Islam Itu Universal, Tidak Sama Dengan Arabisme

Lack of Pluralism Means Decadence (I)

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Salah satu 'penyakit' saya adalah skeptisisme. Ketika mendengar ada orang pindah agama menjadi Muslim, lalu bertingkah kearab-araban, baik dalam cara berpakaian maupun dalam bertutur kata, simpati saya kepadanya langsung menguap. Orang mungkin menilai saya sebagai seorang yang tidak terlalu bahagia jika jumlah umat Islam secara kuantitatif semakin bejibun, tetapi dari sisi kualitas malah menjadi beban. Beban itu bisa dalam bentuk formula: Arabisme=Islam.

Tetapi, jika orang senang memakai pakaian ala Arab tanpa didorong oleh kecenderungan semacam itu, bagi saya, tidak ada masalah.

Sama halnya jika seseorang, misalnya, baru kembali dari Nigeria, lalu tertarik dengan model pakaian bangsa atau salah satu suku di sana, tentu semuanya itu sah belaka. Skeptisisme saya tentu akan semakin kambuh jika ada orang memasung Islam dalam jubah Arabisme. Seakan-akan di luar Arabisme, muatan keislaman seseorang dianggap telah menipis atau malah dicurigai sebagai manusia sekuler dengan segala sumpah serapah yang diguyurkan kepadanya. Bagi saya, Islam itu bercorak universal, dirancang untuk segala zaman dan segala tempat. Oleh sebab itu, Islam tidak boleh dibonsai hanya menjadi milik suku, bangsa, atau peradaban tertentu.

Tetapi, skeptisisme saya bukan tidak pernah kecele. Kali ini, saya benar-benar menyesal. Dugaan negatif saya kepada pendatang baru Muslim yang akan dibicarakan di bawah ini, sungguh meleset. Coba Anda bayangkan salah satu karya pendatang baru itu berjudul: Religion on the Rise: Islam in the Third Milennium. (Maryland: Amana Publications, 2001). Penulisnya adalah Murad W Hofmann. Karya ini tidak pernah saya buka karena skeptisisme di atas. Bahkan, ketika mulai mengapresiasi tokoh ini sejak bulan yang lalu, saya berputar-putar mencari buku aslinya di perpustakaan saya, namun belum juga ketemu. Yang didapat malah terjemahannya dalam bahasa Indonesia terbitan tahun 2003.

Siapa Murad Hofmann? Sebagian pembaca pasti sudah tahu, terutama mereka yang akrab dengan internet atau mereka yang 'gila' dengan informasi tentang keislaman yang mengandung terobosan. Nama lengkapnya setelah jadi Muslim sejak 25 September 1980 adalah Murad Wilfried Hofmann, kelahiran Jerman 1931. Pendidikan terakhirnya PhD Universitas Harvard bidang hukum. Pernah menjabat Direktur Penerangan NATO tahun 1983-1987 dan duta besar Jerman untuk Aljazair dan Moroko antara 1987-1994. Di usia lanjutnya, Hofmann menetap di Istanbul bersama istri keduanya warga Turki. Dalam pengalaman diplomatiknya, Hofmann tidak pernah mengalami diskriminasi oleh Pemerintah Jerman. Bahkan, Presiden Republik Federasi Jerman, Dr Carl Carstens, malah memberi anugerah kepadanya dalam bentuk the Order of Merit of the Federal Republic of Germany tahun 1984, tiga setengah tahun setelah menganut Islam. Lebih jauh dari itu, Pemerintah Jerman membagi-bagikan catatan hariannya berjudul Diary of a German Muslim kepada semua misi luar negeri Jerman di negara-negara Muslim sebagai sebuah alat analitikal. Hofmann tidak pernah terhalang menjalankan prinsip-prinsip agama barunya selama bertugas sebagai diplomat. Bulan Ramadhan, misalnya, dia tetap saja menjamu makan para tamu, sementara di depannya terletak piring kosong.

Pada 1995, secara sukarela dia mengundurkan diri sebagai diplomat untuk kemudian mengabdikan dirinya bagi kepentingan masa depan Islam.

