Kumpulan Artikel Sejarah Islam

Logika Sejarah
Oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif

Secara teoretis, sejarah memerlukan dua pilar yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, jika orang ingin melakukan rekonstruksi tentang masa lampau. Kedua pilar itu adalah logika dan pengetahuan. Dengan kekuatan logika orang akan mampu menyaring dan memisahkan secara cerdas dan kritikal antara fakta dan mitos atau legenda. Logika itu sendiri akan membimbing orang untuk melihat masa lampau secara jernih dan bertanggung jawab. Ibn Khaldun (1332-1406) dalam al-Muqaddimah-nya sangat menekankan agar seorang sejarawan tidak boleh menjadi partisan terhadap pandangan-pandangan dan mazhab-mazhab tertentu dalam membaca masa lampau, sebuah “penyakit” yang diidap oleh sejumlah sejarawan Muslim sebelumnya.Pilar kedua adalah pengetahuan yang luas yang harus dimiliki seorang sejarawan untuk mendukung kariernya sebagai seorang peneliti terhadap kelampauan yang tidak mungkin lagi diakses secara langsung karena sudah terjadi. Melalui jejak kelampauanlah seseorang melakukan rekonstruksi tentang peristiwa tertentu pada masa lampau yang menjadi pusat perhatiannya.

Untuk apa dan untuk kepentingan siapa? Bertrand Russell mengatakan “untuk pleasure (kesenangan). Tidak salah, tetapi sejarawan Itali, Benedetto Croce (1886-1952), memberikan jawaban umum yang lebih mantap: untuk kepentingan orang hidup, bukan untuk kepentingan mati. Sebab itu, Croce berteori, sejarah selalu bersifat kontemporer, sekalipun ramuannya diambil dari kelampauan. Karena sifatnya yang kontemporer, unsur subjektif tidak dapat dihindari, selama bangunan sejarah itu ditegakkan di atas fakta.

Untuk mendapatkan pengetahuan luas sebagai salah satu pilar sejarah, Ibn Khaldun dalam meramu teorinya telah mempelajari lingkungan geografis, politik, sosiologis, antropologis, psikologis, dan dimensi-dimensi lain yang dapat memperkaya metode analisisnya. Daerah jelajah intelektualnya adalah Afrika Utara dan Andalusia. A.J. Toynbee (1889-1975) demikian tinggi menilai al-Muqaddimah sebagai sebuah karya dahsyat yang pernah diciptakan otak manusia. Tanpa latar belakang pengetahuan yang luas, seorang sejarawan pasti akan gagap dan meraba-raba dalam melihat masa lampau yang memang unik itu.

Karena sejarah ditulis untuk kepentingan orang hidup dalam sebuah zaman dan ruang tertentu, maka teori khilafah, misalnya, yang diusung kembali oleh Taqiyuddin an-Nabhani untuk membagun sebuah dunia Muslim yang masih berserakan ini, patut juga diperhatikan. Tetapi, mengaitkannya sebagai sesuatu yang syar’i, jelas berlebihan, sebab tidak ada pijakan logika Qur’ani yang dapat dijadikan dasar sepanjang pengetahuan saya. Memang, khilafah adalah fakta sejarah masa lampau yang benar-benar terjadi. Hanya orang buta saja yang tidak dapat melihat fakta keras ini.

Tetapi, apa yang dilakukan Abu Bakar dan ‘Umar bin Khattab untuk membangun sistem khilafah semata-mata sebagai buah ijtihad yang terikat dengan ruang dan waktu. Sebagai ijtihad, kedudukannya adalah nisbi, sah diterima dan sah pula untuk ditolak dengan argumentasi yang kokoh secara agama dan logika. Orang yang berilmu tidak boleh memaksakan sebuah pendapat yang bersifat ijtihadi.

Dalam perspektif ini, meratapi kejatuhan Turki Usmani di tangan Kemal Ataturk yang dipandang sejumlah orang sebagai bentuk khilafah yang terakhir, jelas menyesatkan dan ahistoris. Saya mendukung pendapat Shah Wali Allah, pembaru dari India abad ke-18, yang mengatakan bahwa sistem khilafah hanya sampai periode ‘Ali bin Abi Thalib, khalifah terakhir dari al-khulafa’ al-rasyidun yang hanya berusia kurang sedikit dari tiga dasawarsa.

Sistem politik yang berkembang sesudah itu di dunia Muslim adalah sistem kerajaan, baik dalam skala kecil maupun dalam skala besar dalam format imperium. Bukan sistem khilafah karena salah satu diktum Alquran tentang prinsip egalitarian dalam politik telah dibuang ke dalam limbo sejarah. Mu’awiyah adalah figur transisi antara sistem khilafah dan sistem kerajaan. Dengan mengangkat anaknya Yazid sebagai penggantinya, maka  bermulalah sistem kerajaan itu, sekalipun untuk mengelabui umat agar tetap setia, mantel khalifah terus dipakai, sedangkan proses pembentukan atau pengangkatannya sudah tidak lagi mengacu kepada Alquran yang mengedepankan syura (permusyawaratan) dalam kehidupan bermasyarakat.

