Bahasa Indonesia, Nasibmu Kini

Oleh Nuim Hidayat

Kita paham, bahwa salah satu fung si bahasa adalah alat untuk menyampaikan suatu makna benda atau peristiwa. Bila dua orang atau lebih berkomunikasi, menggu- nakan sebuah bahasa, mereka saling paham, maka `telah cukuplah fungsi bahasa itu\'. Bahasa bukan untuk bergaya-gaya atau menghegemoni suatu komuni- tas/bangsa ke bangsa lain. Raja Ali Haji (1808-1873), ulama besar dan ahli bahasa Melayu menyatakan bahwa tujuan belajar bahasa sebenarnya adalah untuk makrifat kepada Allah, Sang Pencipta alat indera dan alam semesta ini. Bukan seperti yang diungkap oleh Gorrys Keraf, bahasa hanya berfungsi sebagai alat untuk mengekspre- sikan diri, alat untuk berkomunikasi, alat untuk integrasi atau adaptasi sosial dan alat untuk melakukan kontrol sosial.


Prof. Hashim Musa, ahli bahasa dari Universiti Malaya, ketika memberikan pen- gantar buku Bustaanul Kaatibin, karya cen- dekiawan besar bahasa Melayu Raja Ali Haji, mengatakan: \"Dalam Islam, pengajian bahasa khususnya bahasa Arab dan bahasa penganut Islam yang lain, meru- pakan ilmu alat untuk mencapai makrifat yaitu mengenali Allah dan seluruh kewu- judan, memperteguh keimanan dan ketak- waan, dan menyemai adab kesopanan yang mulia, yang mengandungi antara lain ilmu- imu nahwu (sintaksis), sharaf (morfologi), qawaid (bahasa), mantiq (logika), balaghah (retorik), istidlal (pendalilan), kalam (peng- hujahan) dan sebagainya.\"

Dalam bukunya ? yang bermakna -- \"Ta man para Penulis\" itu, Raja Ali Haji mengatakan: \"Adapun kelebihan ilmu dan kalam amat besar sehingganya mengata- kan setengah hukama, segala pekerjaan pedang bisa diperbuat dengan kalam.

Adapun pekerjaan-pekerjaan kalam tidak bisa diperbuat dengan pedang, maka ini ibarat yang terlebih sangat nyatanya. Dan beberapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus, dengan seguris kalam jadi tersarung, terkadang jadi tertangkap dan terikat dengan pedang sekali.\"

Menurut Prof. Syed Mohammad Naquib al Attas yang kemudian diikuti oleh Prof. Braginsky (1989,1993), pekerjaan kalam--istilah yang merujuk pada kegiatan penulisan--adalah tonggak kebudayaan Melayu, yang mengakar umbi selepas kedatangan Islam ke rantau ini. Menurut beliau, di ba - wah pengaruh Islam, orang Melayu mula sadar tentang kewujudan sastera sebagai satu entiti yang utuh, yang menjadi sebaha - gian integral hidup mereka (lihat Prof. Ungku Maemunah Mohd Tohir, Kritikan Sastera Melayu, Antara Cerita dan Ilmu, 2007).

Ulama terkemuka Melayu lainnya, Syekh Ahmad al Fathani (1856-1908 dari Pattani) juga pernah mengirim surat kepada Sultan Zainal Abidin, Sultan Trengganu, agar sultan-sultan berperan aktif dalam menyebarkan ilmu di masyarakat. Ia menulis: \"Aku berharap semoga bangsa Melayu dapat maju dengan pimpinannya dan dapat mencapai kemuncak peradaban kesejahteraan. Aku berharap semoga baginda berkenan menyebarkan ilmu, mak- rifat dan petunjuk. Lalu baginda men jadi kegembiraan dan rakyat mendapat kejayaan. Agar mereka dapat membukukan bahasa Melayu. Karena aku bimbang ia akan hilang atau dirusak oleh perubahan yang berlaku dari masa ke masa. Begitu pula hendaklah mereka mengarang se jarah Melayu yang meliputi segala perihal orang Melayu. Kalau tidak, mereka nanti akan hilang dalam lipatan sejarah. Wahai para cerdik pandai. Hidupkanlah sejarah bangsamu. Dengan itu kamu akan disebut dalam sejarah dan namamu akan harum sepanjang masa. (lihat plakat Khazanah Fathaniyah oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah).

Imperialisme bahasa Dalam sejarah kita, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, sebenarnya mengajarkan kepada kita semangat agar bahasa Indonesia-Melayu ini menjadi ciri bangsa Indonesia. Agar bangsa Indonesia dikemu- dian hari menjadi bangsa besar dengan bahasa Indonesia; bukan dengan bahasa Belanda yang saat itu banyak dipakai kaum terpelajar Indonesia, karena digunakan di sekolah-sekolah di Hindia Belanda.

Para ulama kita juga merintis penggu- naan bahasa Melayu ini dalam karya-karya mereka. Bahasa Arab Jawi atau Arab Me - layu mereka tulis dalam karya-karya agung mereka mengenai bahasa, sejarah, bio - grafi, politik, kisah-kisah dan lain-lain.

Buku-buku karya ulama dan tokoh-tokoh Islam terkemuka seperti Nuruddin ar Raniri, Raja Ali Haji, Hamka, Mohammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, A Hassan Ahmad Dahlan, Hasyim Asyari ditulis dalam bahasa Melayu atau bahasa Arab Melayu (Arab Jawi).

Kini nasib bahasa Indonesia patut di per - tanyakan. Banyak pejabat dan tokoh publik mengumbar istilah bahasa Inggris, meskipun ada istilah yang lebih tapat digunakan dalam bahasa Indonesia. Tak jarang istilah asing digunakan tidak pada tempatnya. Yang paling buruk, bila bahasa sendiri tidak dihormati, menurut pakar pendidikan Islam, Prof Wan Mohd Nor Wan Daud \"Bang sa itu menjadi tidak menghormati karya orang-orang yang cerdas dari bangsa sendiri.\" Seolah-olah, karya berbahasa lain selalu dianggap lebih bagus dari karya tokoh-tokoh bangsa sendiri, yang ditulis dalam bahasa Indonesia.

Tentu, tidak dipungkiri bahasa asing perlu dikenal. Mahasiswa-mahasiswa di perguruan tinggi perlu belajar bahasa Inggris untuk lebih mendalami sains, teknologi, komputer dan lain-lain. Sebab, memang tidak dipungkiri sains dan teknologi sekarang ini, banyak ditulis dalam bahasa Inggris. Permasalahannya, bila bahasa asing ditempatkan lebih ter- hormat ketimbang bahasa sendiri. Bagi Muslim, masalahnya akan lebih serius, jika istilah-istilah asing itu merusak konsep yang terkandung dalam istilah-istilah penting dalam Islam.

Padahal penggantian kata kadang membawa makna yang jauh. Kata murid, yang digulirkan secara cermat oleh cen- dekiawan/ulama Islam diganti dengan kata siswa. Murid berasal dari kata araada- yuriidu-iraadatan-muriidan. Maknanya, orang mempunyai kehendak; punya kemauan (menuntut ilmu). Juga, orang yang mempunyai cita-cita. Sedangkan kata `siswa\'? Apa artinya? Wallahu Aliimun Hakiim.

[Islamia, Republika, 24 Oktober 2013]