Kiai dan Soft Power

Ahmad Tohari

''Menag Minta Kiai tak Telantarkan Pesantren''. Itu judul sebuah berita di koran tanggal 19 Mei. Permintaan itu diucapkan Menteri Agama, M Maftuh Basyuni, pada acara pembukaan Silaturrahmi Pengurus Pondok Pesantren se-Indonesia dalam wadah Rabithah Ma'ahid Al Islamiyah (RMI) di Jakarta.

Permintaan itu diajukan karena Menag melihat akhir-akhir ini beberapa kiai lebih sibuk dalam kegiatan politik daripada mengurus pesantrennya. Menurut Menag, kegiatan para kiai di bidang politik akan mengganggu proses pendidikan yang berlangsung di pesantren dan bisa berakibat mundurnya kualitas para lulusan. Para lulusan yang kurang berkualitas bisa menjadi kelompok yang terpinggirkan dalam kehidupan masyarakat.

Apa yang diminta oleh Menag kepada para kiai itu sebenarnya sudah lama dirasakan oleh masyarakat.

Sudah banyak tokoh masyarakat yang mempertanyakan mengapa banyak kiai melibatkan diri dalam politik kepartaian padahal, seperti dikatakan Menag, fungsi utama para kiai adalah mendidik para santri. Saya sendiri sejak puluhan tahun yang lalu sudah menyatakan pendapat secara terang-terangan bahwa sebaiknya para kiai, terutama yang mengasuh pesantren, mau mengambil jarak dari partai politik. Sebab, nyatanya partai politik berada di wilayah becek, sarat dengan kepentingan rendahan, sering menghalalkan segala cara, dan karenanya tidak sesuai dengan martabat para kiai.

Tapi argumen seperti itu selalu dijawab dengan pernyataan bahwa berpolitik adalah hak semua orang, tak terkecuali kiai khos sekalipun. Argumen tadi bahkan tak jarang dibungkam dengan dalih, Kanjeng Nabi saja berpolitik, malah menjadi pemimpin perang yang ikut menghunus pedang. Biasanya, kalau sudah disodok dengan dalil seperti itu saya lumpuh. Namun dalam kelumpuhan itu masih ada pertanyaan tersisa di kepala saya.

Politik, menurut anak sekolahan, adalah cara dan daya upaya untuk meraih kekuatan atau kekuasaan. Kekuatan, kalau sudah ada di tangan, akan dipakai untuk melindungi suatu kepentingan. Dan idealnya kepentingan yang semestinya dibela adalah kepentingan umat. Lalu apakah kepentingan umat yang paling mendesak di zaman ini?

Tidak sulit untuk menjawab pertanyaan ini. Kepentingan umat yang sangat mendesak saat ini adalah pembebasan dari kemiskinan (iman, keterampilan, penghasilan, kesehatan, ilmu pengetahuan). Jelasnya, kemiskinan dan kebodohan. Maka bila para politikus di legislatif maupun eksekutif menggunakan kekuasaannya untuk tujuan lain, mereka jelas telah berkhianat kepada umat.

Kedua, apakah kekuatan yang diperoleh melalui politik kepartaian merupakan jalan tunggal untuk membela kepentingan umat? Ternyata tidak. Kata anak sekolahan lagi, dalam dunia politik dikenal ada dua kekuatan, yakni hard power (ya kekuatan partai politik dan kekuasaan resmi itu) dan soft power, yakni kekuatan yang muncul dengan sendirinya bila sumber daya insani umat sudah bangun. Dan untuk membangun sumber daya insani, cara yang paling nalar untuk ditempuh adalah jalan pendidikan. Ada kelompok yang sangat serius mengggarap dunia pendidikan dan kelihatan hanya ikut-ikutan dalam kepartaian. Dan nyatanya sumber daya insani dari kalangan mereka lebih tinggi daripada rata-rata sumber daya insani umat Islam dan karena itu mereka relatif sudah terangkat dari kemiskinan dan kebodohan.

Contoh yang lebih ekstrem adalah Bani Israil. Sejak berabad-abad sebelum negara Israel berdiri pada 1948, Bani Israil telah mengembangkan soft power yang sangat berhasil. Mereka menguasai semua cabang ilmu pengetahuan, ekonomi, bahasa, juga teknologi, media massa, dan kesenian. Dengan soft power yang sangat dahsyat itu maka ada seorang tokoh Yahudi bilang, ''Kami, tanpa memiliki sebentuk negara pun, bisa menguasai dunia.''

