Islamisasi dan De-Islamisasi Bahasa Indonesia

membaca tulisan ini di rubrik Islamia, Republika... di abad 15-16 sudah banyak tokoh yang menulis karya besar di nusantara. bangsa ini, bukan bangsa bodoh, buta huruf dan terbelakang sebagaimana dikabarkan dalam pelajaran sejarah bahwa bangsa ini pada awal 1900-an masih terbelakang, dan baru akan belajar melek huruf, itu pun priyayinya..
-------------------------------

Islamisasi dan De-Islamisasi Bahasa Indonesia

Oleh Arif Wibowo
Direktur Pusat Studi Peradaban Islam Solo

\"Een Holandsche Kwa jongen\", kurang lebih artinya \"Begajul Belanda \", adalah artikel dalam Bahasa Belanda yang ditulis oleh Syafruddin Prawiranegara di Majalah USI (Unitas Studiosorum Indone esiensis / Perhimpunan Mahasiswa Indo nesia). Artikel tersebut merupakan protes atas pernyataan Profesor Eggens, yang menyebutkan bahwa Bahasa Indonesia (yang saat itu disebut Bahasa Melayu) merupakan bahasa primitif yang tidak mungkin menjadi bahasa ilmu.

Menurut Syafruddin pendapat itu tidak layak keluar dari mulut seorang guru besar, apalagi Prof. Eggens baru saja datang dari Belanda dan belum mempelajari Bahasa Indonesia secara mendalam. Oleh Senat Fakultas (Dewan Guru Besar) melalui ketuanya, Prof Zeylemaker, Syafruddin disuruh meminta maaf. Tapi, Syafruddin hanya bersedia meminta maaf jika Prof. Eggens meminta maaf terlebih dahulu kepada Bangsa Indonesia umumnya, dan kepada mahasiswa-mahasiswa Indonesia, khususnya (Ajip Rosidi, Sjafruddin Prawiranegara, Lebih Takut Kepada Allah SWT, cet. II (Jakarta : Pustaka Jaya, 2011:83).

Keberpihakan terhadap Bahasa Melayu juga diperlihatkan oleh Haji Agus Salim. Cendekiawan yang mengua- sai 7 bahasa, dan sangat fasih ber ba hasa Belanda ini, lebih memilih un tuk meng- gunakan Bahasa Melayu, saat berpidato di sidang Voolkstraad, mes kipun oleh pimpinan sidang diminta untuk meng- gunakan Bahasa Belanda. (http:/m/ repu - blika.com/berita/khazanah/12/04/24/m2 yi6c-haji-agus-salim-sang-pembela- kebenaran). Bahasa Me la yu pada saat itu memang merupakan bahasa yang dibenci oleh penguasa kolonial Belanda sebab identik dengan bahasa umat Islam.

Bahasa Melayu Islam

Agama Hindu yang berkembang di Ke pulauan Nusantara merupakan Hin - du bersifat estetik dan ritualistik. Un sur- unsur saintifik yang menekankan unsur rasional, intelektual, analisa sistematis dan logis ditolak. Sehingga pe nyajian Hindu di Indonesia lebih merupakan renungan para penyair bukan perenun- gan para pemikir dan filsuf (Al Attas, Islam dan Sekularisme (cet II), (Bandung : Institut Pemikiran Islam dan Pem - bangun an Insan /PIMPIN, 2011:214).

Oleh karena itu, seiring dengan per- pindahan massal keagamaan masya - rakat di kepulauan Nusantara kepada Is lam, maka bahasa masyarakat setem- pat mengalami Islamisasi dengan cepat.
Hal ini dikarenakan sifat intrinsik Islam yang sangat membutuhkan penalaran logis dan rasional dalam pemahaman- nya, sehingga Islam itu sendiri sering dikategorikan sebagai scientific religion.

