ETIKA (DALAM) ISLAM

Oleh Alfathri Adlin. Sumber dari sini.

Kata “etika” berasal dari bahasa Yunani “ethikos” dari akar kata “ethos” yang artinya adat kebiasaan, karakter, kecenderungan atau kelakuan manusia. Sementara kata moral berasal dari bahasa Latin “mos” dan “moris” yang juga memiliki arti sama dengan kata “ethos”. Sebagaimana pernah dikemukakan oleh Romo Anton Sudiardja, “[D]alam bahasa Arab, kita memiliki kata akhlak. Akan tetapi kata ini jarang kita gunakan dalam pemahaman filsafat, karena konotasinya lebih ke agama (Islam)...”1 Ihwal istilah “akhlaq” tersebut akan dibahas lebih jauh nanti, lalu dibandingkan dengan istilah “adab”. Namun, pertama-tama harus dibahas terlebih dahulu konsep “Ad-Dîn”—yang sering diterjemahkan sebagai “Agama”—karena itu merupakan salah satu fondasi awal paling penting untuk memasuki pembahasan Etika Islam, terutama dalam kaitannya dengan Syari‘at, Fiqih, Taqwa, Shirath al-Mustaqim (Jalan Lurus), serta hukum Fardhu (Wajib), Sunnah, Halal, Haram, Makruh dan lain sebagainya.

IHWAL AD-DÎN (AGAMA) SERTA SYARI‘AT DAN FIQIH

Dalam Islam, Ad-Dîn memiliki keterkaitan yang kuat dengan ma‘rifatullah (mengenal Allah). Dalam hadis dinyatakan: “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu” (barangsiapa mengenal nafs [jiwa]-nya maka sungguh ia akan mengenal Rabb [Tuhan]-nya”), sementara Ali bin Abi Thalib menjelaskan lebih jauh bahwa “Awaludinna ma‘rifatullah” (Awal dari Ad-Dîn adalah ma‘rifatullah), lalu Al-Ghazali menegaskan bahwa kemuliaan dan keutamaan manusia yang mengungguli seluruh makhluk lainnya adalah kemampuannya untuk ma‘rifatullah. Dalam Al-Quran ditegaskan bahwa tujuan penciptaan manusia itu untuk mengenal dan menjadi saksi Allah yang haqq (benar), dan juga khalifah (wakil) Allah serta pemakmur bumi. Seseorang yang telah ma‘rifatullah berarti telah menjadi saksi Allah yang haqq karena telah menjadi tempat pengurai asma (nama)-Nya atau citra Ilahi. Tak ubahnya seperti lensa segitiga yang mendeviasikan cahaya monokromatik (putih) menjadi cahaya polikromatik. Dalam hadis qudsi pun dinyatakan: “Bahwa Allah menciptakan Adam atas citra Ar-Rahman.”

Ada pun penjelasan tentang apa itu Ad-Dîn tertuang secara komprehensif dalam hadis tentang trilogi Al-Iman, Al-Islam dan Al-Ihsan berikut:
Pada suatu hari kami (Umar bin Khattab dan para sahabat lainnya) duduk-duduk bersama Rasulullah saw. Lalu muncul di hadapan kami seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak tanda-tanda perjalanan. Tidak seorang pun dari kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Rasulullah saw. Kedua kakinya menghimpit kedua kaki Rasulullah, dan kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah saw, seraya berkata, “Ya Muhammad, beritahu aku tentang Islam.” Lalu Rasulullah saw menjawab, “Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji apabila mampu.” Kemudian dia bertanya lagi, “Kini beritahu aku tentang Iman.” Rasulullah saw menjawab, “Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada Qadar baik dan buruknya.” Orang itu lantas berkata, “Benar. Kini beritahu aku tentang Ihsan.” Rasulullah berkata, “Beribadahlah kepada Allah seolah-olah Anda melihat-Nya walaupun Anda tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat Anda.” (……………) Kemudian orang itu pergi menghilang dari pandangan mata. Lalu Rasulullah saw bertanya kepada Umar, “Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?” Lalu Aku (Umar) menjawab, “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasulullah saw lantas berkata, “Itulah Jibril datang untuk mengajarkan Ad-Dîn kalian.” (HR Muslim)
Dari hadis tersebut, dinyatakan bahwa Ad-Dîn itu terdiri dari tiga pokok utama, yaitu Al-Iman, Al-Islam dan Al-Ihsan. Di Al-Quran, padanan dari tiga pokok tersebut bisa dijumpai dalam istilah yang banyak diulang-ulang di berbagai ayat, yaitu Iman dan Amal Shalih.