Sistem khilafah dalam teori al-Mawardi (w. 1058), misalnya, masih saja mensyaratkan keturunan Quraisy untuk menjadi khalifah. Ini tidak mengherankan, karena dia membangun teori politiknya dalam upaya mempertahankan Daulah ‘Abbasiyah yang masih berdarah Quraisy yang pada abad ke-11 sudah sangat rapuh. Bagi saya masalah kepemimpinan umat yang dikaitkan dengan keturunan darah tertentu harus ditolak karena antilogika dan bahkan anti Alquran yang menempatkan manusia sama di depan Tuhan dan di depan sejarah.

Perubahan zaman harus mengubah cara berpikir kita, tetapi nilai-nilai dasar yang autentik wajib dipertahankan. Dalam perspektif ini, prinsip syura dalam Alquran adalah salah satu nilai dasar yang wajib dipedomani dan diartikulasikan sesuai dengan keperluan zaman kita. Logika sejarah mengatakan begitu. Maka, bentuk demokrasi lebih dekat kepada sistem syura itu

Syekh Hasanuddin, Pendiri Pesantren Pertama di Jawa Barat
Republika, 28 April 2006

Menurut Babad Tanah Jawa, pesantren pertama di Jawa Barat adalah pesantren Quro yang terletak di Tanjung Pura, Karawang. Pesantren ini didirikan oleh Syekh Hasanuddin, seorang ulama dari Campa atau yang kini disebut Vietnam, pada tahun 1412 saka atau 1491 Masehi. Karena pesantrennya yang bernama Quro, Syekh Hasanuddin belakangan dikenal dengan nama Syekh Quro.

Syekh Quro atau Syekh Hasanuddin adalah putra Syekh Yusuf Sidik. Awalnya, Syekh Hasanuddin datang ke Pulau Jawa sebagai utusan. Ia datang bersama rombongannya dengan menumpang kapal yang dipimpin Laksamana Cheng Ho dalam perjalanannya menuju Majapahit.

Dalam pelayarannya, suatu ketika armada Cheng Ho tiba di daerah Tanjung Pura Karawang. Sementara rombongan lain meneruskan perjalanan, Syekh Hasanuddin beserta para pengiringnya turun di Karawang dan menetap di kota ini.

Di Karawang, Syekh Hasanuddin menikah dengan gadis setempat yang bernama Ratna Sondari yang merupakan puteri Ki Gedeng Karawang. Di tempat inilah, Syekh Hasanuddin kemudian membuka pesantren yang diberi nama Pesantren Quro yang khusus mengajarkan Alquran. Inilah awal Syekh Hasanuddin digelari Syekh Quro atau syekh yang mengajar Alquran.

Dari sekian banyak santrinya, ada beberapa nama besar yang ikut pesantrennya. Mereka antara lain Putri Subang Larang, anak Ki Gedeng Tapa, penguasa kerajaan Singapura, sebuah kota pelabuhan di sebelah utara Muarajati Cirebon. Puteri Subang Larang inilah yang kemudian menikah dengan Prabu Siliwangi, penguasa kerajaan Sunda Pajajaran.

Kesuksesan Syekh Hasanuddin menyebarkan ajaran Islam adalah karena ia menyampaikan ajaran Islam dengan penuh kedamaian, tanpa paksaan dan kekerasan. Begitulah caranya mengajarkan Islam kepada masyarakat yang saat itu berada di bawah kekuasaan raja Pajajaran yang didominasi ajaran Hindu.

Karena sifatnya yang damai inilah yang membuat Islam diminati oleh para penduduk sekitar. Tanpa waktu lama, Islam berkembang pesat sehingga pada tahun 1416, Syekh Hasanuddin kemudian mendirikan pesantren pertama di tempat ini.

Ditentang penguasa Pajajaran

Berdirinya pesantren ini menuai reaksi keras dari para resi. Hal ini tertulis dalam kitab Sanghyang Sikshakanda Ng Kareksyan. Pesatnya perkembangan ajaran Islam membuat para resi ketakutan agama mereka akan ditinggalkan.

Berita tentang aktivitas dakwah Syekh Quro di Tanjung Pura yang merupakan pelabuhan Karawang rupanya didengar Prabu Angga Larang. Karena kekhawatiran yang sama dengan para resi, ia pernah melarang Syekh Quro untuk berdakwah ketika sang syekh mengunjungi pelabuhan Muara Jati di Cirebon.

Sebagai langkah antisipasi, Prabu Angga Larang kemudian mengirimkan utusan untuk menutup pesantren ini. Utusan ini dipimpin oleh putera mahkotanya yang bernama Raden Pamanah Rasa. Namun baru saja tiba ditempat tujuan, hati Raden Pamahan Rasa terpesona oleh suara merdu pembacaan ayat-ayat suci Alquran yang dilantunkan Nyi Subang Larang.

