(Masih) Poligami

Oleh : Zaim Uchrowi

Bagaimana sebenarnya bentuk keluarga ideal menurut agama? Monogami atau poligami? Masyarakat kita secara umum telah menganggap selesai persoalan itu. Masyarakat menilai monogamilah bentuk keluarga ideal. Maka, hampir semua keluarga mempraktikkan monogami. Sangat sedikit yang berpoligami. Selingkuh? Itu haram sama sekali. Lebih baik segera tinggalkan kampung. Jangan pernah kembali lagi.

Nilai berkeluarga seperti itu merupakan nilai dominan di masyarakat kita. Setidaknya di masyarakat sekitar Madiun, tempat asal saya. Juga daerah asal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sangat peduli pada soal keharmonisan keluarga. Nilai tersebut tak lepas dari nilai keagamaan yang disebarkan di masa silam. Sejumlah pesantren penting ada di kawasan itu. Pesantren Tegalrejo, pesantren paling berpengaruh di Jawa di abad ke-19, misalnya. Lalu Gontor, Termas, Takeran, dan banyak lainnya.

Pertanyaannya adalah: Apakah nilai berkeluarga yang diidealkan itu sudah sesuai syariah? Apakah monogami sesuai sunah Rasul? Sebagian aktivis keislaman mengemukakan pertanyaan itu. Mereka menilai reaksi publik terhadap pernikahan kedua Aa Gym berlebihan. Apakah itu bukan berarti menolak syariah? Ketika perselingkuhan dan perzinaan marak seperti sekarang, apa jadinya bila syariah tidak ditegakkan?

Kebenaran syariah tak cukup dinilai hanya dengan menerjemahkan ayat Alquran. Kebenaran syariah akan lebih terpahami dengan melihat keteladanan Rasul dalam mengaplikasikan ayat-ayat-Nya. Itu berlaku di semua aspek kehidupan. Termasuk soal berkeluarga.

Keteladanan Rasulullah SAW dalam berkeluarga sangat jelas. Pada masa itu, yakni awal abad ke-7, poligami adalah praktik umum masyarakat Quraish, laki-laki biasa hidup bersama banyak perempuan. Perempuan dipandang seperti hak milik. Terserah mau diapakan. Di tengah lingkungan demikian, Muhammad SAW membangun pernikahan agung. Ia menikahi Khadijah yang 15 tahun lebih tua, dan bersetia sampai sang istri wafat hampir 28 tahun kemudian.

Mereka saling bantu dan saling jaga hingga menjadi pasangan yang kokoh. Mereka biasa mengerjakan tugas keluarga secara bersama. Mulai dari mengatur ekonomi, bermasyarakat, hingga mengasuh anak. Di tengah tekanan masyarakat Quraish yang menolak dakwahnya, pasangan Muhammad SAW-Khadijah hidup bahagia. Orang Quraish biasa melecehkan anak perempuan. Namun, pasangan ini memuliakan keempat putrinya. Keluarga itu benar-benar keluarga yang hangat dan sakinah. Kesetaraan dan kebersamaan menjadi pola utama hubungan mereka, meskipun Muhammad SAW jelas-jelas pemimpin umat. Itu sangat revoluioner' pada masanya. Masa belasan abad sebelum kaum feminis meneriakkan isu gender sekarang.

Pola pernikahan Muhammad SAW-Khadijah seperti mendorong kebiasaaan lama masyarakat untuk berpoligami agar beralih ke monogami. Apalagi Rasul juga melarang keras sahabat terkasihnya, Ali bin Abu Thalib, berpoligami. Apakah itu bukan petunjuk bahwa pernikahan sebaiknya monogami?

Realitas di lapangan juga mengindikasikan bahwa masyarakat yang teguh bermonogami umumnya memiliki kualitas hidup lebih baik dibanding masyarakat yang permisif pada poligami. Hal itu dapat dinilai dari tingkat kemiskinan, pencapaian dalam pendidikan, bahkan kriminalitas dan kemaksiatan. Indikasi itu terlihat dari kehidupan masyarakat pedesaan wilayah "Mataraman' (wilayah pedalaman Jawa Tengah, Yogya, dan sebagian Jawa Timur) bila dibandingkan dengan kehidupan masyarakat pedesaan kawasan 'Tapal Kuda' Jawa Timur, wilayah pantura, serta sebagian besar pedesaan Jawa Barat dan Banten. Realitas tersebut juga merupakan ayat Qauniyah yang juga perlu dicermati.

Dalam formalitas syariah, poligami memang sah sebagaimana monogami. Rasulullah SAW pun berpoligami di sepuluh tahun terakhir usianya. Tapi, nilai akhlak dan adab juga mengajarkan bahwa sekadar 'sah' atau 'halal' tidaklah cukup untuk melangkah. Selain 'sah', setiap langkah perlu dipertimbangkan cermat agar 'baik'. Dengan begitu, kemudharatan akan terhindarkan, kemanfaatan akan teroptimalkan. Termasuk untuk melangkah berpoligami. Kepentingan anak-anak dan kepentingan pasangan yang telah bersetia menyertai jatuh bangun membina keluaraga dari awal yang harus menjadi pertimbangan utama. Rasulullah pun berpoligami setelah anak-anaknya dewasa. Juga, sekali lagi, setelah Khadijah yang menjadi belahan jiwanya wafat.

Persoalan bagaimana format syariah berkeluarga telah lama dianggap selesai oleh para ulama kita terdahulu. Begitu pula banyak soal syariah lain. Mereka tidak lagi memperdebatkan kebenaran syariah. Mereka lebih berkonsentrasi bagaimana mengamalkan syariah itu secara operasional agar bermanfaat sebesar-besarnya bagi semua. Itulah yang selayaknya kita tiru.

[Resonansi, Republika, Jan 07]