Secara harfiah, Islam artinya adalah berserah diri, namun bukan dalam arti pasif tak melakukan apa pun, tapi aktif dan pontang-pantingnya seorang muslim (artinya orang yang berserah diri) dalam mencari, menemukan serta beramal sesuai dengan kehendak Allah. Di masa lampau, di pasar, selain membeli sayur mayur, buah-buahan, lauk pauk dan daging, orang pun bisa membeli budak. Budak tidaklah memiliki kebebasan untuk melakukan apa pun, karena kemerdekaannya telah dibeli. Sejarah kelam tersebut bisa memberikan impresi tentang arti menjadi “hamba” Allah, karena istilah “hamba” sinonim dengan “budak”. Karenanya, bisa dibayangkan bagaimana impresi orang-orang Arab pada masa itu ketika turun ayat-ayat tentang orang yang “mengorbankan nafs (jiwa)-nya karena mencari keridhaan Allah” (QS Al-Baqarah [2]: 207) atau tentang bagaimana “Allah telah membeli dari al-mu'min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (QS At-Taubah [9]: 111), terlebih saat itu perbudakan masih mengakar kuat.

Ada pun Al-Ihsan merupakan sebentuk sikap yang berkaitan dengan keshalihan suatu amal. Shalih adalah kemurnian atau tidak rusaknya sebuah amal. Dalam Islam, manusia diperintahkan untuk beribadah kepada Allah hingga ‘berbuah’ dan dapat dinikmati oleh manusia lainnya. Diterima atau tidaknya ibadah seseorang dapat dilihat dari ‘buah’-nya, yaitu amal shalih. Dan itu tak ubahnya seperti pohon yang tidak pernah memakan buahnya sendiri, tapi untuk dimakan oleh manusia dan binatang. Apa itu amal shalih?

Secara umum amal terbagi menjadi tiga, yaitu, amal baik, amal tidak baik dan amal shalih. Amal tidak baik adalah amal yang mendatangkan dosa bagi si pelakunya, atau amal yang merugikan diri sendiri, bahkan bisa juga orang lain. Namun, yang paling sulit dan halus untuk dibedakan adalah antara amal baik dan amal shalih. Amal baik adalah amal yang bermanfaat bagi sesama manusia dan tidak menimbulkan keburukan, namun balasannya bisa jadi hanya di dapat di dunia. Ada pun amal shalih adalah amal yang langsung terhubung dengan Allah atau amal yang merupakan perintah-Nya.

Dalam Islam, dosa adalah segala hal yang Allah tidak sukai dan dapat mengakibatkan terjadinya penggelapan qalb (hati). Ada pun proses penggelapan atau pencahayaan qalb itu sendiri seiring sejalan dengan empat tahap proses terjadinya sebuah amal—yang tidak baik, baik maupun shalih—yaitu, tahap Rasa, Karsa, Cipta dan Karya. Oleh karena itu, apabila seseorang telah berbuat sesuatu yang melanggar syariat dan dihukumi secara lahiriah, maka sesungguhnya dia telah melanggar empat pagar syariat hingga pagar terluar. Nah, hukum fiqih baru dapat dijatuhkan ketika amal telah mencapai tahapan karya, yaitu, amal yang telah dilakukan secara lahiriah. Namun bukan berarti rasa, karsa dan cipta yang berlangsung dalam qalb (hati)—masih dalam batin dan belum terlahirkan secara lahiriah—tidak dihukumi. Dalam hadis dinyatakan “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk, rupa dan harta benda kalian, tetapi Allah memperhatikan hati dan amal-amal kalian” (HR. Muslim). Dalam QS Al-Baqarah [2]: 284 juga dinyatakan bahwa “jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam anfus-mu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.”