Putra mahkota yang setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Prabu Siliwangi itu dengan segera membatalkan niatnya untuk menutup pesantren tersebut. Ia justru melamar Nyi Subang Larang yang cantik. Lamaran tersebut diterima oleh Nyi Santri dengan syarat maskawinnya haruslah Bintang Saketi, yaitu simbol "tasbih" yang ada di Mekah.

Pernikahan antara Raden Pamanah Rasa dengan Nyi Subang Karancang pun kemudian dilakukan di Pesantren Quro atau yang saat ini menjadi Masjid Agung Karawang. Syekh Quro bertindak sebagai penghulunya.

Menyebar santri untuk berdakwah

Tentangan pemerintah kerajaan Pajajaran membuat Syekh Quro mengurangi intensitas pengajiannya. Ia lebih memperbanyak aktivitas ibadah seperti shalat berjamaah.

Sementara para santrinya yang berpengalaman kemudian ia perintahkan untuk menyebarkan Islam ke berbagai kawasan lain. Salah satu daerah tujuan mereka adalah Karawang bagian Selatan seperti Pangkalan lalu ke Karawang Utara di daerah Pulo Kalapa dan sekitarnya.

Dalam penyebaran ajaran Islam ke daerah baru, Syekh Quro dan para pengikutnya menerapkan cara yang unik. Antara lain sebelum berdakwah menyampaikan ajaran Islam, mereka terlebih dahulu membangun Masjid. Hal ini dilakukan Syekh Quro mengacu pada langkah yang dicontohkan Rasulullah SAW ketika berhijrah dari Mekkah ke Madinah. Saat itu beliau terlebih dahulu membangun Masjid Quba.

Cara lainnya, adalah dengan menyampaikan ajaran Islam melalui pendekatan dakwah bil hikmah. Hal ini mengacu pada AlQuran surat An Nahl ayat 125, yang artinya: "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik."

Sebelum memulai dakwahnya, Syekh Quro juga telah mempersiapkan kader-kadernya dengan pemahaman yang baik soal masyarakat setempat. Ini dilakukan agara penyebaran agamanya berjalan lancar dan dapat diterima oleh masyarakat. Hal inilah yang melatarbelakangi kesuksesan dakwah Syekh Quro yang sangat memperhatikan situasi kondisi masyarakat serta sangat menghormati adat istiadat penduduk yang didatanginya.

Selama sisa hidup hingga akhirnya meninggal dunia, Syekh Quro bermukim di Karawang. Ia dimakamkan di Desa Pulo Kalapa, Kecamatan Lemah Abang, Karawang. Tiap malam Sabtu, makam ini dihadiri ribuan peziarah yang datang khusus untuk menghadiri acara Sabtuan untuk mendoakan Syekh Quro.

Belakangan masjid yang dibangun oleh Syekh Quro di pesantrennya, kemudian direnovasi. Namun bentuk asli masjid -- berbentuk joglo beratap dua limasan, menyerupai Masjid Agung Demak dan Cirebon -- tetap dipertahankan. (uli/berbagai sumber) 

Ulama dan Sastrawan Melayu

Republika, 21 April 2006


Setiap buku-buku yang dibuatnya, khususnya yang berisi nasihat, selalu disertai contoh-contoh kasus yang terjadi di sekelilingnya pada masa yang sama.

Tak banyak sosok ulama yang bukan hanya fasih berbicara agama namun juga menguasai politik, ketatanegaraan, sejarah, hukum, dan pandai berkata-kata dalam karya sastra. Raja Ali Haji salah satunya. Selain pemahaman agamanya yang sangat luas, ia juga banyak menghasilkan buku-buku di bidang lain. Karya-karyanya di bidang sastra sangat diperhitungkan di masanya yaitu di abad ke-19.

Tokoh ini lahir tahun 1809 di Pulau Penyengat, Riau. Namun, ia sejatinya keturunan Bugis. Kakeknya, Raja Haji, merupakan salah satu pahlawan Bugis yang terkenal, yang pernah menjabat sebagai Yamtuan Muda (atau perdana menteri ke-4) dalam Kesultanan Johor-Riau. Dia pula yang membuat Kesultanan Johor-Riau maju pesat sehingga menjadi pusat perdagangan dan kebudayaan.

Darah sastrawan menurun dari ayahnya, Raja Ahmad, salah satu dari dua putra Raja Haji. Pangeran Riau pertama yang pergi haji itu merupakan orang pertama yang menyusun epos yang melukiskan sejarah orang Bugis di Melayu dan hubungannya dengan raja-raja Melayu.