Judul Resonansi kali ini berasal dari salah satu enam tesis Hofmann tentang Islam yang semula disampaikan di Islamabad tahun 2001. Tesis 1-5 adalah: 1. Sejarah Islam selalu memuat komponen intelektual; 2. Sejak awal Islam menyediakan latihan intelektual; 3. Islam selama 500 tahun menjadi pemimpin intelektual [sejagat]; 4. Ortodoksi Islam tidaklah antiintelektual; 5. Intelektualisme berarti Pluralisme; 6. Kekurangan Pluralisme berarti kemerosotan (dekadensi). Dalam tulisan ini saya hanya membicarakan tesis keenam. Pembaca yang ingin mengikutinya secara lengkap, mohon buka Google di layar internet: >Murad Hofmann on The Intellectual Challenge to Islamic Civilization.

Mengapa masalah pluralisme demikian penting di mata Hofmann? Inilah uraiannya. Adalah kenyataan bahwa Islam tidak selalu menghormati pluralisme dengan segala buntut buruknya kemudian. Contoh-contoh berikut diberikan: berlakunya konflik antara 'Aisyah dan Ali, khalifah ketiga; perang antara Mu'awiyah dan Ali; konflik Ali dan bekas pengikutnya kaum Khawarij.

Konflik ini tidak saja panas, tetapi juga berdarah-darah. Konflik itu terus saja mewarnai sejarah Islam berikutnya. Perang saudara antara dinasti Umayyah dan dinasti 'Abbasiyah, konflik antara golongan Mu'tazilah dan Asy'ariyah, bentrokan sunni-syi'i, sampai sekarang belum juga reda.

Juga konflik sesama syi'i, dan jangan lupa pembunuhan terhadap tokoh sufi al-Hallaj karena benturan teologis. Artinya, pluralisme paham keagamaan tidak punya tempat dalam wacana mereka. Ujungnya: konflik menjadi berkepanjangan. (-)

[Resonansi - Selasa, 13 Oktober 2009]


Abou El Fadl tentang Peta Umat (I)

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Jika dibandingkan dengan metode Fazlur Rahman dalam kajian keislaman yang cenderung melebar, tetapi tidak kurang tajam dan mendalamnya, pendekatan Khaled Abou El Fadl lebih menukik dan berani, khususnya dalam masalah syariah yang memang merupakan disiplin utamanya. El Fadl kelahiran Kuwait, lama belajar di Mesir, kemudian di Amerika Serikat.

Sekarang adalah guru besar hukum Islam di UCLA School of Law. Mata kuliah yang diasuhnya adalah hukum Islam, hukum imigrasi, hukum hak-hak asasi manusia, dan hukum internasional dan keamanan nasional. Semuanya berkaitan dengan masalah hukum. Saya pernah memapah Abou El Fadl di Kantor PP Muhammadiyah Jakarta pada saat memberi ceramah di sana sekitar satu setengah tahun yang lalu, yang dipandu oleh Sukidi, sekarang belajar di Harvard. Dalam kondisi fisik yang tidak lagi prima, El Fadl adalah salah seorang juru bicara Islam kontemporer yang cerah di muka bumi. Ia telah menulis beberapa karya penting tentang Islam yang diramunya dari sumber-sumber klasik dan modern. Di atas ramuan itulah ia memetakan tafsirannya tentang Islam dengan cara yang sangat kritikal, mendalam, dan komprehensif.

Pedang kritiknya dibidikkan kepada dua sasaran: Puritanisme Islam dan modernitas sekuler. Solusi yang ditawarkannya adalah sebuah Islam moderat yang cerdas, kreatif, dan penuh semangat juang, sebagai cerminan dari rahmat bagi seluruh alam. Resonansi ini sebagian didasarkan pada kesimpulan salah satu karya terbarunya, The Great Theft / Kemalingan Besar. ( New York: HarperSanFrancisco, 2005, 290 hlm. plus catatan akhir). Karya lain yang tidak kurang menantangnya, di antaranya And God Knows the Soldiers dan Speaking in God’s Name. Kedua buku ini banyak berbicara tentang gelombang puritanisme kontemporer. Menurut El Fadl, aliran puritan dapat dilacak akarnya pada golongan Khawarij, bekas pengikut ‘Ali bin Abi Thalib, yang pada abad pertama Islam telah banyak membunuh orang Islam dan non-Muslim, dan bertanggung jawab dalam menghabisi nyawa ‘Ali bin Abi Thalib sendiri. Setelah terlibat dalam pertumpahan darah yang panjang dan sia-sia, sisa-sisa kaum Khawarij masih dijumpai sedikit di Oman dan Ajazair, tetapi mereka sudah berubah menjadi moderat, bahkan pasifis (suka damai).