Imam Al-Ghazali pernah berkata “Jika lintasan hati tidak dijaga, ia akan menjadi rasa (keinginan), lalu rasa menjadi karsa (kehendak), karsa berubah menjadi cipta (berniat untuk melakukan), dan cipta berubah menjadi karya (perbuatan). Karya ini yang bisa berakibat pada kecelakaan dan murka Allah. Maka, kejahatan harus ditebas sejak dari akarnya—yaitu sejak ada lintasan hati, yang dari sana hal-hal lainnya akan mengikuti.” Nah, di tataran rasa, karsa dan cipta itulah tashawwuf memegang peranan penting.

Maka, singkatnya adalah sebagai berikut: Ad-Dîn terdiri dari tiga pokok utama, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Padanannya dalam Al-Quran adalah Iman dan Amal Shalih. Perkara iman diatur dan berkaitan langsung dengan pembahasan mengenai Aqidah dan Tauhid, sedang perkara amal shalih diatur dan berkaitan langsung dengan Syariat. Syariat itu terbagi menjadi dua, yaitu, pertama, Syariat Lahir yang diatur dan berkaitan langsung dengan fiqih dan menghukumi pada tingkatan karya. Kedua, adalah Syariat Batin yang menghukumi pada tingkatan rasa, karsa dan cipta yang di kemudian hari dikenal dengan nama Tashawwuf.

Bagan Ad-Dîn
Syariat lahir (fiqih) berfungsi untuk menjaga serta dipakai sewaktu manusia sedang dalam keadaan terjaga, sedang syariat batin (tashawwuf) berfungsi untuk menjaga serta dipakai terus menerus, baik sedang dalam keadaan terjaga maupun tidak. Dalam konteks Etika Islam, kedua Syariat itu berfungsi untuk menundukkan dan mendidik syahwat dan hawa nafsu. Syahwat adalah hasrat material seperti terhadap “perempuan, anak-anak,harta yang banyak dari jenis emas, perak , kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang” (QS Ali Imran [3]: 14). Sementara hawa nafsu adalah hasrat imaterial seperti keakuan, arogansi, amarah dan lain sebagainya. Ibn ‘Arabi pernah menjelaskan bahwa hawa nafsu itu setara dengan Iradah, salah satu asma Allah yang menjelaskan bahwa Allah itu Maha Berkehedak; hawa nafsu selalu mendorong manusia untuk berbuat sekehendaknya padahal hanya Allah yang boleh berbuat seperti itu. Karenanya, kedua Syariat itu berfungsi untuk menundukkan dan menggembalakan “delapan ternak yang berpasang-pasangan” (QS Az-Zumar [39]: 6), yaitu sepasang mata untuk penglihatan, sepasang telinga untuk pendengaran, sepasang lubang hidung untuk penciuman, sepasang tangan untuk memegang, sepasang kaki untuk berjalan, indera pengecap pada lidah yang dipasangkan dengan perut untuk syahwat makan dan minum, pasangan fungsi mulut dan laring untuk bersuara dan berkata-kata, pasangan farji dan indera peraba untuk reproduksi.2

TAQWA DAN SHIRATH AL-MUSTAQÎM

Rasulullah saw pernah bersabda: “Iman itu telanjang, pakaiannya taqwa, buahnya ilmu, perhiasannya malu.” Taqwa itu tempatnya di qalb, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw bahwa manusia yang paling baik adalah mukmin yang qalb-nya ‘makhmum’, yaitu orang yang taqwa, hatinya bersih, tidak ada padanya penipuan, kedurhakaan, pengkhianatan, kedengkian, dan hasad. Taqwa sebagai pakaian bagi Bani ‘Adam juga dinyatakan dalam QS Al A’raaf [7]: 26 – 27; sementara dalam QS Ibrahim [14]: 2-27, taqwa digambarkan dalam perumpamaan kalimah thayyibah, “yaitu seperti pohon yang baik (thayyibah), akarnya teguh dan cabangnya menjulang di langit. Pohon itu memberikan buahnya sepanjang musim dengan seizin Tuhannya.” Struktur dari perkara “kalimat taqwa” itu dapat dilukiskan pada gambar di bawah ini:

Ilustrasi Kalimat Taqwa sebagai Pohon yang Baik (Thayyibah)
Apabila bibit disemai pada habitat yang tepat, lalu akar (iman) mendapatkan air dan hara (pemahaman/pengetahuan) yang tepat akan menumbuhkan pohon (taqwa) yang baik, kokoh dan kuat. Adanya taqwa pada diri seseorang bukanlah sesuatu yang mudah diidentifikasi secara lahiriah karena taqwa adanya di qalb; yang tampak dari luar adalah buah dari taqwa tersebut. Pohon yang akarnya teguh dan dahannya menjulang di langit itulah yang bisa menghasilkan buah sepanjang musim; buah itu disebut hasanah. Apabila dirumuskan secara ringkas maka bisa dikatakan bahwa (taqwa = iman + amal + shalih). Di sini, sekali lagi, terlihat bahwa taqwa itu terkait dengan perkara Ad-Dîn yang telah di bahas di atas. Dengan demikian, taqwa itu ada di qalb-nya shalihin—sebagaimana tertuang dalam QS Yunus [10]: 9 dan QS Al-Ankabut [29]: 9—salah satu golongan dengan peringkat paling bawah dari mereka yang berada di Shirath Al-Mustaqîm atau ‘Jalan yang Lurus’.

Sebagaimana tertuang dalam QS Al-Fatihah [1]: 6-7, Shirath Al-Mustaqîm adalah jalannya orang-orang yang diberi nikmat. Nikmat, dalam Etika Islam, memiliki arti yang khusus, yaitu ‘petunjuk menuju Shirath Al-Mustaqîm’, dan bukan kesenangan badaniah seperti kalangan hedonis. Dalam QS An-Nisâ [4]: 69 dirinci bahwa yang mendapat nikmat itu adalah Shalihin, Syuhada, Shiddiqin, dan para Nabi. Di luar Shirath Al-Mustaqîm adalah al-maghdub atau kalangan yang dimurkai karena menentang al-haqq (kebenaran) dan adh-dhalin atau kalangan yang tersesat karena terombang-ambing di antara dua kalangan di atas. Dalam QS Al-An‘am [6]: 161, ditegaskan bahwa Shirath-al-Mustaqîm itu paralel dengan Ad-Dîn; selain itu terkait pula dengan visi teleologis dalam Etika Islam bahwa, sebagaimana tertuang dalam hadis, manusia itu “beramal sesuai dengan untuk apa ia dicipta dan di mana ia dimudahkan’, atau, dengan meminjam dari istilah Hindu, disebut juga sebagai Dharma atau misi hidup. Zamzam Ahmad Jamaluddin Tanuwijaya menjelaskan sebagai berikut:
Swadharma setiap insan itu terkait dengan shirath al-mustaqîm-nya masing-masing. Rabb (Tuhan) yang dicari berada di atas jalan itu (QS Hud [11]: 56), dan yang menjadi kuncinya ada dalam diri nafs-nya sendiri. Setiap manusia akan menemukan Tuhannya lewat pintu jiwanya masing-masing, karena di dalam nafs terdapat Kuasa-Nya, Qudrah-Nya; man ‘arafa nafsahu fa qad ‘arafa rabbahu. Jika manusia bertemu dharma-nya atau kodrat dirinya, maka kehidupannya dimudahkan. Ini adalah aqabah, jalan mendaki lagi sukar, karena ia harus membebaskan diri dari perbudakan syahwat dan hawa nafsunya. Jika ego manusia tunduk kepada kehendak Allah maka terbuka pintu pengenalan ke nafs (self)-nya, dan jika Ruh al-Quds telah Allah nyalakan di dalam qalb si nafs, maka terang apinya akan menampakkan amr si nafs yang tertulis dalam dadanya.3

Shirath al-Mustaqîm adalah pertengahan yang hakiki antara akhlaq yang saling bertolak belakang. Dalam salah satu sabdanya, Rasulullah saw menyatakan “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia”, dan beliau pun menegaskan lagi bahwa “Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahannya.”