Sejak masih anak-anak, Raja Ali Haji seringkali mengikuti perjalanan ayahnya ke berbagai daerah, untuk berdagang, dan termasuk pergi haji. Berbekal pengalaman ini, Raja Ali Haji tumbuh menjadi pemuda berwawasan luas. Dalam usianya yang masih sangat muda, ia dikenal sebagai salah satu ulama yang seringkali diminta fatwanya oleh pihak kerajaan. Ia juga menjadi pembimbing bagi guru-guru agama di Riau.
Di usia 20 tahun, Raja Ali Haji sudah diamanahi tugas kenegaraan yang penting. Sementara ketika usianya mencapai 32 tahun, bersama sepupunya Raja Ali bin Raja Ja'far, ia dipercaya memerintah wilayah Lingga untuk mewakili Sultan Mahmud Muzaffar Syah yang saat itu masih sangat muda.

Ketika akhirnya, saudara sepupunya diangkat menjadi Yamtuan muda, Raja Ali Haji diangkat menjadi penasihat keagamaan negara. Memiliki posisi penting di pemerintahaan Kesultanan Johor Riau tak membuat produktivitasnya dalam menulis menjadi surut. Raja Ali Haji banyak memberikan kontribusi, khususnya di bidang keagamaan, kesusastraan Melayu, politik, sejarah, filsafat, dan juga hukum. Ia dikenal sebagai salah satu tokoh paling terkemuka di zamannya, baik di kalangan agamawan maupun cendikiawan dan para sastrawan.

Di bidang sastra Melayu, karyanya yang berjudul Hikayat Abdul Muluk -- yang dibuat tahun 1846 -- dianggap sebagai karya sastrawan Riau yang pertama kali diterbitkan. Karya-karya Raja Ali Haji dikenal dengan kekhasannya yang selalu berakar pada syariat Islam dan juga tradisi Melayu.

Karya lainnya yang terkenal adalah buku di bidang ketatanegaraan yang berjudul Intizam Wazaif al Malik (Peraturan Sistematis tentang Tugas-Tugas Raja). Buku yang berisi nasihat terhadap perilaku raja dan aturan pemerintahan secara Islam ini ia buat untuk memperingati wafatnya Yamtuan Muda Raja Ali bin Raja Ja'far pada tahun 1857.

Dua tahun kemudian, Raja Ali Haji membuat karya lainnya di bidang yang sama, yaitu buku yang berjudul Samarat al-Muhimmah Difayah li al-Umara wa al-Kubara wa li ahl al-Mahkamah (Pahala dari Tugas-tugas Keagamaan bagi para Pemimpin, Pembesar, dan para Hakim). Buku ini menjadi puncak karya Raja Ali Haji. Dalam buku ini, secara tegas ia menyatakan bahwa seorang raja yang melalaikan tugasnya dan mendurhakai Allah SWT, tidak dapat diterima sebagai penguasa lagi, dan jabatannya harus diserahkan kepada orang yang lebih tepat.

Raja Ali Haji agaknya sangat mengagumi sosok Imam Ghazali. Ini sangat terlihat dari karya-karyanya yang banyak menyebutkan buku Ihya Ulum ad-Din karya ulama besar tersebut. Pengaruh Al Ghazali sangat terasa dalam bagaimana Raja Ali Haji menggambarkan sosok raja yang ideal yang seharusnya bisa menahan diri dari hal-hal yang bersifat duniawi dan lebih mementingkan mengurus umat. Selain dipengaruhi pemikiran Al Ghazali, pemikiran politik Raja Ali Haji juga dipengaruhi ulama seperti Ibnu Taimiyah dan Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Habib al-Mawardi.

Selain Samarat, karya beliau lainnya yang monumental adalah buku berjudul Tuhfah an-Nafis (Hadiah yang Berharga) yang diterbitkan tahun 1860. Diperkirakan karya ini sebenarnya merupakan karya Raja Ahmad yang kemudian disunting dan sempurnakan oleh Raja Ali Haji. Buku ini berisi sejarah kesultanan Johor Riau, sejak berdiri di Palembang hingga kemudian berdiri di Singapura.

Buku-buku beliau lainnya adalah Silsilah Melayu dan Bugis (1859) yang mengisahkan pengalaman lima orang Bugis bersauadara yang merupakan nenek moyang Pangeran Penyengat. Dua karya di atas merupakan warisan yang sangat berharga bagi sejarah Sumatera, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya. Buku ini juga mengisahkan peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi di kawasan ini selama dua abad.

Karya Raja Ali Haji lainnya adalah buku berjudul Bustan al-Katibin li as Sibyan al-Muta'allimin (Taman Para Penulis dan pencari Ilmu) yang dicetak tahun 1875. Lalu buku berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa. Sayangnya, kedua buku ini belum rampung karena Raja Ali Haji keburu wafat di tahun 1870. Kedua buku ini berisi tentang pandangan Raja Ali Haji yang menyatakan bahsa satu-satunya jalan untuk mengatasi hawa nafsu dan permasalahan adalah dengan taat kepada hukum Allah SWT yang digariskan dalam Alquran.
Bukunya yang lain adalah Gurindam Duabelas, Siti Sianah, Suluh Pegawai, Taman Pemrata, dan Sinar Gembala Mustika Alam. Setiap buku-buku yang dibuatnya, khususnya yang berisi nasihat, selalu disertai contoh-contoh kasus yang terjadi di sekelilingnya pada masa yang sama.

