Pintu Darurat

Oleh: Ahmad Tohari

Kemarin pagi U-un sama Fadli datang bersama-sama ke rumah saya. Saya jadi tahu Fadli sedang punya masalah. U-un bilang, Fadli sedang gagap menghadapi pertanyaan istrinya; soal poligami.

"Istrimu tanya bagaimana, Fad?" kata saya sambil senyum.

"Istri saya tanya, apakah saya punya niat cari istri lagi. Saya jawab tidak, tapi dia tetap tidak yakin dan terus bertanya."

"Mengapa istri kamu terus bertanya seperti itu?"

"Istri saya bilang, agama Islam membenarkan poligami. Nah, tolong, saya harus bilang apa agar istri saya
tenang."

Saya dan U-un tertawa bersama. Fadli memang gagah. Dan untuk ukuran orang kampung dia berasal dari keluarga cukup kaya. Wajar bila ada perempuan naksir, dan membuat istrinya was-was.

"Nah, sikap kamu sendiri bagaimana?" tanya saya.

"Saya sudah bertekad menjadi seorang monogam. Saya hanya mungkin kawin lagi apabila istri saya meninggal. Dan ini adalah suatu hal yang sama sekali tidak saya harapkan."

"Tapi perilaku kamu bagaimana? Jangan-jangan kamu, meski sudah bertekad jadi monogam, sering usil terhadap perempuan lain," Kejar U-un. "Kalau begitu apa bedanya dengan poligami?"

"Kamu tak usah bertanya seperti itu karena kamu benar-benar mengenal saya," sanggah Fadli. "Saya memang bergaul dengan teman lelaki maupun perempuan. Tapi masalah yang menggelisahkan istri saya itu tadi; mengapa Islam membenarkan poligami."

Sejenak sepi. Saya kemudian ingat, U-un pernah kuliah di STAIN, jurusan syariah lagi.

"Nah, ini bagian U-un untuk menjawab kegelisahan istri Fadli. Ayo, Un!"

"Kok saya? Saya kan belum pernah kawin?"

"Tidak apa-apa. Yang sudah kawin belum tentu lebih arif dan alim daripada yang masih perjaka."

Karena merasa terdesak, U-un mencoba mengeluarkan ilmunya yang menurut pengakuannya sendiri tak seberapa.

"Kegelisahan istri Fadli wajar dan manusiawi. Istri Kanjeng Nabi saja bisa terkena rasa cemburu. Tapi masalahnya jadi lebih serius karena seolah-olah istri Fadli menggugat otoritas syariah Islam. Ini yang perlu direnungkan mengapa sampai terjadi."

"Ya, kenapa?" kejar saya.

"Ah, menurut saya, karena banyak orang hanya mau enaknya menafsir hukum poligami. Padahal ibarat pintu, poligami adalah pintu darurat. Sungguh-sungguh darurat sehingga hanya boleh dibuka bila situasinya memang darurat. Nah, sekarang banyak lelaki menjadikan pintu darurat itu sebagai pintu biasa yang boleh dibuka kapan pun dia mau."

"Pintu darurat?" tanya saya lagi.

"Iya! Kanjeng Nabi baru melakukan poligami dalam situasi sangat darurat setelah banyak lelaki sahabatnya gugur dan mereka meninggalkan ratusan janda dengan lebih banyak lagi anak yatim. Dalam keadaan dikelilingi oleh ratusan janda (tua-tua dan tidak rupawan pula) serta banyak sekali anak yatim itulah Kanjeng Nabi memutuskan berpoligami. Dari situasi ini bisa diketahui apa motivasi yang dilakukan oleh Kanjeng Nabi.

"Ketika keadaan masih normal Kanjeng Nabi tidak melakukan poligami dalam perkawinannya dengan Khadijah selama 26 tahun. Padahal Khadijah 15 tahun lebih tua. Ketika meninggal Khadijah adalah nenek berusia 66 tahun sedangkan Kanjeng Nabi baru berusia 51 tahun. Khadijah meninggal sebagai istri seorang monogam yang sangat setia meskipun suaminya itu jauh lebih muda."

Terus terang, saya agak terpukau oleh kata-kata U-un. Mungkin Fadli juga.

"Un!" kata saya. "Saya memahami omonganmu. Namun apakah situasi darurat hanya berkaitan dengan banyaknya janda dan anak yatim?"

"Saya kira tidak. Kalau seorang istri dinyatakan mandul, atau tidak mampu melayani karena masalah kesehatan misalnya, maka si suami kehilangan hak dan harapannya untuk mempunyai keturunan. Dalam hal ini si suami boleh menikah lagi, namun harus tetap adil. Nah, ini tidak mudah. Kalau ada orang sebenarnya tidak mampu bersikap adil jangan pura-pura mampu!"

"He-he, Un! Bagaimana kalau suami yang bermasalah, impoten misalnya. Apakah istri boleh menikah lagi dengan lelaki lain?" 

"Waduh, saya kira tidak boleh. Itu berabe."

"Kalau begitu tak adil!"

"Eh jangan buru-buru bilang begitu. Istri yang punya suami impoten dan merasa haknya tak terpenuhi, mengapa tidak meminta talak saja, dan baru kawin lagi dengan lelaki lain?"

"Boleh?"

"Siapa bilang tidak boleh? Pengadilan agama akan mengurusnya." 

"Setuju!" kata saya.

"Lalu bagaimana dengan Aa Gym? Apakah dia berpoligami dalam situasi darurat?"

"Ah, saya tidak mau komentar. Saya hanya bisa mengulang kata-kata saya tadi; banyak lelaki seenaknya menganggap pintu darurat sebagai pintu biasa dan lupa Kanjeng Nabi hanya menikah lagi setelah istri pertama wafat."

[Resonansi, Republika, Des 06]