Shalat merupakan puncak dari seluruh ibadah yang ditetapkan Allah dan sebagai dzikir yang paling tinggi bagi yang sudah terbuka hatinya. Akan tetapi bagi hati yang tertutup, buta serta membatu, shalat merupakan beban yang sangat menyiksa hatinya. Ibnu Qayyim menguraikan pengalaman nikmatnya berjumpa dengan Allah bagi ahli ma’rifat diwaktu shalat sebagaimana dibawah ini.
Mula-mula dibukakan untuknya pintu kelezatan beribadah yang tidak pernah membuatnya merasa kenyang. Ia mendapatkan kelezatan dan kenikmatan di dalam ibadah beberapa kali lipat dibanding kelezatan dan kesenangan permainan dunia dan syahwat. Bila ia memasuki shalat, ia tidak ingin keluar darinya.
Kemudian dibukakan untuknya kelezatan mendengar kalam Allah, sehingga ia tidak pernah merasa kenyang dengannya. Hatinya menjadi tenang seperti bayi yang menjadi tenang apabila diberi sesuatu yang sangat dicintainya.
Kemudian dibukakan untuknya kesaksian tentang keagungan Allah, kesempurnaan sifat-Nya, kesempurnaan hikmah-Nya dan makna pembicaraan-Nya, sehingga hatinya tenggelam dalam hal tersebut. Hatinya merasakan, bahwa dirinya telah memasuki alam lain, bukan alam yang ditempati manusia ini.
Kemudian dibukakan untuknya pintu rasa malu kepada Allah. Ini merupakan bukti pertama ma’rifat, yaitu berupa cahaya yang masuk ke dalam hatinya. Cahaya ini memperlihatkan bahwa ia berdiri di hadapan Tuhannya. Lalu ia merasa malu kepada-Nya dalam semua keadaannya. Saat itu ia dikaruniai rasa senantiasa diawasi oleh Yang Maha Mengawasi. Ia juga dikaruniai rasa ingin melihat kepada-Nya sehingga seolah-olah ia melihat-Nya diatas segenap Langit-Nya, bersemayam diatas Arasy-Nya, menyaksikan semua makhluk-Nya dan mendengar suara-suara mereka, bahkan mengetahui bathin mereka.
Bila ia terkuasai oleh keadaan ini maka keinginannya kepada dunia menjadi tertutupi. Ia berada di suatu keadaan yang lain, ia berada dihadapan Tuhannya dan memandang Kekasihnya dengan hatinya.
Manusia terhijab dari alam nyata di dunia untuk memandang kekasihnya. Padahal Dia melihat mereka sedangkan mereka tidak bisa melihat-Nya. Mereka tidak melihat dari-Nya kecuali apa yang sesuai dengan alam dan wujud mereka.
Kemudian dibukakan untuknya kesadaran tentang qayyumiyah (Allah yang mengurus dan mengatur segala sesuatu).
Kemudian ia melihat semua peristiwa di alam ini terjadi karena perbuatan-Nya semata. Maka ia menyaksikan Pemilik bahaya dan manfaat, Penguasa makhluk dan rizki, Yang menghidupkan dan Yang mematikan, sehingga ia menjadikan-Nya sebagai Pelindung, ia menjadikan-Nya sebagai Rabb, Pengatur dan Pemberi kecukupan. Saat itulah apabila melihat sesuatu dan penciptaan ini maka sesuatu itu menunjukkan tentang Sang Pencipta, sifat kesempurnaan-Nya dan gambaran keagungan-Nya, sehingga ciptaan-Nya tidak dapat menghalanginya dari Tuhannya. Bahkan semua ciptaan-Nya memanggilnya dengan lisan keadaannya : “Dengarlah kesaksianku untuk Dzat yang telah menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. Aku adalah ciptaan Allah yang telah menciptakan segala sesuatu dengan sangat cermat”.
Bila keadaan ini berlangsung terus maka alam dilipat dari hatinya sehingga yang ada di dalam hatinya hanyalah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Kuasa. Kemudian cahaya ma’rifat, mu’amalah, kejujuran, keikhlasan dan cinta memancar dari hatinya, sebagaimana cahaya matahari memancar dari sumbernya. Saat itulah dia tenggelam di dalam cahaya, sebagaimana penjelajah lautan tenggelam di dalam laut. Hal itu hanya bisa terjadi di alam riyadhah, alam mujahadah, yaitu lenyapnya hukum-hukum alam dan ia bersedia berdiri lama menunggu didepan pintu Kekasihnya.
Ketika keadaan “berdiri di depan pintu Kekasihnya” ini berlangsung, dia tidak menoleh ke kiri dan kekanan dan ia tidak ingin menjawab panggilan orang yang tidak mengajaknya kepada-Nya. Dan ia mengetahui, bahwa ia belum sampai. Karena bila ia mengira telah sampai, pastilah akan padam semangatnya. Maka ia mengharapkan akan dibukakan untuknya pembukaan yang lain. Ia berada di atas keadaannya selama ini. Hatinya tenggelam di dalam cahaya penyaksian Keagungan-Nya setelah munculnya Cahaya Wujud yang benar. Lalu hatinya tetap berenang di lautan cahaya dalam pengaruh keagungan-Nya. Ia mendapati hatinya sangat tinggi dan naik menuju Dzat Yang Maha Tinggi. Kemudian Allah menaikkannya lalu ia menyaksikan cahaya pemuliaan (ikram) setelah menyaksikan cahaya keagungan (jalal), lalu ia tenggelam di dalam cahaya sinar keindahan (jamal).