Untuk mengenang karya-karyanya, 20 tahun kemudian, keluarganya mendirikan perkumpulan bernama Rusydiah Club yang bergerak di bidang pembinaan masyarakat, serta penerbitan buku-buku Islami. (uli/disarikan dari Ensiklopedi Islam) 

Syekh Djambek (1860-1947)
Ahmad Syafii MaarifResonansi-Republika, 01 April 2008

Nama lengkapnya Syekh Muhammad Djamil Djambek, seorang alim ahli fikih, ushul fikih, ilmu falak, dan ilmu dakwah yang sangat handal. Salah seorang anaknya Kolonel Dahlan Djambek telah dibunuh PKI saat PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) telah menyerah kepada Jakarta awal 1960-an.Tambahan perkataan Djambek untuk syekh ini adalah karena ia senang memanjangkan janggut dan kumis sampai di usia lanjutnya, ketika seluruh jambangnya telah memutih. Perjalanan hidup tokoh ini penuh rona dan drama, dan jika difilmkan akan memancarkan sinyal pendidikan dan kearifan yang memukau.

Sosok syekh besar ini perlu ditampilkan lagi sekarang, saat pihak keluarga, para murid, dan simpatisannya sedang berupaya merenovasi surau/pesantren yang dibangunnya sekitar seabad yang lalu agar berfungsi kembali secara efektif. Sebuah panitia yang diketuai cucunya, Sudirman Suwin SE, awal Februari 2008, mengadakan berbagai kegiatan, seperti seminar 100 tahun Syekh Djambek, bedah buku, dan tabligh akbar.
Semuanya ini bertujuan, di samping menghimpun dana untuk renovasi, juga yang terpenting untuk menggali kembali semangat pembaruan dan perjuangan syekh yang cukup fenomenal. Seluruh kegiatan dipusatkan di surau syekh, Kampung Tengah Sawah, Pasar Bawah, Bukittinggi.

Mengapa tokoh ini patut dikenang? Jauh sebelum tampil sebagai alim besar yang disegani, Muhammad Djamil adalah seorang petualang liar yang menyebabkan ayahnya, seorang alim, hampir putus asa. Saat berusia 20-an, Djamil adalah seorang 'parewa' dengan segala tabiat buruk yang melekat pada dirinya. Dia ahli sihir, pemabuk, dan bahkan suka mencuri.

Petualangan ini dilakukannya selama 10 tahun, kemudian karena terselamat dari gebukan orang kampung sewaktu akan mencuri, ia kemudian insaf; ia bersembunyi di dalam kolom yang ditutupi rumput air yang di Minangkabau disebut banto. Dari kolam tempat menyelamatkan diri inilah kesadaran itu muncul pada diri Djamil, semakin lama semakin kental dan kuat untuk kembali ke jalan yang benar: beragama secara sungguh-sungguh. Bukankah ini sebuah drama yang sarat dengan sinyal moral?

Ringkas cerita, setelah ayahnya yakin betul anaknya sudah taubat, tahun 1894, saat usia Djamil telah menginjak 34 tahun, dibawa ke Makkah untuk berhaji dan mencari ilmu. Djamil belajar di kota itu selama sembilan tahun sampai ia sudah menguasai ilmu-ilmu seperti yang tersebut di atas dengan membawa semangat juang yang mendidih untuk membebaskan kaumnya dari segala bentuk kemusyrikan, takhayul, bid'ah, dan khurafat, yang menjadi panorama umum di seluruh ranah Minang di awal abad ke-20. Revolusi Padri seperti tidak berbekas lagi di kalangan rakyat banyak. Ajaran tarekat yang mematikan akal pikiran begitu kuat di kalangan umat Islam.

Djamil yang sebelum belajar di Makkah juga telah mendalami ajaran tarekat Naqsyabandi. Kita sedikit tahu tentang siapa Djambek ini setelah membaca sebuah skripsi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullh tahun 1970. Karya tulis ini masih sangat perlu dikerjakan tentang tokoh ini untuk masa-masa yang akan datang, sesuatu yang tidak mudah, karena langkanya sumber yang ditinggalkannya. Tidak seperti Hamka yang lebih dari 100 mewariskan karya tulis untuk dipelajari bangsa ini.

Selama di Makkah, otak dan hati Djamil dicuci, antara lain, oleh Syekh Ahmad Khatib al-Minangbawi, seorang perantau Minang yang menjadi salah seorang imam di Masjidil Haram, yang pernah juga menjadi guru H Agus Salim, yang sebelumnya nyaris saja akan menjadi seorang ateis. Dengan bekal ilmu agama inilah kemudian Syekh Muhammad Djamil Djambek bersama dengan Syekh Abdul Karim Amrullah, Dr Abdullah Ahmad, dan masih ada yang lain, mengadakan revolusi pemikiran yang sempat menghebohkan ranah Minang. Di ujung perjalanan mereka berhasil.