Keharusan Islamisasi Bahasa untuk keperluan pemahaman Al Qur\'an ini dapat dilihat dari pernyataan Syed Na - quib Al Attas bahwa. \"Bahasa per tama yang mengalami Islamisasi adalah bahasa Arab itu sendiri. Dimana bahasa Arab setelah turunnya Al Qur\'an men jadi bahasa arab \"baru\" dan tersempur nakan, yang memuat konsep-konsep da sar Islam, yang tidak berubah dan dipengaruhi perubahan sosial\" (Al attas, Ibid: 56).

Istilah Islamisasi Bahasa Melayu lebih tepat digunakan daripada Ara bi - sasi, sebab motif penyerapan bahasa Arab ke dalam bahasa lokal variabel utamanya adalah upaya untuk men- dalami Al Qur\'an. Itu seperti dike- mukakan oleh A.H. Johns: \"Kitab suci Al Qur\'an memiliki peranan sentral da - lam kehidupan umat Islam, dan se mua komunitas umat Islam membutuhkan salinan kitab suci itu. Oleh se bab itu, menyalin Al Qur\'an, mengajarkan aturan melafalkannya, serta mener- jemahkan makna ke dalam bahasa setempat merupakan kegiatan-kegiatan yang diperlukan.\" (Lihat, A.H. Johns, Penerjemahan Bahasa Arab ke dalam Bahasa Melayu, Sebuah Re nungan, dalam Henri Chambert-Loir et. al, Sadur, Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta : KPG, 2009).

Terjemahan pertama Al Qur\'an de - ngan tafsirnya ke dalam Bahasa Me layu adalah Tafsir Al Baydawi yang masyhur, yang menandai kebangkitan rasionalisme dan intelektualisme yang sebelumnya tidak berlaku di Kepulauan Melayu- Indonesia (Al Attas, Ibid: 217). Karya yang bersifat rasional dan filo sofis pun bermunculan, seperti Tarju man al Mus - ta fid karya `Abd al-Rauf al-Singkili (1615 ? 1693) yang merupakan saduran ter buka dari Tafsir Jalalayn. Kitab al-`Aqaid al- Nasafiyakarya Njm al-Din Al-Nasafi diterjemahkan ke dalam Bahasa Me layu Aceh di tahun 1590 dan masih ba nyak karya penerjemahan lain yang akhirnya memperkaya Bahasa Melayu Islam. Denis Lombard, memperkirakan ada 3.000 peristilahan Melayu yang ber asal dari bahasa Arab dan Arab-Parsi (Lom bard, 2008 : 163) . (Lihat, Vladimir Bra ginsky, Jalin an dan Khazanah Ku tip an, Terje - mahan Dari Bahasa Parsi Da lam Kesu - sasteraan Melayu, dalam Hen ri Cham - bert-Loir et. al, Sadur, Seja rah Ter je ma - han di Indonesia dan Malay sia, (Ja karta : Kepustakaan Populer Gra media, 2009, dan Denys Lombard, Nusa Jawa : Si lang Budaya, Buku I, Batas-Batas Pem ba - ratan (cet. IV),(Jakarta : Gramedia, 2008).

Kata-kata serapan dari bahasa Arab yang digunakan dalam bahasa Melayu ber kisar 15 ? 20 persen (Johns, Ibid, 2009:49). Bahasa Melayu mengalami sua tu perubahan besar, dimana, ia menjadi bahasa pengantar utama untuk menyampaikan Islam ke seluruh Ke - pulauan Melayu (Al Attas, Ibid,216).
Huruf sebagai wujud perlambangan bi langan, nada atau ujaran juga meng - ala mi perubahan seiring Islamisasi Ba - hasa ini. Huruf Pallawa dan Pra nagari tidak lagi mampu menampung peristi- lahan yang masuk ke dalam Bahasa Melayu, dan akhirnya memunculkan Hu ruf Arab Jawi sebagai medium da - lam penulisan Bahasa Melayu. Proses ini berlangsung mulai abad ke 11, sesuai bukti arkeologis yang ditemukan di Pahnrang, pesisir tengah Vietnam, yang berasal dari tahun 1.050 M. Selain itu batu nissan Raja-Raja Pasai (1237 M) dan prasasti Batu Trengganu (1303) menunjukkan pemakaian huruf Arab dalam penulisan Bahasa Melayu. Pada pada tahun 1600, huruf Arab Jawi me - rupakan satu-satunya huruf yang digu- nakan untuk menulis dalam bahasa Me - layu (Johns, Ibid,51). Satu-satunya wi - layah yang belum menggunakan bahasa Melayu dan huruf Arab Jawi adalah sebagian wilayah Jawa, yakni Mataram.