Akhlaq dalam bahasa Arab merupakan bentuk jamak dari “khuluq”, dan secara bahasa akhlaq sering diterjemahkan sebagai budi pekerti, perangai, tingkah laku, perangai atau tabiat. Namun, akar kata “khalaqa” yang artinya ‘ciptaan’ menjadi pembentuk kata khuluq, akhlaq, makhluq (yang diciptakan) dan Khaliq (Sang Pencipta). Dalam QS Al-Qalam [68]: 4 dinyatakan, ihwal Rasulullah saw, bahwa “Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung (khuluqul adzim).” Al-Adzim adalah salah satu asma (nama) Allah, dan untuk lebih memahami hal ini, perlu disimak tentang hadis yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw tidak pernah menoleh dengan memalingkan mukanya—yakni menoleh dengan memutar lehernya—karena jika menoleh, beliau menghadap dengan seluruh tubuhnya. Sadruddin Al-Qunawi menjelaskan bahwa:
Ketahuilah, di antara masalah yang menjadi sandaran para muhaqqiq dan syariat adalah bahwa kesempurnaan manusia adalah dalam berakhlak dengan akhlak Allah serta berhias dan meniru sifat-sifat-Nya yang agung. Tidak ada keraguan dalam keesaan al-Haqq, keesaan limpahan karunia-Nya, dan perhatian-Nya untuk menciptakan apa yang Dia kehendaki ciptakan. Perhatian-Nya pada penciptaan semut adalah seperti perhatian-Nya pada penciptaan ‘Arsy dan al-Kursiy. Karena, Dia disucikan dari terbayang padanya berbagai arah yang berbeda yang memberi aib di dalam tindakan-Nya sebab tidak ada kemajemukan dan pembagian. Keberbilangan, kemajemukan, perbedaan, dan sebagainya termasuk sifat-sifat segala yang bersifat mungkin (mumkinat) yang menerima perlakuan-Nya, dan menampakkan limpahan karunia-Nya.
Ketika masalahnya seperti itu, maka wajib bagi setiap orang yang berakhlak dengan akhlak Tuhannya agar tidak memperhatikan sesuatu kecuali secara keseluruhan. Dia harus menjaga diri dari mencampurkan bagian sesuatu dengan yang lain, sehingga dapat membagi perhatian. Bahkan, ia harus memperhatikan dengan sempurna segala sesuatu dengan kehadiran yang sempurna, meniru Tuhannya dalam hal menampakkan sifat-sifat-Nya yang menghiasi dirinya. Maka pahamilah niscaya engkau mendapat petunjuk. Insya Allah.4
Ayat Al-Quran, hadis dan paparan dari Sadruddin Al-Qunawi di atas memperlihatkan keterkaitan antara akhlaq dengan makhluq dan Khaliq; bahwa, sebagaimana telah dijelaskan di awal, manusia itu diciptakan menurut citra Ar-Rahman, maka dalam ber-akhlaq pun, makhluq (manusia) harus berperilaku sebagai representasi atau perpanjangan dari Khaliq (Sang Pencipta).

Sedangkan adab, pada zaman Jahiliyyah diartikan sebagai ‘mengajak makan atau undangan ke perjamuan makan’. Namun, ketika Islam muncul, kata “adab” akhirnya digunakan dalam arti “ajakan untuk memuji dan berakhlak baik”, dan juga mempunyai arti pendidikan atau pengajaran, serta al-khulqu yaitu budi pekerti, seperti tertuang dalam hadis “Rabb-ku telah mendidikku (adab), maka Dialah yang menjadi sebaik-baik pendidik.” Singkatnya, adab akhirnya diartikan sebagai norma-norma kepantasan, etiket atau tatakrama.

FARDHU, SUNNAH, HALAL, HARAM, MAKRUH, MUBAH, SYUBHAT

Sebagaimana dikemukakan oleh Romo Franz Magnis-Suseno, “Pada prinsipnya, maka tentang seluruh kehidupan manusia Muslim—kehidupan ibadat dan keagamaan, sikap terhadap orang lain, kewajiban-kewajiban dalam komunitas, aturan sopan satun, higiene dan kesehatan, dll—ada aturannya, yaitu aturan sesuai hukum Allah, hukum mana menunjuk jalan terbaik, yang aman, kepada manusia”5; dan bahwa “Etika Islam itu etika teonom dalam arti bahwa acuan manusia untuk mengetahui bagaimana ia harus adalah wahyu Allah.”6 Di awal telah dipaparkan bahwa seluruh tindak tanduk seorang Muslim, lahir mau pun batin, diatur oleh syariat; syariat lahir atau fiqih itu mengatur aspek karya dari amal (dalam bahasa Arab, secara harfiah, fiqih berarti “pemahaman yang mendalam terhadap suatu hal”), sementara syariat batin atau tashawwuf itu mengatur aspek rasa, cipta dan karya. Kata “syari‘ah” berasal dari akar kata “syara‘a” yang berarti “sesuatu yang dibuka secara lebar kepadanya”. Dari sini turun bentukan kata “syari‘ah” yang berarti “sumber air minum”. Di kemudian hari, kata ini dikonotasikan sebagai “jalan yang lurus yang harus diikuti” dan kemudian dijabarkan menjadi: “Hukum Syara‘ mengenai perbuatan manusia yang dihasilkan dari dalil-dalil terperinci”. Syariat ini salah satunya dirinci menjadi sebagai berikut:

Fardhu artinya adalah keharusan, kewajiban, atau tugas hukum yang harus dilakukan oleh seorang muslim. Hukum ini terbagi menjadi dua bagian:

• Fardhu ‘ain, yaitu kewajiban hukum secara individual yang harus dilakukan oleh setiap orang muslim, misalnya, shalat lima waktu dan shaum.

• Fardhu kifayah, yaitu kewajiban hukum secara kolektif, jika sudah ada yang melakukannya maka menjadi tidak wajib lagi bagi yang lain, misalnya mengurus jenazah.

Sunnah secara harfiah artinya adalah “mencontohkan”, namun dalam konteks ini, sunnah merujuk pada status hukum atau syariat sebuah aktivitas dalam Islam yang dianjurkan sehingga pelakunya mendapatkan kebaikan (pahala), namun bila ditinggalkan tidak mendapatkan dosa. Sunnah terbagi menjadi dua macam:

• Sunnah Mu‘akkad adalah sunnah yang sangat dianjurkan Rasulullah saw.

• Sunnah Ghairu Mu‘akkad adalah sunnah yang jarang dilakukan oleh Rasulullah saw.

Halal secara harfiah berarti “diizinkan” atau “dibenarkan”, dan lawan katanya adalah haram yang artinya “dilarang” atau “tidak dibenarkan”. Dalam syariat, istilah halal merujuk kepada segala sesuatu yang diizinkan atau diperbolehkan menurut syariat meliputi aktivitas, tingkah laku, cara berpakaian, cara mendapatkan rezeki dan sebagainya; sedangkan haram adalah sebaliknya.

Makruh adalah hukum terhadap suatu aktivitas yang sebaiknya tidak dilakukan, namun tidak terdapat konsekuensi bila melakukannya.

Mubah artinya “boleh”, menunjuk pada hukum terhadap suatu aktivitas yang boleh dilakukan, bahkan lebih condong kepada dianjurkan (bersifat perintah), namun tidak ada janji berupa konsekuensi atau pahala terhadapnya.

Syubhat secara harfiah artinya adalah “samar”, “kabur”, atau “tidak jelas”. Dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya adalah masalah yang mutasyabihat. Kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Siapa yang takut (berhati-hati) dari masalah yang syubhat baginya, maka dia telah terbebas demi agama dan kehormatannya. Sedangkan orang yang jatuh dalam masalah syubhat, dia jatuh ke dalam perkara yang haram.” (HR Bukhari dan Muslim) Kata syubhat dan mutasyabihat menunjuk pada “sesuatu yang mirip dengan perkara lain yang belum jelas benar hukumnya” atau “bersatunya kesamaran dari dua arah pengertian yang saling bertentangan”.

PERBANDINGAN DENGAN ETIKA ARISTOTELES

Etika Aristoteles bersifat teleologis, yaitu “keterarahan pada tujuan” atau telos. Telos artinya pemenuhan atau pencapaian sesuatu, penyelesaian sebuah aktivitas, titik akhir yang pada pencapaiannyalah sebuah proses diarahkan. Bagi Aristoteles, kebaikan moral merupakan tujuan terakhir dari segala perbuatan manusia secara menyeluruh. Aristoteles pun mengemukakan konsep “eudaimonia” yang arti harfiahnya adalah “kebahagiaan”, atau kesejahteraan spiritual yang vital. Kata ini berasal dari “eu” yang artinya baik atau bagus, dan kata “daimon” yang artinya ruh. Eudaimonia menjelaskan tentang kebahagiaan yang dicapai ketika potensi penuh seorang individu untuk suatu kehidupan yang rasional benar-benar sepenuhnya terrealisasi, dan individu tersebut telah mengekspresikan semua kapasitasnya yang beraneka ragam. Upaya keras untuk mencapai realisasi diri ini, untuk menjadi manusia utuh, merupakan esensi menjadi manusia. Yang baik bagi manusia secara individual adalah apa-apa yang, menurut fitrah esensialnya, diwajibkan untuk dicapainya, suatu pengembangan fakultas rasional secara penuh melalui pelatihan potensi diri.