Tak berbeda dengan gerakan pembaruan di seluruh Dunia Islam, mula-mula dimusuhi, dicaci-maki, bahkan dikafirkan, tetapi karena berangkat dari keyakinan yang mendalam, akhirnya secara diam-diam diikuti. Dan, seluruh karier Djambek sampai wafatnya tahun 1947 membuktikan semuanya ini. Minangkabau telah tercerahkan. Maka, mengingat jasanya yang luar biasa itu Syekh Djamil Djambek telah dianugerahi tanda kehormatan Bintang Mahaputera Utama pada 7 Agustus 1995, oleh Presiden Soeharto, tiga tahun sebelum meletakkan jabatannya sebagai presiden RI kedua.

Akhirnya, saya berharap agar upaya menghidupkan kembali Djambek dalam semua dimensinya dilakukan dengan sungguh-sungguh, tidak kepalang tanggung. Djambek adalah sebuah mutiara yang teramat mahal untuk dijadikan cermin. Kita semua akan sangat rugi, jika mutiara ini tetap saja dibiarkan terbenam dalam kultur amnesia kolektif yang tengah menghinggapi bangsa ini sejak beberapa dasawarsa terakhir. Djambek adalah cermin untuk kita semua.


Sultan Muhammad Al-Fatih. Sang Pembuka Istanbul

Abu Qubail menuturkan dari Abdullah bin Amr bin Ash, “Suatu ketika kami sedang menulis di sisi Rasulullah SAW, tiba-tiba beliau ditanya, “Mana yang terkalahkan lebih dahulu, Konstantinopel atau Romawi?” Beliau menjawab, “Kota Heraklius-lah yang akan terkalahkan lebih dulu.” Maksudnya adalah Konstantinopel.” [H.R. Ahmad, Ad-Darimi, Al-Hakim]

“Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” [H.R. Ahmad bin Hanbal Al-Musnad 4/335]


Istanbul atau yang dulu dikenal sebagai Konstantinopel, adalah salah satu bandar termasyhur dunia. Bandar ini tercatat dalam tinta emas sejarah Islam khususnya pada masa Kesultanan Usmaniyah, ketika meluaskan wilayah sekaligus melebarkan pengaruh Islam di banyak negara.
Bandar ini didirikan tahun 330M oleh Maharaja Bizantium yakni Costantine I. Kedudukannya yang strategis, membuatnya punya tempat istimewa ketika umat Islam memulai pertumbuhan di masa Kekaisaran Bizantium. Rasulullah SAW juga telah beberapa kali memberikan kabar gembira tentang penguasaan kota ini ke tangan umat Islam seperti dinyatakan oleh Rasulullah pada perang Khandak.

Para khalifah dan pemimpin Islam pun selalu berusaha menaklukkan Kostantinopel. Usaha pertama dilancarkan tahun 44 H di zaman Muawiyah bin Abi Sufian RA. Akan tetapi, usaha itu gagal. Upaya yang sama juga dilakukan pada zaman Khilafah Umayah.

Di zaman pemerintahan Abbasiyyah, beberapa usaha diteruskan tetapi masih menemui kegagalan termasuk di zaman Khalifah Harun al-Rasyid tahun 190H. Setelah kejatuhan Baghdad tahun 656H, usaha menawan Kostantinopel diteruskan oleh kerajaan-kerajaan kecil di Asia Timur (Anatolia) terutama Kerajaan Seljuk. Pemimpinnya, Alp Arslan (455-465 H/1063-1072 M) berhasil mengalahkan Kaisar Roma, Dimonos, tahun 463 H/1070 M. Akibatnya sebagian besar wilayah Kekaisaran Roma takluk di bawah pengaruh Islam Seljuk.

Awal kurun ke-8 hijrah, Daulah Usmaniyah mengadakan kesepakatan bersama Seljuk. Kerjasama ini memberi nafas baru kepada usaha umat Islam untuk menguasai Konstantinopel. Usaha pertama dibuat di zaman Sultan Yildrim Beyazid saat dia mengepung bandar itu tahun 796 H/1393 M. Peluang yang ada telah digunakan oleh Sultan Beyazid untuk memaksa Kaisar Bizantium menyerahkan Konstantinople secara aman kepada umat Islam. Akan tetapi, usahanya menemui kegagalan karena datangnya bantuan dari Eropa dan serbuan bangsa Mongol di bawah pimpinan Timur Leng.

Selepas Daulah Usmaniyyah mencapai perkembangan yang lebih maju dan terarah, semangat jihad hidup kembali dengan nafas baru. Hasrat dan kesungguhan itu telah mendorong Sultan Murad II (824-863 H/1421-1451 M) untuk meneruskan usaha menaklukkan Kostantinopel. Beberapa usaha berhasil dibuat untuk mengepung kota itu tetapi dalam masa yang sama terjadi pengkhianatan di pihak umat Islam. Kaisar Bizantium menabur benih fitnah dan mengucar-kacirkan barisan tentara Islam. Usaha Sultan Murad II tidak berhasil sampai pada zaman anak beliau, Sultan Muhammad Al-Fatih, sultan ke-7 Daulah Usmaniyah.