Di dalam keadaan ini ia merasakan cinta khusus yang menyentuh ruh dan hatinya. Kemudian hatinya tertawan di tangan Kekasihnya dan Pelindungnya, dalam keadaan teruji oleh cinta-Nya. (Madarijus salikin)
Cuplikan dari draft buku baru Ustad Abu Sangkan
dari: http://yusdeka.wordpress.com/2013/10/07/mencapai-puncak-ibadah/
Mula-mula dibukakan untuknya pintu kelezatan beribadah yang tidak pernah membuatnya merasa kenyang. Ia mendapatkan kelezatan dan kenikmatan di dalam ibadah beberapa kali lipat dibanding kelezatan dan kesenangan permainan dunia dan syahwat. Bila ia memasuki shalat, ia tidak ingin keluar darinya.
Kemudian dibukakan untuknya kelezatan mendengar kalam Allah, sehingga ia tidak pernah merasa kenyang dengannya. Hatinya menjadi tenang seperti bayi yang menjadi tenang apabila diberi sesuatu yang sangat dicintainya.
Kemudian dibukakan untuknya kesaksian tentang keagungan Allah, kesempurnaan sifat-Nya, kesempurnaan hikmah-Nya dan makna pembicaraan-Nya, sehingga hatinya tenggelam dalam hal tersebut. Hatinya merasakan, bahwa dirinya telah memasuki alam lain, bukan alam yang ditempati manusia ini.
Kemudian dibukakan untuknya pintu rasa malu kepada Allah. Ini merupakan bukti pertama ma’rifat, yaitu berupa cahaya yang masuk ke dalam hatinya. Cahaya ini memperlihatkan bahwa ia berdiri di hadapan Tuhannya. Lalu ia merasa malu kepada-Nya dalam semua keadaannya. Saat itu ia dikaruniai rasa senantiasa diawasi oleh Yang Maha Mengawasi. Ia juga dikaruniai rasa ingin melihat kepada-Nya sehingga seolah-olah ia melihat-Nya diatas segenap Langit-Nya, bersemayam diatas Arasy-Nya, menyaksikan semua makhluk-Nya dan mendengar suara-suara mereka, bahkan mengetahui bathin mereka.
Bila ia terkuasai oleh keadaan ini maka keinginannya kepada dunia menjadi tertutupi. Ia berada di suatu keadaan yang lain, ia berada dihadapan Tuhannya dan memandang Kekasihnya dengan hatinya.
Manusia terhijab dari alam nyata di dunia untuk memandang kekasihnya. Padahal Dia melihat mereka sedangkan mereka tidak bisa melihat-Nya. Mereka tidak melihat dari-Nya kecuali apa yang sesuai dengan alam dan wujud mereka.
Kemudian dibukakan untuknya kesadaran tentang qayyumiyah (Allah yang mengurus dan mengatur segala sesuatu).
Kemudian ia melihat semua peristiwa di alam ini terjadi karena perbuatan-Nya semata. Maka ia menyaksikan Pemilik bahaya dan manfaat, Penguasa makhluk dan rizki, Yang menghidupkan dan Yang mematikan, sehingga ia menjadikan-Nya sebagai Pelindung, ia menjadikan-Nya sebagai Rabb, Pengatur dan Pemberi kecukupan. Saat itulah apabila melihat sesuatu dan penciptaan ini maka sesuatu itu menunjukkan tentang Sang Pencipta, sifat kesempurnaan-Nya dan gambaran keagungan-Nya, sehingga ciptaan-Nya tidak dapat menghalanginya dari Tuhannya. Bahkan semua ciptaan-Nya memanggilnya dengan lisan keadaannya : “Dengarlah kesaksianku untuk Dzat yang telah menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. Aku adalah ciptaan Allah yang telah menciptakan segala sesuatu dengan sangat cermat”.
Bila keadaan ini berlangsung terus maka alam dilipat dari hatinya sehingga yang ada di dalam hatinya hanyalah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Kuasa. Kemudian cahaya ma’rifat, mu’amalah, kejujuran, keikhlasan dan cinta memancar dari hatinya, sebagaimana cahaya matahari memancar dari sumbernya. Saat itulah dia tenggelam di dalam cahaya, sebagaimana penjelajah lautan tenggelam di dalam laut. Hal itu hanya bisa terjadi di alam riyadhah, alam mujahadah, yaitu lenyapnya hukum-hukum alam dan ia bersedia berdiri lama menunggu didepan pintu Kekasihnya.
Ketika keadaan “berdiri di depan pintu Kekasihnya” ini berlangsung, dia tidak menoleh ke kiri dan kekanan dan ia tidak ingin menjawab panggilan orang yang tidak mengajaknya kepada-Nya. Dan ia mengetahui, bahwa ia belum sampai. Karena bila ia mengira telah sampai, pastilah akan padam semangatnya. Maka ia mengharapkan akan dibukakan untuknya pembukaan yang lain. Ia berada di atas keadaannya selama ini. Hatinya tenggelam di dalam cahaya penyaksian Keagungan-Nya setelah munculnya Cahaya Wujud yang benar. Lalu hatinya tetap berenang di lautan cahaya dalam pengaruh keagungan-Nya. Ia mendapati hatinya sangat tinggi dan naik menuju Dzat Yang Maha Tinggi. Kemudian Allah menaikkannya lalu ia menyaksikan cahaya pemuliaan (ikram) setelah menyaksikan cahaya keagungan (jalal), lalu ia tenggelam di dalam cahaya sinar keindahan (jamal).
Di dalam keadaan ini ia merasakan cinta khusus yang menyentuh ruh dan hatinya. Kemudian hatinya tertawan di tangan Kekasihnya dan Pelindungnya, dalam keadaan teruji oleh cinta-Nya. (Madarijus salikin)
Cuplikan dari draft buku baru Ustad Abu Sangkan
dari: http://yusdeka.wordpress.com/2013/10/07/mencapai-puncak-ibadah/