Jawa, Sebuah Anomali 

Mataram, di bawah kepemimpinan Sultan Agung Hanyokrokusumo, mela - kukan Islamisasi besar-besaran melalui pendidikan Islam massal kepada ma - sya rakat. Di setiap kampung diadakan tempat untuk belajar membaca Al Qur\'an, tata cara beribadah dan ajaran dasar Islam seperti rukun iman dan rukun Islam. Saat itu, apabila ada anak berusia 7 tahun belum bisa membaca al Qur\'an, ia akan malu bergaul dengan teman-temannya. Selain itu, juga dila - kukan penerjemahan kitab-kitab besar berbahasa Arab dalam kajian yang bersistem bandongan(halaqah). Kitab- kitab itu meliputi kitab Fiqih, Tafsir, Hadits, Ilmu Kalam dan Tasawuf. Juga Nahwu, Sharaf dan Falaq. Sistem ka - lender juga disesuaikan dengan sistem Islam. (Lihat, Mahmud Yunus, Prof, Dr. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Hidakarya Agung, 1996)

Sayangnya, rintisan yang dilakukan oleh Sultan Agung ini tidak dilanjutkan oleh pewarisnya, yakni Amangkurat I yang lebih memilih dekat dengan VOC dan berhadapan dengan kaum santri di bawah pimpinan Trunojoyo. Ketergan - tungan militer pada VOC menyebabkan penerusnya, yakni Amangkurat II tidak mempunyai pilihan kecuali memberikan sebagian pesisir kepada VOC. Hal ini membuat komunikasi dengan pusat- pusat Studi Islam di Asia Selatan dan Timur Tengah menjadi sulit (Mark R.
Woodward, Islam Jawa, Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, (Yogykarta : LKiS, 2008:16-17).

Stagnasi proses Islamisasi di bumi Mataram ini kemudian dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial Belanda un tuk melakukan eksperimen \"Na tivisasi Kebu - dayaan\", yakni mengembalikan Jawa kepada peradaban pra-Islam. Pa da tahun 1830 Pemerintah kolonial Be landa men - dirikan Instituut voor het Javaansche Taal(Lembaga Bahasa Jawa) di Sura kar - ta, yang merupakan tempat berkumpul para ahli-ahli Jawa berkebangsaan Belan da. Para javanolog Belanda ini lebih jauh menggali kesu sastraan, bahasa dan sejarah Jawa kuno yang telah lama menghilang di kalang an orang Jawa. Pa - ra Javanolog Belan da mengembalikan tradisi Jawa kuno (Jawa pra Islam) dan menghu bung kannya dengan Surakarta. Javanolog Belanda lah yang \"mene- mukan\", \"me ngembalikan\" dan \"mem - beri kan mak na terhadap Jawa masa lalu.
Jika orang Jawa ingin kembali ke masa lalunya, mereka harus melalui screening pemikiran Javanolog Beland. (Lihat, Takashi, Shiraisi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Grafiti Press, 1997:7). Lembaga ini akhirnya berhasil menciptakan se - buah kultur menjadikan Islam sebagai unsur asing dalam budaya Jawa.

De-Islamisasi bahasa

Translation bukan sekedar proses mengartikan secara leksikaldan gra- matikaladalah prose mengungkapkan makna suatu ajaran, buku atau puisi ke dalam bahasa lain (Johns, 2009 : 49). Ke - samaan huruf tentu lebih memudahkan proses asimilasi, adapsi dan adopsi kon - sep-konsep Islam ke dalam bahasa lokal. Dan Pemerintah Kolonial memahami betul akan hal ini. Oleh ka rena itu, untuk menjalankan apa yang disebut sebagai oleh mantan Zen ding consul Van Rand - wijk seba gai\"Strategi Me mang kas Islam\" maka pengajaran bahasa Melayu harus di hentikan, de ngan jalan memunculkan dia lek daerah pra Islam (Lihat, Karel Steen brink, Kawan dalam Pertikaian... 1995 :144).