Berpolitik adalah hak setiap warga negara tanpa kecuali. Dan justru karena hak, bukan kewajiban, maka diperlukan kearifan tinggi dari para kiai karena kedudukan dan martabatnya yang tinggi di tengah umat. Bagaimanakah selayaknya para kiai menggunakan hak politik itu; mau menempuh jalan untuk mencapai hard power melalui partai politik, atau soft power melalui dunia pendidikan?

Saya yakin banyak orang sependapat dengan Menag, bahwa fungsi utama kiai adalah mendidik santri. Maka jalur politik yang selayaknya ditempuh oleh para kiai bukan jalur politik kepartaian melainkan jalur politik pendidikan.

Kalau begitu siapa yang akan mengurus partai-partai politik berbasis masyarakat santri? Ya, serahkan saja kepada para santri senior yang masih layak berkiprah di wilayah becek, masih pantas sikut-sikutan, masih patut berebut pengaruh dan kekuasaan.

Para kiai tetaplah tinggal dalam wilayah politik yang bermartabat, yakni politik pendidikan. Ini penting, agar masyarakat tidak bingung dan terombang-ambing mau ikut kiai yang mana. Mohon diingat, masyarakat santri sudah jauh tertinggal dalam bidang ekonomi dan pengetahuan umum. Dan obatnya bukan partai politik, tapi pendidikan.

[Resonansi-Republika, 21 Mei 2007]

Sandimeja

Ahmad Tohari

Usai mengantar seorang pasien ke Puskesmas Mersi, Purwokerto, Sandimeja (75 tahun) meninggal di atas becaknya. Lelaki renta itu ditemukan sudah tak bernyawa oleh rekan sesama tukang becak yang melihatnya duduk terkulai seperti orang tidur. Namun setelah diteliti ternyata Sandimeja sudah meninggal.

Ini berita kecil yang termuat dalam sebuah koran lokal Jumat pekan lalu. Dalam berita itu hanya dimuat data bahwa Sandimeja adalah warga Jalan Pancurawis, Purwokerto Kidul, serta dugaan dia meninggal karena serangan jantung. Tidak disebutkan adakah Sandimeja meninggalkan anak-istri atau cucu dan berapa jumlahnya. Tidak juga disebutkan mengapa Sandimeja yang sudah renta itu masih bekerja berat sebagai penarik becak.

Ya. Warna dan watak pemberitaan itu adalah warna dan watak kita; menganggap kecil, kurang penting, dan tidak menarik kematian seorang miskin. "Sandimeja yang tua dan melarat itu meninggal di atas becaknya." Paling-paling demikian komentar dan tanggapan kita karena kematian seoerti itu dianggap sebagai hal biasa. Bahkan mungkin ada yang bilang, "Salah Sandimeja sendiri, usia sudah setua itu masih ngoyo menjadi penarik becak."

Salah Sandimeja sendiri? Ya, kemiskinan adalah 'kesalahannya'. Kemiskinan yang membuat dia tidak berdaya atau ketidakberdayaan yang membuatnya miskin. Terserah mau dimulai dari mana, yang jelas Sandimeja adalah bagian dari masyarakat miskin yang mewarnai kenyataan hidup masyarakat kita. Juga terserah mau diberi kategori apa; Sandimeja miskin karena struktur dan sistem ekonomi masyarakat kita atau dia miskin karena tradisi kultural yang dia terima secara turun-temurun atau gabungan antara keduanya.Bila hendak dikatakan Sandimeja miskin karena struktur dan sistem ekonomi kita, ada benarnya. Seorang tukang becak mustahil mengembangkan daya ekonomi misalnya dengan meningkatkan intensitas produksi jasa. Mustahil juga melakukan ekstensifikasi usaha karena tidak mungkin menarik lebih dari satu becak atau menjadi juragan becak. Untuk merintis jalan menjadi juragan becak Sandimeja harus rajin menabung atau mendapat kucuran dana kredit. Namun kedua hal ini juga hampir tidak mungkin.