Dalam penglihatan El Fadl, mengapa arus ekstremisme marak di dunia Muslim sekarang? Salah satu sebabnya adalah karena ”lembaga-lembaga tradisional Islam yang secara historis bertindak untuk meminggirkan aliran ekstremis tidak ada lagi. Inilah yang membuat periode sejarah Islam sekarang jauh lebih sulit dibandingkan periode yang lain, dan inilah sebabnya mengapa orientasi puritanisme modern lebih mengancam integritas moralitas dan nilai-nilai Islam melebihi gerakan-gerakan ekstremis sebelumnya.

Barangkali inilah pertama kali dalam sejarah bahwa pusat dunia Islam, Makkah dan Madinah, telah berada di bawah kontrol negara puritan selama periode yang demikian lama.” (Ibid., hlm. 102). Dengan uang yang melimpah, Wahabisme telah diekspor ke berbagai pojok bumi yang mematikan kebebasan berpikir dan intelektualisme Islam. Ironisnya adalah bahwa Kerajaan Saudi dalam politik global banyak bergantung pada Amerika Serikat.

Inilah sebuah kongsi yang aneh antara dua sistem politik yang sebenarnya sangat rapuh, tetapi direkat oleh kepentingan-kepentingan pragmatis jangka pendek. Puritanisme kontemporer memang umumnya muncul dari rahim Wahabisme, dan Taliban adalah salah satu bentuknya. Jadi, tidak mengherankan jika seorang Usamah bin Ladin diterima baik dalam kultur Taliban, karena persamaan doktrin yang dianut, dengan catatan jasa Amerika cukup besar dalam mendukung puritanisme ini sewaktu menghadapi pasukan Uni Soviet di Afghanistan.

Sejak tragedi 11 September 2001, kemudian aliansi mereka pecah. Dan Amerika sekarang kewalahan menghadapi ”anak didiknya” ini yang sebagian terlibat dalam kegiatan teror global, sebagaimana juga Gedung Putih di bawah Bush telah pula menjadi pusat teror negara bersama Israel. Invasi terhadap Afghanistan dan Irak dengan helah yang dibuat-buat adalah bentuk terorisme negara untuk menghancurkan dua bangsa dan negara lemah, yang sekarang kondisinya malah semakin memburuk dan rusak.

Menurut keterangan yang diberikan Pak Taufiq Kiemas kepada saya di pesawat Garuda dalam penerbangan ke Yogyakarta pada 23 November, sebenarnya Presiden Megawati telah mengingatkan Bush agar tidak menyerang Irak, sebab akan sulit keluar dari sana, tetapi Bush tetap nekat. Sebuah kenekatan yang harus dibayar dengan ongkos yang sangat mahal, termasuk kekalahan Partai Republik baru-baru ini dalam pemilihan senat dan kongres Amerika.

[Resonansi, Republika - Nov 06]

Abou El Fadl tentang Peta Umat (II)

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Selanjutnya mari kita ikuti tesis-tesis El Fadl tentang kutub umat Islam kontemporer yang saling berhadapan. Pertama, kekuatan Islam puritan (sebutan lain dari fundamentalis), dan kedua, Islam moderat yang merupakan mayoritas mutlak dari sekitar 1,3 miliar umat Islam di muka bumi. Ada sebuah pertanyaan kunci yang dihadapkan kepada kedua kutub ini: Siapa yang bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan atas nama agama? Jawaban pertanyaan ini ternyata lebih sulit dari apa yang dibayangkan oleh sementara orang. Kedua kutub umat itu memberikan jawaban yang sungguh berbeda.

Dalam penilaian El Fadl, kaum puritan akan mengatakan bahwa itu adalah sebuah pertanyaan yang salah, sebab, ”Bagaimana seseorang dapat membedakan antara sebuah agama dan tanggung jawab terhadapnya. Kaum puritan akan mengatakan bahwa agama tidak diwakili oleh apa pun selain teks dan ritualnya, dan para pengikut yang tulus akan membaca teks dan melaksanakan ritual.” 