Semenjak kecil, Sultan Muhammad Al-Fatih telah mencermati usaha ayahnya menaklukkan Kostantinopel. Bahkan beliau mengkaji usaha-usaha yang pernah dibuat sepanjang sejarah Islam ke arah itu, sehingga menimbulkan keinginan yang kuat baginya meneruskan cita-cita umat Islam. Ketika naik tahta pada tahun 855 H/1451 M, dia telah mulai berpikir dan menyusun strategi untuk menawan kota bandar tadi.

Kekuatan Sultan Muhammad Al-Fatih terletak pada ketinggian pribadinya. Sejak kecil, dia dididik secara intensif oleh para ulama terulung di zamannya. Di zaman ayahnya, yaitu Sultan Murad II, Asy-Syeikh Muhammad bin Ismail Al-Kurani telah menjadi murabbi Amir Muhammad (Al-Fatih). Sultan Murad II telah menghantar beberapa orang ulama untuk mengajar anaknya sebelum itu, tetapi tidak diterima oleh Amir Muhammad. Lalu, dia menghantar Asy-Syeikh Al-Kurani dan memberikan kuasa kepadanya untuk memukul Amir Muhammad jika membantah perintah gurunya.

Waktu bertemu Amir Muhammad dan menjelaskan tentang hak yang diberikan oleh Sultan, Amir Muhammad tertawa. Dia lalu dipukul oleh Asy-Syeikh Al-Kurani. Peristiwa ini amat berkesan pada diri Amir Muhammad lantas setelah itu dia terus menghafal Alquran dalam waktu yang singkat. Di samping itu, Asy-Syeikh Ak Samsettin (Syamsuddin) merupakan murabbi Sultan Muhammad Al-Fatih yang hakiki. Dia mengajar Amir Muhammad ilmu-ilmu agama seperti Alquran, hadis, fikih, bahasa (Arab, Parsi dan Turki), matematika, falak, sejarah, ilmu peperangan dan sebagainya.

Syeikh Semsettin lantas meyakinkan Amir Muhammad bahwa dia adalah orang yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW di dalam hadis pembukaan Kostantinopel. Ketika naik takhta, Sultan Muhammad segera menemui Syeikh Semsettin untuk menyiapkan bala tentara untuk penaklukan Konstantinopel. Peperangan itu memakan waktu selama 54 hari. Persiapan pun dilakukan. Sultan berhasil menghimpun sebanyak 250 ribu tentara. Para mujahid lantas diberikan latihan intensif dan selalu diingatkan akan pesan Rasulullah SAW terkait pentingnya Konstantinopel bagi kejayaan Islam. 

Setelah proses persiapan yang teliti, akhirnya pasukan Sultan Muhammad Al-Fatih tiba di kota Konstantinopel pada hari Kamis 26 Rabiul Awal 857 H atau 6 April 1453 M. Di hadapan tentaranya, Sultan Al-Fatih lebih dahulu berkhutbah mengingatkan tentang kelebihan jihad, kepentingan memuliakan niat dan harapan kemenangan di hadapan Allah SWT. Dia juga membacakan ayat-ayat Alquran mengenainya serta hadis Nabi SAW tentang pembukaan kota Konstantinopel. Ini semua memberikan semangat yang tinggi pada bala tentera dan lantas mereka menyambutnya dengan zikir, pujian dan doa kepada Allah SWT. 

Sultan Muhammad Al-Fatih pun melancarkan serangan besar-besaran ke benteng Bizantium di sana. Takbir "Allahu Akbar, Allahu Akbar!" terus membahana di angkasa Konstantinopel. Pada 27 Mei 1453, Sultan Muhammad Al-Fatih bersama tentaranya berusaha keras membersihkan diri di hadapan Allah SWT. Mereka memperbanyak shalat, doa, dan zikir.

Hingga tepat jam 1 pagi hari Selasa 20 Jamadil Awal 857 H atau bertepatan dengan tanggal 29 Mei 1453, serangan utama dilancarkan. Para mujahidin diperintahkan supaya meninggikan suara takbir kalimah tauhid sambil menyerang kota. Tentera Usmaniyah akhirnya berhasil menembus kota Konstantinopel melalui Pintu Edirne dan mereka mengibarkan bendera Daulah Usmaniyah di puncak kota. Kesungguhan dan semangat juang yang tinggi di kalangan tentara Al-Fatih, akhirnya berjaya mengantarkan cita-cita mereka.
(yus/berbagai sumber) Republika Online, 23 September 2005

Risalah fi Istikhraj al-Mu’amma. Kitab Kriptografi Al-Kindi
Republika, 16 Juni 2006

Peradaban Islam memang pernah jaya dan akan jaya kembali. Di masa keemasannya, ilmuwan Islam menguasai dunia lewat berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi. Nyaris tidak ada cabang ilmu yang tidak dikuasai, bahkan hingga ke teknologi militer sekalipun. Namun barangkali tidak ada yang menyangka bahwa Islam sudah memiliki sosok dan kitab pemecah kode sejak berabad-abad lalu.