Mungkin juga benar Sandimeja hidup dalam budaya kemiskinan. Dia menyadari kemiskinannya tetapi bersikap kurang peduli atau sudah menerimanya sebagai suratan. Karena itu dia, juga jutaan orang miskin lain, kurang punya greget atau motivasi untuk sedikit demi sedikit memperbaiki keadaan. Sering kita melihat tukang becak merokok.

Bahkan main judi dan minum miras. Hal ini membuktikan mereka memang kurang peduli terhadap upaya perbaikan hidup. Maka sering terdengar banyolan, "Orang miskin belum tentu sedih mengenai keadaan mereka. Jadi mengapa orang lain yang repot? Ah, jangan-jangan mereka malah lebih enjoy daripada para pembela keadilan sosial."

Ini banyolan yang sangat ironis. Dan mungkin menyesatkan. Masyarakat beradab tentu ingin menghilangan kemiskinan. Memang, Kanjeng Nabi pernah mengatakan lebih mengkhawatirkan iman orang-orang kaya daripada iman orang-orang miskin. Namun secara umum tidak mungkin Islam membenarkan kemiskinan berkembang karena banyak amal kebaikan yang dianjurkan dan hanya bisa dilakukan dengan sarana harta seperti berhaji, zakat, infak, sedekah dan sebagainya. Ali bin Abi Thalib juga mengtakan, "Andaikata kemiskinan berujud manusia maka dialah musuh pertama yang akan kupancung kepalanya." Malah Kanjeng Nabi sendiri juga bersabda, "Jangan tinggalkan di belakangmu generasi yang lemah."

Ironisnya di seluruh dunia masyarakat Islam, kecuali sebagian kecil penduduk Timur Tengah, terdiri atas kaum miskin bahkan sangat miskin. Kemiskinan global ini juga berakar dari dua hal, struktur dan sistem ekonomi global serta tradisi kultural masyarakat Islam sendiri. Sistem ekonomi global yang memiskinkan umat Islam berawal ketika Eropa mengambil alih kepemimpinan dalam sains dan teknologi. Mereka kemudian mengubah wajah dunia dengan revolusi industri yang mendorong lahirnya kolonialisme dan perampokan sumber daya alam bahkan harta masyarakat di Asia Afrika yang penduduknya muslim.

Kemudian lahir kapitalisme klasik yang sekarang berubah menjadi kapitalisme modern Multinational Corporation dengan menghilangkan batas-batas negara maupun bangsa. Dalam hiruk pikuk perekonomian dunia saat ini mayoritas umat hanya bisa menjadi obyek karena lemah dalam segala hal. Dalam bentuk miniaturnya obyek atau korban itu tampak dengan nyata pada sosok Sandimeja. Dia meninggal dalam usia 75 tahun hanya ditunggui kemelaratan yang diwakili becaknya.

Memang Sandimeja kini tidak lagi menderita. Mudah-mudahan dia akan bertemu dengan Kanjeng Nabi yang pernah bersabda, "Siapa yang punya telapak tangan kasar karena banyak bekerja maka dia adalah calon penghuni surga." Telapak tangan Sandimeja sangat kasar karena setiap hari bergayut pada besi kemudi becaknya. Meskipun begitu, akankah kita berpangku tangan membiarkan Sandimeja-sandimeja lain meninggal dalam sepi dan hanya ditunggui kemelaratan?

Nyatanya, begitulah yang kita lakukan selama ini. Padahal kita bisa menolong satu Sandimeja yang mungkin ada di dekat kita dengan cara misalnya, mengeluarkan zakat bulanan dari gaji atau penghasilan kita. Jadi sesungguhnya kematian Sandimeja di atas becaknya adalah tagihan kepada siapa saja yang mengaku beriman. Ada yang merasa tertagih?

[Resonansi-Republika, 09 Juli 2007]

Ayo Bangun Budaya!

Oleh: Zaim Uchrowi

Bangsa dengan budaya kuat akan mengalahkan bangsa dengan budaya lemah.

Hari-hari ini, perhatian saya banyak tertuju ke soal budaya. Lewat buku Island of Java karya John Joseph Stockdale yang terbit pertama tahun 1811, misalnya. Buku itu membantu memahami budaya bangsa ini lebih baik. Walaupun sebenarnya, perhatian Stockdale lebih mengarah pada kehidupan warga Belanda di sini dibandingkan soal budaya kita.