Sebaliknya golongan moderat akan mengatakan, ”Posisi kaum puritan tidak saja naif, tetapi penuh masalah. Apa yang membuat suatu agama melebihi teks dan ritual, dan apa yang berlaku karena teks dan ritual bukanlah sebuah perwujudan penuh dari Ketuhanan. Tuhan dan kemauan Tuhan terlalu mulia dan luas untuk dapat dinyatakan oleh teks dan ritual. Tanggung jawab terhadap apa yang dilakukan manusia atas nama Tuhan mesti jatuh atas pundak umat manusia.” (Hlm 276). 

Kedua kutub itu, ”Sama-sama ingin sepenuhnya terikat dengan Tuhan. Keduanya tidak ingin menjalani hidupnya di bumi tanpa petunjuk Tuhan. Tetapi, apa yang membedakan puritan dan moderat cukup lebar –terutama yang bertalian dengan masalah amanah dan aksesibilitas (apa yang dapat diraih). Kaum moderat yakin bahwa Tuhan memberi kepercayaan kepada manusia dengan kekuatan nalar dan kemampuan membedakan antara baik dan buruk. Tetapi, amanah yang ditempatkan pada diri manusia itu begitu dahsyat –demikian dahsyatnya sehingga manusia dan hanya manusia saja yang bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Inilah yang pada gilirannya membenarkan tanggung jawab di Hari Akhir. 

Amanah yang diletakkan pada diri manusia tidak hanya untuk menjalankan atau melaksanakan seperangkat perintah yang diberikan Tuhan kepada manusia. Tetapi, Tuhan menyediakan untuk manusia arahan dan tujuan, dan terpulanglah kepada manusia untuk menemukan hukum-hukum yang perlu dan layak.” (Ibid)

Di mana posisi kaum puritan? ”Sebaliknya, kaum puritan tidak percaya bahwa amanah yang ditempatkan pada manusia demikian lebar dan kabur. Tuhan memberikan hukum kepada manusia, yang sebagian besar keadaannya bersifat khas dan rinci, dan memercayai mereka untuk melaksanakannya. Maka, anugerah Tuhan yang benar kepada manusia bukanlah kemampuan menalar tetapi kekuatan untuk memahami dan menaati. Tidaklah mengherankan kemudian, kaum puritan diyakinkan bahwa Tuhan mengurus masalah-masalah kecil urusan manusia dengan memberikan hukum-hukum konkret dan khas yang mengatur banyak dari apa yang dikatakan dan diperbuat manusia.” 

Di mana pula posisi kaum moderat dalam masalah ini? ”Kaum moderat memercayai sebaliknya: Sebagian besar masalah yang menyangkut persoalan manusia terserah kepada kebijaksanaan manusia yang dengannya mereka berbuat yang terbaik sejauh yang mungkin asal mereka mengamati garis pedoman moral yang umum.” (Ibid). 

Masih ada beberapa perbedaan pendekatan dan pemahaman Islam antara dua kekuatan itu yang terekam dalam kesimpulan karya El Fadl yang tidak akan dibeberkan di sini. 

El Fadl tidak menutup kemungkinan adanya pendekatan yang ketiga, tetapi memerlukan kajian tersendiri. Sekarang yang sedang berhadapan adalah dua kutub di atas. Pertanyaannya adalah: Mana di antara keduanya yang mesti diperkuat untuk mencapai tujuan Islam berupa rahmat bagi semua? Jelas El Fadl memilih jalan moderat, sebab hanya jalan inilah yang dapat membawa umat Islam mencapai tujuannya melalui cara-cara yang beradab, damai, dan manusiawi, tetapi tetap berpegang kepada prinsip yang diyakini, tidak boleh terombang-ambing dalam tarikan gelombang modernitas yang sekuler dan tidak adil. 

Akhirnya, karya-karya El Fadl kini sedang serius dibicarakan di kalangan intelektual muda NU dan Muhammadiyah untuk dipakai sebagai salah satu rujukan penting dalam upaya memahami peta Islam kontemporer, baik global maupun yang bertalian dengan arus gerakan Islam di Indonesia. El Fadl telah memperkaya literatur Islam kontemporer dengan cara yang sangat bertanggung jawab.

[Resonansi, Republika - Des 06]