Gagasan dasar etika Aristoteles adalah apabila manusia hidup dengan bijaksana maka ia akan semakin mengembangkan dirinya secara utuh. Dengan merealisasikan dan mengembangkan diri secara utuh, berarti manusia itu membangun suatu kehidupan yang bermakna dan bahagia, mengejawantahkan potensi-potensinya menjadi nyata sehingga menjadi pribadi yang kuat. Aristoteles menyatakan bahwa setiap keterampilan dan ajaran, begitu juga tindakan dan keputusan tampaknya mengejar salah satu nilai. Bahwa setiap tindakan yang mengarah ke pencapaian tujuan itu masuk akal, dan setiap tindakan yang tidak menunjang tercapainya tujuan manusia itu tidak masuk akal. Aristoteles pun membagi dua macam tujuan, yaitu tujuan sementara dan tujuan akhir. Tujuan sementara hanyalah sarana untuk tujuan lebih lanjut, sementara tujuan akhir, yang kita cari bukan demi tujuan lebih lanjut, melainkan demi dirinya sendiri, mencukupi dirinya sendiri dan tak ada yang masih di tambah, adalah kebahagiaan atau eudaimonia. Aristoteles menyebut karakter prinsipil kebahagiaan yang mencukupi dirinya sendiri ini sebagai autarkeia. Inilah sifat esensial eudaimonia. Etika Aristoteles ini bersesuaian dengan Etika Islam yang memandang bahwa tujuan penciptaan manusia itu untuk ma’rifat (mengenal Tuhan dan mengenal dirinya) sehingga bisa merealisasikan misi hidup unik yang diembankan kepada masing-masing individu, dengan jalan pensucian nafs dan kedatangan Ruh Al-Quds yang membukakan amanah apa yang diemban sang individu. Misi hidup akan membuahkan amal shalih yang berguna bagi banyak orang di sekitarnya.

Selain itu, etika Aristoteles pun merupakan etika keutamaan, yaitu sikap moral manusia—dalam suatu keadaan tetap—yang mengarahkan tingkah lakunya. Keutamaan itu bukan suatu sikap yang muncul secara kebetulan atau kadang-kadang, tapi sudah menjadi keadaan (state) yang terjaga (conserve) dalam perjalanan waktu. Dengan keutamaan itu, manusia bisa memilih jalan tengah antara dua kutub ekstrem, memungkinkan manusia untuk menentukan posisi tengah yang tepat. Ini juga bersesuaian dengan Etika Islam bahwa, sebagaimana pernah disabdakan oleh Rasulullah saw, “Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahannya.”[]

CATATAN AKHIR:

1. A. Sudiarja SJ, 2008, Kerangka Kuliah Etika Dasar: Pokok-pokok Pembicaraan Mengenai Etika Dasar, Yogyakarta: Fak. Teologi Universitas Sanata Dharma, hal. 4.

2. Zamzam A. J. Tanuwijaya & Tri Boedi Hermawan, 1998, “Struktur Insan dalam Al-Qur’an, Apa yang Tersentuh Oleh Psikologi Analitik, dan Status Kecerdasan Spiritual (SQ)”, dalam Alfathri Adlin (ed.), Masih Perlukah Agama, 2014, Bandung: Pustaka Matahari & Studia Humanika Masjid Salman ITB, dalam proses edit untuk terbit.

3. Ibid.

4. Shadr ad-Dîn Al-Qunawî, 1998, Pancaran Spiritual: Telaah 40 Hadis Sufistik, Jakarta: Penerbit Lentera, hal. 168-169.

5. Franz Magnis-Suseno, 2014, “SAP Matakuliah Filsafat Praktis”, Jakarta: STF Driyarkara, bagian Satuan Acara Perkuliah Nr. 7: Etika Islam.

6. Ibid.