Digambarkannya secara terperinci bagaimana Belanda memonopoli perdagangan di kawasan ini. Rakyat harus menjual produk pertaniannya hanya pada Belanda untuk dapat diekspor. Para raja dan pemimpin daerah telah diikat dengan perjanjian. Mereka harus patuhi ikatan itu dan harus bersedia menjadi 'anthek' bila tak ingin dipaksa turun oleh Belanda. Maka jadilah para penguasa kita terdahulu sebagai antek penjajah. Perdagangan bebas yang semula berkembang, seperti di Samudera Pasai, Demak, dan kemudian Banten hingga Ambon, sudah lama dihentikan oleh Jan Pieterzon Coen. Yang tersisa tinggal keterjajahan kita.

Pertanyaannya: Apakah budaya kita begitu lemah dan budaya Belanda begitu kuat sehingga mereka dapat menjajah kita? Ataukah kutipan di atas yang selalu disampaikan dalam kuliah pengantar untuk memahami dasar-dasar teknologi di ITB itu keliru?

Bisa jadi banyak budayawan menolak pandangan itu dengan argumen bahwa kebudayaan kita sangat kaya tanpa bandingan di dunia. Kebhinekaan budaya kita malah dipandang sebagai kekuatan. Itu tergambarkan pada semboyan Bhineka Tunggal Ika yang selalu 'dicangking' oleh garuda yang menjadi lambang kita. Pariwisata Indonesia juga memakaiultimate in diversity sebagai slogan.

Alasan itu tampak meyakinkan bahwa budaya bangsa kita kuat. Seolah bangsa kita adalah salah satu bangsa dengan budaya terkuat di dunia. Sebenarnya tidak demikian. Kita memang pernah memiliki budaya kuat. Namun, dalam empat abad terakhir, kekuatan budaya kita itu melemah. Rangkaian kuliah budaya yang saya jalani beberapa waktu terakhir ini pada Rendra kian meyakinkan bahwa budaya kita memang lemah. Karena itu, kita terjajah. Bila budaya kita terjemahkan semata sebagai ungkapan seni, anggapan bahwa budaya kita kuat mungkin ada benarnya.

Tetapi, budaya bukan semata urusan berkesenian. Bukan pula, semata persoalan cita rasa. Budaya adalah segenap pemahaman, sikap, serta perilaku manusia baik yang menyangkut cara pandangnya pada Tuhan dan alam semesta; menyangkut filosofi, logika, hingga ilmu pengetahuan; hingga urusan sosial, ekonomi, serta politik.

Bangsa-bangsa maju adalah bangsa-bangsa dengan budaya kuat. Kekuatan budaya mereka tercermin pada sikap kebangsaan yang dimilikinya. Keamerikaan bangsa Amerika, ketiongkokan bangsa Tiongkok, keindiaan bangsa India, kejepangan bangsa Jepang, kekoreaan bangsa Korea, bahkan kesingapuraan bangsa Singapura dan kemalaysiaan bangsa malaysia, saat ini masih lebih kuat dibandingkan keindonesiaan kita. Itu yang menjelaskan mengapa kita masih kalah makmur ketimbang mereka. Fenomena Ponari pun sebenarnya sudah cukup buat menjelaskan betapa lemah budaya kita saat ini.

Lebih setengah abad merdeka belum cukup buat memulihkan keruntuhan budaya kita. Berabad-abad merdeka pun juga tak akan begitu saja dapat memulihkan keruntuhan itu bila kita tak sungguh-sungguh berupaya membangunnya kembali budaya bangsa. Kesungguhan itu yang saat ini masih belum terlihat. Setidaknya belum cukup tercermin dalam kampanye partai-partai politik menjelang pemilihan umum nanti. Tidak apa.

Yang terpenting, ayo mulai membangun budaya saat ini juga. Budaya dalam arti yang bukan semata kesenian melainkan budaya yang utuh, yang sekali lagi, meliputi segala pemahaman, sikap, hingga tindakan. Nabi pun diutus ke dunia buat menyempurnakan akhlak. Buitstu li utammima makarimal akhlak. Akhlak adalah istilah agama untuk 'budaya'. Itu yang akan membuat makmur dunia akhirat.

[Resonansi-Republika, 20 Maret 2009]