terus ingat tulisanmu tentang bagaimana spiritualitas sopir taksi di Kuala Lumpur yang mengejarmu untuk memberikan uang kembalian.
Bangsa ini memerlukan spiritualitas seperti itu. Kau sebarkan spiritualitas itu melalui kolommu. Kau bukan sekadar menulis, namun juga menyebarkan ruh. Termasuk bagi Republika. Andai para pemimpin bangsa ini, para pemimpin umat, cendekia dan banyak pihak lain berkesempatan membaca tulisan-tulisanmu, bangsa ini akan memiliki wajah yang sangat berbeda dengan selama ini.

Seorang dengan nilai spiritualitas tinggi, kata Ustad Arifin Ilham, tidak peduli kapan dan di mana maut menjemput. Sosok demikian hanya peduli bagaimana proses kematian. Perasaan mendamba pada kematian yang khusnul khotimah akan menggerakkan seseorang untuk memberikan hanya yang terbaik dalam kehidupannya pada dunia. Kau adalah sosok seperti itu. Sampai ketemu suatu hari nanti di alammu sekarang Rud.