Adalah Abu Yusuf Yaqub Ibnu Ishaq Ibnu As-Sabbah Ibnu 'Omran Ibnu Ismail Al- Kindi, atau yang lebih dikenal sebagai Al-Kindi yang melakukannya. Selain dikenal sebagai salah satu filsuf kenamaan Islam, ia juga menulis buku tentang kriptologi atau seni memecahkan kode. Dalam buku yang berjudul >Risalah fi Istikhraj al-Mu'amma(Manuscript for the Deciphering Cryptographic Messages) ini, ia menuliskan naskah untuk menguraikan kode-kode rahasia.

Dalam buku ini, Al-Kindi memperkenalkan teknik penguraian kode atau sandi-sandi yang sulit dipecahkan. Ia juga mengklasifikasikan sandi-sandi rahasia itu serta menjelaskan ilmu fonetik Arab dan sintaksisnya. Yang paling penting lagi, dalam bukunya ini ia mengenalkan penggunaan beberapa teknik statistika untuk memecahkan kode-kode rahasia.

Kitabnya mengenai kriptografi sangat mungkin bisa terwujud mengingat dia adalah seorang yang pakar di bidang ilmu hitung/matematika. Di area ilmu ini, ia menulis empat buku mengenai sistem penomoran dan menjadi dasar bagi aritmatika modern.

Berbicara tentang sistem penomoran, tak bisa dipungkiri peran Al Khawarizmi di dalamnya. Namun, Al Kindi juga menaruh kontribusi dalam hal ini. Ia juga berkontribusi besar dalam bidang geometri bola, bidang yang sangat mendukungnya dalam studi astronomi

Pesinggungannya dengan dunia ilmiah di pusat ilmu pengetahuan Islam pada zaman keemasan -- Baghdad -- dimulai saat ia melamar sebagai penulis kaligrafi di akademi paling populer saat itu, House of Wisdom. Bersama Al Khawarizmi dan Banu Musa bersaudara, ia ditugasi menerjemahkan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab oleh khalifah Al Makmun.

Dia tak banyak terlibat dalam penerjemahan langsung sebetulnya, karena tugas pokok dia adalah mengedit dan mengoreksi. Al Kindi sangat mengagumi pemikiran-pemikiran filsuf Yunani-Romawi. Ia sangat terilhami oleh filsuf besar dua Yunani, Socrates dan Aristoteles. Pengaruh dua tokoh ini bisa dilihat dalam karya-karya Al Kindi di kemudian hari.

Bekerja di bidang sandi-sandi rahasia dan pesan-pesan tersembunyi dalam naskah-naskah asli Yunani dan Romawi mempertajam nalurinya dalam bidang kriptoanalisa. Ia menjabarkannya dalam sebuah makalah, yang setelah dibawa ke Barat beberapa abad sesudahnya diterjemahkan sebagai Manuscript on Deciphering Cryptographic Messages.

Di dalamnya antara lain mengungkapkan: "Satu cara untuk memecahkan kode rahasia, jika kita tahu bahasanya, adalah dengan menemukan satu naskah asli yang berbeda dari bahasa yang sama, lalu kita hitung  kejadian-kejadian pada tiap naskah. Pilah menjadi naskah kejadian satu, kejadian dua, dan seterusnya. Kemudian kita lihat teks rahasia yang ingin kita pecahkan, dan mulailah mengklasifikasikan simbol-simbolnya.  Kita lalu menemukan simbol yang paling sering muncul, lalu ubahlah dengan catatan kejadian satu, dua dan seterusnya itu, sampai seluruh simbol itu terbaca."

Teknik Al Kindi ini kemudian dikenal sebagai analisa frekuensi dalam kriptografi, yaitu cara paling sederhana untuk menghitung persentase bahasa khusus dalam naskah asli, persentase huruf dalam kode rahasia, dan menggantikan simbol dengan huruf.

Dalam dunia Islam dan dunia pada umumnya, Al-Kindi dikenal sebagai filsuf Arab kenamaan. Karya-karyanya yang luar biasa menempatkannya pada posisi tertinggi di bidang ilmu pengetahuan. Namun meski dikenal sebagai seorang filsuf kenamaan asal Dinasti Abassiyah, ia juga menguasai berbagai cabang ilmu lainnya seperti kedokteran, matematika, musik, astrologi, dan ilmu optik.

Al-Kindi (801-873)
Lahir: Kufa, Arab.
Pekerjaan awal: penerjemah, penulis kaligrafi
Bidang yang dikuasai: filsafat, kedokteran, musik, astronomi, geografi, matematika, farmakologi, kriptografi.
Karya: 205 buku, antara lain Geometri (32 buku), pengobatan dan filosofi (22 buku), logika (9 buku), fisika (12 buku).