Karel Frederick Holle misalnya, di tahun 1865 menerbitkan buku cerita rak - yat Sunda yang dibagikan kepada pen- duduk, dengan tulisan Sunda yang meru- pakan varian artifisial tulisan Ja wa. Padahal, Holle sendiri mengakui bah wa masyarakat Sunda lebih menge nal huruf Arab daripada huruf Sun da. Tetapi bahasa dan huruf Arab harus dibatasi karena akan memperkuat pengaruh orang yang fanatik terhadap agama (Steenbrink, Ibid,107). Selain itu juga dilakukan politik bahasa de ngan men- jadikan huruf Latin sebagai huruf resmi di administrasi pemerin tah an, perdagan- gan dan lembaga pendidikan. Dengan demikian bahasa Me layu dan huruf Arab Jawi makin terkucil dari masyarakat.

Proses Latinisasi huruf ini, pada dasarnya adalah proses westernisasidan de-Islamisasiyang sejalan dengan politik asosiasi oleh Belanda. Dampak dari Romanisasi huruf ini menurut Al Attas adalah kebingungan dan kesala- han dalam memahami Islam. Sebab Romanisasi bahasa yang semula berhu- ruf Arab menjadi latin, secara berang- sur-angsur terjadi pemisahan hubungan leksikal dan konseptual antara umat Islam dengan Sumber Islam. (Al-Attas, Ibid,156-157). Proses latinisasi ini akan menceraikan hubungan pedagogi antara kitab Suci Al Qur\'an dengan bahasa setempat. Terjadilah proses de- islamisasi, dimana terjadi penyerapan konsep-konsep asing ke dalam fikiran umat Islam, yang kemudian menetap dan mempengaruhi pemikiran serta penalaran mereka (Al-Attas, Ibid,57).

Puncak tragedi ini, di Indonesia ada - lah ketika ditahun 1970, pemerintah Orde Baru yang ketika itu masih didominasi pemikir sekuler, melarang pengajaran huruf arab Jawi di sekolah-sekolah umum. Akhirnya, huruf ini hanya tersisa di pesantren-pesantren salafiyah. Dam - pak nya bisa kita lihat saat ini, dimana umat Islam mengalami semacam gegar intelektual. Kosa-kata asing yang berasal dari dunia Barat tidak lagi bisa diben- dung. Istilah-istilah baru yang menim- bulkan kontroversi di tengah masyarakat mus lim datang silih berganti. Idiom- idiom pluralisme, multikulturalisme di - paksa masuk menggantikan konsep ke - majemukan masyarakat yang sudah ma - pan dan tidak mengundang kontroversi.

Tidak berhenti sampai di situ, bah - kan kalau kita lihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga, yang diterbitkan Departemen Pendidik - an dan Kebudayaan dan Balai Pustaka, penulisan beberapa istilah baku agama Islam sudah meninggalkan kedisplinan dalam transliterasinya. Sebagai contoh, Al Qur\'an ditulis Kuran (hal. 616), iba - dah sholat ditulis Salat (hal. 983). Hal ini merupakan kesalahan fatal, sebab sebagai agama wahyu, Islam sa ngat disiplin menjaga kemurnian baik istilah kunci agamanya, baik dalam pelafalan maupun pemaknaannya.

Sayangnya saat ini, di internal umat Islam sendiri abai menjada bahasanya, agar tetap seiring dan senafas dengan Is - lam. Wacana Islam politik, relasi aga ma dan negara, tampil sangat dominan de - ngan segala variannya. Sementara wa - cana relasi agama dan bahasa se ma kin menghilang dari rak-rak kepusta kaan kaum muslimin. Padahal agama dan bahasanya keduanya merupakan variabel utama pembentuk kebudayaan dan per - adaban. Wallahu a\'lam bish shawab.

[Islamia, Republika e-paper, 24 Oktober 2013]